Selasa, Februari 20, 2007

Tak Ada Dosa Turunan di Antara Kita

Ketika adikku mengabarkan kematian kakek dengan terisak dan mata sembab, sungguh aku tak merasakan apa-apa. Datar. Nyaris tanpa impresi. “Mau pulang nggak?” tanya adikku.

Aku tak segera menjawab. Masih kuingat betul, aku justru mengingat-ingat kerjaan apa yang belum kuselesaikan, acara apa dalam dua hari ke depan. Beberapa jam kemudian, sewaktu aku sudah di atas kereta Senja Utama yang akan membawaku ke Cirebon, aku baru sadar betapa aku masih sempat-sempatnya berpikir untuk pulang atau tak dan masih sempat pula mengingat-ingat kerjaan.

Cucu siapa sebenarnya aku? Dan kakekku-kah yang mangkat?

Di atas Senja Utama yang kunaiki tanpa tiket, aku duduk di gerbong restorasi. Awalnya sendirian. Setelah memasuki Wates, seorang lelaki duduk di sampingku. Tak banyak yang kulakukan. Mengirim sms ke beberapa kawan. Membatalkan beberapa acara yang sudah kuagendakan. Memesan segelas energen. Menyeruputnya sedikit demi sedikit. Melewati Kutoarjo, aku membuka tas. Ku ambil Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I-nya Pramoedya.

Ah, mengenai buku ini, aku bisa sedikit berkisah, mungkin ada gunanya sedikit untuk menggambarkan bantunan jiwaku.

Beberapa menit sebelum kepergianku ke stasiun, aku sempatkan menyambangi kamar bacaku. Aku lihat-lihat dan memilah kira-kira buku apa yang bisa aku bawa sebagai kawan perintang waktu. Aku ingat, dua minggu sebelumnya, sewaktu aku harus mengantarkan adekku yang bungsu kembali ke Cirebon, aku sama sekali tak membawa buku. Dan betapa membosankannya duduk di kereta tanpa bacaan. Aku tak ingin mengulanginya lagi. Itulah sebabnya aku harus membawa bacaan. Dan entah kenapa aku memilih Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Metamorfosis-nya Kafka.

Yang pasti, sewaktu aku memilah-milah buku, Budi, kawan sekampung yang hendak mengantarkanku ke stasiun, sempat berseru: “Cepatlah. Waktu sudah mendesak. Sempat-sempatnya kau mikirin buku.”

Ya, kenapa aku sempat-sempatnya menghabiskan waktu 5 menit untuk memilah-milah buku, terbukti gara-gara 5 menit itu aku nyaris saja ketinggalan kereta. Kenapa masih sempat mencari-cari buku? Ini bukan soal aku kutu buku atau bukan. Sedikit banyak ini menyenggol perkara prioritas: terlambat kereta dan terancam tak bisa menghadiri pemakaman atau memilih dan mencari-cari buku agar perjalanan tak membosankan.

Perjalanan yang membosankan? Ah, sial betul. Kenapa aku tak pakai frase “perjalanan menyedihkan”? Perjalanan membosankan mengesankan aku penaka sedang berwisata saja. Padahal jelas bukan. Aduh… aduh….

Hei, bung, hendak ke mana sebenarnya kau? Sekadar pulang kampung? Jalan-jalan? Atau untuk menghadiri pemakaman kakekmu?

Sepanjang perjalanan, aku memang menghabiskan waktu dengan membaca memoar Pram itu. Sesekali aku menghentikan membaca saat dorongan untuk merenungkan semuanya, merenungkan hubunganku dengan kakek, merenungkan kematian. Tapi, bisa dibilang, memoar Pram lebih banyak menyita waktuku. Memoar ini sebenarnya pernah kubaca, tapi masih ada beberapa bagian yang kulewatkan. Makanya aku berniat menghabiskannya saja di atas Senja Utama ini.

Beberapa bagian Nyanyi Sunyi berhasil menghubungkan aku dengan kakekku yang malam itu sedang terbaring ditutupi kain jarik di kediamannya, di Dawuan, Majalengka, sekira 70 km ke arah barat dari Cirebon.

Aku masih ingat Bukan Pasar Malam, novel Pram yang paling liris, yang mengisahkan perjalanan pulang Pram kembali ke Blora, menengok ayahnya yang sedang sakit keras, untuk kemudian wafat sewaktu Pram masih di Blora, tapi sayangnya saat-saat terakhir ayahnya itu tak dihadiri Pram. Tentu saja kisah ini tak sama dengan Bukan Pasar Malam. Pram kembali ke Blora untuk menengok ayahnya yang sakit keras, sementara aku pulang untuk menemui orang yang sudah menjadi jenazah. Lagi pula, Pram menemui ayahnya, sedang aku menemui (jenazah) kakekku.

Di bagian-bagian awal Nyanyi Sunyi, Pram mengisahkan keluarga besarnya. Ada beberapa halaman yang mengisahkan kakeknya, baik kakek dari pihak ibu maupun dari ayahnya. Tapi tak ada bagian yang paling menghubungkanku dengan kakekku selain bab terakhir. Oleh Pram, bab itu dijuduli: Pokok dan Tunasnya.

Di bagian itu, Pram mengulas dengan baik bagaimana hubungan antara generasi tua dan generasi muda. Pram mengurai berdasar pengalaman hidupnya sendiri, bagaimana kesenjangan mental antara yang tua dan yang muda. Yang tua jelas sudah mencatatkan prestasi-prestasi hidupnya, sementara yang muda masih mereka-reka apa yang akan dilakukannya. Tapi yang tua belum tentu lebih baik, seperti halnya yang muda belum tentu juga bisa melampaui yang tua.

Di paragraf-paragraf awal bab itu, Pram bicara ihwal para patriark keluarga, para ayah, para lelaki kepala kaluarga, yang berlaku laksana hakim, penentu mana yang benar dan yang salah, si pemberi perintah, yang kata-katanya seperti sabda seorang raja, mesti ditaati dan dituruti.

Kakekku barangali adalah salah satu dari archetype para patriark itu. Ibu selalu membangga-banggakan ayahnya, kakekku itu, sebagai peletak dasar dari pola hidup disiplin, penuh dedikasi terhadap keluarga, pekerja keras yang menghidupi empat anaknya dan 3 saudara kandungnya, karena ia sudah yatim piatu sejak remaja. Ibuku, di level itu, adalah copy dari kakekku. Persis seperti ayahnya, ibu adalah pekerja keras, yang sealu tidur paling terakhir dan bangun paling dini, untuk memasak, mencuci, menyetrika pakaian suaminya dan anak-anaknya. Ibu seorang yang penuh dedikasi pada keluarganya. Seorang pekerja keras, yang mampu menafkahi dirinya sendiri, menambahi nafkah suaminya, dengan berjualan kecil-kecilan, dll.

Tapi ibu jelas bukan seorang patriark. Bukan semata karena ia adalah ibu rumah tangga dan bukan kepala rumah tangga, tetapi tanpa tawar ibu memang tak punya watak patriark. Watak patriark kakek, sepertinya tak berbekas pada dirinya.

Kakekku seorang patriark keluarga? Sepenuturan ibu, begitulah adanya. Dia mendidik dengan keras ibu, anaknya yang tertua, melebihi anak-anaknya yang lain. Ibu kerap bercerita, bagaimana kakek kerap menyuruhnya membeli rokok ke jalan besar di tengah malam, sendirian. Dan itu tak bisa ditawar. Ibu pernah pula bercerita, bagaimana kakek membuang roman-roman yang dipinjam ibu dari perpustakaan pabrik gula. Merusak, kata kekek.

Ibu juga pernah berkisah, bagaimana kakek menghalang-halangi sekuat tenaga dan dengan semua-mua dalih keinginan ibu untuk meneruskan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Khawatir pada anak perempuan yang merantau-lah, tidak punya biaya-lah, dll.

