Jumat, Agustus 25, 2006

Yang Terhempas dan yang Jatuh

Menyimak kembali tonggak-tonggak perjalanan Ali Sastroamidjojo sebagai politisi, kita seperti menyaksikan serentetan kisah kebangkitan dan kejatuhan yang datang susul-menyusul.

Sebagai politisi, ia punya portofolio yang mengesankan. Dialah ketua umum terlama Partai Nasional Indonesia, partai terbesar di 25 tahun pertama Indonesia yang juga menjadi pemenang Pemilu 1955.

Posisi yang tak kalah signifikan juga ia lakoni semasa sistem politik Indonesia berbentuk demokrasi liberal. Pada masa yang dipenuhi pertarungan ideologis yang sengit itu, masa di mana kabinet jatuh-bangun dalam waktu yang seringkali begitu pendek, Ali pernah dua kali memimpin kabinet Indonesia. Kepemimpinannya yang pertama (dikenal dengan nama Kabinet Ali I) bahkan dicatat sebagai kabinet yang paling lama memerintah, yaitu lebih dari dua tahun, dari 30 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955.

Kabinet yang sebetulnya kokoh itu akhirnya jatuh juga, setelah NU, pendukung utama kabinet Ali I, mendesak agar kabinet dibubarkan akibat resistensi yang begitu tinggi dari banyak kalangam, terutama dari TNI AD, atas kebijakan mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD.

Seusai Pemilu 1955 yang dimenangkan oleh PNI, Ali kembali dipercaya memimpin kabinet (masyhur dengan sebutan Kabinet Ali II). Kabinet ini didukung oleh tiga urutan teratas pemenang pemilu (PNI, Masyumi dan NU), dan secual dukungan PKI (nomer 4) yang memang tak dikehendaki oleh Masyumi dan NU. Kabinet yang berkuasa selama setahun ini (24 Maret 1956-14 Maret 1957) ini mencatat sebuah prestasi yaitu membentuk sebuah badan perancang pembangunan jangka panjang yang disebut Biro Perancang Negara (sekarang Bapenas).

Namun, lagi-lagi salah satunya karena persoalan di tubuh militer, yaitu munculnya sikap-sikap membangkang pemimpin militer daerah (munculnya Dewan Banteng dan Dewan Gajah), Ali akhirnya mengembalikan mandatnya. Kejatuhan ini juga menjadi akhir dari kekuasaan partai politik di Indonesia, karena sejak itulah, golongan fungsional (di masa Orde Baru: Golkar) makin menguasai peta politik Indonesia.

Yang hingga kini masih menjadi tarik menarik adalah soal posisi dan sikap Ali terhadap PKI semasa Demokrasi Terpimpin. Ali sering disebut membangun relasi yang intens dengan CC PKI. Banyak yang percaya, Ali sering termakan oleh Surachman, salah satu petinggi PNI Pusat, yang memang dekat dengan PKI. Banyak yang mengingatkan Ali, tapi tampaknya Ali telanjur percaya benar dengan Surachman.

Kebetulan bandul politik Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin berayun makin ke kiri. Marhaenisme, ideologi resmi PNI, kemudian ditafsirkan sebagai marxisme yang diterapkan di Indonesia. Klop sudah.

Maka ketika terjadi pageblug 1965, PNI yang di pusat memang dekat PKI dan sekaligus penyokong ideologis Soekarno, mau tak mau terkena imbasnya. Pun juga Ali. Namanya, juga PNI, makin merosot saja seiring dengan munculnya nama-nama baru di pusat lingkaran politik di Jakarta, terutama dengan moncernya Soeharto.

Kembali kita menyaksikan ironi kehidupan orang-orang besar yang dilahirkan negeri ini. Seperti juga Tan Malaka, Sjahrir hingga Amir Sjarifuddin, satu per satu dikerek ke ketinggian dunia politik Indonesia, tetapi satu demi satu pula jatuh berdebam dengan cara yang acap tragis.

Tampaknya mereka tak menyesal. Semua-mua paham resiko bercengkerama dengan dunia politik. Mereka pernah berniat memberi warna putih, sesuatu yang suci dan tulus, bagi panggung politik yang kerap dianggap bau. Tapi sering pula, seperti yang kita saksikan dalam riwayat politik Ali, mereka yang akhirnya terperciki bau tak enak dari dunia politik yang memang membutuhkan sejenis daya tahan yang mumpuni.

0 komentar: