Kamis, Januari 10, 2008

Risalah tentang Kehendak

[:: pito, ini secangkir kopi buatmu, bonus untuk pertanyaanmu kemarin]


“Jika kita puas dengan kelemahan tubuh,” kata Hazrat Inayat Khan dalam kumpulan ceramahnya yang berjudul In the Eastearn Rose Garden, “Boleh jadi kita juga puas tanpa memiliki kekuatan kehendak.”

Buku itu betul-betul sedang berada di tangan saya sewaktu tadi malam sedang menyaksikan film Amazing Grace yang mengisahkan perjuangan politisi Inggris yang menjadi pelopor Anti Perdagangan Budak pada akhir abad 18, William Wilberforce.

Wilber tahu tubuhnya berkualitas buruk, tapi ia menolaknya, mungkin lebih tepat mengabaikannya. Ketika akhirnya dia jatuh sakit, dokter pribadinya berkomentar tentang Wilber kepada Perdana Menteri Inggris yang sedang datang menjenguk: “Dia selalu merasa jiwanya terpisah dari tubuh fisiknya.”

Wilberforce adalah politisi muda Inggris yang menjadi inisiator UU Anti Perdagangan Budak. Setiap tahun, dengan dukungan diam-diam William Pitt, Perdana Menteri Inggris yang merupakan kawan lamanya, Wilber mengajukan RUU Anti Perdagangan Budak.

Yang menakjubkan, dia tetap saja mengajukan RUU Anti Perdagangan Budak kendati dia tahu dirinya akan gagal. Selama lima tahun berturut-turut, setelah mengerahkan kemampuan retoris dan sehimpun strategi lainnya, RUU yang diajukannya tetap saja kandas.

Wilber, tentu saja, manusia biasa. Dia juga mengenal rasa letih, kekecewaan, pesimisme, dan amarah yang nyaris tak terkatakan. Tapi, toh, dia tetap bertahan dengan apa yang diyakininya, bahkan kendati fisiknya sudah jauh menurun, dihajar insomnia setiap malam dan mesti menenggak laudanum menjelang tidur.

Wilber yakin ia dilahirkan ke muka bumi ini untuk menghancurkan perdagangan budak. Itulah sebabnya ia mengorbankan masa muda dan kesehatan tubuhnya untuk menyempurnakan kehendak yang teguh dipeluknya semenjak ia membaca buku The Rise and Progress of Religion in the Soul.

Dia sering ditertawakan dan diejek sebagai pengkhayal yang kacau. Seringkali dia melawan tapi kadang dia mendiamkannya. Barangkali Wilber ingat dengan kata-kata Yesus sewaktu ditanyai oleh tentara Yahudi yang menangkapnya bahwa jika ia memang seorang Raja di mana kerajaannya berada. Yesus yang kepalanya sudah berdarah karena dimahkotai duri itu menjawab: “My Kingdom is not of this world!”

[Kata-kata Yesus yang amat terkenal itu kelak digunakan oleh Julien Benda untuk merumuskan posisi dan tanggungjawab kaum intelektual dalam bukunya yang terkenal, Pengkhianatan Kaum Intelektual. Dengan mengutip kalimat Yesus, Benda hendak menegaskan konsep suci kaum intelektual yang mesti bersih dari carut marut dunia, berjarak dari dunia politik yang baunya sengak, dan mestinya duduk merenung di singgasananya di ketinggian. Sindiran kepada kaum intelektual yang diam di menara gading lahir dari sini. Lalu Antonio Gramsci memerkenalkan konsep “intelektual organik” yang menyerukan pentingnya intelektual merasakan lumpur dan sengaknya dunia untuk bersama-sama massa rakyat mengusahakan perubahan, dan bukannya tinggal di apartemen dan perpustakaan.]

Dengan mengabaikan kondisi tubuhnya yang memburuk, Wilber seperti hendak menegaskan bahwa kerja-kerja politiknya bukanlah diperuntukkan bagi sesuatu yang kasat mata, melainkan sesuatu yang melampaui dunia fisik, barangkali itu soal moralitas, jiwa yang agung atau juga soal spiritualitas. Menentang perdagangan budak, baginya, adalah soal menyiapkan panggung sejarah yang lebih baik, lebih wangi, dan bersih dari kekotoran memalukkan memerlakukan manusia tak ubahnya fauna.

