Metanoia seorang Rumi
Dulu sekali, bahkan hingga waktu-waktu belakangan, saya masih tak mengerti apa maksud yang hendak disasar fragmen ksatria belajar memanah itu. Dan saya, jujur saja, mengabaikannya (kendati masih separuh mengingatnya), menganggap fragmen itu sebagai kisah biasa yang tak menyimpan pesan apa pun, dan tentu saja jauh tak merangsang fantasi tinimbang fragmen-fragmen hebat yang bejibun jumlahnya dalam rangkaian kisah epik Mahabharata itu.
Tetapi lewat riwayat Jalauddin Rumi yang menapaki tetapak jalan sufistik, saya akhirnya menemukan abstraksi tentang fragmen ksatria belajar memanah itu. Abstraksi versi saya sendiri tentu saja. Tapi abstraksi itu akan saya simpan dulu dan mencoba untuk sepintas lalu membicarakan Rumi.
Jalaluddin Rumi adalah sepucuk nama yang dikenal begitu luas, tidak hanya oleh orang-orang muslim atau di negeri-negeri dengan mayoritas Islam saja. Ia masyhur di mana-mana. Di Barat dan di Timur. Pada 1997, misalnya, Rumi ditempatkan sebagai penyair paling laris di Amerika oleh tabloid Christian Science Monitor.
Dia memang dikenal luas sebagai sufi yang memiliki pengaruh tidak hanya di dunia sufistik saja, melainkan juga dalam dunia sastra. Syair-syairnya tidak hanya dibaca oleh pembaca Muslim, tetapi juga oleh pembaca Barat. Puisi dan tafsir mistiknya terus dibaca dan digemakan oleh orang-orang yang secara sengaja melepaskan diri dari kemapanan dan rutinitas dalam upaya mencari hidup yang lebih bermakna.
Sama', tarian mistik dengan gerakan berputar-putar untuk mendapatkan pengalaman spiritual yang menjadi praktik ritual khas tarekat yang didirikannya, Maulawiyyah, belakangan sangat digandrungi banyak kalangan di Dunia Muslim maupun non-Muslim. Karya-karyanya memang menyajikan tuntunan praktis bagi umat Islam dalam pelbagai tingkatan kecerdasan spiritual.
Tapi yang tak banyak diketahui, Rumi pada awalnya, hingga usia menjelang 40 tahun, bukanlah seorang sufi. Ia memang sudah termayhur. Tetapi bukan dalam label sebagai guru sufi yang cemerlang, melainkan masyhur hanya sebagai seorang guru besar, semacam profesor, di bidang fiqh dan hukum Islam.
Dalam status itu pun, Rumi sudah punya banyak murid. Dia juga dianggap sebagai orang dengan kadar kecerdasan di atas rata-rata. Dia dipercaya untuk mengajar di sejumlah madrasah. Berpuluh-puluh kali dia diundang sebagai pembicara dan berkali-kali pula diundang datang dalam serawung ilmiah yang dihadiri para guru besar dari pelbagai disiplin ilmu.
Tetapi dengan itu barangkali Rumi hanya akan dikenal sebagai guru besar saja. Tentu namanya akan juga dicatat dalam helai-helai sejarah intelektual Islam. Tetapi belum tentu dalam status itu Rumi punya kesempatan untuk mengubah banyak orang, memengaruhi jalan spiritual banyak orang. Dengan hanya menjadi seorang guru besar di bidang fiqh, misalnya, tarian para darwis yang berputar-putar itu tak akan dikenal luas. Dan yang nyaris terang juga, dengan hanya menjadi seorang guru besar fiqh, Rumi tak tentu saja tak akan pernah bisa melahirkan syair-syair indah yang dipenuhi aura mistik yang mendalam nan memabukkan. Dan tanpa itu, Rumi tak akan dikenal luas oleh publik di luar muslim, dan tentu saja, tak akan juga ditempatkan sebagai penyair paling laris di Amerika pada 1997 silam.
Transformasi besar dalam sejarah spiritual seorang Rumi dimulai ketika Rumi bersua dengan seorang lelaki yang masyhur dengan sebutan Syams at-Tabirizi, Matahari dari Tabriz. Lewat “bimbingan” Syam, dan bersama Syam pulalah, Rumi menemukan pencerahan, semacam metanoia yang tuntas, yang terbukti mengubah peta intelektual Rumi sekaligus membelokkan orientasi spiritualnya.
Siapa sebenarnya Syams? Sebelum bersua dengan Rumi dan lantas sukses membimbing Rumi menapaki jalan setapak sufistik, Syams bukanlah siapa-siapa, jika siapa-siapa di situ diukur dari seberapa besar pengaruh Syams dalam dunia sufi. Syams juga nyaris tak dikenal.
Dan memang sejak dari tampilan fisik, Syams sama sekali tak memesona dan sama sekali tak mencerminkan penampilan seorang sufi besar. Ketika bersua pertama kali dengan Rumi pada 29 November 1224, Syams yang sudah berusia sekira 60 tahun, seperti hadir dari ketiadaan. Reynold Nicholson, penerjemah opus magnum Rumi, Mastnawi, mendeksripsikan Syams sebagai “sosok mengerikan yang terbungkus kain wol hitam”.
Syams adalah sosok yang eksentrik. Nyeleneh. Laku kesehariannya tak biasa. Orang bisa mudah tersulut syaraf kejengkelannya jika melihat polah Syams. Dalam Maqalah, Syams menulis tentang dirinya. Aku tidak punya urusan dengan penduduk dunia, kata Syams, “Aku tidak datang untuk mereka. Aku letakkan jemariku di atas denyut nadi orang-orang yang membimbing menuju jalan Allah.”
Ada satu istilah dalam vokabulari sufisme untuk tipe sufi macam Syams. Golpinarli menyebutnya dengan istilah “qalandar”, yaitu sufi yang memilih jalan sunyi pengembaran dan tak berminat untuk menjadi anggota dari sebuah tarekat. Sufi jenis ini biasanya terhimpun ke dalam kelompok yang kerap disebut Malamatiyya yang para anggotanya memilih jalan pembersihan spiritual diri lewat sumpah serapah dan caci maki orang lain. Para sufi macam ini kerap bertingkah aneh di depan umum demi memantik rasa benci orang.
Dan orang seperti itulah yang ternyata sukses mematahkan trek inteletkual yang sudah dilalui Rumi puluhan tahun hanya lewat perjumpaan sekilas yang kelak akan dikenang sebagai salah satu fragmen legendaris dalam dunia sufi. Ada sejumlah legenda ihwal persuaan Rumi dengan Syams. Salah satu kisah bagaimana Rumi dan Symas bersua sudah menunjukkan betapa pentingnya persuaan itu bagi pembelokkan jalan spiritual Rumi.
Seorang sufi bernama Muhyidin Abdul Qadir, orang yang hidup sezaman dengan putra terkasih Rumi, Sultan Walad, mengisahkan bahwa dua orang itu berjumpa ketika Rumi sedang memberi kuliah. Syams masuk ke ruangan dan dengan mendadak, sembari menunjuk tetumpuk buku yang digunakan Rumi, ia bertanya dengan suara seperti berteriak: “Apa ini?”
Dengan kurang sopan, mungkin karena dikobari rasa jengkel menyaksikan seorang anonim masuk seenak perutnya, Rumi menjawab acuh: “Kau tidak akan mengerti.”
Gantian Syams yang meradang. Secepat kilat Syams meraih buku-buku itu dan langsung membakarnya. Sebagian percaya buku-buku itu mendadak terbakar sendiri. Yang pasti, saat itu juga, Rumi balik bertanya persis seperti pertanyaan Syams sebelumnya: “Apa ini?”
Kali ini Syams yang ganti menjawab persis seperti jawaban Rumi di awal: “Kau tidak akan mengerti!”
Sejak itu, Rumi dikisahkan jatuh dalam keterpukauan, leleh dalam pendar cahaya yang menguar dari sosok Syams. Fragmen persuaan yang pendek itu sukses merobek-robek benang keyakinan seorang Rumi yang sudah dirajut sedemikian lama. Mengoyak bangunan intelektualnya. Dan itu terjadi hanya dalam sekali pukul.
Sejak itulah Rumi seperti tak terpisahkan dari Syams. Dan Syams juga tak pernah beranjak jauh-jauh dari Rumi. Keduanya membangun sebuah jejalin perkawanan yang aneh, unik dan sekaligus kompleks serta berdimensi banyak. Rumi sendiri, seperti yang bisa ditelusuri dalam Mastnawi, atau Syams sendiri dalam Maqalah, sering menggunakan frase “kekasih” untuk menyebut yang lainnya.
“Kekasih”. Frase itu sebaiknya jangan ditelan secara letterlijk. Ini penting untuk dikemukakan mengingat beberapa kelompok homoseksual berkepentingan menerjemahkan hubungan Syams dan Rumi, atau Socrates dan Plato, sebagai sebentuk dorongan cinta homoseksual.
Bagi Rumi, Syams adalah sosok yang lewatnya, “kekasih” yang sesungguhnya, yaitu Sang Maha Kekasih, menampakkan diri sehingga terjangkau oleh pandangan mata batinnya. Tanpa Syams, begitu Rumi meyakini, Sang Maha Kekasih tak akan pernah bisa dijangkaunya. Bersama Syam pula Rumi menapaki satu demi satu pengalaman ekstase, perjumpaan dan percumbuan dengan Sang Maha Kekasih.
Demi menggapai pengalaman-pengalaman esktase sesering mungkin, Rumi makin tak terpisahkan dari Syams. Pengalaman ekstase itu terlalu mahal harganya, sehingga demi itu, Rumi rela meninggalkan buku-buku dan kajian-kajian ilmiah tentang hukum Islam yang selama ini ditekuninya. Jika di awal perjumpaan orang mungkin bisa menyebut adegan buku-buku Rumi yang terbakar atau dibakar Syams semata sebagai alegori, di kemudian hari, Syams betul-betul sukses membikin Rumi “membakar” buku-bukunya; membakar dalam arti melupakan buku-buku dan tentu saja meninggalkan dan tak pernah kembali menapaki jalan pengkajian ilmiah fiqh.
Sultan Walad, putra Rumi, menceritakan bagaimana keduanya menghilang beberapa purnama lamanya. Lenyap entah ke mana. Mengasingkan diri. Dan ketika kembali ke rumah, Rumi sudah tak pernah menjadi Rumi seperti sebelumnya. Ia sudah melepaskan atribut ke-profesor-annya. Rumi seperti mengacuhkan semua-muanya. Buku-bukunya. Murid-muridnya. Dan kadang keluarganya. Demi bisa bersama dengan Syams, Rumi rela untuk absen dalam pertemuan-pertamuan ilmiah dengan para cendekia di kota tempat Rumi berdiam, Konya.
Tak bisa tidak ini menimbulkan kecemburuan. Tidak hanya dari para murid Rumi, melainkan juga penduduk Konya, yang tak rela cendekiawan paling cemerlang yang mereka miliki diubah secara drastis oleh seorang sufi urakan nan menyebalkan macam Syams.
Bagi Rumi, kedalaman dan kesucian spiritual Syams betul-betul tinggi dan terus meninggi sehingga ia menyadari tak perlu lagi sahabat dan persahabatan dengan yang lain. Kekuatan dan aura spiritual yang dipendarkan oleh Syams membuat Rumi kerap berada dalam situasi tercengkau. Ketercengkauan yang membuat Rumi merasa kalau tiap kali memandang Syams ia sama seperti sedang menatap wajah Illahi, Sang Maha Kekasih.
Tiap kali mengalami momen-momen spiritual macam itu Rumi seperti merasa berkewajiban untuk menyampaikan pemahamannya yang mendalam ihwal pendar cahaya Syams yang tersembunyi, mengelupaskan kelopak-kelopak yang membuat cahaya Syams tak tampak bagi orang lain, lewat syair-syair indah.
Dorongan yang memantik dan menggerakkan jemari Rumi untuk menuliskan syair-syair indah itu selalu datang dan akan tetap datang tiap kali Rumi bersama dengan Syams; sebuah kebersamaan yang menurut Muhammad Iqbal menjadi semacam “pengalaman kesadaran unik yang berhasil melepaskan energi potensial yang sebelumnya tersimpan di dalam relung yang terdalam”.
Maka ketika Syams mendadak lenyap dari Konya pada musim semi yang panas di tahun 1246, tenggelamlah Rumi pada kesedihan yang tak tertahan. Dia seperti kehilangan sebelah jantungnya. Rumi mendadak menjadi orang yang pemarah. Mudah tersinggung. Dan yang pasti, selalu mengurung diri. Dia sangat membatasi bertemu dengan orang lain. Apalagi untuk menghadiri diskusi-diskusi. Rumi lebih senang menyuntuki diri. Mendengarkan musik. Dan menari sama’. Berputar-putar dengan kesadaran yang di mana entah. Mencapai trance.
