Beberapa hari setelah memenangkan pemilu dan menjadi putra pibumi pertama yang menjadi Presiden Bolivia sepanjang 500 tahun sejarah Bolivia, Eva Morales langsung meledakkan seuntai kalimat nyalang: “Ini bukan tentang Eva Morales. Ini tentang rakyat yang memeroleh kembali hak mereka.”
Che Guevara sayangnya tak sempat menyaksikan momen ini. Ya… sudah lama sekali Che memimpikan munculnya pemimpin Amerika Latin yang berasal dari suku Indian. Dalam bayangannya, pemimpin berdarah Indian itu yang kelak akan memulihkan harkat bangsa Indian yang berabad-abad lamanya dijadikan paria di benuanya sendiri.
Eva Morales seperti menjawab mimpi Che. Ia tak sekadar menjadi pemimpin berdarah Indian sebab Morales juga berambisi mengembalikan hak-hak orang Indian yang berabad-abad lamanya dirampas.
Akan halnya Che, Morales membikin Amerika berdegup. Seakan menapaki semua tilas yang ditinggalkan Che, Morales langsung mengemborkan retorika anti Amerika dengan tanpa cadang. Bersama Fidel Castro dan Hugo Chavez, Morales menyepakati sebuah simpul kekuatan yang mengikat ketiganya ke dalam apa yang disebut Chavez sebagai “Poros Kebaikan”.
Oleh Chavez, Morales diberi sebuah hadiah berupa replika pedang Simon Bolivar. Anda tentu tahu kalau Bolivar bukan orang sembarangan. Ia sudah menjadi pahlawan di hati semua bangsa Amerika Latin dua abad sebelum Che menjadi simbol baru perlawanan rakyat Amerika Latin terhadap kolonialisme dan imperialsme bangsa Spanyol.
Prestasi yang ditorehkan Bolivar tak sembarangan. Lahir di Venezuela pada 1783, Bolivar menjadi pemimpin dari gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Spanyol. Dan tak sekadar memimpin perlawanan, Bolivar akhirnya berhasil memerdekakan sejumlah bangsa di Amerika Latin, dari mulai Venezuela, Peru, Kolombia, Panama, Ekuadro dan Bolivia. Nama Bolivia bahkan dicuplik dari namanya. Itulah sebabnya di seantero Amerika Latin, Bolivar disemati julukan El Liberator alias Sang Pembebas.
Saya pernah membaca sebuah buku babon sejarah Amerika Latin. Kalau tak salah judulnya Pergolakan di Amerika Latin. Saya lupa siapa yang menulis karena sudah lama sekali saya baca buku bersampul biru dengan cover polos tanpa gambar itu. Di buku itulah saya pertama kali mengenal sosok Bolivar. Pertama kali membaca saya terkejut luarbiasa. Hebat sekali ini orang, pikir saya ketika itu, bisa membebaskan enam negara sekaligus!
Baru setelah membaca novel Gabriel Garcia Marquez berjudul In the General and His Labyrinth saya jadi sedikit mengerti sisi kemanusiaan seorang Bolivar yang legendaris itu. Di novel historis yang ditopang oleh riset data yang mengesankan, Marquez memaparkan akhir-akhir kehidupan Bolivar yang muram. Bolivar digambarkan Marquez sebagai lelaki tua yang mulai merasakan letih. Ia diserang insomnia yang akut. Ia tak bisa tidur lelap. Penghiburannya satu: menghanyutkan diri di sungai atau mengambangkan badan di bak mandi.
Sosok legendaris yang unik itulah yang replika pedangnya diterima Morales. Penyerahan replika pedang Simon Bolivar itu setidaknya menandai dua peristiwa simbolik.
Pertama, Morales seakan menerima pentahbisan menjadi anak spiritual Bolivar. Ia diharapkan terutama oleh bangsa Bolivia untuk membebaskan bangsanya dari pelbagai keterpurukan di segala bidang. Jika dulu Bolivar membebaskan Bolivia dari kolonialisme Spanyol, Morales dipilih oleh lebih separuh pemilih Bolivia untuk membebaskan negerinya dari tekanan Amerika yang tak henti-hentinya mendiktekan segela yang dimauinya.
Morales paham benar perkara ini. Lahir di dataran tinggi Orinoca, Morales kecil hidup di lingkungan yang mayoritas penduduknya menjadi penanam koka, tanaman obat yang juga jadi bahan dasar kokain. Sepertiga pendapatan Bolivia ditangguk dari tanaman Koka. Tapi sejak Amerika menggalakkan kampanye pemusnahan koka, kondisi berubah. Ribuan tanaman koka dimusnahkan. Penghasilan mereka tak hanya turun melainkan banyak diantaranya kehilangan mata pencaharian. Pemusnahan inilah yang menjadi biang utama kebencian rakyat Bolivia pada Amerika.
Dan Morales muncul menjadi pembela utama para petani koka itu dengan mendirikan Cocalero Movement, organisasi kiri yang kerja utamanya melakukan advokasi pada para petani koka. Morales makin diperhitungkan ketika ia mendirikan dan memimpin langsung Movement Toward Socialism Party (Movimiento al Scocialismo) yang mengajukannya sebagai kandidat presiden.
Dengan mengusung janji legalisasi koka, dan janji kontrol yang lebih maksimal atas sektor gas alam yang terlalu dikuasi pengusaha-pengusaha besar yang pelit, Morales dengan segera mencuat ke langit-langit panggung politik Bolivia. Morales tahu persis, selain sumber penting ekonomi, koka adalah simbol bagi orang Bolivia. Mengunyah daun koka bagi orang Bolivia tak ubahnya menelan obat yang menyehatkan. Mengunyah koka berarti mengusir dingin. Mengunyah koka berarti menghilangkan lapar. Mengunyah koka sama dengan menahan derita.
Wajar saja jika Amerika was-was. Morales tidak hanya menjadi penghalang utama kampanye pemusnahan koka tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kepentingan modal Amerika yang banyak berkeliaran di Bolivia lewat perusahan-perusahaan gas alam, dari mulai Exxon Mobile hingga Repsol. Seperti Castro ketika berhasil menumbangkan Fulgencio Batista di akhir 1950-an, Morales juga menggemborkan isu nasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan gas alam dan energi. Chavez, presiden Venezuela yang merupakan salah satu pengahasil minyak terbesar, jelas ada di belakang Morales.
Kedua, selain menjadi simbol penahbisannya sebagai anak spiritual Bolivar, pemberian replika pedang Bolivar juga bisa dibaca sebagai penahbisan kepada Morales sebagai calon pemimpin kiri Amerika Latin masa depan. Di banding Castro yang sudah 79 tahun dan Chavez yang 55 tahun, Morales yang berusia 44 tahun jelas yang termuda. Ia seakan menyatakan siap menjadi El Commandante gerakan kiri Amerika Latin di masa depan.
Ada yang menarik untuk dicermati dalam soal ini. Ketika Morales bersua dengan Castro di Havana pada pengujung Desember 2005, Morales menyebut pertemuan keduanya sebagai “Pertemuan pejuang (dari) dua generasi untuk kemerdekaan harga diri”. Dengan menyatakan itu, Morales bisa dibilang sedang menyatakan dua hal sekaligus.
Pertama, Morales mengakui senioritas Castro (juga Chavez). Dalam hal Castro, Morales memang memujanya. Ia memanggil Castro dengan panggilan El Commandante. Kunjungan ke Havana yang merupakan muhibah pertama Morales ke luar negeri meneguhkan kesetiaan Morales kepada Castro. Kepada dua orang itulah, Morales akan banyak berguru dalam hal menghadapi macam-macam intrik Amerika Serikat. Castro dan Chavez memang kenyang asam garam menghadapi laku lancung intelijen Amerika yang berkali-kali hendak melengserkan dan bahkan membunuh mereka berdua.
Kedua, Morales secara implisit juga mencoba meyakinkan para seniornya itu betapa dirinya siap menjadi pemimpin kiri Amerika Latin seumpama salah satu atau kedua mentornya itu tak lagi berkuasa. Kendati sama-sama berasal dari partai berhaluan kiri, Morales dalam hal nyali memang jauh lebih “nekat” ketimbang Presiden Brasil Lula Da Silva, Presiden Argentina Nestor Kirchner, apalagi Presiden baru Chili Michelle Bachelet.
Dunia menunggu dengan sedikit cemas kiprah Morales. Tak bisa disangkal, pasangnya kekuatan kiri di Amerika Latin kerap kali berbanding lurus dengan naiknya kadar otoritarian di negeri tersebut. Tapi bagi rakyat Bolivia, tepatnya warga suku Indian, Morales adalah harapan. Ia bahkan sudah menjadi pahlawan jauh hari sebelum memenangkan pemilu.
Morales segera akan menentukan masa depan Bolivia. Tentu saja dengan replika pedang Simon Bolivar di tangannya.
Selasa, Maret 28, 2006
Pedang Bolivar untuk "el Commandante"
Diposting oleh zen di 7:04 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
2 komentar:
Morales memang mengagumkan! Kapan ya negara kita dipimpin oleh orang macam dia??
Salam kenal, Mas!
Blog yang menarik.... semoga terus berkembang ... Saya ingin berbagi wawancara dengan Gabriel Garcia Marquez (imajiner) artikel di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/09/wawancara-dengan-gabriel.html
Posting Komentar