Pada 7 Desember 1918, Raden Mas Tirtoadisoerjo wafat. Jenazahnya diantar ke pemakaman di Mangga Dua oleh --hanya-- 7 orang saja. Hanya dua surat kabar yang memberitakan kematiannya, itu pun selang 5 hari setelah kematiannya.
Saya (mencoba) mengenalnya dan saya juga coba mengenalkannya pada sebanyak mungkin orang dengan cara yang saya mampu, ikhtiar yang pernah dengan begitu dahsyat dilakukan oleh Pramoedya.
Saya --bersama belasan teman-- menempatkannya sebagai patok sejarah (pers) Indonesia.
Kemarin, pada 7 Desember 2007, kami mengadakan pameran "Seabad Pers Kebangsaan" di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, tempat di mana Soekarno membacakan pledoinya yang terkenal, Indonesia Menggugat, sewaktu diadili oleh pengadilan kolonial pada 1930. Kebetulan kemarin itu persis pada hari Jumat, hari di mana mingguan Medan Prijaji biasa terbit dan menyapa para pembacanya.
Salah seorang cicit Mas Tirto, Dewi Yull, juga hadir mewakili keluarga besar keturunan Mas Tirtoadisoerjo.
Orang boleh tak sepakat dengan ini. Tapi, bagi kami, jika orang yang meyakini Titro sebagai patok sejarah pers kebangsaan jumlahnya lebih banyak dari 7 orang yang mengantarkannya ke liang lahat, kami anggap kerja kami sudah berhasil.
Ya, hanya itu. Sesederhana itu.
[Jika tak ada hal yang darurat, kami akan menerbitkan karya lengkap Raden Mas Tirtoadisoerjo dalam sebuah buku utuh yang kami perkirakan bisa mencapai 800 halaman lebih. Tulisan-tulisan itu meliputi karya fiksi, berita hingga karangan-karangan Mas Tirto lainnya yang menyentuh beragam tema: sebagian terbesar soal pemerintahan, soal kesehatan, soal fashion, soal organisasi, soal dunia perempuan, dll. Inilah salah satu cara kami menghargai pribadi besar ini]
******
Pada 7 Desember 2007, Profesor Sartono Kartodirdjo, empu studi sejarah Indonesia, juga meninggal pada usianya yang ke-86 tahun.
Dia orang hebat. Dialah penubuh studi sejarah Indonesia dengan pendekatan multidisipliner, yang mengenalkan bagaimana teori-teori ilmu sosial yang beragam itu digunakan untuk mengkaji sebuah peristiwa sejarah. Disertasinya yang lantas diterbitkan menjadi buku Pemberontakan Petani Banten, menjadi salah satu buku klasik yang nyaris dibaca oleh semua mahasiswa sejarah Indonesia. Buku itu juga selalu direkomendasikan bagi siapa pun yang ingin mendalami subjek petani dalam studi sejarah di mana pun.
Saya tak akan pernah lupa kata-katanya tentang betapa intelektual itu tidak boleh seperti pohon pisang yang hanya berbuah sekali, kemudian ditebang, dan setelah itu mati. Intelektual mesti terus berkarya dan berkarya. Jangan pernah seperti pohon pisang.
Saya akan mengingatnya, Empu. Sebisanya, tentu saja. Bukumu, Pemberontakan Petani Banten, selalu saya tempatkan di bagian paling atas rak buku saya.
[Untuk mengenang kepergian Empu Sartono, saya cantumkan satu naskah saya yang mengulas karya terakhir Prof. Sartono yang saya miliki. Naskah itu bisa dibaca pada bagian paling akhir dari postingan ini]
******
Pada 7 Desember 2007, Profesor Fuad Hasan juga wafat pada usia ke-78 tahun. Saya memiliki beberapa bukunya. Tapi, hanya satu yang saya letakkan di bagian atas rak buku saya: "Apologia". Buku ini tak pernah bosan saya baca. Kalau tak salah ingat, saya sudah membacanya 4 kali.
Buku ini merupakan saduran dari 3 naskah pidato Socrates sewaktu diadili di Athena. Satu naskah pembelaan atas tuntutan (duplik), satu naskah pidato tanggapan penuntut yang menanggapi dupliknya (replik), dan terakhir naskah pidato perpisahan Socrates sebelum dieksekusi mati.
