Rabu, Desember 12, 2007

Di Bali....

Pada temaram senja yang gerimis itu saya duduk di hadapan patung Wisnu yang gigantik. Di hadapan saya, duduk bersila 50-an umat dari 3 “agama” yang sedang bertafakkur dalam diam.

Saya merasakan sensasi dari rasa magis yang menguar dari bau kemenyan yang terbakar, hawa panas dari api yang dinyalakan, bunyi canang yang dipukul, nada indah dari dawai kecapi yang dipetik dan alunan seruling yang ditiup sayup-sayup.

Kota Denpasar yang gemerlap dan laut yang biru serta Airport yang sibuk terlihat dengan jelas. Pesawat-pesawat yang datang dan pergi dalam gelap makin menyempurnakan suasana menjadi lebih menggetarkan.

Dari arah selatan, dari balik punggung patung Wisnu yang gagah itu, tampak bukit-bukit cadas yang dipapras dan ditatah. Di beberapa bagian, tercetak relief-relief gigantik yang –kendati masih baru tapi terasa—demikian tua dan purba.

Satu jam sebelumnya, di ruang pameran yang terletak di bawah Patung Wisnu, saya menyaksikan karya instalasi Nyoman Erawan yang menggetarkan.

Dia mengeksplorasi gong dengan original. Bagian tengah gong itu dia bor. Dari bagian yang dibor itu, ia memasang tiang kecil yang menyangga sebuah ranting pohon yang kering dan meranggas. Ujung lain ranting itu ditopang oleh benda semacam gir yang bergerigi yang mengelilingi garis terluar gong tersebut. Dengan tuas di tengah dan gir di pinggir itulah ranting kayu itu diputar secara konstan mengelilingi gong tersebut. Yang menarik, gir yang berputar mengelilingi gong itu menghasilkan bunyi-bunyian yang berbeda: gemuruh yang menakutkan, suara mengerik yang membikin ngilu, suara tabuhan gong yang kadang terasa mengejutkan dan juga suara yang tanpa bunyi, hening, sunyi.

Menyaksikan karya instalasi itu, berikut bunyi-bunyian yang dihasilkannya, membuat saya merasa berada dalam situasi “hitung mundur”, countdown. Ranting kering yang meranggas itu, serta bunyo-bunyian yang mengantarkan pada sekian imajinasi yang berbeda, membawa saya pada suasana hitung mundur menuju momen yang menghancurkan, semacam kiamat barangkali, saat di mana bumi –“gaia”, sebut James Lovelock-- sudah tak mampu lagi menopang kehidupan dan kerakusan umat manusia yang menumpang pada dirinya.

Di situ saya sadar bahwa manusia –bisa jadi—adalah satu-satunya spesies yang bisa menghancurkan proses evolusi dirinya sendiri.

Itulah sebabnya kawasan yang saya datangi ini dinamai Garuda Wisnu Kencana. Wisnu, kita tahu, adalah satu dari tiga sosok trimurti yang berperan sebagai pemelihara semesta.

Di tempat yang sama pula, Nyoman Erawan dan 30-an seniman dari pelbagai daerah memamerkan karya-karya mereka yang bertemakan “Ibumi”: Ibu Bumi atau I (Saya) dan Bumi. Kantor tempat saya bekerja, bekerja sama dengan beberapa pihak lain, menggelar pameran ini sengaja bersamaan dengan Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim.

Dan di hadapan patung Wisnu yang belum sepenuhnya rampung itu, umat dari 3 “agama” menggelar upacara bersama yang bertajuk Climate, Peace and Meditation. Perubahan iklim, perdamaian dan meditasi secara jenial dipadu-padankan sedemikian rupa.

Yang paling mengharukan dari upacara ini adalah bagaimana tiga umat yang –kendati punya sejumlah kesamaan—memiliki sekian perbedaan itu bisa sama-sama khidmat dan takzim sepanjang upacara.

Saya tiba di lokasi upacara sewaktu umat Hindu masih menggelar upacaranya sendiri. Setengah jam kemudian, satu per satu muncul orang-orang berpakaian serba hitam dengan ikat kepala bercorak batik. Ini menjadi kontras yang mengejutkan karena umat Hindu kebanyakan menggunakan pakaian serba putih dan ikat kepala putih. Dari warna dan corak pakaian serta bahasa yang mereka pergunakan, saya langsung menebak mereka adalah para penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, agama “asli” orang-orang Sunda yang dalam kategori pemerintah dan perundang-undangan “hanya” diberi status sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Sementara di bagian selatan, sudah duduk bersila sekitar lima orang lelaki yang mengenakan celana komprang hitam dan bertelanjang dada. Di pinggang mereka terselip sebilah senjata pendek bersarung. Rambut mereka panjang dan gimbal. Mereka inilah yang dikenal sebagai Dayak Indramayu (komunitas "Bumi Segandu" dari Losarang): komunitas kecil yang sebulan lalu baru saja dikenai fatwa sesat oleh MUI.