“Jika hari ini RUU yang saya ajukan tak berhasil, suatu saat pasti berhasil,” begitu saya membayangkan Wilber menggumamkannya terus menerus tiap kali menemui kegagalan.

Ada kekuatan kehendak di situ. Kehendak itu tentu mengalami pasang surut, tapi cukup jelas kehendak itu tak pernah benar-benar musnah dari kepala dan dada Wilber. Saya bertanya pada diri sendiri: Bagaimana kehendak itu bisa mengeram dengan begitu kuat hingga tak tergoyahkan oleh serentetan kegagalan sekali pun?

Saya belum tahu jawaban pastinya. Tapi, saya pikir, tak ada salahnya saya mengira-ngira.

Saya berpikir, jangan-jangan kehendak yang tak tergoyahkan itu dimungkinkan karena keyakinan yang bulat akan kebenaran dan arti penting kehendak itu untuk disempurnakan. Dalam hal seorang Wilberforce, kehendak untuk menghancurkan perdagangan budak itu pastilah (1) sudah diyakini sebagai sesuatu yang benar dan tak tertawar, (2) sebagai kehendak yang harus disempurnakan karena (3) ia juga meyakini dirinya –memang-- dilahirkan untuk memanggul tugas itu.

Poin pertama di atas barangkali menyangkut soal yang sifatnya ontologis, soal apa yang benar dan apa yang salah, soal apa yang diyakini sebagai kebenaran. Poin kedua barangkali menyangkut keyakinan yang sifatnya aksiologis, soal bagaimana menyempurnakan dan merealisasikan apa yang sebelumnya sudah tuntas dianggap sebagai kebenaran.

Poin ketiga, mungkin, menjadi kunci yang menyebabkan tak semua orang bisa bertahan dalam kehendak yang sama secara konsisten ketika bayangan kegagalan terus menerus menghantui.

Kita, barangkali, relatif bisa menilai apa yang benar dan apa yang salah, sama halnya dengan kita mungkin bisa dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa kita mesti menyempurnakan dan merealisasikan apa yang kita yakini sebagai kebenaran itu. Tapi tidak semua dari kita mampu terus menerus bertahan dengan kehendak yang sama jika kita sudah mengalami kegagalan yang terus menerus ketika hendak menyempurnakan dan merealisasikan apa yang kita yakini.

Itulah sebabnya Hazrat Inayat Khan, mistikus besar dari India yang dikenal dengan konser-konser musiknya, pernah mengajukan sebuah pertanyaan retoris: “Berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya karena kita menginginkan sesuatu tapi kemudian tak menginginkannya lagi?”

Inayat, bagi saya, benar. Menginginkan sesuatu itu hal yang mudah, tapi betapa beratnya menginginkan sesuatu secara terus menerus pada saat kita tak kunjung sampai pada keinginan yang kita impikan.

Apakah ini soal daya tahan? Mungkin. Tapi, dalam kasus Wilberforce, ini bukan soal daya tahan. Ini adalah soal bagaimana ia yakin bahwa dirinya memang dilahirkan untuk menyempurnakan tugas menghancurkan perdagangan budak. Ia yakin bahwa dirinya diturunkan ke muka bumi untuk memanggul tugas yang pada masanya begitu berat itu. Kadang ia merasa memanggul tugas itu sendirian, setapak demi setapak memanggulnya, barangkali seperti Yesus yang memanggul salib suci di sepanjang via dolorosa menuju bukit Golgotta untuk disalib dan kemudian ditombak lambungnya.

Karena ia yakin hidup untuk tugas itu, maka betapa sia-sianya jika dirinya tak menghabiskan semua waktunya untuk memerjuangkan dan menyempurnakan tugas tersebut, sebab –sekali lagi—ia memang hidup dan diturunkan ke bumi untuk itu.

Para pembaca yang budiman, Anda yang sudah menghabiskan novel The Alchemist pasti mengerti apa yang dimaksud Paulo Coelho sebagai “takdir”. Saya berpikir, keyakinan Wilber bahwa ia dilahirkan untuk menghancurkan perdagangan budak sebagai sebentuk takdir dalam pengertian yang dimaksudkan Coelho.

Ketimbang novel perjalanan spiritual Coelho ini, sebenarnya saya lebih tersentuh dengan novel perjalanan Soul of Mountain-nya Gao Xingjian atau Chasing Rumi-nya Roger Housden. Tapi, harus saya akui, The Alchemist berhasil menyusupkan keyakinan kepada banyak pembaca bahwa “takdir” tidaklah sekaku seperti yang dipikirkan Jahm bin Shafwan, teolog yang menjadi salah satu penubuh aliran Jabariyah.

Coelho, jika ingatan saya tak berkhianat, tak secara ekstrim menyebut bahwa takdir itu ditentukan oleh manusia. Coelho hanya bilang bahwa takdir itu hanya mungkin bekerja dan sempurna jika manusia meyakininya dan lantas bekerja sekuat tenaga dengan setengah mati dan separuh hidup untuk menyempurnakannya. Di sini kekuatan kehendak, seperti yang sudah ditunjukkan oleh Wilberforce, mengambil peran penting.

Jika kita sudah menginginkan sesuatu dengan begitu kuat dan mengusahakannya dengan sepenuh keyakinana, alam semesta pasti akan mendukungmu. Itu kata-kata Coelho yang pasti akan selalu terngiang di telinga pembacanya. Herlienatiens, kawan lama di kampus sejak semester I, terus menerus menggumamkan kata-kata Coelho itu layaknya mantra ketika ia sedang menuliskan manuskrip novelnya yang kelak menjadi best-seller, Garis Tepi seorang Lesbian.

[Profesor Yohennes Surya pernah menulis buku tipis berjudul “Mestakung”. Itu kependekan dari Semesta Mendukung. Dia mengadaptasinya dari konsep fisika yang mendeskripsikan bagaimana partikel-partikel secara serentak bekerja sekuat tenaga untuk mencapai titik ideal ketika situasi kritis tiba-tiba datang. Saya masih punya pertanyaan penting untuk Yohannes Surya, tolong sampaikan jika Anda bertemu dengannya: Jika global warming membuat suhu bumi terus melonjak, bisakah bumi dan semua partikelnya bisa menyembuhkan dirinya sendiri? Bagaimana caranya?]

Pertanyaannya, bagaimana kita mendeteksi bahwa alam semesta sedang mendukung kita? Coelho mengajarkan bahwa kita mesti membuka indera kita untuk mengenal tanda-tanda alam. Saya mengajukan satu tawaran lain. Apa itu? Kekuatan pikiran.

Kali ini, biarlah saya mengisahkan satu percakapan dengan seseorang yang sudah saya anggap seperti adik sendiri. Dia sedang mengalami titik terendah dalam hidupnya. Dia yang bermimpi menjadi seorang penulis bahkan tak sanggup menulis barang satu paragraf pun. Blognya tak pernah di-update. Jangankan update, menjenguk dunia maya pun ia tak berani.

Apa pasal? Dia baru saja dikirimi sepucuk imel oleh seseorang yang dianggapnya orang hebat. Imel itu menghajar dengan telak argumen-argumennya sendiri. Tak hanya itu, imel itu juga menyerangnya sebagai orang-orang yang sedang berkampanye dengan semangat rasis. Dia malu sekaligus rontok begitu tahu imel untuknya itu diposting di website orang itu, website yang dikunjungi oleh banyak sekali pengunjung. Ia bayangkan dirinya ditertawakan oleh banyak orang. Ia merasa teledor sekaligus tak lagi punya apa-apa.

Pada satu dini hari yang gerimis, di warung kopi yang terletak persis di pertigaan pasar Ngasem, kami berdua bercakap-cakap. Sehari sebelumnya saya memberinya novel Chasing Rumi dan meminta untuk dibacanya hingga usai. Lalu saya katakan padanya:

“Jika kamu ingin menjadi penulis dan yakin itu adalah takdirmu, semestinya kamu tidak rontok begini hanya karena ada beberapa orang yang menyerangmu dengan agresif sekali pun, bahkan kendati serangan itu dibangun oleh argumen yang benar sekali pun. Penting untuk yakin bahwa orang-orang yang membuatmu jatuh itu adalah bagian dari alam semesta yang sedang membantumu menyempurnakan takdirmu.