Kejadian yang sama berulang pula pada pamanku yang paling muda, adik ibu yang paling bungsu. Keinginannya untuk kuliah di STT Telkom, gratis tanpa biaya karena ditanggung beasiswa, ditentang habis-habisan. “Kalau mau kuliah, kuliah saja di IAIN. Titik,” kata paman bercerita dengan penuh masygul. Kejadian itu kerap kali diceritakan ulang oleh paman, seakan-akan waktu berbilang tahun gagal melumerkan kejengkelannya.

Hingga SMP, kakekku masih aku ingat sebagai kakek yang manis dan baik pada cucunya. Terlebih semasa SD, aku selalu menanti kedatangan kakek. Vespa tuanya selalu aku rindukan. Aku tak ingat betul apakah kakek sering mengisahkan dongeng-dongeng atau tak. Pastinya, kakek selalu membawakanku oleh-oleh banyak. Kakek selalu memberiku uang jajan. Kakek selalu memberiku uang tiap kali mau kembali ke rumahnya, uang yang langsung kuhabiskan dengan membeli mobil-mobilan atau pistol mainan.

Aku masih ingat salah satu kebiasaan kakek sewaktu bertandang ke rumah. Dia selalu membaca buku-buku cerita yang aku bawa dari perpustakaan sekolah. Dan tiap kali buku-buku itu habis dibacanya, kakek langsung memintaku untuk mencarikan buku yang lain yang belum dibacanya. Apa saja dibacanya. Bahkan dua bulan yang lalu, sewaktu aku mudik lebaran, buku yang sedianya aku berikan pada pamanku yang terbaring di rumah sakit, Misteri Shalat Subuh dan buku Fatima Az-Zahra karangan Ali Syari’ati, habis pula dibaca kakek selama ia menunggui pamanku, anak bungsunya sendiri, dirawat di rumah sakit.

Ibu bilang, dari kakeklah hobi membacanya diperoleh. Ya, ibu memang hobi membaca. Ibu sering berkisah bagaimana di masa mudanya ia melahap habis semua roman-roman Balai Pustaka yang diperolehnya atau novel-novel populer yang mudah didapatkan. Dari ibu pulalah, barangkali, kegiatan membacaku dimulai. Masih aku ingat benar, roman orang dewasa pertama yang kubaca, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karangan Hamka, aku baca setelah ibu selesai membacanya. Aku membaca itu sewaktu masih SD, mungkin ketika aku masih kelas 3 SD.

Tapi kakek memang sudah menunjukkan watak partiarknya sewaktu aku masih kecil. Aku juga ingat, tiap kali kakek bertandang ke rumah, kakek selalu bekerja apa saja. Kadang-kadang, ia bahkan membersihkan genteng rumah yang dipenuhi daun-daun. Dan aku selalu harus mengikuti perintahnya. Di suruh mengambilkan sapu atau yang lain. Dan itu tak bisa dibantah.

Kakek memang pekerja keras. Jika seorang ayah mengunjungi anaknya yang sudah berkeluarga mungkin kebanyakan memita dilayani, dienakkan, disuguhi, bahkan kadang memitna ongkos pulang. Kakekku tidak. Dia selalu bekerja sewaktu anak dan menantunya pergi mengajar (ayah dan ibuku adala guru SD). Di sini, watak partiark itu lenyap begitu saja dengan serta-merta.

Tapi kakek memang seorang yang rajin memberi nasehat. Petuah. Dia tak pernah lupa untuk menasehatiku untuk jangan sekali-kali meninggalkan shalat. Dalam hal ini, kakek tak kurang watak paedagogisnya. Jika sudah begitu, aku hanya diam saja, dan kerap membiarkan nasehat itu lewat dari kiri kupingku ke kanan kupingku. Aku tak begitu suka dinasehati panjang lebar. Amat mengganggu rasanya. Tapi kakek tak pernah lupa mensehatiku. Selalu begitu. Tiap kali bertemu.

