[Tragis adalah sifat dari kejadian yang menyedihkan, tetapi tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dimenangkan….]
Belakangan saya demikian menikmati menulis (tentang) orang. Saya sudah menulis sepenggal atau berpenggal-penggal) kehidupan sejumlah nama, dari yang sudah mendiang hingga yang masih hidup. Dari mulai Inggit Garnasih, Sartono Kartodirdjo, Musso, Aidit, Mubyarto, Kartini, Arne Naess, Leo Tolstoy, Vandana Shiva hingga Bastian Tito. Dan saya sungguh menikmatinya.
Tiap kali menulis tentang orang, saya seperti merasa sedang berkenalan, bercakap-cakap serta berbagi keluh dan kesah dengan orang yang kehidupan dan pikirannya sedang saya tulis itu. Ada semacam perasaan hidup. Maksudnya, saya lebih merasa hidup tiap kali menulis tentang orang (saya tak menyebutnya tokoh). Sesuatu yang kerap hilang tiap kali saya menulis tentang sebuah tema.
Saya ingin mengisahkan sebuah perbincangan dengan seorang lelaki paruh baya. Di suatu malam yang tak terlampau dingin, di sebuah petak rumah mewah di bilangan Menteng, TR (saya biasa menyebut lelaki par baya dengan sebutan itu) berbicara tentang laku tindak kaum muda seangkatanku (sebagai info, yuswa saya sudah 23). Ia bilang, kecenderungan utama kaum muda sekarang adalah terlampau letterlijk (ini istilah saya) atau terlalu literer (dalam istilah TR). Maksudnya, kaum muda sekarang lebih banyak belajar kepada teks. Buku. Bacaan. Atau sebut saja teori. Ini berbeda, katanya, dengan kaum seangkatannya dulu yang, selain pemamah buku, juga kerap belajar secara langsung dengan sejumlah pribadi yang dianggap laik dijadikan guru.
TR berbicara itu tentu saja seraya menjlentrehkan konteks. Konteksnya begini: hari ini adalah hari ketika informasi hadir dengan kecepatan tinggi (dalam hitungan sekon) dan dengan intensitas yang demikian massif. Dan semua itu bisa diperoleh dari banyak medium: buku yang sudah tak lagi tersensor, TV yang makin bebas memberitakan apa saja, dan tentu saja mantra bernama internet yang siap menyediakan data apa pun dalam sekali klik. Ini tentu saja berbeda dengan zaman, sebut saja, dasawarsa 80-an atau awal 90-an ketika informasi demikian sukar didapat. Buku tak banyak. Kalau pun ada, tak semua tema tersedia. Tema-tema yang menurut rezim pernguasa merupakan tema jahanam dipastikan akan sukar didapat. Media massa jelas tak bisa diandalkan, selain karena jumlahnya yang terbatas, juga karena semuanya pasti telah lewat sensor. Maka ketika itu penting untuk mendatangi sejumlah pribadi. Mendekatinya. Dan belajar kepada mereka. Belajar apa saja. Dari mulai soal kerasnya hidup dan tentu saja tentang pelbagai teori dan wacana yang menonjok langit.
Saya tak ingin berbicara tentang kaum muda dalam arti keseluruhan angkatan muda. Tidak. Saya tak ingin menyederhanakan soal. Saya ingin berbicara dalam konteks diri saya sendiri. Dalam konteks itulah, “khotbah” TR bagi saya lebih merupakan tonjokkan yang persis mengarah ke ulu hati. Bukan ulu hati angkatan muda. Tapi ulu hati saya sendiri. Ya… diri sendiri! Sudah lama saya sadar betapa saya sebetulnya sangat minim dengan perjalanan sosial dan perkenalan sosial. Saya lebih sering melakukan perjalanan intelektual dan perkenalan intelektual dengan banyak pribadi lewat media teks. Apakah lewat buku. TV. Media massa atau dari internet.
Tentu saja ada yang kurang dari hanya sekadar perjalanan dan perjumpaan intelektual yang umumnya lebih banyak dilakukan di kamar kos yang sempit. Ada nuansa yang tak begitu penuh. Terkadang saya menyebutnya sebagai kering. Ide memang penting, bahkan ide itu, kata Soedjatmoko, mempunyai kaki, tapi tetap saja makin lama saya makin sadar betapa pentingnya arti belajar langsung dari sejumlah pribadi, bukan kepada idenya saja, melainkan belajar langsung kepada orangnya. Belajar langsung kepada orang itu mengandaikan satu hal: bahwa kita tak hanya belajar tentang ide-ide yang ia punya, melainkan juga belajar tentang kehidupannya.
Menulis tentang orang adalah salah satu medium paling pas untuk mengetahui bagaimana sebuah ide itu coba dibumikan ke dalam sejarah. Tiap kali kita memelajari dan menulis tentang orang, kita sebetulnya sedang memelajari itu semua. Asumsi itu tentu saja mengandaikan sebuah preposisi: Bahwa orang bertindak dan memilih sesuatu tentu didahului dengan ide terlebih dahulu (saya tentu saja sedang tidak menafikan adanya tindakan manusia yang digerakkan oleh insting). Dalam laku tindak seorang manusia, ide tak lagi berbentuk wangi dan suci. Ia sudah bau oleh keringat, air mata dan mungkin juga darah.
Memelajari dan menulis orang, sekali lagi, sama saja dengan mencoba memahami hubungan antara ide dan tindakan, ide dan sejarah (realitas), bagaimana ketegangan antara ide dengan realitas hidup yang keras dan pejal, bila mana ide terpaksa tunduk kepada kenyataan dan kompromi, dan apa akibatnya jika ide yang sudah dipeluk dengan erat oleh seseorang itu ternyata bertabrakan dengan laku tindak orang tersebut.