Jika kamu gagal karena serangan kali ini, berarti orang-orang itu merupakan kepanjangan alam semesta yang hendak mengingatkan bahwa takdirmu bukan menjadi penulis. Tapi jika kamu masih sangat yakin bahwa takdirmu menjadi penulis, orang-orang itu mesti kamu perlakukan sebagai sahabat-sahabat yang dikirimkan alam semesta untuk mendukungmu menyempurnakan takdir sebagai penulis.

Jika kamu bisa bangkit dari krisis ini dan kembali menulis, maka mentalmu pasti akan lebih siap. Besok-besok kamu pasti tak akan serontok ini jika diserang oleh orang-orang yang lain. Jika ini membuatmu menjadi lebih kuat, maka benar, orang-orang itu adalah bagian dari alam semesta yang sedang mendukungmu menyempurnakan takdir.”

Saya mencoba menunjukkan padanya bahwa dalam momen-momen krisis seperti ini pikiran harus diperkuat. Kekuatan pikiran yang akan menentukan bagaimana realitas hadir di hadapan kita dan menelusup ke dalam kesadaran kita. Kekuatan pikiran yang akan menentukan bagaimana respons kita tiap kali menghadapi krisis dan kegagalan.

Coelho mungkin benar ketika menganjurkan pembacanya untuk tanggap terhadap semua petanda yang diberikan semesta. Tapi, tanggap pada sasmita yang diberikan semesta adalah satu soal, sementara mendayagunakan sasmita itu untuk memertebal keyakinan itu adalah soal yang lain, dan itu membutuhkan pikiran yang kuat, pikiran yang positif, yang mencecap dan menafsirkan realitas dengan cara yang positif, bukan dengan persepsi yang penuh dengan syak wasangka.

Karena alam kadang bekerja tidak dengan mengirimkan badai, tapi cukup dengan gerimis yang tipis, seperti waktu aku mengantarmu menunggu taksi di dekat stasiun Juanda. Ya pada suatu pagi di hari Natal yang sepi.

Kapan-kapan, saya akan menceritakan padamu tentang Rupert Scheldrake dengan konsep “morfogenesis” yang ditemukannya. Ini lebih hebat ketimbang omong-omong tentang Mestakung. Kendati saya tak tahu apakah itu bisa menjawab pertanyaanmu yang menjengkelkan dan mengganggu yang kau ajukan kemarin malam. Itu pertanyaan paling brengsek yang pernah kamu ajukan!

3 komentar:

The Bitch mengatakan...

bocah lelaki kelas 1 SD (BLK1SD): Yah, bagaimanakah cara membuat bayi?
Ayah bocah lelaki kelas 1 SD ABLK1SD: *shock, garuk2 kepala, alis berkerut, mikir, " Well, then. suatu hari nanti mereka juga bakal tau. lagipula pendidikan seks per;u untuk anak2"* jadi gini, nak... misalnya ayah dan ibu. ayah punya penis dan ibu punya vagina. kemudian... *si ayah menjelaskan proses reproduksi dengan gamblang pada si anak yg cuma bengong ga puguh*
BLK1SD: *mukanya kek dia lagi berpikir keras setelah ayahnya selesai menerangkan satu jam kemudian* ooo... jadi gitu yah?
ABLK1SD: *merasa bangga karena sudah jadi ayah yg baik dan jago nanganin anak* iyah. sekarang kamu ngerti kan?
BLK1SD: tapi koq kayak plastik Yah?
ABLK1SD: apanya kayak plastik?
BLK1SD: bayi yang dijual di toko mainan...

moral of the story:
ABLK1SD = kamu
BLK1SD = saya

turabul-aqdam mengatakan...

ah, enggak setuju. menurutku, moral of the story-nya adalah:

ABLK1SD= filosof heidegger
BLK1SD= murid cartesian

*makanya zen, kalo mo mengajari pietz, harus di TIM dengan 2 botol spirtus. wuakakakak.. ;D

Meita Win mengatakan...

siapapun adik itu yang sampe diberi petuah panjang dengan tulisan, seharusnya berbangga hati :)