At 60 you have six flaws, at 70 you have seven, and so on. Kata-kata itu diucapkan Johan, salah satu karakter utama dalam film “Saraband”, karya terakhir sineas Swedia, Ingmar Bergman.
Kata-kata di atas, bagi saya, seperti menjadi retrospeksi yang begitu padat tentang apa artinya menjadi tua, menjadi renta. Cacat di situ [“flaws”] bisa berarti sesuatu yang sepenuhnya fisikal. Tetapi, cacat [“flaws”] dalam kata-kata Johan juga bisa merujuk pada gugusan mental, struktur kepribadian, senarai ingatan dan kenangan atau berbuntal-buntal persoalan dan dendam berkarat yang belum dan tak akan pernah bisa diselesaikan.
Cacat-cacat itu [“flaws”] perlahan-lahan menjadi panggung di mana masa tua digelar dengan cara yang aneh, penuh kesepian, penyesalan, persaingan dan permusuhan tanpa ujung – sederet kondisi yang menjelaskan bagaimana masa tua bukan lagi menjadi momentum merayakan kehangatan dan kebahagiaan, melainkan menjadi drama yang penuh dengan ketegangan yang berbahaya bagi orang-orang yang sudah renta.
“Saraband” dipenuhi gambar-gambar statis, setting yang melulu di dalam ruangan yang remang-remang [lanskap pemandangan alam hanya muncul di menit-menit pertama], serta percakapan-percakapan berat dan nyaris tanpa humor membuat saya lebih mengerti kenapa Gie sering menyatakan kalau sesial-sialnya orang adalah yang hidup hingga tua.
“Saraband” tentu saja bukan satu-satunya film yang mengeksplorasi masa tua atau menghadirkan karakter orang tua. Beberapa di antaranya masih melekat dengan kuat dalam ingatan saya.
Saya tak akan pernah lupa karakter setengah gila tapi jenius dari pensiunan Kolonel Walter Kurtz yang luar biasa dalam mahakarya Coppola berjudul “Apocalypse Now” [Anda mesti menonton film ini dan nikmatilah sensasinya sembari menyimak The Doors]. Siapa yang akan lupa dengan suara berat Don Vito Corleone, mafioso tua yang masih mencoba memertahankan wibawa dan kekuasaannya dalam sekuel pertama Godfather [Marlon Brando yang memerankan Corleone ini pula yang memerankan Kolonel Walter Krutz].
Pribadi pensiunan Letkol Franks Slade yang buta dan flamboyan dan hendak bunuh diri dalam “Scent of Woman” juga terlalu menarik untuk dilupakan begitu saja [saya masih ingat adegan Al Pacino berdansa dengan seorang perempuan muda di sebuah restoran]. Tak ada salahnya Anda menyimak karakter karakter Baruch, seorang kakek berdarah Yahudi yang cerewet dan mencoba menutupi masa lalunya dalam film “Everything is Illuminated”. Menarik juga mencermati sosok Bobby Long, profesor sastra yang minggat dari kampus dan memilih tinggal di pinggiran kota bersama seorang bekas mahasiswanya dalam film “Love Song for Bobby Long”.
Renungan terbaru tentang masa tua saya simak dari dialog-dialog karakter Sherif Ed Tom Bell yang berambisi menangkap seorang psycho-pembunuh tapi justru lebih sibuk membaca koran, ngopi dan mengkhotbahi asistennya dalam “No Country for Old Man” yang menyabet Oscar tahun kemarin.
[Anda yang lebih rakus menonton film ketimbang saya pasti bisa dengan mudah menambahi judul-judul film di atas]
Ingatan saya juga masih lumayan kuat untuk mengingat beberapa karakter orang tua dalam sejumlah prosa.
Siapa yang tak kenal nelayan tua yang selama berminggu-minggu tak pernah memeroleh ikan bernama Santiago dalam “The Old Man and The Sea”-nya Hemingway [sungguh mengharukan membaca perjuangan Santiago memertahankan ikan besar yang berhasil dipancingnya dari serbuan hiu-hiu yang ganas].
Prosa-prosa Gabriel Garcia Marquez banyak menghadirkan sosok-sosok tua dan renta dengan karakter yang memikat. Ada tiga karakter dalam prosa Marquez yang saya ingat: neneknya Erendira yang cerewet, Melquiedes [kakek yang menyuntuki perkamen tua yang berisi ramalan tentang Macondo yang kelak semuanya terbukti akurat] dan –tentu saja— Kolonel Aurelio Buendia, generasi kedua klan Buendia yang pernah memimpin pasukan bersenjata dan punya 17 anak dari 17 perempuan yang berasal dari 17 kota yang berbeda. Menyedihkan membaca babak akhir novel dahsyat “One Hundred Years of Solitude” di mana Sang Kolonel menyaksikan bayi generasi terakhir klan Buendia tewas dirubung semut.
