-- scriptopedia kematian (2)
Amir Hamzah adalah bangsawan yang harus tewas karena statusnya sebagai bangsawan.
Di Tanjungpura, Langkat, Amir Hamzah dilahirkan pada 28 Februari 1911. Status sebagai anak bendahara Kesultanan Langkat membukakan jalan lebar bagi Amir Hamzah untuk mencecapi bangku sekolah setinggi mungkin, menguakkan jalan untuk membangun hubungan dengan para intelektual dan sastrawan, dan memungkinkannya berkarya dan menulis puisi tanpa harus dipusingkan perkara perut dan bertahan hidup.
Tapi, status sebagai bangsawan itu pula yang menjadi kunci dari kematiannya yang rudin.
Pada 1925, Amir Hamzah melanjutkan pendidikan ke Jawa, mula-mula di MULO Batavia, kemudian di AMS Solo dan kembali ke Batavia untuk belajar hukum di Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.
Selain mengajarkan rindu, perantauan yang jauh dari tanah asal kerap mengkondisikan perantau untuk merenungkan tanah asal berikut warisannya yang membentuk kolase kepribadian. Dari situlah, ketegangan antara “masa lalu dan tanah asal” dengan “masa kini dan tanah rantau” berlangsung sengit. Selain bisa memompa denyut kreatifitas, ketegangan kultural yang merembes ke area peronal ini juga mewarnai atau bahkan membentuk karya-karya kreatif yang dilahirkan.
Dalam posisinya sebagai bangsawan Langkat sekaligus anak kandung yang sah dari kebudayaan Melayu yang punya tradisi panjang dalam berpuisi, Amir Hamzah merasakan benar ketegangan antara keharusan menghormati tradisi dengan kehendak untuk menemukan sesuatu yang baru dan segar.
Secara bentuk dan lanskap imajinal, puisi Amir Hamzah tampak masih terikat erat dengan masa lalu (baca: tradisi) perpuisian Melayu. Jika dibaca hari ini, diksi-diksi yang digunakan Amir Hamzah barangkali akan terasa arkaik. Tapi pembaca yang jeli akan menemukan beapa ketegangan antara “yang lama dan yang baru”, antara “tanah asal dengan tanah rantau”, terselip di banyak sajaknya, baik dalam bentuk pemakaian kosa non Melayu maupun pengucapan yang lebih dinamis ketimbang pantun atau seloka-seloka lama.
Ada kata “alit” (bahasa Jawa: “kecil”) dalam puisi “Tetapi Aku” (Tersapu sutera pigura/ dengan nilam hitam kelam/ berpadaman lentera alit) atau kata “moal” (bahasa Sunda: “tidak mau”) dalam puisi “Di Dalam Kelam” (Berjalan aku di dalam kelam/ terus lurus moal berhenti).
Ikhtiar literer yang dilakukan pujangga yang oleh HB Jassin ditahbiskan sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru” berhasil, setidaknya, menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.
Tapi bagi Amir Hamzah, ketegangan antara tradisi dan modernitas belum sepenuhnya lunas.
Menarik untuk mencermati bagaimana dilema dalam diri Amir Hamzah sewaktu ia, bersama Armjn Pane dan St. Takdir Alisjahbana, mendirikan dan menghidupi majalah Poedjangga Baroe. Peran penting majalah kebudayaan ini terletak pada munculnya polemik ihwal identitas dan sumber kebudayaan (Indonesia) baru yang hendak digagas.
Sikap Poedjangga Baroe, persisnya sikap St. Takdir yang menjadi hoefd redacteur-nya, jelas: kebudayaan Indonesia harus dibangun di atas alas-dasar yang baru, bukan merujuk pada warisan Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram. Dan rujukan yang jadi sumber sumber itu adalah Barat.
Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, dan Ki Hajar Dewantara menyorong ke muka menantang ide itu dengan mengingatkan bahwa adalah musykil dan sia-sia meninggalkan saja warisan kebudayaan sendiri, kebudayaan Timur, yang oleh St. Takdir dianggap statis dan mandek.
Di hadapan bentangan polemik yang mengubu itu, saya tidak tahu persis bagaimana sikap Amir Hamzah. Sikap yang memuja Barat jelas pilihan St. Takdir. Kita tak pernah tahu persis bagaimana gejolak di antara tiga triumvirat Poedjangga Baroe, terutama gejolak dalam diri Amir, seorang bangsawan yang punya beban memelihara dan merawat tradisi puitika Melayu dengan tuntutan untuk membuka diri pada yang baru, dalam visi St. Takdir hal itu berarti membuka diri dan mengadopsi nilia-nilai (puitika) “Barat”.
Amir Hamzah mestinya tertekan. Saya bayangkan, kerabatnya di istana Langkat mungkin mengajukan protes bagaimana bisa majalah yang didirikan oleh (salah satunya) Amir Hamzah secara terang-terangan mengkampanyekan gagasan mengadopsi nlai-nilai Barat seraya memalingkan muka pada warisan akar tunjang yang bernama tradisi.
Amir Hamzah di sini lebih banyak diam. Amir, sepanjang yang saya tahu, lebih banyak berkonsentrasi menulis puisi. Dia seperti menjaga jarak dari polemik wacana yang mula-mula dihela oleh majalah yang didirikannya. Adakah Amir Hamzah segan pada St. Takdir?
Amir Hamzah memang setuju pada sejumlah hal yang disebut pembaruan dan kemajuan, termasuk dalam tradisi puitika Melayu. Tapi membayangkan Amir Hamzah berpikir dan meyakini seperti halnya St. Takdir, sungguh di luar bayangan.
Statusnya sebagai bangsawan Langkat pula yang memaksanya untuk menelan cintanya pada Soendari, seorang gadis Solo, yang ia temui semasa sekolah di Solo. Perempuan inilah yang menjadi ilham dari puisi-puisi cinta Amir Hamzah. Amir begitu terpukau oleh pererempuan yang disebut-sebut bernama Soendari. Amir Hamzah bahkan sampai “…memuji dikau,/ dengan mulut tertutup/ mata terkatup, sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.” (puisi Memuji Dikau).
Kita tahu kasih Amir tak sampai. Lara? Tentunya demikian. Amir, seperti bisa kita baca dari sejumlah puisinya, bahkan sempat merasa seperti ada surga yang hilang. Simaklah puisinya yang berjudul “Taman Dunia”: "…berbisik engkau: Taman swarga, taman swarga mutiara rupa. Engkaupun lenyap. Termanggu aku gilakan rupa.”
Bagi seorang yang pada masa itu bergelar “sarjana muda bidang hukum”, seorang cendekiawan yang mendirikan salah satu majalah kebudayaan paling berpengaruh dalam sejarah kebudayaan Indonesia, penyair yang disebut sebagai Raja Penyair Poedjangga Baroe, patah asmara karena beban tradisi untuk pulang ke tanah kelahiran dan menkah dengan perempuan sederajat tentu nestapa yang menyesakkan.
Amir Hamzah, saya bayangkan, mungkin menyesal. “Bagaimana bisa nasibku sama dengan Siti Nurbaya yang tak pernah sekolah dan tak pernah ke mana-mana?” pertanyaan macam itu barangkali yang membuatnya gundah.
Menyusul proklamasi 1945, Amir Hamzah yang menjabat Pangeran Langkat Hulu, dan semua pejabat kesultanan Langkat, ditengara oleh massa revolusioner yang tak sabar kepada kaum bangsawan yang diuntungkan selama penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Upaya Sekutu membujuk para Sultan di seantero Melayu agar bersedia bekerjasama makin menebalkan kecurigaan itu.
Sikap yang ragu dan terlalu berhati-hati yang ditunjukkan para Sultan di wilayah Melayu (Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Siak dan Pelalawan) membuat mereka kehilangan momentum untuk memainkan peran signifikan dalam arah perkembangan Indonesia di masa depan.
Seperti Sunan Pakubuwana XI di Surakarta, sikapnya yang ragu dan terlalu berhati-hati membuat keraajannya kehilangan momentum untuk memainkan peran lebih signifikan. Setidaknya, nasib Kasunanan Surakarta tak setragis sultan-sultan Melayu, karena pemerintah Indonesia dengan sigap melindungi Surakarta dari ancaman revolusi sosial yang sebenarnya tinggal menunggu momentum saja.
Ini berbeda dengan Kesultanan Yogyakarta yang diganjar status Daerah Istimewa oleh pemerintah Indonesia, menyusul dilansirnya Maklumat Hamengkubuwana IX hanya sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, yang isinya menyatakan dukungan terhadap pemerintah Indonesia sembari pada saat yang sama memproklamirkan Yogyakarta sebagai bagian Indonesia.
