[Bastian Tito. Anda kenal nama itu? Kalau anda tidak kenal, atau lupa, saya beritahu: Dia adalah pengarang cerita silat legednaris Wiro Sableng. Cerita silat itu pernah begitu populer. Ia pernah difilmkan. Pernah pula disinetronkan. Bastian sendiri sudah melahirkan ratusan judul serial Wiro Sableng. Ia legendaris tentu saja. Tapi tidak berarti ia dikenang. Buktinya, ketika ia wafat pada 2 Januari 2006, sangat sedikit yang tahu. Tak ada media atau situs berita yang memberitakannya. Hanya ada 3 buah posting pendek di sebuah milis saja yang mengabarkan kematiannya. Saya menulis esai pendek nan sederhana itu untuk mengenang Bastian, seorang pengarang yang dengan caranya sendiri telah mengasuh dan mengembangkan minat baca saya ketika kecil dulu. Dulu sekali....]
Bastian Tito, saya kira, adalah contoh termutakhir tentang bagaimana sebuah produksi wacana (discourse) sastra telah meminggirkan sebuah proses kreatif berikut karya dan pengarangnya ke pojokkan sejarah (sastra) yang senyap dan kedap akses.
Hingga kematiannya pada 2 Januari silam, namanya tak tertera dalam kanon sejarah sastra, baik dalam khasanag sastra serius maupun sastra populer dan cerita silat. Padahal, karakter Wiro Sableng sungguh populer dan mungkin menjadi karakter tokoh cerita silat yang paling banyak dikenal. Popularitasnya hanya bisa disaingi oleh karakter Barda Mandrawata alias Si Buta dari Gua Hantu rekaan Ganes TH.
Padahal, dari segi produktifitas (Bastian menulis lebih dari 150 serial cerita Wiro Sableng dan beberapa cerita lain), jumlah khalayak yang menggilainya hingga intensitas kemunculan Wiro Sableng di layar lebar dan TV, Bastian jelas (salah satu) raksasa dalam khasanah cerita silat nusantara. Ia laik disebut legenda dalam genre itu.
Dari Penokohan hingga Persepsi atas Waktu
Saya masing ingat, di pengujung tahun 80-an (semasa saya SD) hingga tengahan 90-an (masa SMP) nama Bastian Tito dan Wiro Sableng dibaca oleh banyak remaja. Jika pun ada yang tidak gemar atau tidak pernah membacanya, setidaknya mereka pasti tahu dan pernah mendengar. Pada kurun yang kurang lebih berhimpitan itu pula, cerita Wiro Sableng beroleh sedikit keistimewaan karena diangkat ke layar lebar beberapa kali. Di tengahan 90-an, serial Wiro Sableng bahkan hadir saban Minggu di sebuah stasiun TV swasta dalam versi sinetron.
Sebagai bacaan yang mudah dijangkau dan bisa didapat dengan harga murah (seribu perak), Wiro Sableng menjadi alternatif bacaan bagi anak-anak kampung yang tidak bisa menjangkau kisah-kisah, misal, Empat Sekawan-nya Enid Blyton. Dalam level tertentu, Wiro Sableng menjadi pemuas dahaga anak-anak pinggiran akan bacaan yang menggoda dan terjangkau.
Selain soal mudah didapat dan murah, cerita Wiro Sableng memang punya kekuatan yang memungkinkannya disukai secara luas, terutama oleh anak-anak dan remaja tanggung. Salah satunya terletak pada kekuatan humornya. Ia hadir untuk menjembatani kerinduan akan cerita silat yang bermutu sekaligus mengakomodasi hasrat remaja dan pemuda tanggung akan bacaan yang bisa memancing gelak tawa. Masa keemasan cerita Wiro Sableng memang ada di era transisi mulai surutnya kejayaan Khoo Ping Hoo dan mulai menguatnya cerita remaja yang penuh tawa dan canda yang dipantik oleh kehadiran Lupus-nya Hilman.
Ciri lain yang menjadi kekhasan Wiro Sableng (dan mungkin juga kekuatannya) adalah pada penokohan. Bastian Tito dengan jeli (selalu) memunculkan tokoh-tokoh dengan karakter-karakter unik, yang keunikannya sudah terperikan dengan baik sejak dari nama dan gelar tokohnya dan terutama lewat laku tindak masing-masing tokoh. Wiro Sableng dikhaskan selalu menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir; Sinto Gendeng dengan bau pesing dan tiga tusuk konde yang menancap di batok kepalanya; Kakek Segala Tahu dengan mata tanpa warna hitam dan suara dari kaleng rombeng yang selalu ia jinjing, dll.