Kesepian yang aneh dan sublim juga saya rasakan dari karakter Eguchi yang tua dalam novelet Kawabata berjudul “House of the Sleeping Beauties”. Saya tak begitu kaget dengan karakter tua yang masih pergi ke rumah bordil. Tapi saya merasa aneh menyadari rumah bordil yang didatangi Eguchi itu hanya menyediakan perempuan yang boleh diajak tidur seranjang tanpa boleh disentuh sedikit pun. Sebelum masuk kamar, pelanggan dan perempuan yang menemaninya mesti nenggak obat tidur lebih dulu dan dalam hitungan waktu yang sudah diukur dengan cermat keduanya akan tidur bersamaan. Eguchi dikisahkan selalu mengenang masa-masa yang sudah dilaluinya sembari menahan berahi yang tak pernah bisa dia umbar karena aturan ketat rumah bordil yang aneh itu.
[Ismanto pasti bisa mengisahkan karakter-karakter tua dalam dunia prosa dengan lebih baik dan lebih banyak ketimbang saya, jika dia mau tentu saja]
“Saraband”-nya Bergman membawa ingatan saya yang makin pendek ini pada sosok-sosok tua dalam film atau prosa yang pernah saya tonton dan baca. Kilasan-kilasan ingatan tentang sosok-sosok tua tadi menyadarkan saya betapa seseorang tidak harus masuk surga/neraka lebih dulu untuk menelan hukuman atau menikmati upah atas semua yang sudah diperbuatnya di masa lalu.
Agak menggidikkan juga jika kelak saya mesti menghadapi masa tua dengan kenaasan seperti yang dialami beberapa karakter dalam film atau prosa itu tadi. Rasa-rasanya sangat tidak enak menjalani masa tua dengan dibayang-bayangi masa lalu yang belum sepenuhnya beres atau bahkan tak mungkin dibereskan.
Soren Kierkegard, salah satu filsuf penubuh eksistensialisme yang pernah dikecam warga sekotanya karena membatalkan begitu saja pertunangannya dengan seorang gadis, pernah menghadirkan satu kalimat bersayap yang bernada ironi. Katanya, “Life can only be understood backwards, but it must be lived forewards.”
Apa jadinya jika kalimat bersayap itu disodorkan pada karakter-karakter tua yang menjalani hari-hari terakhirnya dalam naas dan penyesalan?
Bagi yang sudah tua dan renta, kata-kata “but it must be lived forewards” jelas sudah tak banyak artinya. Masa depan bagi mereka adalah liang lahat yang sempit dan gelap. Paling banter mereka hanya bisa melakukan apa yang oleh Kierkegard bilang sebagai “life can only be understood backwards”. Sialnya, menengok ke belakang bagi karakter-karakter tua yang penuh nestapa macam itu sama saja dengan membuka selapis demi selapis penyesalan dan persoalan yang tak bisa lagi diselesaikan.
Saya kadang merasa, betapa beruntungnya Heidegger yang dianugerahi istri macam Elfriede Petri yang setia menemaninya menghabiskan masa tua, bahkan kendati Elfriede tahu suaminya itu berselingkuh dengan Hannah Arendt.
Apa pun itu, saya kira, masa muda memang begitu berharga. Bukan semata karena masa muda memungkinkan kita masih memiliki dan mengambil banyak pilihan. Lebih dari itu, masa muda menjadi penting karena dari situlah akan ditentukan seperti apa masa tua kita kelak.
Ini sebentuk pertaruhan yang tak sederhana: masa tua kita --amat bisa jadi-- dipertaruhkan oleh bagaimana kita menjalani masa muda.
Minggu, Mei 11, 2008
Tua
Diposting oleh zen di 3:17 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
8 komentar:
Roh tulisan ini, Pram banget
tentang ingin dicintai sampai tua...tentang ingin ditemani di perjalanan yang tersisa...tentang takut menghabiskan ribuan senja sendirian..
"will you still need me..will you still feed me...when I'm sixty-four..."
*when i'm sixty four-Beatles*
masa muda malah meninggalkan jejak saat tua?
benarkah?
*nyanyi lagu lawas yang judulnya Forever Young*
menjadi renta tak masalah, asal tetap funkeh dan ga basi! :)
masa tua belum tentu juga ko berhubungan dengan kelakuan masa muda.
jadi tak perlu khawatir mudah korupsi yang banyak, tuanya baru jadi kakek yang shaleh. hua hua hua
Tua? Ketuaan? Apa penuaan?
Huehehe..
Btw, mampir ke blog ogut y.
Seger dah pokoknya..
ini tulisan sangat menggambarkan filmnya, statis...tapi keren
Setuju. Karena hidup sebetulnya hanya masa kini. Dan masa depan memang bergantung dari jejak langkah masa kini. Menyedihkan memang, tapi itulah satu2nya cara yang ada, sampai manusia bisa menemukan mesin waktu.
Posting Komentar