Jumat, Februari 16, 2007

Rhapsody Cinta Terlarang

"Baik bagi seorang laki-laki untuk tidak menyentuh seorang perempuan.” Kata-kata itu kita temukan dalam buku “Confesiones” yang ditulis St. Augustine, lelaki yang ditahbiskan menjadi seorang Santa (Orang Suci) karena ide-idenya yang mengalasdasari doktrin iman Kristiani sepanjang Abad Tengah.

Tapi dengan membaca otobiografinya itu(yang ditulis setelah diangkat jadi Uskup), kita jadi tahu semasa hidupnya Augustine ‘tak pernah’ benar-benar menjadi orang suci. Ia akui, dirinya pernah berkubang dalam laku seksual tak terkekang, yang membuahkan anak bernama Adeodatus!

Hanya saja, semua buku dan literatur yang memelajari biografi dan pemikiran Agustine, termasuk Confessiones sendiri, tak mampu memberi jawaban ihwal Siapa perempuan yang kemudian melahirkan anak bernama Adeodatus itu?

Kotak pandora itu mulai terkuak melalui sebuah koinsidensi yang menyenangkan. Jostein Gaarder (penulis buku “Dunia Sophie”) pada 1995 tanpa sengaja menemukan setumpuk naskah tua di kios buku kecil di Buenos Aires, Argentina. Selidik punya selidik, naskah tua berlabelkan “Codex Floriae” itu ternyata surat-surat yang ditujukan kepada St. Augustine. Maka, terkuaklah rahasia besar itu!

Floria Aemilia, si penulis naskah “Codex Floriae”, tak lain adalah kekasih Augustine yang melahirkan Adeodatus. Floria menulis surat panjang ini setelah ia diberi kesempatan oleh seorang Romo untuk membaca “Confessiones”, otobiografi Augustine yang berisi pengakuan ihwal perjalanan hidup, dari mulai masa kecilnya, remaja, petualangan seeksualnya, termasuk hubungan romannya dengan perempuan yang melahirkan Adeodatus. Hal inilah yang memancing Floria untuk menulis surat.

Maka jika “Confessiones” merupakan ‘pengakuan’ Augustine, maka “Codex Floriae” bisa dibaca sebagai sebuah ‘pengakuan balik’.

Pengakuan balik’ Floria ini oleh Jostein Gaarder lantas diterjemahkan dari bahasa Latin. Tak cuma menerjemahkan, Gaarder juga berhasil melacak asal-usul puluhan kalimat dan kutipan yang dicuplik Floria dari khasanah Yunani dan Romawi klasik. Terjemahan yang dilakukan setelah melewati riset serius itulah yang lantas diterbitkan oleh Gaarder menjadi sebuah buku yang diberinya judul “Vita Brevis”.

Lewat “Vita Brevis” inilah, rahasia terdalam hubungan Augustine dengan Floria terkuak. Keduanya bertemu ketika Augustine sedang menyelesaikan pendidikan di Sekolah Retorika di Carthage. Cerita cinta itu pun dimulai dan berlanjut menjadi sebuah romansa luar biasa yang melibatkan segenap kekuatan raga, jiwa dan intelektual. Delapan belas bulan kemudian, Adeodatus pun lahir.

Lambat laun, kekuatan cinta St. Augustine kepada Floria mulai koyak moyak. Augustine (yang dipanggil Floria dengan nama Aurel) jatuh cinta pada pengabdian pada Tuhan. Akhirnya Augustine mengirim Floria ke Afrika tanpa Adeodatus. Sang anak diambil dan diasuh langsung oleh Augustine. Floria bahkan tak diizinkan mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya. Floria jelas menanggungg lara yang demikian menikam: ia dipisahkan sekaligus dari lelaki yang dicintainya dan putra terkasihnya.

Dari “Confessiones”, kita tahu Augustine makin merapat ke jalan Tuhan. Akhirnya ia pun dibaptis. Selesaikah petualangan Augustine? Ternyata tidak. Augustine sendiri masih mengirimi Floria tiga pucuk surat yang mengakui dirinya tak mampu melupakan Floria. Tak cukup berkirim surat, keduanya masih sempat bertemu kembali, dan merajut ulang kemesraan itu di sebuah kamar yang khusus disewa Augustine untuk tempat tinggal Floria.

Sebagai seorang terpelajar, Floria sadar roman cintanya patah bukan karena adanya perempuan yang disiapkan Monika untuk menjadi istri Augustine. Lewat pengamatan yang tajam, Floria menulis dengan kata-kata penuh tenaga: “Sainganku adalah sebuah prinsip filsafat…. Sainganku bukan hanya sainganku sendiri. Ia adalah saingan semua perempuan, ia adalah malaikat maut bagi cinta itu sendiri.”

Dalam “Confessiones”, Augustine memang menempatkan perempuan sebagai penggoda yang harus dijauhi. Hubungan dirinya dengan Floria pun dianggap sebagai kutukan, penuh dosa dan harus dihentikan. Floria balik menuduh Augustine egois. Floria marah. Dengan telengas, ia menghajar pendirian teologis Augustine dengan kata-kata: Aku tidak percaya pada Tuhan yang menyia-nyiakan hidup seorang perempuan demi menyelamatkan nyawa seorang laki-laki.

Kendati cukup sophisticated dan lincah berargumentasi dalam menantang arus pemikiran Augustine, “Vita Brevis” pada awal dan pada akhirnya memang sebuah surat cinta. Polemik teologi yang disemai Floria tak lebih dan tak kurang adalah sebuah ikhtiar terakhir seorang perempuan terpelajar untuk mengajak kekasihnya pulang kembali ke ‘jalan Venus’; sebuah jalan yang dalam keyakinan Floria sama sekali bukan kubangan penuh dosa; sebuah jalan yang penuh gelegak dinamika kesenangan, kenikmatan sekaligus kepedihan.

Sebuah jalan di mana Tuhan juga bersemayam.

3 komentar:

Admin mengatakan...

Bacaan yang sangat menarik.
Aku link ya blog nya...:) makasih..:)

Lida Handayani mengatakan...

Sebelum baca Vita Brevis, saya nggak nyngka seorang "suci" seperti santo agustinus bisa bermain panas di belakang.

zen mengatakan...

Begitulah. Apa yang disebut suci seringkali tak. Apa yang dsebut reget alias kotor belum tentu berjelaga. Sebagai sebuah rite perjalanan sepiritual, kupikir tak ada orang yang tak punya nila. Termasuk juga mungkin santa yang satu ini.