Kamis, April 13, 2006

Di Mana Bung Sjahrir (2)

Perjuangan Kita

Perjoengan Kita adalah jawaban atas dorongan banyak kalangan agar Sjahrir ikut serta dalam pemerintahan. Perjoengan Kita dengan demikian bisa ditempatkan sebagai penjelasan di mana posisi Sjahrir sekaligus sebagai cetak biru dari program yang hendak dijalankan Sjahrir begitu ia diangkat menjadi Perdana Menteri.

Perjoengan Kita ditulis untuk menjelaskan, tulis Sjahrir beberapa tahun kemudian (Out of Exile, 1949: 263), “…kedudukan kita sehubungan dengan sejarah masa silam dan perjuangan sekarang, dan menjelaskan apa yang kita anggap sebagai taruhan dan tujuan revolusi.”

Dalam tulisannya yang paling termasyhur itu, terlihat benar betapa Sjahrir adalah orang yang merdeka, tak bergantung pada siapa pun, sekaligus terlihat tanpa beban. Itu terpancar dari serangan-serangannya yang tajam, yang di beberapa bagian bahkan sangat kasar, terhadap semua kalangan yang menurutnya laik dihantam.

Ia mengritik habis kaum nasionalis generasi tua yang bekerjasama dengan Jepang. Menurutnya, unsur-unsur kolaborator itu mesti dibabat habis hingga ke akarnya. Pembersihan Indonesia dari para kolaborator itu adalah awal mula dari apa yang ia sebut sebagai perjuangan “demokrasi sosial” dan “revolusi demokrasi”.

Ada yang menarik jika kita bandingkan Perjoengan Kita cetakan pertama dan cetakan-cetakan selanjutnya. Di cetakan pertama, Sjahrir bahkan menggunakan kata sekasar “anjing-anjing yang berlari” kepada kaum nasionalis yang bekerjasama dengan Jepang, Soekarno-Hatta termasuk tentu saja; kalimast kasar yang kemudian raib pada cetakan-cetakan selanjutnya.

Ia juga menyerang angkatan muda yang menurutnya terlampau diayun-ayun oleh romantisme revolusioner yang membodohkan. Para pemuda dinilainya tak memiliki pengertian yang jelas tentang apa yang mereka perjuangkan, selain hanya Merdeka atau Mati! Titik.

Jika para pemuda itu, kata Sjahrir, “mulai merasa kemerdekaan belum juga tercapai sedangkan kematian masih jauh, mereka akan terus berada dalam kebimbangan.”

Ia juga membidik soal pentingnya “partai revolusioner buruh demokratik” yang menurutnya tak harus besar yang penting ditopang oleh pasukan yang berdisiplin ketat. Hanya partai yang demikianlah yang menurutnya bisa menjadi inti revolusi Indonesia.

Yang tak kalah berharga adalah uraian Sjahrir atas posisi Indonesia dalam percaturan politik mondial. Ia yakin Indonesia tak terlepas dari arus yang terjadi, dalam kata-kata Sjahrir sendiri, “di dunia kapitalisme dan imperialisme Anglo-Saxon”.

Perjuangan melawan imperialisme, menurut Sjahrir, pada hakikatnya ialah membangun jarak: untuk memaksa segala amcam gerakan dan dorongan politik sampai lemah, untuk menciptakan ruangan supaya di dalamnya orang yang lemah relatif dapat bergerak bebas.

Di titik inilah Sjahrir sudah memancangkan orientasi perjuangannya yang lebih mementingkan diplomasi ketimbang perjuangan bersenjata. Baginya, kaum kapitalis melulu menghitung dari sudut pandang laba-rugi. Selama mereka tak mengeluarkan biaya, mereka kemungkinan akan netral dalam perjuangan Indonesia. Dan Indonesia, kata Sjahrir, harus memastikan bahwa kita tidak memeroleh kebencian asing, agar mereka bisa berada di belakang Indonesia.

Yang paling menyentuh adalah simpati Sjahrir terhadap orang-orang yang terjebak pada sisa kolonialisme dan tak bisa bergerak, mereka adalah orang Belanda sendiri (Sjahrir tak pernah membenci orang Belanda, ia hanya menentang sistem kolonialisme Belanda), Indo-Belanda, orang Ambon yang memihak Belanda dam orang Indonesia yang menjadi tentara kolonial sebelum Jepang muncul. Di sini humanisme Sjahrir yang terkenal itu muncul. Sjahrir menyebut orang-orang seperti itu sebagai “orang-orang yang terjepit atau in-between”.

Bagian inilah yang menurut Sal Tas, karib Sjahrir yang merupakan aktivis anti kolonial di Belanda, sebagai bagian paling mengesankan dari Perjoeangan Kita. Dalam kenang-kenangan saat Sjahrir wafat, Sal Tas menyebut perhatian dan simpati Sjahrir itu sebagai “panggilan untuk keksatriaan” (Souvenir of Sjahrir, 169: 150)

Begitu terbit, Perjoeangan Kita segera dan selama bertahun-tahun kemudian menjadi masalah yang hangat dipertukarcakapkan oleh para politisi, kaum intelektual dan para akademisi.

Ben Anderson, dalam disertasinya Java in A Time of Revolution (1972: 195), menyebut Perjoeangan Kita sebagai “satu-satunya usaha yang dilakukan selama bertahun-tahun pasca perang untuk menganalisa secara sistematik kekuatan domestik dan internasional yang memengaruhi Indonesia dan memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan”.

Beberapa karib dekat Sjahrir menyebut pamflet itu menunjukkan cara berpikir Sjahrir yang ternyata begitu dekat dengan Mao sehingga bahkan ada yang berpikir kalau dua orang itu sempat bertemu. Franklin Weinstein, sarjana Amerika yang menulis disertasi seputar kaum elit Indonesia, menyebut Perjoeangan Kita sering dibandingkan dengan On New Democracy-nya Mao dan bahkan rakyat di dunia komunis menerima Perjoeangan Kita sebagai sumbangan yang setaraf dengan sumbangan Mao.

Tetapi sebagai alat untuk menopang kekuasaannya sebagai Perdana Menteri, Perjoeangan Kita seringkali justru memersukar posisi Sjahrir. Terjangan tanpa tedeng aling-aling Sjahrir terhadap generasi tua dan angkatan muda sekaligus membikin Perjoeangan Kita justru (dalam kata-kata Ben Anderson) ”memerbanyak jumlah musuh Sjahrir sebanyak menambah sahabat-sahabatnya”.

Serangan Sjahrir atas kaum muda di tengah heroisme angkatan muda yang merasa sebagai pihak yang paling berjasa dalam tercetusnya proklamasi, masihkah diherankan jika Sjahrir akhirnya tak populer di angkatan pemuda, kelompok yang sangat menentukan itu?

Tak perlu diherankan jika beberapa saat kemudian, banyak angkatan muda yang merapatkan barisan ke kubu Tan Malaka yang konsisten dengan garis perjuangan bersenjata tanpa diplomasi yang mencuat sebagai kekuatan baru lewat organ taktis Persatuan Perjuangan yang didukung 146 organisasi politik, termasuk beroleh dukungan terang dari Jenderal Soedirman.

Di saat-saat genting ketika Sekutu baru saja membumihanguskan Surabaya, dan saat Belanda sudah siap mengambil keuntungan dengan keterlibatan Sekutu, Sjahrir masih sempat-sempatnya menulis: “Bukan nasionalisme (yang) harus nomer satu, tapi demokrasi!”

Cukup jelas: bagi mereka yang tidak cukup memiliki kesabaran revolusioner, Sjahrir adalah suara tanpa tindakan.(bersambung)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hhhmmmm.....nice....terlihat banget kalo pemikiran syahrir sangat melewati jamannya....