Sabtu, April 07, 2007

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (IV)

Kekuatan Silsilah

Fokus sepenuhnya pada sosok sang guru tetap menjadi mutlak betapa pun sang guru tak ada di hadapan mata secara fisik.

Johan Ter Haar, sewaktu meneliti hubungan guru-murid dalam tarekat Naqsyabandiah, menemukan istilah rabitah dalam vokabulari tarekat itu. Istilah itu merujuk pada laku seorang murid yang secara terus menerus bertatap muka dengan sang guru dalam pikirannya. Itu dilakukan tidak hanya agar dia bisa mencapai derajat kepatuhan yang total pada sang guru tetapi yang jauh lebih penting adalah agar sang murid tetap merasa kalau dirinya sedang merasa bersama gurunya.

Jika murid bisa terus memelihara laku itu secara konstan dan khidmat, ia akan sampai pada tahap di mana ia akan selau merasa dekat secara batin dengan gurunya yang secara fisik tak ada di samping atau di hadapannya dengan cara menyebut terus menerus, dengan berulang- ulang, penaka sedang berzikir, nama sang guru.

Itulah sebabnya silsilah para guru/mursyid dalam sebuah tarekat menjadi persoalan yang krusial. Silsilah para guru itu memiliki makna simbolis yang sangat penting karena silsilah itu memberikan semacam saluran menuju otoritas yang tertinggi, Sang Maha Puncak, lewat medium tradisi horizontal. Sedemikian pentingnya silsilah itu sehingga dalam sejumlah tarekat penulisan silsilah dan nama-nama leluhur guru mereka menjadi ritual yang punya kapasitas menjadi aktivitas yang sakral; menjadi semacam latihan spiritual.

Muhammad Taqi Ali Qalandar Kakorawi, seorang sufi dari India yang hidup pada abad 18, pernah memberi tuntunan atau cara teknis mengingat guru lewat melafalkan nama sang guru.

Katanya, “Seorang murid, setelah mendapatkan nama-nama mursyid sebelum mursyidnya sendiri (berarti eyang gurunya) dalam sebuah tarekat yang dia ikuti, perlu menghafalnya hingga kepada Nabi Muhammad. Ini adalah salah satu syarat yang mesti dipenuhi oleh pencari di jalan ini….

Jika dia tidak berhasil menghadirkan hati dalam meditasinya dengan baik, maka yang pertama-tama harus diingatnya adalah mursyid-nya. Jika dia masih belum berhasil juga, dia harus mengingat guru dari gurunya. Demikian seterusnya, hingga jika perlu sampai kepada Nabi Muhammad.”

Dalam tradisi sufi, seperti yang sudah saya contohkan di atas, ketidakhadiran sang guru secara fisik sama sekali bukanlah alasan untuk melupakan dan tak mengingat-ingat gurunya. Sejumlah tarekat sufi bahkan meyakini bahwa penahbisan seseorang menjadi orang suci akan makin sempurna jika ia dibai’at seorang mursyid yang secara fisik sudah tak ada alias sudah meninggal.

Tareqat Naqsyabandiah dikenal sebagai salah satu tarekat yang punya kedekatan dengan tradisi pembai’atan oleh guru yang sudah meninggal. Tarekat ini punya istilahnya sendiri untuk menyebut fenomena pembai’atan secara gaib itu lewat kata “uwaysi” yang berarti pembaiatan yang tidak hanya dilakukan oleh guru yang masih hidup melainkan juga oleh guru yang sudah wafat atau bahkan oleh Nabi Khdir langsung.

Menurut Khwaja Muhammad, murid Baha al-Din Naqsyabandi, banyak syaikh Naqsyabandi turut serta uwaysi. Istilah uwaysi, lanjutnya, menunjuk pada para wali Allah yang secara lahir tidak memerlukan guru secara fisik, karena Nabi Muhammad menghargai mereka yang menjadikan bilik pribadinya tempat penempaan spiritual, tanpa melalui perantara dari siapa pun.

Tetapi pengertian uwaysi yang merujuk pada, salah satunya, pembaiatan oleh Muhammad langsung sedikit sekali bisa dibenarkan, karena jika pun ada kasus seperti itu, orang percaya itu hanya menimpa segelintir orang saja. Menurut Abdurrahman Jami, contoh pembaiatan langsung oleh Muhammad, Sang Maha Guru Sufi, dialami oleh Jalaluddin Abu Yazid Purani (wafat 1457/58). Syaikh Ahmad Sirhindi juga pernah mengaku dibaiat langsung oleh Muhammad.

Karena saking jarangnya, maka istilah uwaysi biasanya hanya merujuk pada pembaitan yang dilakukan oleh syaikh/mursyid/guru yang sudah wafat. Dalam periode sejarah awal Nqasyabandiah, pembaiatan oleh guru yang sudah mendiang dipercaya dialami oleh Abu Yazid al-Bustami (wafat 875 M) yang dipercaya dibaiat oleh Ja’far as-Shadiq (wafat 1029 M) dan juga dialami oleh Abu al-Hasan Kharaqani yang dibaiat oleh mendiang al-Bustami.

Tipe pembaiatan seperti ini jelas menjadi faktor yang menentukan Naqsyabandiah dan karena itu bisa menjelaskan bagaimana aspek-aspek sentral identitas itu diperkenalkan. Tetapi pada saat yang sama, pembaiatan oleh guru yang sudah mendiang melalui kontak spiritual mengakibatkan sejumlah sikap ketidaktundukkan pada guru yang masih hidup.

Baha al-Din Naqsyabandi juga menjadi orang yang mengelaborasi gagasan tentang pembelajaran spiritual itu ke dalam praktik kehidupan sufi. Seperti yang diulas oleh Ter Haar, Baha al-Din Naqsyabandi menyebut “kehadiran spiritual” seorang guru sebagai kekuatan yang dapat dicapai seorang sufi. Dia mendefinisikan konsentrasi (tawajjuh) dalam “kehadiran spiritual” mendiang guru sebagai maqam, yaitu sebuah tahap perjalanan mistik yang dapat diperoleh seorang salik (penempuh jalan mistik) lewat ikhtiarnya sendiri.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

"Fokus sepenuhnya pada sosok sang guru tetap menjadi mutlak betapa pun sang guru tak ada di hadapan mata secara fisik."
Inilah yang, terkadang, membuat energi sang murid terserap. Fokus itu sama halnya sang meniadakan dirinya di hadapan gurunya. Penyerahan dan pendiadaan terus menerus.
Barangkali, murid sejati adalah murid yang meniadakan dirinya di hadapan siapapun. Tak penting lagi eksistensi. Sebab dengan meniadakan dirinya, di situlah justru eksistensinya muncul.

Jalan sufi, jalan sunyi, jalan para pencari, betapa menyakitnya itu tetap saja dilakoni...