Sebuah momentum biasanya hanya berlangsung beberapa kerjap saja. Sekali momentum lepas, dia tak akan pernah kembali. Setiap pemimpin yang pandai membaca tanda-tanda zaman serta punya ketajaman intuisi, tahu benar arti penting memanfaatkan momentum.
Amir Hamzah tahu benar soal momentum macam itu, bahkan mengalami dan menghayati semua tragika dan kepedihan yang diakibatkan kegagalan memanfaatkan momentum.
Ketika akhirnya pecah revolusi sosial pada 3 Maret 1942, semua keluarga bangsawan Langkat ditangkap, termasuk Amir Hamzah. Dan pada dini hari 20 Maret 1946 Amir Hamzah dihukum mati.
Saya tak tahu, apa yang kira-kira dilakukan oleh Amir Hamzah menjelang kematiannya. Saya berharap dia akan menghadapi kematian dengan kuat, tidak selirih puisi-puisianya, barangkali seperti cara Federico Garcia Lorca menghadapi kematian seperti yang bisa kita tonton dalam The Disappearance of Garcia Lorca.
Dalam film yang dibintangi Andi Garcia itu, Lorca digambarkan menghadapi maut dengan tenang. Para algojonya berharap Lorca akan ketakutan dan meminta ampun seraya menjura-jura. Tapi Lorca tidak. Ketika moncong pistol menempel di pelipisnya, Lorca malah menatap langit malam yang diseraki gemintang, seraya berpuisi: “Where’s my moon?”
Tenang. Secual pun tak ada tanda was-was. Karena itulah sang algojo tak sanggup tarik pelatuk. Algojo itu jengkel, sebab ia ingin sekali, bahkan terobsesi, melihat penyair Andalusia yang necis itu meratap ketakutan, dan memohon-mohon untuk diampuni. Penonton tahu obsesi itu tak kabul.
Dalam hal Andalusia dan diktatornya yang bernama Jenderal Franco, juga bagi setiap penguasa mana pun yang terkaing-kaing mengejar ambisi untuk setotalnya menguasai, kekuasaan akan selalu tampak tergopoh-gopoh, dan karenanya kedodoran. Sebab, sekokoh apa punkontrol, semenjulang apa pun tahta, dan seperih apa pun respresi yang ditangguk orang jelata, toh orang masih bisa melawan, meski itu minimum. Dengan memaki dalam hati, misalnya. Atau memelesetkan lagi-lagu.
Dalam hal Lorca, ia melawan lewat puisi. Barangkali karena tahu bahwa maut sudah tak mungkin lagi ditampik, maka takut pun sudah tak cukup berarti lagi baginya. Maka ia pun berpuisi. Puisi pungkasan Lorca (“where my moon”) karenanya adalah satire, sebungkus kado terakhir berisi cibiran untuk kekuasaan yang tampak kedodoran.
Kita, sekali lagi, tak tahu apa yang terjadi dengan Amir Hamzah di detik-detik terakhirnya. Yang pasti, Amir tak sedang memainkan lakon, apalagi film. Ia hidup dan menghidupi langsung semua tragikanya yang degil dan rudin itu. Sebuah kehidupan yang selalu berada di antara. Selalu terjepit.
Amir Hamzah terlibat langsung dengan ketegangan antara dunia lama yang statis dengan dunia baru yang bergejolak. Amir Hamzah terjepit di antara keduanya. Dan ia tak bisa keluar dari keterjepitan itu.Persis seperti yang tergambar dalam puisinya yang berjudul “Hanyut Aku”:
“Tenggelam dalam malam,/ air di atas menindih keras/ bumi di bawah menolak ke atas/ mati aku, kekasihku, mati aku!”
Sabtu, Maret 22, 2008
62 Tahun Wafatnya Amir Hamzah
Diposting oleh zen di 10:11 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
3 komentar:
Chairil Anwar menyebut puisi Amir Hamzah sebagai sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru meski terkesan destruktif terhadap bahasa lama.
Tapi benar, Bung. Amir Hamzah sangat kreatif memasukkan kosa kata Jawa, Kawi, bahkan Sanksekerta dalam sajak berbahasa Melayunya.
BTW, yang benar Maklumat Hamengkubuwono IX, bukan X.
Ada kabar yang menyebutkan kalo orang yang memancung amir hamzah justru adalah seorang pengagum puisi Amir sendiri. mudah2an saya dapat sumbernya.
amir hamzah, hem, apakah ia korban dari sebuah kecurigaan yang penuh emosi dlm masa revolusi yg tak pasti?
Posting Komentar