Karakter tokoh-tokohnya pun tidak selalu hitam putih. Di luar Wiro Sableng yang nyaris selalu lurus (walaupun bertabiat mata keranjang), tokoh-tokoh golongan putih seringkali digambarkan punya kecenderungan (sedikit) hitam. Sinto Gendeng digambarkan punya prilaku hobi membunuh musuhnya dengan amat keji, Tua Gila yang pada masa mudainya doyan meniduri perempuan, kakak beradik Dewa Sedih dan Dewa Ketawa yang mencla-mencle hingga Sabai Nan Rancak yang menjadi kompleks pribadinya karena dendam yang barlarat-larat.
Strategi literer Bastian yang paling menonjol yaitu dalam hal waktu, baik waktu dalam sebagai setting cerita maupun dalam memersepsikan waktu. Berbeda dengan cerita-cerita Khoo Ping Hoo atau SH Mintardja yang lebih jelas setting waktunya, Bastian tak pernah secara eksplisit menyebutkan pada masa apa Wiro melanglangi rimba persilatan. Sesekali Bastian menggunakan setting waktu yang bisa dilacak (misalnya pada masa kerajaan Pajajaran dalam seri Maut Bernyanyi di Pajajaran), tetapi pembaca tetap akan kesulitan melacak karena nama Pajajaran yang disebut itu tidak mencirikan kerajaan Pajajaran-nya Prabu Siliwangi.
Ini memungkinkan Bastian lebih leluasa mengeksplorasi imajinasi. Dalam rangkaian serial Latanahsilam, Wiro Sableng dikisahkan terlempar pada masa 1200 tahun silam dari kehidupan Wiro yang sesungguhnya. Di negeri Latanahsilam itu, Wiro bertemu dengan tokoh-tokoh unik dengan ciri-ciri fisik yang juga unik. Misalnya tokoh Hantu Jati Landak yang merupakan perpaduan karakter tumbuhan (badannya mirip kayu jati yang lurus, kaku dan kokoh) dan hewan (dengan kulit dipenuhi duri mirip landak). Dua bentuk eksplorasi Bastian sukar kita temukan pada cerita silat lain.
Dalam hal pemerian waktu dan jarak, Bastian (saya kurang tahu jika Bastian “mencurinya” dari penulis lain) menggunakan satuan yang lebih kontekstual dengan logika cerita, seperti sepeminuman teh, sepenanakan nasi, sepelemparan tombak, sepelemparan batu, dll.
Bastian juga sering membuat seri muhibah Wiro Sableng ke luar Jawa (Sumatera, Madura, Bali) bahkan hingga ke luar negeri (Jepang dan Cina). Itu bisa kita baca pada seri Pendekar dari Gunung Fuji maupun Sepasang Manusia Bonsai. Dari sana lah saya pertama kali mengenal apa itu sake, katana, pangilan san (kakak), tatami, dll.
Ada perserawungan lintas budaya di sana. Tiap kali Wiro ber-muhibah ke luar Jawa, Bastian dengan pas tanpa berlebihan memerikan sejumlah ciri unik kebudayaan non Jawa yang didatangi Wiro, dari mulai kata-kata yang sering diucapkan, jenis senjata, alat musik hingga beberapa bentuk kesusastraannya. Salah satu bentuk “multikulturalisme” ala Bastian yang menarik bisa dibaca dalam seri Gerhana di Gajah Mungkur yang mengisahkan bagaimana semua pendekar kelas satu tanah Jawa dan Andalas (Sumatera) berkumpul dan saling membuka tabir dirinya masing-masing yang ternyata saling berhubungan satu sama lain.
Dan Bastian juga tahu mengukur kekuatan baca para penggemarnya. Ia bisa membatasi imajinasinya sehingga tidak sampai membuat cerita Wiro Sableng terlalu panjang maupun terlampau pendek. Inilah ciri lain Bastian. Ia sangat jarang menulis lebih dari 130 halaman. Paling banyak Bastian mengakhiri kisahnya pada halaman 128. Saya mencatat Bastian hanya sekali menulis cerita Wiro Sableng hingga lebih dari 140 halaman, tepatnya 148, yaitu dalam seri Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin (itu pun bisa dimaklumi karena ada dua pribadi antagonis yang harus “dihabisi” Wiro).
