Selasa, April 18, 2006

Di Mana Bung Sjahrir? (3)

Konduktor Sjahrir

Tetapi bukan berarti Sjahrir selalu berpangku tangan. Setidaknya Sjahrir cermat membaca keadaan, persisnya membaca kecenderungan dan arah politik global, yang kemudian ia implementasikan dalam sejumlah taktik dan strategi diplomasi yang dalam beberapa tahun kemudian jelas menuai hasil “baik”, jika kata “cemerlang” barangkali dinilai terlampau superlatif.

Jika Agus Salim, dengan segenap erudisi, retorika dan humornya yang memikat, menjadi pelaku/aktor dibalik keberhasilan operasi diplomasi (terutama di Timur Tengah, khususnya Mesir); Sjahrir, dengan intusinya membaca situasi tata mondial termutakhir, bisa disebut sebagai “konduktor yang cermat dan sabar mengelola, menjaga dan mengatur irama pertunjukan orkestra diplomasi Indonesia di dunia internasional”.

Momen simbolik Sjahrir sebagai konduktor operasi diplomasi Indonesia terjadi pada Agustus 1947, hanya berselang beberapa hari dari Agresi I Belanda. Peristiwa itu terjadi di depan Dewan Keamanan PBB di Lake Succes. Di situlah Sjahrir berpidato, mewakili sebuah bangsa baru di Timur Jauh yang sedang terancam kemerdekaannya.

Sjahrir, seperti diceritakan kembali dengan baik oleh Charles Wolf Jr., memulai pidatonya dengan mengisahkan sebuah bangsa yang sudah mengenal tulisan sejak seribu lima ratus tahun silam, yang memiliki berserat-serat sejarah emas di bawah Sriwijaya dan Majapahit, yang terbentang dari Papua di Timur hingga Madagaskar di Barat. Dalam pasang surut sejarah yang sukar dirumuskan, bangsa itu mulai ditindas oleh orang-orang Eropa.

Dengan cemerlang sekaligus efektif, Sjahrir mengakhirinya dengan kata-kata: “Dalam proses itu, negeri saya kehilangan kemerdekaannya… dan jatuh dari tempatnya yang megah dahulu menjadi tanah jajahan yang lemah dan hina.”

Di atas mimbar di Lake Succes, di hadapan DK PBB, Sjahrir seakan menjadi konduktor di mana dunia internasional, perlahan tapi pasti (dan dipercepat oleh kebebalan politik Belanda), bergerak ke arah seperti yang diinginkan Sjahrir: mengutuk Belanda dan memaksa Belanda duduk di perundingan!

Apa yang dilakukan Sjahrir ketika itu mengingatkan pada pidato pertama kali Yasser Arafat di PBB mewakili PLO yang dianggap sebagai representasi keinginan bangsa Palestina untuk bebas dari pendudukan Israel. Di momen itulah Palestina, seperti juga Indonesia ketika Sjahrir berpidato, untuk kali pertama mendapat pengakuan secara de facto sebagai sebuah bangsa di perserawungan resmi antar negara.

Jika Sjahrir memulai pidatonya dengan sebuah kisah, Arafat memulainya dengan memamerkan sebuah ranting zaitun yang patah, yang kata Arafat jadi simbol keinginan merdeka bangsa Palestina yang terancam rengkah.

Di bawah juru runding Sjahrir pula Indonesia berunding dengan Belanda di Linggarjati. Dan seperti kita tahu, Sjahrir tersingkir dari kursi Perdana Menteri karena dinilai terlalu kompromistis dengan Belanda; hal yang sama juga terjadi pada Schermerhorn, juru runding Belanda di Linggarjati, yang seperti bisa kita baca dalam buku hariannya yang sudah diterbitkan dengan judul Schermerhorn, ternyata juga dibenci oleh banyak kalangan konservatif di Belanda karena dianggap terlalu memberikan kompromi pada Indonesia.

Hal inilah yang menjadi salah satu pasal pokok dari kesukaran kesadaran sejarah Indonesia memosisikan Sjahrir. Sejak itu, Sjahrir selalu saja dianggap sebagai juru runding yang gagal, politisi yang dinilai terlalu kompromistis, peragu, dan terlampau berbelaskasih terhadap Barat.

0 komentar: