Jumat, Agustus 25, 2006

Laut dan Ironi Anak Pedalaman

Ada ironi yang diidap negeri maritim ini: Gajah Mada dan Djuanda yang mewariskan visi maritim yang kuat (Gajah Mada membentuk armada maritim Majapahit bersama Mpu Nala dan Djuanda berandil menelurkan Deklarasi Djuanda) adalah sama-sama anak pedalaman, anak desa, yang jauh dari pantai dan semilir angin laut.

Pramoedya boleh saja meninju-ninju orang-orang pedalaman yang tak mencintai laut dan tak sadar arti penting laut. Pram boleh jengkel pada penguasa-penguasa di pedalaman (Sultan Agung dan keturunannya) yang lebih memilih menghancurkan kota-kota pelabuhan dan membikin-bikin mitos Ratu Laut Kidul ketimbang membangun visi maritim yang kuat. Tapi Pram, mau tidak mau, mesti menelan ironi itu: justru dari dua anak pedalaman itulah visi maritim yang mumpuni diwariskan.

Dalam hal Djuanda, siapa yang tak kenal Deklarasi Djuanda? Anak-anak sekolahan mungkin kenal Djuanda karena deklarasi itu, bukan sebagai Menteri Pertama atau salah dua orang, bersama Leimena, yang terus-terusan berada di Kabinet dari sebermula Indonesia lahir hingga kematiannya. Tetapi kenapa Deklarasi Djuanda itu penting bagi konsep ke-Indonesia-an?

Berdasarkan Ordonansi Lautan Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan tahun 1939, dinyatakan bahwa lebar laut teritorial Hindia Belanda, dan Indonesia akhirnyam adalah 3 mil laut. Artinya, lewat angka 3 mil itu, laut di antara pulau-pulau yang belasan ribu jumlahnya menjadi area yang terbuka. Ini menyulitkan kepabeanan dan jelas membahayakan pertahanan negara.

Deklarasi Djuanda, yang dilansir pada 13 Desember 1957 ketika Djuanda memimpin kabinet sebagai Perdana Menteri, menjawab persoalan itu lewat konsepsi archipelago state (negara kepulauan). Inti konsep itu: batas teritorial sebuah negara kepulauan ditarik 12 mil dari garis pantai terluar sebuah negara. Efeknya, laut yang ada di antara pulau-pulau di dalam (misal: Laut Jawa antara Jawa dan Kalimantan) menjadi kedaulatan negara kepulauan tersebut.

Deklarasi Djuanda akhirnya menjadi jawaban tuntas ihwal bagaimana laut yang mengepung belasan ribu pulau Indonesia bukan lagi menjadi batas yang memisahkan satu pulau dengan yang lain. Laut justru menjadi medium yang memperantarai pulau-pulau yang berjauhan itu. Dalam hal perumusan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Deklarasi Djuanda adalah konvensi yang secara konkrit mengejawantahkan kesatuan tumpah-darah yang sudah ditancapkan oleh Sumpah Pemuda 1928 itu.

Djuanda memang bukan seorang ahli hukum laut. Tapi Djuanda-lah, mungkin melebihi Perdana menteri Ali Sastroamidjojo yang pertama kali membentuk tim Interdepartemen Pembaharuan Hukum Laut, pemimpin Indonesia yang pada masanya paham benar betapa laut bisa menjadi problem bagi konsepsi negara kesatuan jika konvensi atau hukum laut yang mengaturnya secara formal menyekat-nyekat hamparan kepulauan nusantara lewat batas 3 mil lautnya itu. Pada masa Djuanda menjadi Perdana Menteri itulah sebuah tim dibentuk untuk merumuskan sebuah hukum laut yang memungkinkan konsep negara kesatuan bagi negeri yang terdiri dari ribuan pulau seperti Indonesia betul-betul terejawantah di atas kertas hukum.

Djuanda. Ya, hukum itu disahkan dengan menyertakan namanya. Deklarasi Djuanda. Dia sendiri lahir di Tasikmalaya, daerah yang kurang lebih berada di tengah antara gunung Ciremai di Utara dan pantai Pangandaran di selatan. Djuanda bukan anak pantai yang sedari kecil bergelut dengan ombak dan asin angin laut. Dia anak desa, anak pedalaman.

Tapi seperti yang sepintas sudah coba ditunjukkan, anak pedalaman inilah yang punya andil besar dalam membangun visi maritim dari negeri kepulauan ini.

0 komentar: