Saya masih ingat, belasan orang yang ada satu ruangan dengan saya terkejut bukan main sewaktu saya bilang: “Oral seks di Kraton Jawa, dan itu dilakukan oleh sesama laki-laki bangsawan, bahkan diabadikan dalam Babad Tanah Jawi!”
Ketika itu saya berhadapan dengan dua kelompok orang yang sedang bersitegang. Kelompok pertama adalah anak-anak UKM Seni dan Tradisi di bekas kampus yang sudah saya tinggalkan. Mereka baru saja kena “musibah” ditegur keras dan bahkan dibekukan kepengurusannya karena mementaskan satu lakon yang –bagi jajaran rektorat—dianggap melanggar batas-batas kesopanan. Kelompok satunya adalah anak-anak BEM, baik universitas maupun fakultas, yang mengecam pertunjukan itu dan mereka pula yang “menekan” pihak rektorat untuk “menegur keras” UKM Seni dan Tradisi.
Peristiwa itu berlangsung pada tengahan 2005 silam. Sudah lama, memang. Tapi saya masih ingat bahwa argumen pihak rektorat untuk membekukan kepengurusan UKM Seni dan Tradisi karena pertunjukkan itu tidak (1) mengindahkan nilai-nilai ketimuran, (2) tidak edukatif dan (2) tidak memedulikan status kampus sebagai “pabrik” penghasil guru yang mesti bermoral adilihung.
Terus terang saja saya tak sabar karena jargon “nilai-nilai ketimuran” terus direpoduksi selama dua jam terus menerus tanpa ada satu pun dari mereka yang pernah menjelaskan apa yang dimaksud dengan jargon “nilai-nilai ketimuran” itu. Saya yang tadinya hanya mendengarkan–maklum udah mahasiswa tua yang kudu tahu diri—tak tahan untuk tidak angkat bacot.
Dan saya ceritakanlah soal hisap-menghisap sperma itu.
Pangeran Puger diangkat menjadi Sultan Mataram dengan gelar Pakubuwana I setelah berhasil mengalahkan Amangkurat III (keponakannya sendiri). Puger sendiri didukung dan memang meminta dukungan dari VOC. Kendati demikian, status Paku Buwana I bermasalah karena ia naik melalui satu proses yang –katakanlah-- tidak normal. Pangeran Puger merasa ia belum memeroleh “wahyu keraton”. Pendeknya, kekuasaan Puger tidak legitimate.
Lantas, bagaimana ia membangun legitimasinya?
Serat Babad Tanah Jawi memberi legitimasi dengan mengisahkan bahwa Pangeran Puger menghisap sperma Amangkurat II (kakaknya sendiri atau ayah dari Amangkurat III). Dahsyatnya lagi, Puger menghisap sperma ketika abangnya itu sendiri sudah menjadi mayat. (Apa kira-kira istilahnya? Oral sex cum nekrofilia? Hehehe….)
Adegan itu tercatat dalam Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit saking Nabi Adam doemagi in Taoen 1647; yang dalam edisi cetakan 1941 ada di halaman 260. Adegan yang sama bisa dilihat dalam monograf yang detail dan memukau karya Darsiti Soeratman yang berjudul Kehidupan Dunia Kraton: Surakarta: 1830-1935 di halaman 212.
Tentu saja saya tahu bahwa babad bukanlah karya ilmiah sejarah. Sudah biasa jika babad-babad itu merupakan hasil kolase fiksi dan fakta. Tapi, pada level membangun legitimasi kekuasaan di hadapan massa rakyat, sudah tak relevan lagi itu fakta atau fiksi. Yang terang, secara sadar fragmen itu memang diciptakan untuk menjelaskan bahwa Puger atau Pakubuwana I sudah menerima “wahyu keraton” dengan menghisap sperma Sultan sebelumnya, Amangkurat II, yang adalah kakak angkatnya sendiri.
Bisakah Anda bayangkan, seorang Sultan Mataram yang menyandang gelar Panembahan Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama (Panglima Perang dan Ulama yang Menata Agama) membangun legitimasinya dengan cara menghisap sperma kakaknya sendiri yang sudah jadi mayat?
