Sobron Aidit adalah anak Belitung yang selalu ingin pulang ke Belitung.
Kita tahu, Sobron mendiang pada Sabtu pagi (10/2) yang tenang di Paris, kota yang ia tinggali sejak 1980. Dua belas tahun setelah kedatangannya, pada 1992, Sobron menulis sajak berjudul "Parisien", sajak yang seakan menjadi altar tempat ia merayakan kekagumannya pada Paris, kotanya yang baru, rumahnya yang entah keberapa buatnya.
Pada pasase terakhir sajaknya, Sobron menulis: Paris/ mengalir aku di urat-darahmu/ bersarang aku di jantungmu.
"Parisien”, kata yang Sobron pacak sebagai judul sajaknya, adalah kata ganti untuk orang-orang Paris, mereka yang mendiami Paris. Tapi “Parisien” tak sesederhana itu karena ia juga merujuk pada orang-orang yang tak sekadar berdiam di Paris, tapi juga mengenal betul Paris, hapal bau amisnya, akrab dengan aromanya yang sensual, mengerti setiap denyutnya, sekaligus menyatu betul dengan semua kekhasannya.
Parisien adalah sebutan untuk orang yang dalam sejumlah hal mencerminkan gaya hidup Paris, seperti Dubliner untuk orang-orang Dublin yang senang menghabiskan waktu senggang dengan bercakap di bar sembari menenggak bir sampai oleng, atau New Yorker untuk orang New York yang kosmopolit dan selalu berjalan tergesa bertarung dengan waktu yang mesti ditundukkan atau Bataviase bagi orang-orang (asing di) Batavia yang hidup dengan kesantunan yang menjengkelkan khas orang Eropa zaman Victorian yang penuh basa-basi, yang keukeuh mengenakan pantalon di tengah serbuan hawa panas Batavia yang menyengat.
Mexico City, ibu kota Mexico yang menjadi salah satu kota terpengap di kolong jagat, punya istilahnya sendiri bagi orang-orang yang tinggal di sana sekaligus mengakrabi dan selalu terus ingin mengenal segala renik perubahan yang mungkin sedang mengintai kotanya: “Citambulos”. Di Mexico City, kata itu berarti “Orang-orang yang selalu senang mengelilingi Mexico City dengan berjalan kaki untuk mengenal setiap sudut kota.”
Sobron, seperti yang ia bilang di pasase terakhir sajak Parisien, mendaku betapa dirinya sudah melekat betul dengan Paris, sampai-sampai ia yakin benar kalau dirinya sudah mengalir “di urat-urat” dan “jantung” Paris.
Masalahnya, benarkah Paris juga sudah mengalir “di urat-urat” Sobron? Sudahkah Paris bersarang di jantung Sobron?
Saya tak tahu persis. Tapi siapapun yang sering membaca tulisan-tulisan Sobron, entah itu puisi, esai, artikel atau sekadar catatan-catatan ringan, yang di warsa-warsa belakangan mudah dijumpai di sejumlah milis, mudah tergoda untuk menjawab: Ah, Paris tak pernah mengisi sepenuhnya urat-urat Sobron, Paris tak pernah memenuhi jantung Sobron….
Urat-urat dan jantung Sobron lebih banyak disesaki oleh kenangan pada Belitung dan Indonesia, kampung kelahiran dan negeri asal.Sobron, seperti yang juga tampak dari semua orang Indonesia karena menjadi eksil menyusul kasus G-30-S, amat sering berbicara tentang negeri asalnya. Ia begitu kuat ingatan dalam mengisahkan ulang sejumlah hal sepele yang pernah ia alami di Indonesia, sesemangat ketika ia mengomentari perkara-perkara yang mencuat di Indonesia, selantang ketika ia berbicara tentang dosa-dosa hitam Soeharto dan Orde Baru.
Masa lalu dan kenangan yang mengawetkanya seperti menjadi sumber ilham yang tak pernah habis digosok, tapi tampak juga sekaligus sebagai beban.
“Setelah dua pekan bermalam di emperan Sungai Rein/ kembali pulang ke kampung halaman Sungai Seine/ hati ini melonjak rindu dan kangen/ setelah mendekapkan perasaan sekitar sembilan lilindi Almere, Holland./ Tapi aku tetap saja ada di busur-lengkung/ garis-garis tata-letak kampungku di Belitung.”
Sajak di atas, berjudul "Pulang", yang ditulis pada Juni 2005, dengan amat baik menggambarkan bagaimana posisi Paris di Prancis atau Alemere di Belanda di hadapan Belitung di Indonesia. Tapi lebih dari sekadar itu, sajak Pulang juga menyiratkan sejumput kejengkelan, mungkin seperti sebonggol frustasi. “Aku itu sudah berpuluh tahun di luar negeri, tapi (kenapa ingatan) aku tetap saja menancap di Belitung?” begitu kira-kira pesan utama sajak itu.
Bayangan masa silam itu bahkan tetap dibawanya ke nirwana. Wasiat ia berikan pada sanak keluarga yang ia tinggalkan adalah agar jenazahnya dikremasi, dan abunya ditabur di Beijing (tempat mendiang istrinya wafat) dan di Belitung (tanah kelahiran). Paris seperti tak berbekas, penaka bukan kota yang ia pernah dengan amat tegas bersaksi kalau dirinya sudah benar-benar larut dalam otot dan jantungnya.
Puisi-puisi yang ditulisnya, catatan-catatan yang berisi kenangan, atau pernyataan-pernyataan politiknya yang tak pernah absen menghardik Soeharto dan Orde Baru dan (nyaris) semua tulisan yang dengan rajin dan rutin yang dikirimnya ke milis-milis, merupakan penegasannya yang paling otentik akan kerinduannya pada Belitung.
Harus diakui, Sobron adalah anggota milis yang aktif, teramat aktif malah untuk ukuran lelaki setua dia, yang tiap hari harus pergi ke warnet untuk mengirim dan membalas imel-imel. Seperti kesaksian yang diberikan anaknya, sebelum meninggal Sobron jatuh di sebuah stasiun bawah tanah ketika hendak pergi ke warnet, untuk apa lagi selain menyambangi milis-milis yang ia ikuti, dan kemudian ia hujani kembali dengan puisi dan tulisan-tulisannya.
Saya membayangkan, desau angin yang sensual kota Paris atau hiruk pikuk kesibukannya di restoran Indonesia, pasti langsung lenyap tiap kali ia duduk mencangkung di depan monitor warnet. Jika sajak Parisien seperti menjadi altar tempat ia merayakan kekagumannya pada Paris, maka warnet penaka altar tempat ia justru menegaskan betapa Paris tak pernah merasuki urat dan jantungnya.
Sobron adalah anak Belitung yang selalu ingin pulang ke Belitung. Sobron bukan seorang Parisien, karena itulah ia tak ingin abu jenazahnya ditaburkan di Paris.
Tapi dari sanalah, dari puisi-puisi yang lahir dari tangan Sobron, kita juga melihat betapa status sebagai eksil ternyata tak pernah melahirkan puisi-puisi eksil, yang tertinggal tak lebih sekadar gambaran situasi eksil.
Puisi-puisi Sobron, seperti juga puisi-puisi orang-orang eksil yang lain, seperti yang bisa kita baca dalam antologi "Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia" (2002), terlalu sarat dengan klise-klise politik, gerutuan orang-orang yang dizalimi (betapa pun itu memang faktual). Puisi seperti lahir untuk mementaskan kekecewaan, kemarahan, keluhan dan kejengkelan. Bukan kekecewaan atau kejengkelan itu yang pokok, tetapi kekecewaan dan kejengkelan yang membuat puisi-puisi itu menjadi beku dan klise itu yang jadi soal.
Di tangan Sobron, puisi seperti menjadi hal sekunder, karena yang primer adalah situasi eksil dan segala macam penyebabnya yang degil dan rudin itu. Diksi yang ranum, metafora yang kaya, pengucapan yang segar atau bunyi yang berirama seperti menjadi hal yang langka.
Kita harus mafhum pada kemungkinan betapa mereka mungkin tak terlalu peduli dengan tetek bengek teknik berpuisi yang membikin pusing para penyair pemula di negeri ini. Tapi kita patut heran kenapa kebebasan yang begitu besar di tanah asing. Limpahan pustaka yang menggunung, perjumpaan dengan khasanah kebudayaan dan realitas baru, tak membuat para sastrawan eksil(?) itu bisa melahirkan karya, minimal yang tidak klise-lah?
Amat jarang kita jumpai puisi para penyair eksil itu menyatakan rasa frustasinya seindah Agam Wispi dalam sajak "Pulang"-nya yang legendaris itu: “Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang/puisi, hanya kaulah lagi pacarku lerbang....”
Sajak "Pulang vers Agam Wispi memaparkan kepedihan, kekecewaan, kemarahan, dan rasa rindu untuk pulang ke tanah air yang berujung pada frutasi yang menahun, yang membuat Agam Wispi akhirnya “menyerah” dan memilih untuk menjadikan puisi sebagai satu-satunya tempat ia pulang. Kepedihan, kekecewaan dan kemarahan seperti sudah ditransendensi sedemikian rupa dalam samudera kesadaran penyairnya.
Frase macam Agam Wispi di atas, yang punya potensi menjadi frase yang melegenda dan melintasi zaman, amat sukar kita jumpai dalam puisi-puisi Sobron dan yang lain. Bukankah kepedihan dan penghinaan atau rindu yang membubung pada tanah kelahiran tak harus selalu disuarkan melalui “pamflet” yang mengambil bentuk (serupa) sajak?
Di tangan Sobron, puisi menderu-deru seperti berburu dengan waktu, seakan mengejar sehimpun deadline, seperti terikat-erat dengan sejumlah target-target yang sama sekali tak ada urusannya dengan puitika. Pengalaman batin yang nyaris sama dengan Agam Wispi, di tangan Sobron, (hanya) menjadi “Lalu kini apakah bisa kita katakan/ api kebakaran lama dulu itu sudah mau padam?/ …sedang mereka (baca: eks rezim Orde Baru) terus membangun istana-istana baru/ di atas pekuburan kita/ di atas pekuburan para keluarga dan teman-teman kita ("Daftar Ingatan", 1998).
Sobron barangkali sedang membayangkan bahwa semua yang ditulisnya adalah peringatan bahwa ada yang keliru dari masa silam yang belum sepenuhnya diperiksa. Sobron, tampaknya, seperti khawatir masa silam yang hitam itu akan segera dilupakan. Sobron tak ingin itu kejadian. Seperti yang terpantul dalam puisi-puisinya yang seperti meriam itu, ia bahkan seperti tak sabar menyaksikan bagaimana masa silam yang membuatnya naas itu untuk sesegara mungkin diperiksa. Seperti ada dendam berkarat yang belum sepenuhnya lunas.
Asahan Aidit, adik Sobron sendiri, dalam obituari kakaknya, yang saya baca dari salah sebiji milis yang saya ikuti, juga menegaskan itu. Dendam, tulis Asahan, “adalah jiwa tulisan Sobron”.
Rabu, Februari 21, 2007
Masa Silam yang Mengeram jadi Dendam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
0 komentar:
Posting Komentar