Selasa, Januari 17, 2006

Kerikil Tajam yang Terhempas


Disebut-sebut sebagai “obor bagi perjuangan keadilan dan HAM”, Yap Thiam Hien sebetulnya lebih pas dijuluki “kerikil tajam yang terhempas”.

Indonesia pernah melahirkan sejumlah pribadi yang tak hanya mencintainya “setengah-mati-separuh-hidup” melainkan juga berhasil memerankan diri sebagai sebuah “kerikil tajam” yang mengganggu, menjengkelkan, sekaligus kerap memancing decak kagum dan haru. Kerikil menjadi tajam dan mengganggu jika ia menyempil di dalam sepasang terompah. Untuk mengganggu laju gerak kaki si pemakai terompah, kerikil memang tak perlu besar dan lancip. Ia hanya perlu berada di sebuah sudut dengan pas. Mungkin di tengah-tengah. Mungkin cukup di dekat tumit.

Dan di dalam sejarah modern Indonesia yang sering tak ramah kepada aturan, tata hukum dan kemanusiaan, Yap adalah salah satu kerikil tajam yang mengganggu dan menjengkelkan itu. Dia paham, di sini dan di mana pun, tegaknya hukum dan HAM bukanlah tujuan. Ia hanya sebuah jalan yang dengan itu orang-orang seperti dirinya percaya Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang berintegritas dan beradab. Dan Yap dengan sadar, karena ia memang seorang mesteer of rechten, ahli hukum, mencoba berbuat sebisanya dengan bergerilya di matra yang ia kenali betul medannya: hukum dan peradilan.

Ia barangkali adalah “obor bagi perjuangan keadilan dan HAM”, tetapi dengan itulah ia mengambil peran historis sebagai “kerikil tajam” bagi negeri yang hingga kematian menjemputnya masih belum juga sepenuhnya ramah pada keadilan dan hak-hak kemanusiaan. Ia, dalam perannya sebagai kerikil, sungguh-sungguh menggangu laju gerak rezim yang sedang kencang-kencangnya berlari mengejar setoran.

Advokat Kepala Batu
Jika hukum, keadilan dan hak asasi adalah sebuah agama, sebut Todung Mulya Lubis suatu ketika, “Yap pasti akan memeluknya.”

Siauw Giok Tjhan, mantan petinggi Baperki, pernah bersaksi. Seperti kita tahu, Yap dan Siauw pernah berseberangan dalam hal bagaimana menempatkan posisi peranakan Tionghoa dalam konstelasi kebangsaan Indonesia. Siauw, yang menguasai Baperki dan didukung Soekarno, mengusung konsep integrasi, sedangkan Yap mengampanyekan gagasan asimilasi.

Ketika G30S meletus ribuan orang yang dianggap terlibat PKI dan dekat dengan kekuasaan Orde Lama ditangkapi, termasuk Siauw. Tetapi reaksi Yap sungguh jauh dari reaksioner. Ia bukannya bersyukur dan bertepuk tangan menyadari bahwa salah satu rival terberatnya di BAPERKI telah dijebloskan ke penjara. Ia malah meradang. Baginya, orang harus dihormati hak-haknya. Tak peduli dia punya keyakinan atau ideologi apapun. Dan Yap tak tinggal diam. Ia mendatangi Kodam Jaya dan bertanya: “Saya (juga) orang Baperki, kenapa tidak ditangkap?”

Hal yang sama ia tunjukkan ketika dengan sukarela ia menjadi pembela Soebandrio, Wakil Perdana Menteri di masa Soekarno, yang dituduh terlibat dalam persitiwa G30S. Tak terbayangkan betapa tak mudahnya menjadi seorang Yap: seorang beretnis menoritas yang keras kepala bertekad membela seorang yang oleh masyarakat kadung dianggap sebagai pentolan G30S yang pantas digantung.

Tetapi Yap jalan terus dengan prinsip-pirinsipnya. Bagi Yap, hukum harus tegak setegak-tegaknya karena dengan itulah yang kuat tak bisa sekenanya bertingkah dan yang lemah bisa hidup dengan tenang tanpa harus takut diinjak dan ditindas.

Itulah sebabnya kenapa tiap kali ia didatangi oleh seseorang yang memintanya menjadi advokat, Yap selalu menyodori para calon kliennya dengan sebuah syarat yang menohok: “Jika saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi jika saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, maka saya mau menjadi pembela saudara.”

