Kamis, Juli 19, 2007

Imam Mahdi dan "Tuhan yang Menyejarah"

Sebagai sebuah gugusan harapan dan cita-cita, Mahdiisme berkembang dengan eksesif dan massal ketika manusia menganggap hidup telah betul-betul sengak, muram, serta penuh bencana dan nestapa.

Orang kemudian menunggu dengan penuh cemas kedatangan seorang "Juru Langsir Sejarah" yang bisa menarik mereka dari kubangan kekelaman dan kegetiran yang akut dan (akhirnya) menuntun mereka memasuki gerbang tata dunia yang cemerlang keemasan.

Karena itu, Mahdiisme menjadi sebuah matra yang sungguh luas, yang satu sama lain membentuk konektivitas kompleks dari (meta) sejarah dan teologi dengan visi-visi sekundernya yang bersifat chilliastic-messianis (kedatangan pembaru dan Juru Selamat), millenarian (gagasan tentang suatu kurun yang jaya), utopianisme, serta sejumlah unsur visionaris kenabian lainnya.

Selengkapnya......

Sabtu, Juli 14, 2007

Sahaja adalah Orang dari Bangsa jang Terprentah!

:: Tanggapan untuk Andreas Harsono dari Yayasan Pantau (Jilid II)

Menurut Anda, apa lawan kata “inlander” pada masa kolonial?

Jawaban atas pertanyaan ini, seperti yang akan coba saya tunjukkan, bisa menjelaskan salah satu alasan memilih Tirtoadisoerjo sebagai Sang Pemula!

Sekiranya pertanyaan itu diajukan beberapa tahun silam, saya akan menjawab: Nederlander (orang Belanda). Jawaban ini pula yang akan diberikan oleh orang-orang yang tidak cukup teliti membaca kompleksitas sejarah kolonial di Hindia Belanda. Orang dengan mudah menunjuk Nederlander sebagai “lawan kata” dari inlander karena sebutan “inlander” memang muncul dari mulut orang-orang Belanda, katakan saja, pemerintah kolonial.

Selengkapnya......

Senin, Juli 02, 2007

Nama Saya: Tirtoadhisoerjo!

:: Tanggapan buat Andreas Harsono dari Yayasan Pantau (Jilid I)

"Quid Rides, Tirtoadhisoerjo?
Mutato nomine, de te fabulla narratur!"

Saya senang bukan main Anda memberi sejumlah komentar pada project “Seabad Pers Kebangsaan” yang sedang digarap oleh lembaga tempat saya bekerja. Komentar-komentar Anda dengan sangat senang hati saya cermati sebagai masukan, terutama, bagi diri saya sendiri.

Sebagai sebentuk kritik, komentar-komentar Anda tentu saja adalah berkah. Menjadi berkah karena mereka yang menggarap project ini tak perlu repot-repot meminta Anda membaca dan memberi komentar, seperti juga mereka tidak perlu repot-repot mengalokasikan “budget” untuk kritik-kritik yang Anda berikan –seperti yang sering Anda bilang: “Kritik adalah konsultasi gratis”.

Lagipula, komentar-komentar Anda menunjukkan satu hal penting: hasil project ini ternyata tak hanya dibaca, tetapi bahkan juga diapresiasi dengan serius, sampai-sampai Anda merasa perlu berkonsultasi dengan sejumlah rekan Anda sebelum menanggapi jawaban rekan saya, Agung Dwi Hartanto.

Selengkapnya......