Agustus barangkali menjadi titimangsa paling baik untuk merenungkan apa artinya merdeka. Bukan semata karena pada bulan Agustus Indonesia merdeka, melainkan juga karena pada bulan Agustus, tepatnya pada tahun 1900, seorang perempuan (sekali lagi perempuan) telah berbicara ihwal kemerdekaan, dan betapa penting arti kemerdekaan baginya.
Dalam surat bertanggal 23 Agustus 1900, Kartini menulis surat kepada Stella Zeehandelaar: "Tiada berjuang tiada menang; aku akan berjuang, Stella, aku hendak merebut kemerdekaanku. Aku tiada gentar karena keberatan dan kesukaran.… Tetapi ada yang sungguh ku segani. Stella, sudah beberapa kali kuceritakan, aku sayang akan Bapak dengan segenap sukmaku…. Entah akan beranikah aku meneruskan kehendakku, bila akan melukai hatinya."
Tak ada yang lebih meyakinkan dan penuh semangat selain bunyi dua kalimat pertama dari paragraf di atas. Parafrase "Aku hendak merebut kemerdekaanku" dan "Aku tiada gentar karena keberaratan dan kesukaran" seakan menjadi tiang pancang ke mana arah hidup dan perjuangan Kartini kelak hendak dilabuhkan.
Tapi, petikan surat Kartini di atas juga tidak bulat menyatakan tekad dan semangat. Di sana, ada semacam kesadaran ihwal sebuah batas yang tak bisa begitu saja ditenggang. Jika batas itu ditenggang, ia tahu akan kehilangan sesuatu yang selama ini menjadi permata hidupnya yang paling berharga: Sang Bapak. Karena itulah ia bimbang.
Masalahnya, kebimbangan atau keraguan yang mendera Kartini, tak cuma datang dari kecintaannya pada R.M. Sosroningrat, ayahnya, melainkan juga dari situasi-situasi historis yang kerap (berhasil) memaksanya untuk tidak bersetia dengan segala rencana yang telah dipancangkan sebelumnya.(bersambung)
Senin, Mei 08, 2006
Stella, Aku Hendak Merebut Kemerdekaanku (1)
Diposting oleh zen di 11:37 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
3 komentar:
Adalah suatu hal yang normal, ketika kita bertemu orang untuk pertama kali, lalu kita memberikan penilaian versi kita sendiri untuk orang tersebut. Pertama ketemu, tidak terlintas dalam penilaianku, bahwa seorang yang bernama Zen itu menghasilkan tulisan dengan gaya seperti ini...
sori, bung... dulu membayangkan aku menulis dengan gaya seperti apa? dan memang sekarang aku menulis dengan gaya apa? maaf, kita ketemu di mana ya? aku agak pendek ingatan nih...
sori, bung... dulu membayangkan aku menulis dengan gaya seperti apa? dan memang sekarang aku menulis dengan gaya apa? maaf, kita ketemu di mana ya? aku agak pendek ingatan nih...
Posting Komentar