Tanggal 2, Bulan 1, dan paduan 212
Paduan angka itu menjadi trade mark Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Angka 212 dipilih dengan argumen yang cukup filosofis. Seperti yang dijelaskan dalam seri pertama Wiro Sableng (Empat Brewok dari Gua Sanggreng), 212 menunjukkan bahwa dunia ini dbangun di atas hamparan dualisme (baik-buruk, panas-dingin, air-api, bumi-langit, laki-perempuan, dll) yang kesemuanya tetap berasal dan akan kembali pada satu sumber: Tuhan yang Maha Esa.
Dan uniknya, Bastian Tito menjadi mendiang juga pada angka dua dan satu, tepatnya pada tanggal dua bulan satu (Januari) tahun 2006. Ini sebuah kebetulan yang sungguh-sungguh pas (“saya berandai-andai bagaimana jika Bastian dipanggil pulang pada tanggal 21 bulan 2”).
Tetapi, jika kita meranking peringkat Bastian dalam indeks pengarang cerita silat maupun cerita populer, Bastian tidak masuk peringkat dua apalagi satu. Bastian Tito jauh lebih “apes” ketimbang Asmaraman Khoo Ping Hoo, misalnya. Ketika suplemen khusus buku sebuah koran nasional terbit sekira dua bulan silam dengan mengangkat topik cerita silat, nama Bastian hanya muncul sekali. Ia tenggelam di antara tebaran nama-nama pengarang cerita silat lainnya. Dalam buku Sastra Peranakan Tionghoa yang ditulis Leo Suryadinata, lagi-lagi, nama Bastian Tito juga tak terendus jejaknya.
Ketika beredar kabar kematian Bastian Tito, penulis seratusan judul cerita silat pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, saya langsung berpikir untuk menulis sebuah elegi. Tetapi saya memutuskan untuk menunda menulis. Saya pikir, tidak lucu saya menulis elegi jika benar tidaknya kematian Bastian saja belum saya dapat. Dan susahnya minta ampun mencari berita kematian Bastian. Tak ada media atau situs berita yang mengabarkannya. Saya hanya menemukannya di sebuah milis lewat tiga posting yang panjangnya hanya satu paragraf tanpa informasi jelas di mana dan kenapa Bastian wafat. Saya baru (makin) yakin setelah pada Minggu kemarin sebuah koran nasional memuat obituari kematian Bastian dalam salah satu helai halamannya.
Bagitulah. Jadi harap maklum jika ternyata anda, bung Bastian, ternyata belum meninggal. Jika memang anda masih hidup, tolong nikahkan saja Wiro dengan Bidadari Angin Timur yang jelita nan wangi, jangan dengan Ratu Duyung yang posesif itu.
Selasa, Januari 17, 2006
Elegi Kesunyian Bastian Sableng
Diposting oleh zen di 6:24 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
2 komentar:
Tapi, Naz, bukankah setelah kehadiran posmo tiada lagi yang luhung? Bineritas seperti itu sudah mati. Biarlah karya-karya "mbeling" juga berjaya.
Buat Zen: Aku sudah baca hampir semuanya. Kamu rajin juga, ya? Udah lulus belum?
Buat Naz dan Lida, saya mencatat apa yang dilakukan Bastian Tito tetap sebagai sebuah kerja kebudayaan yang tak bisa dijerembabkan ke pojokkan sejarah sastra yang sunyi hanya berkat alasan karyanya picisan. Sebab, jika telusur ulang sejarah sastra, apa yang disebut karya picisan atau karya adiluhung sebenarnya adalah konstruksi alias bentukan dan tidak jadi dengan sendirinya.
Buat Lida, ah... saya tak rajin Lida. Kalau saya rajin, catatan harian saya pasti penuh. Catatan yang aku posting di blog-ku adalah catatan-catatan yang pernah aku publikasikan, baik di koran, majalah, beberapa buku antologi maupun dalam seminar. Ada juga yang sengaja ku tulis untuk blogku.
Sudah lulus kamu Zen? Waduh! Pertanyaanmu berat sekali Lida. Entahlah kapan saya bisa lulus ya....
Posting Komentar