Naskah Apologia itu disadur dengan bahasa yang indah oleh Prof. Fuad Hasan. Naskah itu bisa menunjukkan pada kita salah satu teknik menghancurkan fondasi arguman orang lain sewaktu sedang berdebat. Tetapi jauh di atas semua itu, naskah Apologia menunjukkan bahwa bagi Socrates politik bukanlah "seni mencapai tujuan" (seperti kata Bismarck), tetapi lebih merupakan "seni memertahankan prinsip" (art of principle).
Hatta menyebut etika itu sebagai "Etik Socratik" dalam bukunya yang terkenal, Alam Pikiran Yunani.
[Untuk mengenang Prof. Fuad Hasan, saya postingkan juga catatan saya mengenai naskah Apologia yang disadur oleh Prof. Fuad Hasan. Catatan itu saya lampirkan di bagian paling bawah postingan saya ini, setelah review atas buku Prof. Sartono artodirdjo]
*****
Tiga requiem pada satu hari. Adieu, Prof Sartono. Adieu, Prof. Fuad Hasan. Damailah kalian Di Sana. Sampaikan salam saya pada Mas Tirtoadisoerjo.
---------------------------------------------
Judul Buku : Sejak Indische sampai Indonesia
Penulis : Sartono Kartodirjo
Pengantar : Taufik Abdullah
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Cetakan : I, Desember 2005
Tebal : xxiv + 316
“MESU BUDI” SEORANG GURU BESAR
Taufik Abdullah mengakhiri pengantarnya untuk buku ini dengan sebuah pertanyaan retoris: “Mestikah diherankan kalau sampai kinipun Prof Sartono tetap dianggap ‘guru’ oleh sebagian besar sejarawan Indonesia, walaupun mungkin mereka sama sekali tak sempat belajar di bawah bimbingannya?”
Siapa pun yang mengikuti perkembangan ilmu sejarah di Indonesia kemungkinan tak akan menganggap Taufik Abdullah berlebihan. Sartono Kartodirdjo memang seorang guru besar dalam pengertiannya yang paling lengkap, baik guru besar dalam arti sebagai jenjang akademik tertinggi yang bisa dicapai seorang akdemisi (profesor/mahaguru) maupun guru besar dalam arti sebagai seorang guru atau pendidik yang memang besar.
Sebagai seorang mahaguru bidang sejarah, Sartono memang pilih tanding. Seberapa mumpuni seorang Sartono sebagai sejarawan bisa dilacak dari (setidaknya) dua hal sekaligus: (1) dari karya-karya yang ia hasilkan dan (2) dari (sebut saja) mazhab sejarah yang ia dirikan yang dikemudian hari demikian memengaruhi perkembangan ilmu sejarah di Indonesia.
Sebagai seorang sejarawan Sartono telah menghasilkan ratusan karya tulis, dari yang berbentuk kertas kerja, keta pengantar buku, makalah, bunga rampai, karya/buku utuh, karya terjemahan hingga sejumlah buku yang disuntingnya. Beberapa karyanya bahkan menjadi bacaan utama yang tak mungkin dilewatkan oleh mahasiswa sejarah di Indonesia.
Salah satu karyanya yang menjadi legenda adalah Pemberontakan Petani Banten 1888 (1996). Karya utama Sartono ini penting bukan hanya karena secara akademis buku ini memang berkualitas (Prof Benjamin White bahkan menyebut siapa pun yang ingin memelajari sejarah petani mesti membaca buku tersebut) melainkan karena buku ini juga telah memberi corak tersendiri dalam perkembangan ilmu sejarah di Indonesia.
Di bawah bimbingan Prof William Frederik Wertheim, Sartono menyusun karya itu dengan menggunakan kerangka sejarah multi-dimensional. Dengan pendekatan itu, Sartono menempatkan peristiwa sejarah dalam sifatnya yang multi-dimensional dalam arti peristiwa-peristiwa sejarah itu dijelaskan sebagai hasil/akibat dari saling-pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, agama dan lain-lain. Untuk bisa mendapatkan penjelasan sejarah yang multi-dimensional, Sartono tentu saja menggunakan teori-teori dari pelbagai disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu. Itulah sebabnya pendekatan Sartono ini disebut juga pendekatan ilmu-ilmu sosial.
Apa yang dilakukan Sartono dalam menyusun disertasinya itulah yang kemudian banyak disebut sebagai “mazhab Sartono”. Sebutan itu muncul karena pendekatan ilmu-ilmu sosial yang dipergunakan Sartono untuk menyusun disertasinya itu selanjutnya sangat memengaruhi ilmu sejarah di Indonesia, tidak hanya di tahun-tahun ketika disertasi itu terbit, melainkan hingga kini masih menjadi tren yang banyak diikuti dan terus diajarkan semua jurusan sejarah di Indonesia.
Sebagai seorang yang terdidik dan akrab dengan teori-teori sosial dari pelbagai disiplin ilmu, tidak mengherankan jika, misalnya, Sartono bisa demikian memikat menulis tentang Perhimpunan Indonesia (PI) dan manifesto politik yang dicetuskan PI (hal. 3-11). Dalam telaah Sartono, tentu saja dengan meminjam perspektif ilmu politik untuk memahami konstelasi politik Hindia Belanda, manifesto politik PI tidak hanya jauh lebih visioner ketimbang pernyataan Sumpah Pemuda melainkan juga lebih konkrit dalam hal pembayangan tentang akan seperti apa dan akan jadi apa Hindia Belanda yang merdeka itu kelak.
Tidak mengherankan pula jika Sartono, tentu saja dengan pemahaman yang cukup tentang administrasi negara dan pemerintahan, bisa menguraikan bagaimana proses pembusukan birokrasi kolonial Hindia Belanda berlangsung dan dengan cara apa korupsi ikut andil dalam proses pembusukan birokrasi kolonial yang disebutnya sebagai otokrasi itu (hal. 164-171).
Jangan terkejut juga jika Sartono bisa dengan lugasnya memaparkan bagaimana dan di mana posisi Pangeran Sambernyawa bagi Indonesia dan juga bagi masyarakat yang tinggal di wilayah yang dulu pernah dilewati dan digunakan Pangeran Sambernyawa sebagai basis perjuangan dan perlawanannya. Dengan pemahaman antropologis yang memadai, Sartono mengungkapkan semua itu tidak hanya dengan mengandalkan sumber-sumber tercetak saja, melainkan juga dengan mengeksplorasi sejumlah folklore yang terwariskan secara turun temurun di banyak daerah kekuasan Pangeran Sambernyawa dulu (hal. 19-26).
Selain menghamparkan topik-topik yang banyak dikaji Sartono dalam karirnya sebagai seorang sejarawan, buku Sejak Indische sampai Indonesia ini juga menunjukkan bagaimana vocation, corak kerja, dari seorang sejarawan besar. Lima bab yang terhampar dalam buku bisa diletakkan ke dalam tiga corak utama.
Corak pertama adalah ketika seorang sejarawan berdialog dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa silam dan juga dengan sejumlah dimensi kesejarahan yang penting untuk dipahami terkait dengan posisi historis Indonesia. Corak pertama yang terentang dalam bab satu dan bab tiga ini menunjukkan bagaimana Sartono bergumul dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, dari mulai perlawanan Pangeran Sambernyawa, eksisitensi PI dan manfisesto yang dicetuskannya, Kongres Boedi Oetomo I hingga berdialog dengan peran historis yang dimainkan Jawaharlal Nehru, baik sebagai seorang pemimpin India maupun dalam kapasitasnya sebagai seorang sejarawan partikelir.
Bab dua dan bab empat menunjukkan bagaimana seorang akademisi macam Sartono bergelut dengan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi bangsa dan negaranya. Inilah yang menjadi corak kedua dari kerja dan pemikiran seorang Sartono. Dengan mendedah pelbagai soal kebangsaan, dari mulai korupsi, spiritualitas dalam pembangunan nasional hingga dinamika rakyat pedesaan, Sartono seakan hendak memberi terang bahwa seorang sejarawan tidak cukup berurusan dan bergelut dengan tetumpuk peristiwa masa lalu, melainkan mesti terlibat dalam memikirkan dan merumuskan persoalan-persoalan konkrit yang terjadi di lingkungan sosial tempat di mana ia berhayat dan berkarir.
Sedangkan bab terakhir buku ini, yang mengisahkan perjalanan intelektual Sartono di pelbagai belahan dunia berikut beberapa perjumpaan Sartono dengan intelektual-intelektual di negeri lain, menunjukkan bahwa seorang sejarawan besar yang paling terdidik dalam kultur akademik yang paling ketat sekali pun tetap tidak akan melupakan dunia pemikiran yang bernuansa filosofis. Dalam bab inilah Sartono mencoba melacak sejumlah etos yang menggerakkan sejumlah kebudayaan, peradaban dan orang-orang di dalamnya.