Ya, lewat tulisan Pram, aku menimbang-nimbang kakekku. Memberi penilaian, sembari mengenang-ngenang.

Pram, masih di bab penutup Nyanyi Sunyi, menulis begini: “Generasi tua memegang kata putus dalam segala-galanya. Generasi muda mengintip-ngintip dari jendelanya, menimbang-nimbang dengan takut-takut, juga mengadili dan menghukum dengan diam-diam.”

Tentu saja aku tak selengas itu. Aku mungkin menimbang-nimbang dan memberi penilaian. Tapi aku tak sedang mengadili, apalagi menghukum. Aku bukan hakim. Aku bukan seorang pendendam pula. Bagaimana pun aku cucunya, persisnya cucu lelaki pertamanya. Lagipula, tak ada yang berlebihan dari sikap kakek pada ku. Tak patut pula aku mengadili. Apalagi menghukum.

Tapi aku tidak menangis. Tidak seseunggukan seperti adikku. Apa artinya ini? Normalkah? Atau jangan-jangan Pram benar. Sikapku menghadapi kematian kakek tanpa setetes pun air mata, adakah merupakan hukuman seorang cucu buat kakeknya? Jika ya, hukuman apa? Dan atas perbuatan salah apa kakekku dihukum?

Seorang kakek tentu wajar menerima kucuran air mata dari cucunya saat ia mangkat. Tapi aku tidak menangis. Tidak sesenggukan. Ah….


******
Ketika aku sampai di kediaman kakek, aku disambut sanak keluarga yang tak tidur semalaman. Aku disambut nenek. Aku memelkanya. Dia menangis. Aku menghiburnya. “Harusnya kakekmu menunggu kedatangan ibumu pulang,” sesal nenek.

“Ya sudahlah. Ada hikmahnya juga. Mumpung ibu lagi ada di Mekkah, dari sana ibu bisa mendoakan kakek dengan sebaik-baiknya do’a. Mungkin do’a ibu bisa melapangkan jalan kakek. Bukankah do’a di Mekkah katanya punya peluang lebih besar dikabulkan,” kataku sambil mengelus-elus pundak.

Aku memasuki ruang tengah. Aku lihat ada pamanku. Ada juga paman wa Ujang, sepupu ibuku. Aku lihat kakek terbujur kaku di tengah ruangan itu. Diselimuti kain putih bergaris-garis biru. Wajahnya ditutupi jarik. Entah kenapa aku tak berniat melihat wajahnya. Aku berbincang beberapa jenak dan pamanku. Kemudian aku mengambil wudlu. Shalat subuh. Setelah itu, aku membaca surat Yaasin sebanyak dua kali.

Ya, hanya itu. Dan aku tak menangis. Tak sesenggukan, juga tidak berkaca-kaca.

Sembari menunggu penguburan kakek, aku menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan sanak keluargaku. Berbagi kabar. Berbagi cerita. Sembari menyeruput kopi dan teh. Dan menghisap rokok tentu saja.

Ketika tiba saat penguburan, aku berjalan persis di belakang keranda kakek yang diusung bergantian. Menjelang masjid, giliranku mengusung keranda. Tak terasa berat seperti dugaanku. Biasa saja.

Sesampainya di mesjid, aku segera mengabil wudlu. Begitu pula para pelayat yang lain. Kami semua menggelar shalat jenazah. Setelah shalat usai, imam mesjid itu menyampaikan pidato singkat. Di akhir pidatonya, imam itu bertanya pada para pelayat yang hadir.

“Almarhum (ber)iman?”

Serentak menjawab: “Iman.”

“Almarhum sae (orang baik)?’

Serentak pula menjawab: “Sae.”

Imam mengulangi pertanyaan yang sama sebanyak tiga kali. Dan sebanyak itu pula pelayat yang hadir memberikan jawaban yang sama.

Setelah itu, keranda kembali diusunng. Memasuki gang pekuburan, aku kembali manandu keranda. Seingatku, akulah satu-satunya keturunan darah langsung kakek yang ikut langsung mengusung mengusung keranda.

Entah kenapa kali ini keranda itu terasa lebih berat ketimbang sebelum dishalatkan. Aku ingat film-film mistik yang sering diputar di televisi. Aku pernah menonton sala satunya, yang dikisahkan ada keranda yang begitu enteng dan wangi ketika diusung, yang kata ustadz di film itu disebutkan sebagai pertanda betapa almarhum begitu banyak berbuat baik dan penuh pahala.

Ah, kenapa keranda kakek terasa lebih berat sekarang? Keranda juga tak menguarkan aroma wangi?

Sialan. Film-film rendahan itu ternyata membuatku berpikir macam-macam. Kubuang jauh-jauh pikiran yang bukan-bukan itu. Aku konsentrasi mengusung keranda.

Sesampainya di kuburan, pekerjaan menggali kuburan ternyata belum sepenuhnya selesai. Tapi itu juga tak lama. Lima menit kemudian, kuburan sudah siap. Seseorang tiba-tiba berkata: “Mana incuna? Siap-siap incuna turun.” (Mana cucunya? Siap-siap cucunya turun.)

Mendengar itu, aku pun bersiap. Aku lepaskan sandalku. Celana jeans hitam yang kukenakan aku gulung selutut. Aku turun ke kuburan yang sudah siap itu, bersama seorang tua setempat dan suami salah satu cucu kakekku, artinya suami sepupuku. Aku berada di tengah-tengah.

Beberapa detik aku sempat memerhatikan tanah disekelilingku. Begini rasanya kuburan. Baru kali ini aku turun ke kuburan, untuk menerima jenazah yang hendak dikubur. Ini pengalaman pertama. Imaji akan maut lumayan kuat menyergap. Bulu kuduk meremang. Tapi aku tidak nervous. Tidak pula deg-degan. Kendati ini pengalaman pertamaku.

Jenazah kakek diturunkan pelahan. Aku dan dua orang lainnya menerima dengan hati-hati. Mulanya aku menahannya dengan kedua tanganku menyangga di bawah jenazah. Tapi ada orang di atas berseru, tangan kiri di atas jenazah. Aku ikuti petunjuk itu. Tangan kanan di bawah jenazah, dan tangan kiri di atas jenazah. Aku, dengan demikian, memeluk jenazah kakek.

Perlahan dan dengan sangat hati-hati, jenazah kakek diletakkan di tanah yang basah dan dingin, rumahnya yang kemudian. Agak susah menempatkannya. Beberapa kali, jenazah kakek harus digeser ke utara sedikit, untuk mengepaskannya. Wajah kakek kemudian dimiringkan, menghadap ke barat. Seseorang menurunkan tanah yang dibentuk seperti bola, mengganja pantat jenazah kakek, kaki, pundak dan kepala kakek. Supaya jenazah tetap berada dalam posisi miring. Orang tua di depanku melepaskan ikatan kain kafan jenazah bagian kepala. Sementara suami sepupuku melepaskan ikatan kafan di bagian kakinya.

Ketika ikatan kafan bagian kepala dilepas, kafan itu kemudian dibukakan sedikit. Selintas aku melihat wajah kakek, persisnya bagian mulut pipi bagian bawah dan separuh hidungnya. Sisanya tak jelas terlihat. Ah, akhirnya aku melihat wajah kakek yang terakhir kali, ya… melihatnya dengan cara yang aneh. Aku, dengan demikian, menjadi keturunannya yang terakhir yang bisa melihat wajahnya.

Setelah semua usai, aku naik sedikit, kakiku menginjak bagian teras kecil di sepertiga kedalaman kuburan, untuk tempat papan-papan kelak akan diletakkan. Satu per satu, papan diturunkan. Ternyata, papan untuk bagian kepala tak pas ukurannya. Beberapa kali di ganti papan yang lain tak muat juga. Terpaksa seseorang turun membawa linggis, melubangi sedikit dinding kuburan. Setelah itu, papan baru bisa pas. Aku menerima papan-papan itu. Aku sendiri yang meletakkannya.

Kembali aku ingat film-film mistik di televisi. Tentan seorang yang susah benar dikuburnya. Sialan. Lagi-lagi aku ingat film-film picisan itu. Jelas itu pikiran buruk. Aku membuangnya jauh-jauh. Huh!

Setelah jenazah tertutupi papan, aku menerima tikar pandan tempat alas jenazah kakek di keranda. Aku letakkan tikar itu menyelubungi papan-papan itu. Aku juga menerima dua bilah bambu, mungkin pernah digunakan untuk mengukur ukuran jenazah kakek untuk keperluan menghitung ukuran makam.

Ketika aku hendak entas dari makam yang hendak dikuburi tanah, seseorang memberikanku plastik kecil bening. “Taruh di dekat bagian kepala,” sebuah suara dari kerumunan para pelayat menyambar.

Sedetik kemudian aku perhatikan plastik itu. Aih… ternyata isinya adalah gigi palsu yang utuh, bagian atas dan bawahnya. Lengkap. Komplit. Pelan-pelan kutaruh plastik berisi gigi palsu kakek itu di atas bagian kepala jenazah kakek.

Setelah semuanya usai, aku naik ke atas. Dan dimulailah upacara penguburan itu. Aku mengambil posisi agak jauh di belakang ketika tanah-tanah hitam yang agak basah itu diturunkan sedikit demi sedikit, menguburkan jenazah kakekku, orang yang darahnya sedikit banyak mengalir di nadiku.

Ketika tanah-tanah itu mulai mengurugi makam kakek, aku ingat kembali gigi palsu itu. Huueehhhh! Perutku mendadak merasa mual. Ya, mual. Seperti ada yang hendak terlontar keluar dari mulutku. Serasa ingin muntah. Tentu saja aku tahan-tahan. Sungguh tak mengenakkan dilihat orang jika aku muntah saat makam kakek sedang mulai diurug. Apalagi jika orang tahu aku muntah karena melihat gigi palsu kakek. Sudah tak mengelurkan air mata, eh… sekalinya mengeluarkan sesuatu, malah muntahan isi perut. Uh… cucu tak diuntung. Begitu barangkali komentar mereka.

Tapi kejadian ini, lagi-lagi, memaksaku berpikir. Siapa sebenarnya lelaki yang baru saja dikubur itu? Kakekku kah? Jika ya, kenapa aku tak menangis? Kenapa aku mual sewaktu melihat gigi palsunya? Bukankah aku juga keturunannya?

Ternyata, aku orang terakhir yang pulang meninggalkan makam kakek, rumah baru kakek. Aku hitung langkah. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh.

Ya, saat itulah malaikat Munkar dan Nakir mendatangi kakek dan menanyai siapa Tuhan-nya, siapa Rasul-nya, apa agamanya. Begitulah yang pernah diceritakan kakekku dulu, semasa aku masih SD.

“Kita akan ditanyai malaikat kalau orang terakhir di penguburan sudah meinggalkan makam sejauh tujuh langkah,” kata kakek dulu.

Kakekku mengalaminya sekarang. Langsung. Entah, di sana, kakek ingat atau tidak kalau ia dulu pernah menceritakan hal yang detik ini sedang dialaminya langsung. Yang pasti, aku, cucu keduanya dan cucu laki-laki pertamanya, satu-satunya cucu yang mewarisi minatnya pada bacaan, mengingatnya dengan khidmat.