Orang-orang yang percaya bahwa Rumi akan kembali menjadi Rumi yang lama jika Syams pergi benar-benar kecele. Kepergian Syams dan kesedihan Rumi yang berlarat-larat akibat kepergian itu justru makin menegaskan pada publik luas, termasuk pada murid-murid Rumi yang cemburu pada Syams, bahwa hubungan mereka dengan Rumi tak ada apa-apanya dibandingkan dengan hubungan Rumi dan Syams.
Ketika akhirnya Syams kembali ke Konya beberapa tahun kemudian, Rumi betul-betul seperti kembali menemukan energi yang sebelumnya seperti memiuh entah ke mana. Wajahnya kembali bersinar. Aura spiritualnya kembali memendar. Tapi yang tak berubah adalah bahwa Rumi tetap saja berduaan dengan Syams. Dan itu tak bisa diganggu-ganggu lagi.
Kedatangan Syams yang kedua makin meninggikan derajat aura mistikal yang dipancarkan Rumi. Dia makin doyan mendengarkan musik. Dia makin kerap menari sama’. Kadang kala tak pandang tempat. Berkali-kali Rumi menari hingga trance di jalanan konya, bersama Syams, dan bersama beberapa muridnya yang setia. Pemandangan itu, tak ayal, membikin publik Konya merasa miris. Tak pernah mereka bayangkan, salah satu cendekia mereka yang paling cemerlang, bisa tenggelam dalam pusaran mistik yang demikian kuat.
Ketika akhirnya Syams kembali menghilang untuk yang kedua kalinya dan sekaligus yang terakhir (banyak sejarawan yang percaya kalau Syams dibunuh oleh murid Rumi yang cemburu dan juga melibatkan Alauddin, salah satu putra Rumi sendiri), Rumi patah hati dan semakin menderita.
Sultan Walad, putra Rumi, mengisahkan bagaimana ayahnya bertanya kepada setiap pengembara yang ia temui apakah mereka bersua dengan Syams atau tidak. Suatu hari, Rumi bertemu dengan perantau yang mengaku berjumpa dengan Syams. Rumi dikabarkan begitu berbahagia sampai-sampai ia melepaskan jubahnya dan memberikannya pada pengembara tersebut.
Pernah seorang teman Rumi mengatakan kalau bisa saja pengembara itu berdusta. Dan Rumi ketika itu juga menjawab: “Andai aku tahu itu berita benar, tentu sudah kuberikan hidupku, bukan cuma jubahku.”
Dan sejak kepergian Syams selamanya, Rumi jelas sudah berubah total. Rumi lama adalah sosok guru besar yang menjadi contoh sempurna bagi kesopanan dan pengendalian diri dan Rumi baru barangkali karena merasa terhempas dari Syams buat selamanya, tumbuh menjadi seorang mistikus yang khidmat tetapi sekaligus juga menjadi sosok yang liar.
Afzal Iqbal memberi kesaksian bahwa Rumi sedang berada dalam keadaaan yang membahayakan, dan sejumlah orang percaya bahwa Rumi mulai dilanda kegilaan. Tetapi, di sini uniknya, kepergian Syams yang membuatnya ditelan duka yang berlarat itu justru membuat Rumi seperti dianugerahi energi yang meruah dan mencengangkan.
Para hagiografer banyak bercerita kalau kepergian Syams yang pertama membuat Rumi menjadi sosok yang pemurung dan tertutup, kepergian Syams untuk selamanya justru membuat Rumi menjadi sosok yang terkesan berantakan tapi sesungguhnya kuat dan berani, pengagum tarian sama’ yang bandel.
Sejak masa-masa itulah Rumi seperti makin tersihir oleh musik, tak peduli jika masih banyak ulama yang menganggap musik sebagai hal yang bisa mendatangkan nafsu. Rumi betul-betul menjadi seorang darwis dan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan uang dan kekayaan.
Sultan Walad menulis: “Siang dan malam dia menari dalam ekstase, di bumi dia berputar seperti angin. Tangisan dan kemabukannya mencapai puncak langit, di dengar oleh semua dan segala yang ada.”
Walad juga berkata bahwa Rumi kerap kali menghambur-hamburkan uang untuk para pemain musik ketika sedang berputar-putar menari sama’. Satu-satunya kepedulian Rumi hanyalah pada musik dan tarian sama’ yang berputar-putar, yang tidak dapat disela meski hanya sedetik.
Dalam momen-momen seperti itulah syair-syair mistik nan indah Rumi banyak lahir. Sebetulnya banyak yang percaya kalau Rumi sudah menulis syair jauh hari sebelum dia bertemu Syams. Tetapi lebih banyak lagi yang percaya, setidaknya konvensi kesusastraan, kalau Rumi mulai mengaktualisasikan bakat puisinya seusai bersua dengan Syams. Itu bisa terbaca dari kenyataan betapa sebagian besar puisinya berkenaan dengan dukacita mendalam atas kepergian Syams. Sebagian besar puisi terbaiknya merupakan hasil gabungan kerinduan tak tertahan dan kesadaran mistik mendalam yang dia bangun bersama Syams.
Kesedihan, pukulan batin dan kedalaman spiritual Rumi semuanya mengental dalam semburan lirik-liriknya. Seperti dicatat oleh Leslie Wines, dia mengabdikan kemampuan berbahasanya untuk menjelajah kedalaman derita atas kepergian Syams. Dalam beberapa bab Mastnawi, kekasih yang hilang itu jelas menunjukkan sebuah metafora bagi konsep Tuhan, Sang Maha Kekasih.
Bagi Syams sendiri, kepergiannya sama sekali tak menimbulkan persoalan bagi dirinya. Dalam maqalah, Syams menuliskan testimoninya sewaktu ia pergi meninggalkan Rumi untuk yang pertama kali: “Akan baik sekali bila kau (Rumi) dapat mengendalikan diri…. Kepergianku kini cukup sudah untuk memerbaiki derajatmu. Aku tidak berhak memerintahkanmu melakukan perjalanan. Karena itu, biarlah aku yang pergi demi perkembanganmu karena perpisahan akan membuat orang bijaksana.” Syams pun mengatakan jika perlu ia akan pergi berpuluh-puluh kali lagi jika hal itu bisa membuat Rumi mencapai maqam spiritual yang lebih tinggi.
Beberapa tahun kemudian Rumi akhirnya menemukan sahabat sekaligus guru yang baru. Namanya Shalahuddin. Rumi tampaknya tetap membutuhkan orang lain yang bisa dia anggap sebagai guru, sebagai cermin yang dengannya tabir Tuhan, Sang Maha Kekasih, bisa makin terkuak cahaya-Nya.
Tetapi berbeda dengan Syams yang punya pengaruh yang menggebu-gebu pada diri Rumi, Shalahuddin cenderung lebih lembut dan mengayomi; cara-cara Shalahuddin yang lembutlah, tulis Leslie Wines, yang barangkali membantu Rumi sembuh dari gejolak emosi akibat kepergian Syams.
Ketika Shalahuddin wafat, Rumi menulis sebuah syair: “Duh Shalahuddin kau pergi, kau burung terbang cepat, kau melesat dari busur seperti anak panah, dan sang busur menangis merintih.”
Setelah itu Rumi menemukan kembali teman spiritualnya yang ketiga dan terakhir. Namanya Hisyamuddin Syalabi. Seturut Sepahsalar, hubungan pertemanam cum guru-murid antara Rumi dan Hisyamuddin menjadi persahabatan yang sangat penting karena ketika bersama Hisyamuddin-lah Rumi mulai penulisan mahakaryanya, Matsnawi, yang memang dipersembahkan Rumi untuk Hisyamuddin.
Para sarjana mencatat bahwa lebih dari satu dekade Rumi dan Hisyamuddin berkelana ke mana-mana. Saking pentingnya kehadiran Hisyamuddin, Aflaki mengisahkan bahwa pada satu saat ketika Hisyamuddin pergi karena istrinya wafat, Rumi sama sekali tak dapat memusatkan perhatian untuk menuliskan Mastnawi. Baru setelah Hisyamuddin kembali dan menyatakan siap kembali mendampingi, Rumi pun menemukan kembali sentuhannya. Dan mulailah Rumi kembali menulis Matsnawi.
Dalam hal genre kesusastraan, persahabatan Rumi-Syams dan terutama persahabatan Rumi dan Hisyamuddin sewaktu menyusun Mastnawi, mengingatkan kita pada penulis Beat di dekade 1950-am: Jack Kerouac yang merasa tak mampu menuliskan sebiji pun karya kecuali jika dia sudah duduk berhadapan dengan pengembara kharismatik, Nal Cassady.
