Kamis, Mei 11, 2006

Stella, Aku Hendak Merebut Kemerdekaanku (4)

Kemerdekaan dan kebebasan memang mempesona, merawankan hati. Di sana terpacak sebuah harapan akan kehidupan yang jauh lebih baik. Tapi, kita semua tahu, kemerdekaan juga membawa konsekuensi-konsekuensi tak terduga yang mau tidak mau mutlak dihadapi. Konsekuensi itulah yang membikin orang yang telah bebas dan merdeka, terkadang rindu pada situasi di mana ia masih belum bebas, ketika ia belum merdeka. Inilah yang oleh Erich Fromm maksudkan sebagai “lari dari kebebasan”.

Alih-alih pergi sekolah ke Belanda, Kartini lebih memilih untuk menerima tawaran Abendanon untuk mendirikan sekolah tanpa harus menunggu punya ijazah guru. Kartini sama sekali tidak lupa pada semua cita dan impian yang dianyamnya sejak kecil untuk sekolah setinggi-tingginya. Ia memang lebih memilih mendirikan sekolah karena ia tahu, pergi ke Belanda akan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi tak terduga yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Maka, membatalkan kepergian ke Belanda adalah blunder. Ia melepaskan begitu saja terbentangnya sebuah masa yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, yang sebenarnya ia bisa (seperti yang sebelumnya telah dengan baik ia lakukan) bekerja keras untuk memperjuangkan keyakinan dan mimpi-mimpinya. Tinggal di Jepara membuat medan kemungkinan itu menjadi kian sempit.

Puncak dari semua tragik Kartini terjadi saat ia menerima lamaran R.M Djoyoadiningrat. Dua pendirinnya yang paling liat (sekolah setinggi-tingginya dan anti poligami) roboh sudah. Ia terpesona dengan kemungkinan suaminya itu akan mendukung segenap cita dan keyakinannya. Ia leka. Lengah.

Padahal, ia tahu benar, begitu menjadi istri Bupati Rembang, ia harus mengurus rumah tangga dan mendidik enam anak tirinya. Ia memang diperbolehkan mendirikan sekolah. Tapi, sekadar mendirikan sekolah terlampau remeh untuk perempuan sebesar Kartini. Bukankah semasa gadis saja ia sudah mampu mendirikan sekolah?

Menarik jika kita sebut Fatima Mernissi. Pada seorang seorang bibinya, Mernissi kecil pernah bertanya di posisi mana dirinya berada. Seperti terpapar di paragraf terakhir memoir Mernissi, Dream of Trespass: Tales from Girlhood, sang bibi menjawab: “Jika kamu tidak dapat keluar rumah, kamu ada di pihak yang lemah.”

Kartini pada akhirnya memang ada di pihak yang lemah. Ia hanya anasir yang punya kecerdasan, keberanian dan tekad yang besar, di tengah kehidupan dan dunia yang masih terlampau perkasa untuk ditundukkan. Visi yang ditebarnya bergerak amat cepat, meninggalkan dunia tempat ia hidup yang masih bergerak dengan amat lambat. Masalahnya, dunia itu hanya ada satu. Tidak bisa tidak, ia harus hidup di sana, sepahit apa pun itu. Maka, ketika ia menyadari bahwa dirinya sudah tak berjejak lagi di bumi, ia dengan pahit kembali pulang ke dunianya.

Memikirkan kepahitan itu, saya teringat Soe Hok Gie. Di catatan hariannya, Gie menulis: “Aku mungkin bukan lagi seorang idealis, melainkan seorang realis yang pahit.”

Kartini tahu ia tak akan berhasil. Tapi karena layar sudah ia bentangkan, cita sudah ia pancangkan, maka ia pun berusaha semampunya. Kartini dengan demikian menjadi prototipe manusia baru dari sebuah generasi yang terjepit. Sebuah generasi, pinjam kata-kata Sjahrir, “yang apabila diam akan menjadi generasi yang hilang, dan apabila bergerak akan menjadi generasi yang kalah.“

Peran dan kontribusi Kartini tentu tak akan lumer seinci pun kendati tulisan ini menghadirkannya tidak sekemilau dan secemerlang yang biasa kita bayangkan tentangnya. Tulisan ini justru mencoba menghadirkannya sebagai manusia seutuhnya, manusia dengan cita-cita besar yang dipaksa sejarah untuk bertempur dengan berlaksa aral dan kesukaran.

Zaman ini memang layak memberinya hormat, sebuah standing ovation yang tulus untuk sebuah “keyakinan yang dipercayai dan kemudian ia perjuangkan”, sekalipun ia mengerti betapa tak terpermanainya hambatan dan kesukaran yang kelak ia hadapi. Beberapa yang diupayakannya memang menuai hasil bagus, tapi jangan lupa, ia juga akrab dengan rentetan kegagalan dan kepedihan.

Inilah yang membuat saya dengan senang hati menghormati segala jerih-payah yang telah ditorehkannya; sebuah torehan kerja yang membikin Pramoedya Ananta Toer, dalam Panggil Aku Kartini Saja (2003: 14), memberinya predikat sebagai “Pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.”(Tamat)

0 komentar: