Rabu, April 26, 2006

Di Mana Bung Sjahrir (5)

Selalu di Tempat yang Salah

Romo Mangunwijaya, dalam sebuah esainya yang begitu romantik, menyebut Sjahrir sebagai negarawan yang berpikir dalam hitungan abad, bukan warsa, apalagi bulan. Romo Mangun menyebut Sjahrir sebagai negarawan persis seperti James Freeman Clarke mendefinisikan negarawan, yang menurut Freeman berbeda dengan politisi yang hanya memikirkan soal pemilu yang akan datang, negarawan justru memikirkan generasi yang akan datang.

Tetapi, sudah jelaskah siapa Sjahrir dan di mana ia berada dalam kesadaran sejarah kita?

Dalam epilog dari biografi Sjahrir: Politcs and Exile in Indonesia, Rudolf Mrazek memberikan sebuah jawaban: “Sjahrir tetap (saja) diletakkan di tempat yang salah… dan dilupakan.”

Ironis tentu saja, sama ironisnya dengan bagaimana ia menjemput ajal. Dia wafat dalam status tahanan politik di Swiss. Tetapi persis di hari kematiannya, Bung Karno, orang yang paling bertanggungjawab atas penahanan Sjahrir dan mungkin juga atas sakitnya Sjahrir, ironisnya justru langsung mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. Ironi bisa diperpanjang, mengingat Bung Karno justru akhirnya juga wafat dalam status tahanan politik.

Sjahrir mungkin punya banyak nila. Dia barangkali adalah tipe orang yang tidak taktis. Tetapi Sjahrir tentu saja tak sepenuhnya keliru. Dalam batas-batas tertentu, Sjahrir bisa jadi benar. Bukankah kedaulatan de facto dan de jure Republik Indonesia akhirnya ditangguk lewat sebuah proses perundingan (Konferensi Meja Bundar), kendati tentu saja tak memuaskan semua orang dan dengan mengorbankan banyak orang yang anti perundingan, yang diantaranya adalah para pemimpin Indonesia lapis satu (dari Amir Syarifuddin, Musso hingga Tan Malaka)

Sebagai pungkasan, saya petikkan kisah yang tercatat dalam tulisan Moh. Roem, Suka Duka Berunding dengan Belanda. Ketika jenazah Sjahrir akan diterbangkan ke Jakarta dari bandara Schiphol, Schermerhorn, orang yang menjadi rivalnya di Perundingan Linggarjati, dengan begitu emosional melepas kepergian Sjahrir dengan mengeluarkan kata-kata yang nyaris seperti sebuah elegi:

“Pada hari ini dan di sini, orang menyadari, “bahwa Sjahrir benar”! (Sjahrir had gelijk). (Tamat!)

1 komentar:

turabul-aqdam mengatakan...

menurutku, penutup ini tak sedahsyat yang kemarin karena nilai perjuangan yang dihadapi sang tokoh memang tak sedramatik atau seheroik aidit (meski nilainya bisa jadi setara).

meski keduanya sama-sama berakhir dengan kesyahduan, tapi ending yang ini menyimpulkan (memberi jawaban) pada pembaca, mengarahkan.

sementara ending yang di aidit, memberi sebuah teka-teki yang pekat namun kembali pada satu muara, yakni ketidakadilan.

belum lagi narator memunculkan posisinya di dua paragraf terakhir, menurutku itu membuat tulisan narasi menjadi kaku. pembaca melihat tangan narator bermain di paragraf secara terang-terangan.

itu menurutku, komentator lepas. dan sebagaimana layaknya komentator umumnya yang--disamping hanya bisa mbacot--aku juga iri menciptakan karya-karya serupa.

well done.