Bagi saya, makin jelas bahwa kehidupan Rumi sendiri dapat diceritakan secara lebih benderang dengan meneliti hubungan persahabatan sekaligus hubungan guru-murid antara Rumi dengan Syams, Shalahuddin dan Hisyamuddin. Rumi yang mudah berubah tampak menyerap kualitas mistik dan spiritual tiga orang itu sekaligus membutuhkan sifat-sifat khusus dari spiritualitas ketiganya untuk membimbing Rumi menemukan kehidupan mistikal dan juga untuk menghasilkan karya-karya besarnya. Rumi sangat yakin kalau hubungannya yang intens dengan tiga orang itu akan menghasilkan daya tarik yang dengan segera bisa membawa dirinya kepada pertautan yang lebih masyuk dengan Tuhan, Sang Maha Kekasih.
Ketika bertemu dengan Syams, Rumi belajar kekuatan dan kedalaman mistisisme dan menatap jauh ke depan melampaui batas-batas pemahaman intelektualnya. Dari Syams pun dia belajar bagaimana, bila perlu, menangguhkan norma dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Dan Shalahuddin adalah sosok yang menenangkan Rumi ketika ia sedang mengalami disorientasi setelah masa-masa metamorfosa yang keras bersama Syams. Cinta yang lembut dan persahabatan yang tulusnya tak tersangsikan membantu Rumi menemukan ketenangan batin yang mencukupi Rumi untuk bisa menulis Ghazal denga khidmat. Sedangkan Hisyamuddin adalah juru tulis sekaligus sumber isnpirasi bagi syair-syair mistik Rumi yang mampu bekerja berjam-jam lamanya selama Rumi menulis Mastnawi.
Sultan Walad pernah bertanya kepada Rumi ihwal peran masing-masing tiga orang gurunya itu. Dan Rumi menjawab: Syams adalah matahari, Shalahuddin yang sabar dan reflektif sebagai bulan, Hisyamuddin sebagai bintang-bintang, dan saya sendiri bergabung bersama para malaikat.”
Sabtu, April 07, 2007
Guru yang Membuka Tirai Tuhan (II)
Diposting oleh zen di 1:22 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
4 komentar:
men, tulisan loe makin tajem aja. setajam SILET.. hehe..
"..hingga usia menjelang 40 tahun, bukanlah seorang sufi..."
emang seseorang disebut sufi itu kriterianya apa?
oh ya, dulu dirimu pernah nanya cara bikin link MORE. disilakan baca di Tutorial Membuat Abstraksi Blog
Agak susah menjawabnya. Tapi dalam hal tulisanku, angka 40 tahun itu secara spesifik merujuk Rumi. Maksudnya, hingga usia 40 tahun, Rumi belum dikenal sebagai seorang sufi. Dia belum mengalami metanoia. Belum menemukan satu titik balik spiritualitas.
Pastinya, ada banyak kriteria seseorang bisa disebut sufi. Kita sendiri bisa saja melabeli seseorang dengan predikat sufi setelah ktia yakin benar bahwa seseorang yang kita kenal baik itu sungguh-sungguh berhayat laiknya seorang sufi seperti yang bisa kita cari padanannya dari sufi-sufi yang sudah ditahbiskan oleh publik sebagai sufi.
Tapi itu kriteria longgar. Jika kita berbicara dalam konteks tarekat, seseorang baru bisa disebut sufi setelah ia lulus sejumlah ujian alias prasyarat yang jadi standar di tarekat itu. Artinya, dalam sebuah tarekat, dia baru diakui sebagai sufi setelah ia ditahbiskan oleh mursyid/guru tarekat tersebut. Nah, dalam hal level penahbisan, ada banyak levelnya. Yang tertinggi adalah penahbisan oleh guru-guru sufi yang utama, seperti Khidir dan bahkan Muhammad sendiri.
Untuk soal ini, tenang aja, bung. Ada bagian khusus yang sebentar lagi akan kuposting. Aku siapkan hari Jumat besok untuk menuliskan hal itu. Oke?
postscript: thank untuk link-nya. Saya coba pelajari. Biar blog-ku gak polos-polos amat. Tapi kalo mentok juga, ijinkan aku berguru pada mu. Hehehehe....
oke ditunggu postingan barunya. kebetulan aku juga suka tema-tema semacam ini.
boleh deh. jikalau dirimu akhirnya mentok juga, ntar aku kasih short-coursenya... he
Bro, lagi ngopo kowe? Foto mu kuwi loh, ngguya-ngguyu ora nggenah! Hehehe.... Piye kabare cah ayu kae? Wis nduwe bojo urung? Tulung njaga'ke ya. Mengko kowe tak sangoni! Hehehe... (PS: Aku wis posting meneh tulisan)
Posting Komentar