[Dalam kasus Ken Arok, Kitab Pararaton membangun legitimasi kekuasaany dengan mengisahkan bahwa Ken Arok sudah membawa wahyu kraton (kadang disebut wahyu keprabon) karena sewaktu bayi Ken Arok ditemukan di hutan, badannya sudah memancarkan cahaya berkilauan. Cahaya dari kemaluan --ada yang menyebut dari paha-- Ken Dedes yang dilihat Ken Arok pun kadang ditafsirkan sebagai wahyu kraton yang mendatangi Ken Arok. Bayangkan: wahyu keraton berasal dari selangkangan perempuan. Ck ck ck ck]
Ketika itu saya ajukan sepucuk pertanyaan retoris: “Jadi, jika UKM Seni dan Tradisi dianggap melanggar nilai-nilai ketimuran hanya karena mementaskan lakon hasil adaptasi Serat Centhini, nilai ketimuran mana yang dilanggar?”
Saya masih belum selesai. Saya bilang: “Justru apa yang kita sebut sebagai tradisi kebudayaan Timur itulah yang getol mengeksplorasi pengalaman seksual.”
Serat Centhini, yang disebut-sebut sebagai kitab dengan kadar ensiklopedis karena kekayaan materinya dalam mengungkap kekayaan pengetahuan Jawa, menyediakan satu bagian khusus yang mengajarkan detail hubungan seksual. Muhidin M Dahlan pernah dengan ciamik mengadaptasi sex education ala Centhini ini dalam novel tebalnya, Kabar Buruk dari Langit.
Belum cukup? Dari Bugis, ada juga kitab semacam Serat Centhini ini. Nama kitabnya: “Assikalaibineng”. Sebuah disertasi di UI–yang sayangnya sudah saya lupa judul dan penulisnya—pernah mengkaji manuskrip bugis ini. Dalam khasanah Melayu, dikenal kitab yang dinamai “Serat Pegawai”. (Belum lagi kalau menyebut Kamasutra dari India atau The Secret Garden dari jazirah Arab)
Dari dunia pesantren, sejumlah kita kuning juga menguraikan hal yang sama, di antaranya Kitabun-nikah, Uqudullijain dan Ushfuriyah. Yang juga perlu disebut barangkali adalah Qurrat al-Uyun yang detail mengurai tipe-tipe perempuan berdasar perspektif seksual dan juga membahas tahapan-tahapan dalam hubungan suami istri serta sejumlah persoalan seks lainnya.
[Soffa Ihsan pernah menulis buku–In the Name of Sex: Santri, Dunia Kelamin dan Kitab Kuning-- yang cukup detail memerikan bagaimana prilaku seksual di pesantren, baik antara santri dengan santri maupun santri dengan pengasuhnya dan ini berlangsung sesama jenis. Ada satu istilah yang bisa menggambarkan hubungan macam itu: “mairil”. Remuk redam gini saya pernah mondok di pesantren, jadi tahu dikit-dikitlah “kenakalan” santri-santri yang saban hari hanya melihat mahluk yang sejenis dengannya]
Saya tidak bilang bahwa karya-karya itu mengajarkan pornografi. Sewaktu saya menyebutkan karya-karya itu, saya cuma ingin menegaskan bahwa soal seksualitas adalah medan wacana yang terbuka untuk dibicarakan, diapresiasi dan dipelajari dengan terbuka, tanpa pandang kelas sosial, apakah itu bangsawan atau jelata dan sahaya.
UKM Seni dan Tradisi dan pementasannya tersebut, saya bilang ketika itu, justru meneruskan kembali tradisi kebudayaan Timur yang memposisikan seks sebagai satu diskursus. Bedanya, kali ini menggunakan medium seni pertunjukkan. Dan sejauh yang saya lihat, pertunjukkan itu memang jauh dari pornografi.
Salah satu peserta diskusi sempat menyela dengan mengatakan bahwa perilaku “amoral” itu kan dilakukan oleh para bangsawan dan bukan rakyat kebanyakan.
Saya jawab: Pertama, dalam kesadaran orang Jawa di masa silam, kraton justru adalah sumur di mana standar moralitas Jawa ditimba. Nilai-nilai kebudayaan Jawa banyak lahir dari sana. Jadi, agak sukar untuk menarik segregasi yang hitam putih antara kraton dan jelata-sahaya. Jangan heran jika bagi orang Jawa pada masa itu, menjadi abdi dalem adalah jalan hidup terbaik untuk mengabdi pada pusat moral dan duniawi sekaligus; perilaku yang hingga kini masih bisa kita saksikan di Kraton-kraton Jawa.
Kedua, rakyat jelata juga terlibat dalam konfigurasi tata nilai macam itu, termasuk dalam soal seksualitas. Saya contohkan saja satu kasus yang pernah dieksplorasi dengan cukup detail oleh Darsiti Soeratman dalam monograf yang saya sudah saya sebutkan di awal tadi.
Di Kraton Surakarta, bukan hal aneh jika ada abdi dalem yang mengirimkan anak gadisnya (minimal berusia 12 tahun) ke Kraton. Resminya mereka diminta untuk belajar tari Bedhaya. Mereka kerap disebut para Bedhaya. Di luar yang resmi-resmian itu, para orang tua yang mengirimkan anak gadisnya ke Kraton itu biasanya berharap agar anaknya “dihamili oleh raja” sehingga bisa dinikahi sebagai istri selir (garwa selir atau priyantun dalem). Jika itu terjadi, kekayaan dan status keluarga si gadis bisa terangkat (macam itu bisa masuk delik perdagangan perempuan gak ya?)
Dan harapan itu kerap terkabul. Bukan sekali dua para bedhaya itu kedapatan hamil. Jika beruntung, raja bisa menikahinya. Jika apes, raja cukup “memberikan” bedhaya yang hamil itu pada abdi dalem yang lain. Itulah sebabnya, pelajaran tari bagi para bedhaya itu disindir sebagai “magang selir”: magang bagi siapa-siapa yang ngiler jadi selir.
Bukan sekali dua raja menyukai lebih dari satu bedhaya. Siapa yang disukai raja bisa dengan mudah memeroleh hadiah yang mahal-mahal. Jangan heran jika sesama bedhaya sendiri sering bersaing satu sama lain.
Biasanya, raja memanggil salah satu bedhaya ke ruangan kerjanya di bangsal Madusuka. Jika sudah begitu, semua penghuni keputren sudah tahu sama tahu. Lucunya, karena persaingan itu tadi, kerap terjadi ketika raja sedang menunggu bedhaya yang dipanggilnya, bedhaya yang lain kadang nekat dengan lebih duluan “menyusup” ke ruangan raja.
Peristiwa macam itu menjadi praktik yang lazim. Banyak bedhaya yang ketiban apes tak kunjung hamil sehingga peluang untuk diangkat sebagai selir pun makin tipis. Jika sudah begitu, siap-siap saja orang tua si gadis menarik pulang anaknya untuk dikawinkan dengan orang di luar kraton.
Jika sudah begitu, mestikah diherankan jika raja-raja Jawa bisa memiliki jumlah anak puluhan? Saya punya daftar: Pakubuwana III beranak 46 orang, Pakubuwana IV beranak 56 orang, Pakubuwana V beranak 45 orang, Pakubuwana IX beranak 57 orang. (Padahal zaman itu belum ada viagra! Hehehehe…..)
Salah satu buku yang banyak mengisahkan kehidupan seks di kraton Jawa dan masih mudah diperoleh adalah buku Otto Soekatno, Seks Para Pangeran. Di buku itu ada salah satu bab yang mengisahkan bagaimana Amangkurat I membantai mertuanya sendiri, Pangeran Pekik, karena Pekik melindungi anak Amangkurat I sendiri (berarti cucu Pekik sendiri) yang kedapatan berselingkuh dengan selir ayahnya. Amangkurat I ini memang terkenal tiran. Pernah membunuh ribuan ulama dan penguasa lokal. Barangkali, Amangkurat I ini pantas dijuluki Kaisar Nero dari Jawa.
Dan yang beginian bukan monopoli kraton yang didukung dengan diam-diam oleh kawula raja yang mengirim anak gadisnya untuk jadi penari bedhaya saja, tetapi juga memang menjadi cermin dari apa yang terjadi di masyarakat.
Dalam tradisi reog di Ponorogo, misalnya. Lazim terjadi seorang warok “memelihara” seorang anak laki-laki yang rupawan. Hubungan macam ini disebut “gemblakan”. Ada kepercayaan bahwa seorang warok bisa makin berlipat kekuatan magisnya jika bisa “memelihara”, “mencecap” dan “menyerap” energi gemblaknya yang masih ingusan dan jelas-jelas bujangan thing thing. (pedofili bukan ya?)
Jadi, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Timur? Jika memang ada, yang mananya? Tentu saja ada jawaban atas pertanyaan itu. Yang saya ingat, para peserta diskusi yang jumlahnya belasan orang itu kesulitan menjawab.
Dengan mengerahkan kemampuan “speak-speak guk-guk” yang rada-rada hiperbolis, saya berharap diskusi itu bisa membuat mereka yang hadir untuk lebih berhati-hati dan syukur-syukur mencoba merumuskan dengan lebih mantap apa disebut sebagai “nilai-nilai luhur kebudayaan Timur”. Ini mungkin lebih baik ketimbang terus-menerus mereproduksi kata-kata yang sudah menjadi jargon.
Seringkali apa yang sebelumnya dibayangkan sebagai konsep yang sudah jelas dari sononya ternyata masih berlubang di sana-sini.
Minggu, November 18, 2007
"Oral Sex" Raja Jawa
Diposting oleh zen di 2:03 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
24 komentar:
dan saya gak bisa mbuka tulisan kali ini karena judulnya udah seremm...jadinya udah di banned sama orang IT kantor..hiks...
pinjam dong bukunya babad tanahjawi yang berseri itu. :) di gramed dah gak ada
tradisi budaya Indonesia memang sangat akrab dengan sex dan kekerasan, dimanapun. Di Aceh pun, Sultan Iskandar muda pernah meminta di kirimkan 2 gadis bule dari Inggris, sebagai imbalan perdagangan rempah rempah dengan Inggris. Pun, demikian tradisi Mataram. Lihat saja Kolam Taman Sari, asal usulnya Sultan bisa sepuku dua pukul setelah melihat selir dan gadis gadis mandi disana..
tulisan yang berbeda dari sebelumnya.
sumpah, aku baru tau kalau ada cerita raja-raja seperti ini.
sepertinya reference buku-buku yang kamu sebutkan sudah sulit ditemukan di toko-toko buku deh.
zen, memang mantab :)
kita tunggu tulisan lainnya ;-)
gitu napah! kalo nulis jangan serius banget2 :D
pakdhe, aku mbok dibantuin cari jurnal uncopyrighted buat isi2 ini: http://learnerwithoutborder.wordpress.com.
yah yah yah...
menarik ini..
memang, selalu ada "sisi negatif" dari suatu pemerintahan yg menarik utk disimak, yg orang umum jarang tau..
sip ini infonya, kang.. :D
wah keren postingannya. orang timur (baca: jawa) kdang terlalu sombong dgn menganggap budayanya (ato apa ya istilahnya) adalah yg paling adiluhung. halah komen ngawur. maapken ke sok tauan ku ini
timur itu cuma kan cuma konsep, tapi prakteknya tetep aja begitu-begituan juga sejak jaman raja.
mending ke barat ah, kalau di timur, orang cuma bacot soal moral dan amoral! nggak bangget dah.
biasa, budaya timur dalam konteks slogan selalu menjadi jargon pengekang oleh para penguasa yang justru ga paham apa yang mereka omongin ha..ha..
suwun lho kang wis mampir..
Bikin Manikebu lagi aja, Zen. :)
setidaknya ada yang bisa dipelajari, selain sejarah tapi juga ada perilaku tertentu yah :)
Sebagian perilaku seksual memang tidak baru, sama seperti naluri itu sendiri. Tentu, ada saja "hal baru" yang dipelajari. Misalnya, dalam sebuah naskah Pulau Buru, dibilang bahwa penduduk asli melakukan koitus di hutan, perempuan membungkuk, memeluk pohon, dst.
Banyak naskah, dari khazanah lama, yang memuat erotika -- termasuk dalam dongeng (memangku keris hamil, mandi di sendang ketemu ikan hamil, dsb). Bakan Jaka Tarub itu merupakan sebuah dunia voyeurisme kan? :D
Jadi "masalah" ketika kita merasa sebagai orang Indonesia modern yang menganggap keterbukaan dalam soal erotika sebagai "Barat", yang hehehe "tdk sesuai nilai-nilai ketimuran" :D
Tiga puluh tahun lalu Mochtar Lubis pernah meledek hipokrisi kita dalam pidato kebudayaannya.
ada ini, ini, dan ini :)
Salam kenal juga
NB: patung Pradnya Paramita juga sexy kan? :D
saya sangat sepakat Bung dengan anda!Kita selalu merasa tabu untuk membicarakan sex di depan umum.Agama dan adat Timur yang selalu dijadikan alasan. Padahal agama seperti Islam misalnya, tidak tabu membicarakan hal tersebut. Bahkan mengatur secara detil tentang tata cara ber-sex yang baik.
Namun memang kita tidak hendak mengumbar soal syahwat ini secara merdeka. Toh, yang kita inginkan kesalahkaprahan memahami adat ketimuran ini harus dikikis.
Karena memang sex toh tidak untuk diumbar. Ada ruang dan waktu dimana kita bisa membahas hal-hal tersebut. Salam kenal Bung...Anda benar-benar seorang Pejalan Jauh.Terutama pemikiran anda...sudah jalan jauh kemana-mana. Tabik.
jadi tradisi ketimuran itu definisine opo yo dab? *sori sekip sekip mocone* :D
eh, kok nyebut mantan kampus? lah piye to? tell me something? :D
Indonesia(khususnya yang generasi jadul2) memang seringkali memandang bahwa "budaya ketimuran" masih kental dan menerapkannya dengan kaku. Padahal apa-apa itu yang disebut budaya ketimuran saat ini juga sudah rancu banget pemaknaannya. Apakah Seks adalah hal yang masih identik dengan ketabuan..saya kira juga tidak untuk jaman sekarang. Jadi kurang lebih saya sependapat dengan tulisan apik mas Zen ini, dulu anak UNY to mas?
Wajarlah.. Laki2 kapan tho pernah tua?
kalo boleh usul, coba diskusikan lagi perihal 'sahwat' dan 'kultur luhur ketimuran' ini dengan pak damardjati supadjar itu.
siapa tau dan syukur akan ada bahasan baru yang lebih dahsyat.
ditunggu...
[url=http://buycialispremiumpharmacy.com/#hwlmh]buy cialis online[/url] - buy cialis online , http://buycialispremiumpharmacy.com/#tmuvk buy cheap cialis
[url=http://buyviagrapremiumpharmacy.com/#wecqh]buy viagra[/url] - buy viagra , http://buyviagrapremiumpharmacy.com/#jwhex generic viagra
[url=http://buyonlineaccutaneone.com/#hpjgr]generic accutane[/url] - accutane without prescription , http://buyonlineaccutaneone.com/#wfnuo buy accutane online
wuis... tulisan nya dalem dan tajem.
trmksh untuk ulasan sejarah kuno yg merupakan pengetahuan baru buat sy.
kita memang suka mencari kambing hitam untuk mendapatkan stempel benar atas sikap hypocrite kita.
setuju atau tidak, suka atau tidak adalah hak individu tapi mengatakan: tabu, tidak sesuai nilai agama, tidak sesuai norma timur adalah cara paling jitu untuk menghimpun masa pendukung hehehe
tahukah anda:
dalam budaya lokal arab seorang suami dihalalkan melakukan hubungan badan dengan istri dan budak-budak nya...
makanya hingga kini jika ada buruh migran yg diperkosa majikan, hal itu tidak pernah dituntut sbg kasus pemerkosaan,
krn budaya setempat menghalalkan hal itu.
suka atau tidak suka itulah budaya domestik mereka.
mau protes?
kalo mereka jawab: menurut aturan kami disini ini halal, kalo kalian ga setuju ya jangan cari kerja di negara saya?
kita bisa ngomong apa?
hehehe
salam
rocky jkt
infonya bagus sekali,,bermanfaat
KOSMETIK
✔ Alat Pembesar Payudara
ALAT BANTU SEX PRIA
✔ Boneka Full Body
✔ Vagina Getar Goyang Suara
✔ Vagina Ngangkang Getar Suara
✔ Vagina Elektrik
ALAT BANTU SEX WANITA
✔ Penis Tempel Manual
✔ Penis Maju Mundur
✔ Penis Ikat Pinggang
✔ Penis Elektrik
✔ Penis Sakky Elektrik
✔ Penis Kelabang
OBAT KUAT SEX
✔ Obat Impoten
✔ Obat Kuat Viagra
✔ Obat Kuat Sex
✔ Obat Tahan Lama
✔ Obat Kuat Tahan Lama
✔ Obat Kuat Oles
KONDOM SILIKON
✔ Kondom Sambung Jumbo
✔ Kondom Silikon
✔ Kondom Getar
✔ Kondom Lele Berduri
✔ Kondom Mutiara
✔ Kondom Berotot
✔ Ring Penis
oh ternyata itu nama Sex ya sama seperti Sex2 di bawah ini makasih ya info nya
Nonton Bokep
Bokep Japan
Prediksi Togel
Aneh Dan Unik
Bokep Korea
Bokep Bule
Prediksi Togel Online
Togel Online
Cerita Dewasa
Forum Dewasa
Posting Komentar