Konsistensi Yap itu sudah teruji oleh zaman, bukan hanya ketika Yap tak memunyai kedudukan saja, melainkan juga ketika Yap sedang menduduki sebuah posisi yang strategis.

Simak saja portofolio Yap ketika menjadi anggota Konstituante mewakili Baperki. Dalam sidang Konstituante 12 Mei 1959, Yap menolak pemberlakuan kembali UUD 1945. Sikap Yap itu tidak hanya berseberangan dengan semua anggota Konstituante yang menyepakati diberlakukannya kembali UD 1945, melainkan juga dengan Baperki, organ yang diwakilinya yang ketika itu mulai merapat ke Presiden Soekarno. Bagi Yap jelas, UUDS 1950 jauh lebih menjamin penegakan HAM ketimbang UUD 1945.

Yap tak pernah surut langkah kendati pihak yang ia tentang makin hari makin kuat saja kekuatan dan kekuasaannya. Ia bahkan menulis sebuah artikel yang isinya menuntut agar Seokarno membebaskan sejumlah tahanan politik seperti Natsir, Roem, Sjahrir, Mochtar Lubis, Subadio dan HJ Princen. Beberapa tahun kemudian ia melakukan hal yang sama kepada pemerintah Orde Baru agar membebaskan sejumlah anggota PKI yang dipenjara tanpa melalui proses pengadilan.

Dalam hal membela prinsip keadilan, Yap adalah kepala batu. Sebagai seorang advokat, ia seperti batu karang di tepian laut. Kukuh. Tak tergoyahkan.

Kerikil Tajam yang Terhempas
Fiat Justitia Ruat Caelum. Tegakkan keadilan sekalipun langit akan runtuh. Yap adalah seorang praktisi hukum yang tahu benar pahitnya menjadi orang yang menegakkan prinsip menggetarkan itu dengan tanpa cadang.

Sebagai praktisi hukum yang tak pernah pandang bulu, Yap tentu saja punya banyak seteru. Sikapnya yang tak pernah jera mengritik pemerintah (baik Orde Baru dan orde Lama) yang menginjak-injak hukum dan keadilan membuat Yap selalu berada dalam pengawasan rezim. Hasilnya jelas: Yap tiga kali ditangkap dan dipenjarakan.

Pada akhirnya Yap memang menjadi tipikal dari advokad model lama yang menjunjung tinggi keadilan sekalipun hendak runtuh dan selalu menolak menjadi calo hukum yang rela melakukan apa saja demi memenangkan perkara kliennya. Ia rela firma-nya sepi dari klien. Sampai-sampai ada seorang advokat yang pernah menyindirnya dengan kalimat: “Jika ingin kalah berperkara, datanglah ke firma-nya Yap.”

Tak mudah menjadi seorang Yap atau menjadi anggota keluarganya. Khing, istri terkasihnya, tahu betul bagaimana sukarnya menjadi istri seorang Yap Thiam Hien. Sudah secara politik selalu terancam, secara ekonomi pun keluarga Yap selalu berada dalam kondisi serba kekurangan.

Ketika Yap ditahan dalam kasus Malari, Khing menguras sisa tabungan keluarga untuk membeli sebuah mobil untuk dijalankan sebagai taksi jam-jaman. Tak jarang Khing menukar sejumlah barang yang dimilikinya, termasuk minuman keras bingkisan Natal dan Tahun Baru, untuk mendapatkan sejumlah barang kebutuhan sehari-hari.
Di senja usianya, Yap dipaksa untuk terus-menerus menelan kepahitan ketika melihat dunia peradilan di Indonesia yang makin amburadul. Di tahun-tahun terakhir hidupnya, sekitar pertangahan dasawarsan 1980, Yap menyaksikan dengan masygul munculnya sebuah fenomena baru yang disebut dengan mafia peradilan.

Seperti yang digambarkan Daniel Lev dalan obituari yang dimuat di majalah Indonesia Review, di usianya yang makin renta, Yap merasa ia telah hidup di dunia yang tak pernah memberinya kesempatan untuk mengubah keadaan. Sebagai sosok yang berambisi mengubah dunia melalui dunia peradilan, Yap harus terhempas ke dalam labirin kekecewaan, berpindah dari kekecewaan yang satu ke kekecewaan yang lain.

Yap memang kerikil yang tajam. Tetapi ia, pada masanya, juga menjadi kerikil yang terhempas.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kesehatan masyarakat