Kartini punya cita-cita untuk sekolah setinggi-tingginya, dan jika perlu hingga ke tempat yang sejauh-jauhnya. Lewat surat bertanggal 12 Januari 1900 yang ditujukan pada Stella, Kartini menyatakan, ”Pergi ke Eropa! Sampai napasku yang penghabisan akan tetap jadi cita-citaku.”
Untuk merengkuh mimpinya itu, Kartini mutlak beroleh restu dari bapaknya. Kartini bukan tak tahu kecemasan bapaknya. Cinta kepada sang bapak yang makin lanjut usia dan sakit-sakitan berkali-kali menimbulkan keguncangan dalam jiwanya. Kebimbangan yang berlarat-larat itu terpantul dalam kata-kata, “Aku tak bisa merasa tentram, bilamana dalam mengikuti panggilanku mengetahui ayah yang jauh dariku, sedang mendera sakit dan memerlukan perawatan.”
Melalui tafakur yang panjang dan khidmat, Kartini akhirnya tiba pada satu kata bulat. “Cita-cita kami sudah menjadi satu dengan hidup kami. Melepaskan itu, berarti kebinasaan bagi kami,” tulisnya dengan yakin. Melihat keyakinan yang sungguh bulat itu, tak ada yang bisa dilakukan R.M. Sosoroningrat. Dan sepucuk restu yang diharap-harap itu pun turun.
Di pengujung 1902, atas usaha Ir. van Kol, anggota parlemen Belanda, Kartini dan adiknya yang bernama Rukmini mendapat beasiswa untuk meneruskan sekolah ke negeri Belanda. Jalan Kartini tampak kian lempang saja. Tapi tidak dalam kenyataannya.
Petaka itu datang dari orang yang selama ini sudah ia anggap tak ubahnya orang tua sendiri: pasangan Abendanon. Seusai perjumpaan dan pembicaraan dengan pasangan Abendanon pada 24 Januari 1903, Kartini merobohkan impian yang sudah dianyamnya sejak kecil: pembatalan kepergiannya ke negeri Belanda!
Dalam pertemuan itu, Mr. Abendanon dan istrinya menyarankan agar Kartini membatalkan kepergiannya. Alasan yang diajukan pasangan Abendanon diantaranya keadaan ayahnya yang tua dan sakit-sakitan, situasi negeri Belanda yang bisa mendatangkan kesulitan hingga kemungkinan tidak diterima masyarakat karena akan dianggap sebagai noni Belanda.
Sitisoemandari Soeroto, dalam Kartini: Sebuah Biografi (2001: 261), menyebut bahwa yang membuat Kartini membatalkan kepergiannya adalah tawaran Abendanon untuk membantu dirinya mendirikan sekolah tanpa perlu menunggu ijazah. Sebagai pejabat tertingi di Hindia dalam bidang pengajaran, Abendanon juga berjanji akan mengusahakan beasiswa ke Batavia untuk Kartini dan Roekmini.
Inilah drama yang kelak ditangisi dan disesali Kartini. Malamnya, Kartini sama sekali tak mampu pejamkan mata. Penyesalan yang berlarat-larat itu bahkan membikinnya jatuh sakit sepanjang Februari 1903.
Pembaca surat-surat Kartini yang teliti pasti mengenal Kartini sebagai orang yang keras kemauannya, yang sadar betul akan tujuan hidupnya dan yang sukar sekali dibelokkan cita dan kemauannya. Mengapa ia begitu mudah terbujuk? Bukankah ia sendiri yang mengatakan bahwa sampai napas yang penghabisan, pergi ke Eropa akan tetap menjadi cita-citanya? Bukankah ia sendiri yang meramalkan bahwa melepaskan cita-cita itu berarti kebinasaan baginya?
Seperti yang akan kita lihat, melepaskan cita-cita sungguh-sungguh menjadi awal kebinasaannya. Sebuah kebinasaan dalam pengertian denotatif!(bersambung)
Rabu, Mei 10, 2006
Stella, Aku Hendak Merebut Kemerdekaanku (2)
Diposting oleh zen di 4:47 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
0 komentar:
Posting Komentar