Dalam doktrin agama yang saya peluk, mereka semua adalah para pemeluk agama “ardhi”, agama bumi, bukan agama “samawi”, atau agama “langit”. Mereka inilah, orang-orang yang begitu tenang dan khidmat itu, yang disebut sebagai “orang kafir”, para penghayat bid’ah dan khurafat. MUI menyebut salah satu dari mereka sebagai “sesat”. Dalam sejarah Eropa, para penganut agama bumi ini pernah menjadi musuh berat gereja. Orang-orang Sunda Wiwitan dan Dayak Indramayu ini dalam sejarah Eropa mungkin yang disebut sebagai “penganut Pagan”.

Mereka langsung duduk di bagian tengah ruangan, persis di hadapan Patung Wisnu. Mereka langsung melibatkan dan terlibat dalam upacara yang dipimpin oleh Pedanda dari umat Hindu. Di tengah-tengah mereka dinyalakan api.

Upacara berlangsung dengan khidmat. Pedande yang tinggi, putih dan berjanggut panjang memimpin doa-doa yang sepenuhnya tak saya mengerti. Orang-orang Sunda Wiwitan dan Dayak Indramayu bisa langsung masuk begitu saja ke dalam upacara tanpa banyak kata-kata. Mereka begitu mengkhidmati upacara yang dipimpin pedanda Hindu, seakan di antara mereka tak ada perbedaan tata ritual sedikit pun.

Pedanda Hindu kadang memukulkan canang yang diikuti oleh tiupan yang melahirkan suara sengkakala yang melengking, mirip tanda dimulainya perang seperti yang sering saya saksikan sewaktu kecil dari film Mahabharata. Di sela-sela bunyi-bunyian Hindu itu, muncul suara seruling dan kecapi yang mengingatkan saya pada masa kecil di kaki gunung Ciremai, alunan khas Priangan.

Situasi terasa begitu meditatif. Kedirian dan identitas kolektif masing-masing seperti dilepaskan. Semua peserta upacara –dan saya sendiri—mencoba memasuki satu ruang yang nir-batas, tanpa sekat, satu ruang bersama (imaginative space, istilah Marshal G Hodgson yang sudah saya “plesetkan”) di mana perbedaan dirayakan justru dengan cara mencari titik-titik pertemuan.

Saya begitu menikmai situasi lintas batas ini dengan perasaan yang penuh. Dalam beberapa waktu saya mencoba melampui segala macam kategorisasi, samawi-ardhi, sesat-tidak sesat, dan ketegori-kategori ciptaan lain yang menyekat-nyekat. Mungkin inilah yang oleh antropolog Arnold van-Gennep maksudkan sebagai situasi liminal.

Hikmah terpenting dari semua yang saya saksikan selama beberapa jam ini adalah bahwa ikhtiar untuk memperbaiki kualitas lingkungan hanya bisa dilakukan sepanjang semua umat manusia bisa melepaskan identitas masing-masing, egoisme sektoral, kalkulasi untung rugi diri sendiri.

Inilah yang belum, misalnya, dimiliki oleh Amerika Serikat yang masih menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Mereka masih berhitung bahwa ratifikasi Protokol Kyoto dan konsensus yang mengikat untuk menekan emisi karbon pastilah akan memukul perekonomian dan pilar-pilar industri mereka. Begitu juga dengan Kanada dan Jepang yang menolak konsensus yang mengikat ihwal pengurangan emisi karbon.

Negara berkembang mendesak negara maju, sementara negara maju menuntut upaya itu juga mesti menjadi tanggungjawab negara berkembang. Kategori dan kalkulasi lagi-lagi muncul dan menjadi jurang yang membuat konsensus yang lebih bertenaga sukar untuk dicapai.

Tanpa menyadari arti penting situasi liminal yang melampaui sekat dan batas pelbagai kategori dan kalkulasi, ikhtiar untuk menyelamatkan dan memerbaiki kualitas bumi sepertinya masih akan menemui aral yang tak sepele.

1 komentar:

turabul-aqdam mengatakan...

PERTAMAX!!!!

ohh... ini toh maksudnya SMS aneh kemarin.. :)

satu yang pasti tak akan kaulupakan di sana: arak bali. udah muntah darah, masih ga tobat-tobat.. hehe..