******
Malamnya, aku segera ke Cirebon, menuju stasiun, menunggui kereta Senja Utama yang akan membawaku kembali ke Jogja. Jam 10.30 malam, kereta tiba. Aku naik dan duduk di gerbong empat. Aku langsung membuka kembali Nyanyi Sunyi, membaca kembali bab terakhir buku itu, Pokok dan Tunasnya. Aku membacanya tanpa jeda. Tak sampai 15 menit, bab itu tuntas kuhabiskan.

Aku letakkan Nyanyi Sunyi di meja dekat jendela. Aku nyalakan sebatak rokok. Aku menghisapnya dalam-dalam. Pandang ku lemparkan ke arah luar. Tak ada yang tampak. Hanya hitam pekat berjelaga.

Aku pulang dengan hati yang datar. Tak begitu merasa kehilangan. Biasa saja. Di sepanjang jalan, aku tertidur, seperti tak terjadi apa-apa.

Sesampainya di tugu jam 5 pagi, aku ingat-ingat, apakah selama perjalananku sehari semalam ini aku pernah meneteskan air mata. Ternyata tak. Seingatku memang tak. Aku hanya sempat berkaca-kaca ketika tanah mulai turun mengubur jenazah kakek. Hanya itu. Tak kurang tak lebih.

Ah, aku tak seperti kata Pram, yang menulis ihwal penghakiman dan penghukuman. Aku tak sedang menghakimi. Sekali lagi, tak pula sedang menghukum. Aku hanya mengisahkan semuanya begitu saja. Apa adanya. Aku tak menangis. Tak sesunggukan. Tak begitu merasa kehilangan.

Aku, tentu saja, sedikit banyak merasa berterimakasih pada kakekku, setidaknya karena ia pernah memberiku sekerat kenangan manis semasa kecil memunyai kakek yang manis dan baik. Kendati, dengan berat hati harus pula kuberikan catatan tambahan: makin besar usiaku, makin banyak pula jejalan nasehat yang ia sampaikan buatku. Sejak itu, kakek tak lagi semenarik dulu. Dan aku pun mulai tak begitu merindukan kedatangannya di rumahku.

Saya memang bukan kakek. Banyak hal perbedaan di antara kami. Kakek adalah orang yang saleh, sementara aku, cucunya, shalat saja masih jauh lebih banyak bolongnya. Sesekali suka minum bir. Nongkrong-nongkrong. Dan jauh dari mesjid. Lagipula, tak ada keharusan seorang cucu untuk menyerupai kakeknya.

Tapi, fragmen beberapa jam penguburan kakek memaksaku berpikir ihwal apa arti keluarga dan puak bagiku. Aku ternyata memang tak terikat secara erat dengan apa yang disebut keluarga dan puak. Di momen-omen tertentu, keluarga dan puak seringkali justru menjadi beban. Pada salah satu lebaran, aku merasakan betapa tak enjoynya harus melakukan ritus mudik. Ah, betapa enaknya orang-orang yang bisa bebas menentukan di mana ia hendak berlebaran. Kala itu, aku sempat berpikir, ada baiknya aku segera menikah dan berkeluarga, setidaknya, itu bisa menghindarkan diri dari kewajiban mudik dan pulang kampung.

Aku lebih terberati oleh jejalin persahabatan dengan orang-orang yang kutemui kala aku dewasa. Kawan-awan kuliahku. Teman-temanku nongkrong. Rekan kerja. Apa yang disebut Amin Maalouf sebagai “warisan vertikal” semacam ikatan primordial yang terberi begitu saja, seperti ikatan darah dan keluarga, ternyata pelan tapi pasti tergerus oleh apa yang oleh Maalouf sebut sebagai “warisan horzontal”: anyaman identitas yang dibentuk dengan penuh kesadaran, semisal identitas perkawanan, komunitas, dll.

Belakangan aku mulai sedikit menikmati momen-momen berkumpul dengan keluarga. Tapi, ikatan primordial bernamah keluarga dan puak itu kadang masih memberatiku. Masih kadang membebaniku.

