Rabu, Mei 10, 2006

Stella Akhu Hendak Merebut Kemerdekaanku (3)


Pada Juni 1903, Kartini akhirnya berhasil mendirikan sekolah gadis di kota kelahirannya. Baru sebulan ia dikerkah kesibukkan sebagai guru, Kartini lagi-lagi dihardik oleh sebuah situasi yang memaksanya merumuskan ulang segala pendirian yang jauh sebelumnya telah ia pancangkan. Situasi kritis itu datang lewat sepucuk surat. Bukan sembarang surat, melainkan surat lamaran pernikahan dari Bupati Rembang, R.M. Adipati Joyoadiningrat. Ajaibnya, Kartini menerima lamaran itu. Kartini resmi melapas masa lajangnya pada 8 November 1903.

Pernikahan ini jauh lebih ajaib daripada pembatalan kepergiannya ke Belanda. Berkali-kali Kartini mengutarakan dalam surat-suratnya (baik kepada keluarga Abendanon, Ovink Soer maupun Stella) tekad bulat untuk tidak menikah. Simak kata-katanya yang sungguh telengas ini: “Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas!”

Kebencian Kartini pada institusi pernikahan bukan semata karena perempuan tidak akan bebas lagi begitu ia menikah, tetapi terutama karena faktor poligami. Kartini tahu benar sakit dan perihnya poligami karena ibundanya sendiri adalah korban poligami. Ia yakin, tak ada satu pun perempuan yang mau disakiti dengan poligami. Masalahnya, membenci dan mencerca poligami berarti ia juga harus berhadapan dengan bapaknya, pelaku langsung poligami. Bagaimana bisa Kartini membenci orang yang paling ia kasihi?

Sepanjang membaca surat-surat Kartini mulai Juli hingga Oktober 1903, saya tidak mendapat penjelasan yang memuaskan dari Kartini ihwal kemauannya menerima lamaran itu. Dalam kecamuk pikirannya, lagi-lagi muncul pertimbangan ihwal kesehatan bapaknya yang kain lama memang makin menurun.

Bisa jadi, Kartini terpukau oleh kabar ihwal progresif dan majunya R.M. Djoyoadiningrat itu. Barangkali, untuk meyakinkan dirinya sendiri, Kartini mengajukan (setidaknya) dua syarat. Pertama, Bupati Rembang harus menyetujui cita-cita Kartini. Kedua, Kartini diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar seperti yang telah dilakukannya di Jepara. Dua syarat itu seketika dipenuhi R.M. Djoyoadiningrat.

Selain untuk meyakinkan dirinya, syarat yang diajukan Kartini bisa dipahami sebagai perlawanan terbuka Kartini yang terakhir terhadap institusi pernikahan, sekaligus penegasan kepada dunia bahwa di detik-detik terakhir menjelang pendirian kerasnya ihwal poligami hendak roboh, ia masih seorang yang liat dan tak mudah ditundukkan. Inilah saat di mana sisa-sisa “kegalakkan” seorang Kartini masih bisa dilihat secara telanjang. Sebuah perlawanan dan kegalakkan yang tentu saja tak cukup punya makna.

Saya curiga, jangan-jangan saat di mana Kartini menerima lamaran itu adalah titik di mana Kartini, pinjam kata-kata Sosiawan Leak dalam sajak Tragedi, “…hanya merasakan keheningan yang cekam, kesepian yang tajam, saat kilau sebilah pisau mantul risaumu, digenggam sosok berwajah kelabu.”

Sudah sejak dulu ia merasa sendiri. Segala maksud baiknya kerap dilecehkan justru oleh pihak-pihak yang mana pengorbanannya hendak ia labuhkan. Sepintas, Sang Bapak seperti menerima dan menyokong cita-cita dan pendirian Kartini. Tapi tidak sebagai sebuah keseluruhan. Di rumah, yang benar-benar mengerti dirinya hanya dua adiknya, Roekmini dan Kardinah. Sosorokartono, abangnya, terlampau jarang mereka bersua. Itulah sebabnya ia tekun menulis surat pada siapa saja yang mendengarkan dan mendukung keyakinannya. Di pundak Djoyoadiningrat-lah ia berharap bisa berbagi kesendirian, berbagi pendirian, dan saling menyokong cita-cita satu sama lain.
Pelan tapi pasti, gugusan pengalaman hidup yang penuh sedih dan gembira, pertentangan tanpa henti antara cita-cita dan kenyataan, pergolakan untuk berbakti pada orang tua atau bagi kaum dan masyarakatnya, berhasil memaksa Kartini untuk merumuskan ulang dirinya, cita-citanya, pendiriannya, termasuk segala hal ihwal yang sebelumnya ia anggap sebagai momok. Dalam rumusannya yang baru, sesuatu yang dulu dicap sebagai momok coba ia manfaatkan sebagai peluang. Pernikahan poligami yang ia terima adalah contohnya.

Setelah menjadi istri Bupati Rembang, hari-harinya tak ubahnya istri biasa: mengurus suami dan anak (tirinya). Terus begitu. Ia memang mendirikan sekolah, tapi tak seberhasil ketika di Jepara. Kisah hidupnya berakhir di sini. 13 September 1904 ia melahirkan anak yang dinamai Susalit. Empat hari kemudian, pada 17 September 1904, ia menghembuskan nafas terakhir akibat proses melahirkan yang tak mulus.

Seperti yang sudah ia ramalkan sendiri, melepaskan cita-cita memang benar-benar membikinnya “binasa”.

2 komentar:

dewidresanala mengatakan...

jaman sekarang saja, tidak menikah bagi perempuan masihlah keputusan yang sulit, apalagi jaman dulu.
ditambah, perasaan sayang dan terikat secara emosional dengan seseorang (dalam hal Kartini, dengan ayahnya) akan menimbulkan sebuah dilema. pada akhirnya, Kartini memilih untuk 'berdamai' dengan keadaan, meski itu, dalam bahasamu 'menjadi kebinasaannya'.

seperti membaca Panggil aku Kartini saja.

Anonim mengatakan...

Membaca ini, jadi muncul suatu pemikiran....apakah kartini memang sekuat yg orang bayangkan???

Melepaskan cita2 adalah suatu pembunuhan terhadap diri sendiri, melepas suatu prinsip sama saja meniadakan diri.

Dan dua hal ini dilakukan kartini dalam hidupnya. Terlepas dari fakta bahwa dia seorang perempuan pada suatu jaman yg belum bersahabat pada perempuan, maupun seorang Jawa yang selalu menjunjung keluarga (orang tua).