Itulah sebabnya tiap kali menulis orang (saya baru sempat menulis orang-orang yang sudah menghasilkan karya, terutama mereka yang meninggalkan warisan teks, dan belum sempat memelajari dan menulis orang-orang yang tak pernah meninggalkan teks, semisal seorang pemain sirkus) saya selalu mencoba menghindari untuk melulu menuliskan ide-idenya saja (tentu saja saya kerap gagal). Jika itu terjadi, apa bedanya menulis orang dengan menulis sebuah tema?
Saya sangat ingin menulis orang dengan melukiskan pelbagai ketegangan antara ide yang dipercayai dan dengan kenyataan yang dilakukan tokoh yang saya tulis. Antara ide dan kenyataan. Pendek kata, saya berupaya menuliskan ketegangan-ketegangan internal atau mungkin retakan-retakan mental.
Saya penah membaca dua tulisan Daniel Dhakidae: tentang sosok Soe Hok Gie dan sosok Bung Hatta. Dua tulisan itu begitu memikat. Ia tak terjebak menuliskan ide-ide yang dipikirkan dan dicetuskan dua pribadi itu. Daniel justru menuliskan ketegangan atau retakan hubungan antara ide yang diyakini masing-masing tokoh dengan kenyataan yang terjadi. Dan dua sosok itu pun menjadi seutuhnya manusia. Lengkap dengan dilema, kegagalan dan kegetirannya sebagai manusia. Saya pernah tiru gaya Daniel. Ketika itu saya memilih RA Kartini sebagai “kelinci percobaan”. Tak terlalu berhasil sebetulnya. Tapi lucunya, tulisan itu dimuat di Koran Tempo sehalaman penuh.
Tentu saja saya tak terlalu berhasil. Penyebab utamanya adalah saya kekurangan bahan-bahan tentang kehidupan sehari-hari tokoh-tokoh yang saya tulis itu. Kehidupan sehari-hari itu bisa dalam bentuk memoir, biografi, autobiografi, wawancara atau kesaksian orang yang pernah kenal dan dekat dengan orang tersebut. Tanpa bahan-bahan itu, saya seringkali hanya bisa menuliskan ide-ide orang itu. Kalau pun bahan-bahan itu berlimpah, kebanyakan itu tak terakses, maklum saya bego dalam urusan bahasa asing (Tuhan, tolonglah saya….).
Saya berpikir, dengan memelajari dan menulis orang dengan cara itu, saya bisa melakukan “perjumpaan sosial” dengan orang tersebut, jadi tak semata perjumpaan intelektual. Ini untuk menyiasati minimnya pengalaman saya berinteraksi dengan banyak orang dari puspa ragam karakter, suku bangsa, agama hingga ras.
Saya berjanji dalam hati untuk sesering mungkin berjalan-jalan ke tempat baru yang jauh yang saya tak pernah mengunjunginya. Saya berharap bisa bertemu dengan banyak orang yang saya bisa jadikan guru. Tak peduli dia mungkin bukan sosok terkenal. Yang bisa saya petik kisah hidupnya. Dan bisa saya tulis pula pribadi dan kehidupannya. Yang dengan itu saya juga bisa membagi pengalaman kepada orang lain.
Untuk itulah saya juga membuka kemungkinan untuk menulis tentang tokoh-tokoh fiksi. Tokoh fiksi di situ bisa seorang tokoh dalam sebuah novel, cerita pendek, film, bahkan bisa juga orang-orang yang hanya bisa kita temukan dalam mitos, sage, fabel bahkan legenda.
Saya juga tak menutup kemungkinan untuk memposting rupa-rupa tulisan dengan gaya yang puspa warna. Sesekali mungkin akan ada posting yang isinya hasil wawancara dengan seseorang. Laporan hasil perbincangan dengan seseorang.
Saya berharap itu bisa menjadi tamasya yang menyegarkan. Semacam olah batin. Saya berharap dengan itu saya bisa makin kaya warna.
Blog ini, yang saya buat sangat terlambat setelah boom blog telah lama lewat, saya harapkan bisa menjadi tempat saya belajar menulis orang. Saya tak berniat untuk menulis biografi yang canggih. Biasa saja. Semampu saya bisa. Saya tak bermaksud menulis biografi yang ilmiah, obyektif dengan metodologi yang bisa diukur. Tidak. Saya hanya ingin menulis biografi. Itu saja. Jadi jangan heran jika saya juga mengandalkan pancaindera. Semacam cerapan (yang bercorak) subyektif. Ya… saya menulis biografi seseorang dari sudut pandang saya. Si A atau B atau X menurut saya.
Yang harus saya camkan baik-baik adalah bagaimana caranya agar tulisan-tulisan yang berisi tentang kehidupan orang lain di blog ini tidak terjerembab menjadi berhimpun-himpun gosip murahan. Saya tak ingin blog ini menjadi tempat bergunjing. Jadi, maafkan saya, jika dalam tulisan-tulisan tertentu, saya mungkin akan memakai inisial. Bukan apa-apa, sebab saya tak ingin, sekali lagi, blog ini menjadi TPG alias Tempat Pembuangan Gunjing.
Tetapi saya juga tak berniat menulis biografi yang panjang. Itu terlalu berat untuk saya, seorang yang masih belajar menulis dengan tersaruk-saruk ini. Saya hanya akan menulis biografi yang pendek-pendek saja. Mungkin tak lebih dari 2500 kata. Semacam mini biografi.
Dan saya menyebutnya MINIGRAFI.
Minggu, Januari 15, 2006
Manifesto Minigrafi!
Diposting oleh zen di 4:27 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
1 komentar:
Posting Komentar