Aku tak tahu persis apa alasan yang membuatku memutuskan pulang di menit pertama ketika mendengar kabar mangkatnya kakek. Adakah itu manfestasi kehilangan dan kesedihan? Entahlah. Nyatanya aku tak menangis sesenggukan. Tak ada setetes pun air mata yang tumpah.

Aku pulang, sepertinya, untuk melaksanakan kewajiban terakhir seorang cucu pada kakeknya, apalagi ibuku, putri pertama kakek, sedang tak di Mekkah sana. Aku, terpanggil, setidaknya untuk mewakili ibu. Dan aku sudah melaksanakan itu sebaik-baiknya. Mengusungi keranda kakek, meletakkan jenazah kakek, melepas ikatan pocongnya dan meletakkan dengan hati-hati gigi palsu kakek. Akulah darah dagingnya yang terakhir yang menyentuhnya dan yang terakhir pula menatap parasnya yang tua dan letih itu.

Ya, sekadar kewajiban. Semacam tugas. Aku menuliskan kata “kewajiban” dan “tugas” dengan hati yang aneh, perpaduan antara rasa yakin dan tak bisa menerima.

Aku masih ingat ucapan seorang letnan marinir yang bertugas sebagai pengacara dalam film Rules of Engagment, yang kusaksikan di warteg sembari menunggu kedatangan kereta Senja Utama yang akan membawaku kembali ke Jogja. Di salah satu adegan, letnan itu (aku lupa namanya) mengenang kejadian yang dialami sewaktu di medan perang Vientam. Ia bukan menyesali anak-anak buahnya yang tewas. Ia menyesal sangat karena ketika ia tahu semua anak buahnya tewas, ia malah bersyukur karena dirinya ternyata selamat. Ia merasa sangat tidak terhormat ketika mengingatnya.

Kurang lebih, itu pula yang aku rasakan. Aku tak bisa menerima ketika di atas aku menulis kepulanganku semata sebagai “kewajiban” dan “tugas” seorang cucu kepada kakeknya. Tak bisa menerma, kenapa bisa aku berpikir demikian, kendati sedikit pun aku tak meragukan kesimpulanku itu.

Sekarang, kakekku yang damai, ijinkan cucumu melanjutkan hidupnya. Menghadapi problem-problem kemanusiannya. Biarlah aku menangguk semua kesalahan dan dosa yang kuperbuat, seperti halnya kau sekarang mungkin sedang memertangungjawabkan semua dosamu (kuharap tak tentu saja) dan menikmati pahala yang pernah dibuatmu.

Dalam hal ini, kita, aku dan kakek, pasti sepakat: tak ada dosa turunan di antara kita.

3 komentar:

perikecil mengatakan...

Tulisan yang membuat aku sedikit lega. Setidaknya aku punya "teman" dlm hal tdk merasa dekat dg keluarga.
Aku ingin sekali tak lagi mengintip2 lewat jendela. Ingin sekali berkata: Ini aku dg jalan yang kupilih sendiri.
Tapi -selain kewajiban- ada satu hal yang membuatku berpikir dua kali utk bersikap frontal. Aku sendiri tidak ingin dilupakan begitu saja oleh seseorang yang suatu saat menyandang status sebagai keturunanku.

zen mengatakan...

Melupakan dan menjauhi itu dua hal berbeda. Kita bisa saja menjauh, tapi belum tentu kita melupakan. Bukankah jarak justru mengajarkan rindu? Dan rindu justru mengekalkan kenangan? Keluarga memang kadang menjadi beban. Dan ternyata, bayanganmu ttg keluargamu kelak, yang entah kapan datangnya, juga sudah memmbebanimu. kasihan betul!

BUDI SETIYONO mengatakan...

Kenangan tak akan sepenuhnya utuh. Tapi ia punya tempatnya sendiri, di sudut hati paling terpencil sekalipun. Ia sesekali menyelinap, mengusik, dan membuat kita mengerti: alangkah indah hidup karena kita memiliki kenangan-kenangan itu.

Seperti juga kenangan pada "kakekku" --kakek angkat.