Obituari Pejuang Buta
Kita tak tahu persis kapan dan di mana foto Nyak Dien ini diambil. Keterangan yang didapat hanya menunjukkan foto itu diambil setelah ia tertangkap pasukan kolonial pimpinan van Heutzs.
Menyaksikan dengan seksama foto itu, kita dipaksa untuk mengernyit. Bagaimana bisa seorang pejuang yang gigih bisa tampak sesangsai itu?
Kita tak melihat raut wajah yang gagah dan keras hati, seperti yang sering kita lihat pada gambar-gambar Njak Dien yang kerap kita tatap di buku-buku sejarah resmi.
Wajah itu menunduk. Tapi cukup jelas ia tak sedang diam. Di wajahnya yang pucat, hitam dan letih itu, ada nuansa seperti sedang menangis, sekaligus menguar pula aroma kejengkelan yang sebisa mungkin ditahannya. Jika pun menangis, foto itu juga menegaskan, Njak Dien tak sedang menangis yang merengek, tapi lebih pas seperti menangis dengan jengkel, mungkin setengah menjerit.
Tapi jika pun benar Njak Dien menangis dan menjerit jengkel, posisi tangan Njak Dien ternyata mengabarkan sejumlah hal: tangisan kejengkelan Njak Dien ternyata seperti sedang berdo'a. Pasrah pada nasib yang tak mampu ia taklukkan. Bagi seorang buta, perempuan janda yang ditinggal mendiang dua suaminya, seorang pemimpin yang telah menjadi pesakitan, do'a barangkali cara mudah mengakui kerendahan diri. Mungkin juga kegagalan diri.
Foto itu berbicara banyak ternyata, tentang Njak Dien yang perempuan, yang mungkin mudah menangis, sekaligus Njak Dien yang maskulin, yang menjerit jengkel dan marah, berikut ekspresi tangan Njak Dien yang seperti sedang berdo'a, menunjukkan ia seorang yang sedang "sumeleh", pasrah, mungkin juga bertakwa.
Tjut Njak Dien adalah putri dari seorang da’i dari Sumatera Barat yang merantau ke Aceh dan kemudian menikahi seorang wanita yang berasal dari keluarga bangsawan terpandang dari kampung Lapagar, Aceh. Nanta Muda Seutia, ayah Tjut Njak Dien, lantas diangkat menjadi ulebalang di wilayah VI Mukim.
Ketika beranjak remaja, ia dinikahkan dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga, salah seorang pemimpin perlawanan rakyat Aceh atas pendudukan Belanda. Mereka rela rumah mereka dijadikan markas perjuangan, dan Teuku Cik Ibrahim Lamnga sebagai pemimpinnya.
Pada 28 Desember 1875 Belanda kembali menyerang Aceh secara besar-besaran dan membuat situasi Aceh semakin memanas. Tjut Njak Dien, anak mereka, dan ibu Tjut Njak Dien yang sudah tua, dibawa ke tempat yang aman. Sementara Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan pasukannya terus bertempur mempertahankan wilayah VI Mukim. Pada bulan Juni 1878 di Gle Tarum terjadi perang besar melawan Belanda. Dalam perang itu Teuku Cik Ibrahim Lamnga meninggal dunia. Jenazahnya segera diusung ke tempat Tjut Njak Dien berada.
Sejak saat itu, Tjut Njak Dien bertekad akan meneruskan perjuangan suaminya mengusir Belanda dari tanah Aceh. Dalam perjuangannya, ia berkenalan dan jatuh cinta pada seorang pemuda yang bernama Teuku Umar. Akhirnya pada tahun 1880 Teuku Umar melamar Tjut Njak Dien. Pernikahan itu disambut gembira oleh kedua belah pihak. Bersatunya dua pemimpin perlawanan itu berarti menyatukan dua pasukan. Jumlah pasukan itu semakin banyak dan kuat. Sayang, persediaan persenjataan mereka semakin sedikit.
Teuku Umar mencari jalan agar mendapatkan senjata dari Belanda. Dia lantas berpura-pura bersedia menjadi kaki-tangan Belanda untuk membasmi perlawanan rakyat Aceh. Tentu saja Belanda menyambut baik. Teuku Umar kemudian diserahi pasukan dan persenjataan. Selama proses itu berlangsung, Teuku Umar terus menyelundupkan senjata ke pasukan yang sekarang dipimpin istrinya.
Pada 10 Februari 1898, Belanda mengetahui letak persembunyian Teuku Umar. Jendral van Heutsz, komandan pendudukan Belanda di tanah Aceh, segera menyerang pasukan Teuku Umar tepat di Ulong Kala sebelum mencapai kota Meulaboh. Dalam gelap malam itulah Teuku Umar wafat.
Untuk kali kedua, Tjut Njak Dien menjadi janda. Dan untuk kali kedua pula, Tjut Njak Dien bertekad tetap angkat senjata. Dia melanjutkan taktik perang gerilya dalam melancarkan perlawanannya. Dan Belanda tak mampu meringkusnya.
Tjut Njak Dien baru bisa diringkus setelah Pang Laat, pengikut setia Tjut Njak Dien, membocorkan persembunyiannya. Pang Laat merasa tak tega melihat bagaimana Tjut Njak Dien yang sudah mulai menua dan mulai mengalami kebutaan masih harus terus-terusan memimpin perang. Pang Laat berharap, dengan ditangkap, Tjut Njak Dien bisa disembuhkan dari deraan sakit dan usia yang merembang senja.
Membaca riwayat Tjut Nyak Dien, kita seperti sedang membaca sebuah epos. Tjut Njak Dien adalah prototipe perempuan Srikandi seperti bisa kita temukan dalam epos Mahabharata. Dalam Mahabharata versi India, Srikandi digambarkan sebagai wadam yang menjadi istri Arjuna. Sebagai istri, Srikandi tak diragukan kesetiannya. Dan sebagai satria yang terlibat dalam perang besar Bharatayudha, Srikandi menjadi salah satu penentu kemenangan Pandawa dengan keberhasilannya menewaskan Bhisma yang berpihak pada Kurawa.
Seperti Srikandi, di jelujur riwayat Tjut Njak Dien, kita saksikan bagaimana feminitas dan maskulinitas seperti melebur. Kesetiaan feminin dan kekerashatian maskulin berpadu-padan dengan sedemikian rupa sehingga Tjut Njak Dien hadir dalam ruang imajinasi bangsa Indonesia dengan begitu impresifnya.
Sejarah kita mencatat banyak sosok perempuan hebat. Tetapi dalam hal tersebut, keunikan Tjut Njak Dien bisa dibilang tak ada padanannya dalam sejarah perlawanan rakyat Nusantara terhadap penjajahan Belanda.
Jumat, Februari 16, 2007
Kekerashatian yang Feminin
Diposting oleh zen di 4:23 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
0 komentar:
Posting Komentar