Dalam salah satu bagian dalam bab lima ini, yang disebut Taufik Abdullah sebagai bab paling mengasyikkan, Sartono memaparkan apa yang disebutnya sebagai “mesu budi” (279-288). Di situ Sartono berbicara tentang asketisme yang menurutnya bisa dipadankan dengan istilah “mesu budi” seperti yang terpapar dalam Serat Wedatama. Ia menulis: “Asketisme tidak dapat diartikan sebagai eskapisme…. Tercantum di dalam prinsip ini soal bekerja keras dan tanpa pamrih, kerajinan, serba hemat, kesemuanya disertai ketertiban melakukan kewajiban terhadap pihak yang dihormati atau tugas yang dianggap suci.”
Kutipan itu menjadi kunci untuk memahami etos yang memungkinkan Sartono menjadi seorang “raksasa” di bidang sejarah. Sartono adalah sejarawan yang menghayati betul laku-tindak “mesu budi” itu, atau dalam istilahnya sendiri, “askese intelektual” yang membikin Sartono menghayati betul profesi sebagai sejarawan.
Jadi tak perlu heran jika Sartono pada 1975 mengundurkan diri dari tim penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia yang terlalu diintervensi oleh Nugroho Notosutanto. Laku-tindak “mesu budi” pula yang membuat Sartono tak pernah kehabisan energi untuk meneliti dan menulis kendati ia tak juga menjadi kaya hingga usianya merembang senja.
Sebagai guru, Sartono mengajarkan laku-tindak “mesu budi” itu. Kuntowoijoyo, salah seorang muridnya yang paling berhasil, pernah memberi testimoni bagaimana Sartono pernah “menyelamatkannya”. Ketika ia baru menggondol PhD dari Amerika, Kunto ditawari kedudukan mapan di sebuah lembaga swasta. Kunto sempat pula ingin mencalonkan sebagai dekan di Fakultas Sastra UGM. Tapi Sartono memberinya nasehat tentang laku-tindak “mesu budi” dan betapa pentingnya seorang intelektual memunyai integritas dan keberanian untuk menghadapi resiko menjadi miskin dan sendiri.
Dalam banyak hal, buku ini memang menjadi potret Sartono Kartodirjo sebagai seorang guru besar, baik dalam maknanya sebagai profesor/mahaguru maupun dalam maknanya sebagai seorang guru/pendidik yang besar dan berhasil memengaruhi generasi sejarawan Indonseia selanjutnya
---------------------------------------------------
Judul Buku: Apologia
Penulis: Socrates featuring Plato
Penerjemah: Fuad Hasan
Penerbit: Pustaka Jaya
Terbitan: I, 1982
Halaman: 120 halaman
APOLOGIA DI ATHENA
Athena adalah panggung di mana buhul peradaban dan kebudayaan Eropa bisa dilacak jejaknya.
Di kota inilah, Herodotus memulai tradisi historiografi. Di kota ini, Sophocles dan Aristophanes menuliskan naskah-naskah drama yang hingga kini masih dipentaskan di mana-mana, dari Broadway hingga komunitas teater jalanan di Malioboro. Di kota ini pula, para pemahat, perupa dan arsitek bahu membahu membangun Parthenon yang agung dan kuil Delphi yang magis.
Dan di sini pulalah, 2406 tahun sebelum Steven Gerard dan Paolo Maldini memimpin anak buahnya mengelar pertarungan yang mungkin akan sedramatis seperti final 2005, Socrates sudah lebih dulu mementaskan sekaligus mengakhiri hidupnya yang unik dengan dramatis.
Ya, pada satu hari di tahun 399 SM, Socrates maju ke depan pengadilan Athena. Dia tahu dia akan (di)kalah(kan). Tapi harga diri dan terutama prinsip filsafat yang dipeluknya hanya memberinya satu pilihan: maju ke depan pengadilan berhadapan muka dengan muka para penuntutnya.
Hari itu, Socrates mesti berhadapan dengan Meletos, Anythos serta Lycon. Tiga orang ini bukan siapa-siapa dibandingkan Socrates. Tetapi, tiga orang ini mustahil dikalahkan karena ketiganya mewakili tiga kelompok sosial yang paling berpengaruh di Athena pada saat itu. Meletos mewakili para penyair, Anythos mewakili para seniman dan negarawan dan Lycon mewakili musuh besar Socrates: kaum sofis.
Pada hari pengadilan yang dihadiri, setidaknya, duapertiga warga Athena, Socrates menyampaikan tiga buah pidato. Pada pagi hari, Socrates membacakan pledoi. Siang harinya, usai pemungutan suara yang memutuskan hukuman mati (280 suara meghukum Socrates dan 220 suara membebaskan) Socrates maju kembali menyampaikan pidato dan diijinkan meminta pengampunan atau alternatif hukuman. Dan sore harinya, setelah pemungutan suara yang kedua menolak alternatif hukuman yang diajukan Socrates, Socrates kembali maju menyampaikan pidato perpisahan.
Tiga buah pidato Socrates, yang ditulis ulang oleh Plato menjadi buku Apologia itu, bagi saya, adalah salah satu rujukan intelektual paling tua dan sempurna atas apa yang disebut John Dewey sebagai konsepsi the art of principle (Bung Hatta menyebutnya sebagai “etik Socratik”). Etik Socratik merupakan anti-tesis dari rumusan Otto van Bismarck yang mengartikan politik sebagai “seni mencapai tujuan”.
Saya menyebut Apologia sebagai rujukan atas konsepsi the art of principle karena tiga buah pidato di hari terakhir Socrates itu sebagai contoh teoritis sekaligus praksis dari laku memertahankan prinsip-prinsip secara lugas, benderang, tanpa tedeng aling-aling dan nyaris keras kepala.
Berbeda dengan beberapa kaum sofis yang diadili, yang menyampaikan pledoi seperti anak SD sedang berdeklamasi, penuh dengan kalimat yang mengharu-biru, kadang dengan rengekan, dengan gerak tangan dan mimik yang dramatik, terkadang dengan tetesan air mata, Socrates menyampaikan semua pembelaan dirinya dengan kalimat yang terus terang, menyebut nama lawannya tanpa inisial, menghantam lawannya (terutama Meletos) dengan lugas, dengan tanpa rasa takut sekaligus tanpa kehilangan sedikitpun cira rasa kerendah-hatian dirinya yang sudah dikenal di delapan penjuru Athena.
Socrates menolak tawaran alternatif hukuman berimigrasi ke luar kota. Socrates memang mengajukan alternatif hukuman berupa denda sebesar 1 Mina. Tetapi karena Denda 1 Mina yang diajukan Socrates murahnya gak ketulungan, maka alternatif hukuman ini lebih mirip satire. Socrates sendiri menolak tawaran bantuan 30 Mina yang ditawarkan para muridnya, antara lain Plato, Crito, Critobolus dan Apollodoros.
Jika drama Antigone karya Sophocles bisa disebut sebagai puncak warisan seni drama kebudayaan Athena, Apologia sebagai epilog kehidupan Socrates adalah versi lain dari semangat dramaturgi kebudayaan Athena dalam kehidupan nyata dan bukan semata di panggung Parthenon yang agung.
Inilah yang membedakan Socrates dengan Aristoteles, yang setelah kematian muridnya, Alexander the Great, juga diadili secara tak adil oleh musuh-musuh politik Alexander. Jika Socrates memilih tetap dihukum mati dan dengan demikian menyempurnakan Apologia sebagai rujukan intelektual sekaligus praksis dari the art of principle, Aristoteles lebih memilih untuk menyingkir ke luar kota.
Hal yang sama dengan Socrates bisa kita temukan pada sosok Thomas More, penulis buku klasik Utopia, yang memilih hukuman mati ketimbang mengesahkan pernikahan Raja Edward yang melanggar prinsip gereja Katolik Roma (Sila tonton film Man for All Season yang mengharukan itu).
Etik Socratik, sekali lagi, adalah anti-tesis dari rumusan Bismarck ihwal politik sebagai “seni mencapai tujuan” (baca: kemenangan). Dalam rumusan itu, politik dimengerti tidak hanya sebagai eufemisme (penghalusan) dari peperangan, tetapi sebagai laku di mana tujuan akan menihilkan segala macam debat ihwal etika. Semua boleh asal tujuan terpenuhi. Segalanya halal sepanjang ada jaminan tujuan bisa direngkuh. Apakah itu dengan lobi-lobi di bawah meja, pertemuan tertutup di hotel-hotel, hingga transfer fulus ke rekening lawan politik.
Hari ini, ketika hidup tak lebih dari berhimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati, ketika politik tak lebih dari deklamasi dan tetek bengek pidato menjemukan kaum Sofis di Athena dulu, Socrates kita ingat tak lebih seperti barang antik di museum yang kita kunjungi saat hari libur anak sekolah.
Selengkapnya......