Senin, April 10, 2006

Di Mana Bung Sjahrir (1)

Muncul di Pusat Pentas

Jika Tan Malaka menjadi legenda dan misteri karena sepanjang hidupnya memang selalu nyaris berada “di bawah tanah”, maka Sjahir tetap menjadi teka-teki (barangkali) karena ia selalu berdiri tegak “di atas tanah”, “di tengah pentas”, dengan sikap yang tenang dan sabar di tengah arus zaman yang justru sedang tergesa-gesa dan tak sabar!

Sampai di sini saya tak bisa untuk tak mengutip Goenawan Mohamad. Dia pernah mendeskripsikan Sjahrir, persis seperti yang saya maksudkan. Syahrir, kata Goenawan Mohamad dengan memungut analogi dari permainan bulutangkis, “menyerang, mengkritik, tapi pukulannya bukan smash. Dia seorang pemain rally yang pelan, cermat.”

Sejarah mencatat: Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama dengan Amir Syarifuddin sebagai Menteri Pertahanan. Tetapi mereka akhirnya bersimpangjalan, dan final ketika Amir makin radikal setelah kedatangan Musso pada Agustus 1948, karena Sjahrir memang tak pernah goyah oleh godaan sentimentalitas revolusioner golongan komunis yang sering, dalam kata-kata Sjahrir sendiri, “menghancurkan dalam diri mereka sendiri jiwa serta semangat sosialisme yaitu kemampuan untuk menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.”

Sjahrir, yang akrab dipanggil Bung Kecil karena perawakannya yang mungil, tentu belajar dari apa yang dilakukan Stalin dengan Gulag-nya. Dan itulah sebabnya ia kokoh berdiri: sosialismenya adalah sosialisme yang percaya atas martabat manusia. Itulah yang menurutnya menjadi inti “sosialisme kerakyatan”; istilah yang kemudian diplesetkan menjadi “soska” alias sosialis kanan, plesetan yang ditujukan pada Sjahrir yang (terutama oleh komunis dan para revolusioner dari kelompok pemuda) dinilai sebagai sosialime malu-malu, sosialisme yang kompromistis, kebarat-baratan.

Sjahrir, tentu saja, akhirnya menjadi tak populer, tidak hanya di mata golongan kiri radikal (baik komunis maupun faksinya Tan Malaka), melainkan juga di mata kebanyakan tentara (dengan wakil Soedirman), dan juga para pemuda yang tak sabar.

Salah satu penyebab awal dari ketidakpopuleran Sjahrir adalah terbitnya brosur politiknya, Perjoeangan Kita.

Brosur politik itu dikeluarkan pada 10 November 1945 bersamaan dengan mulai menghebatnya pertempuran November di Surabaya dan (yang jauh lebih penting), bersamaan dengan berhembusnya isu ihwal akan ditunjuknya Sjahrir untuk membentuk kabinet yang bertanggungjawab kepada parlemen, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP); isu yang hanya dalam hitungan hari terbukti benar.

Sjahrir lama hanya melihat, menunggu dan menjaga jarak dengan Soekarno-Hatta, terutama sejak Jepang mulai menunjukkan tanda-tanda kekalahannya dari Sekutu. Sjahrir tak terlibat langsung dalam Proklamasi, dan seperti Tan Malaka, ia juga tak menghadiri pembacaan proklamasi. Dan hingga 3 bulan Proklamasi dibacakan, ia juga tak mau terlibat dalam pemerintahanSoekarno-Hatta.

Dengan diawali terbitnya Perjoengan Kita, Bung Kecil memulai perjuangannya menyelamatkan republik yang masih bayi dari ancaman perpecahan dan juga kebebalan politik Belanda yang masih menganggap Indonesia sebagai Hindia Belanda. Sebuah perjuangan yang dilakukan langsung dari dalam: menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia dalam usia 36 tahun.(bersambung)

0 komentar: