Pagi ini saya terbangun dan langsung menyadari bahwa umur saya sudah mencapai seperempat abad. Saya tak tahu apakah saya sudah pantas untuk disebut tua.Saya merayakan kelahiran dengan mendengarkan komposisi yang menyayat dari Mozart. Komposisi yang dibuat Mozart beberapa saat menjelang kematiannya itu sengaja saya pasang sebagai backsound blog ini. Simaklah satu dari sedikit komposisi yang diakui sebagai salah satu puncak kreativitas anak manusia di dunia musik. Dengarkanlah komposisi yang masyhur dengan sebutan "Introitus: Requiem" ini.
Seharian ini saya menyimaknya dengan takzim. Tak ada lilin yang aku tiup. Tak ada tart yang dipotong. Tak ada tumpeng yang dipangkas pucuknya. Tak ada siapa-siapa. Tanpa pesta. Tanpa keriuhan. Tulisan ini pun disusun tanpa rencana. Ibarat komposisi, ini adalah komposisi tanpa partitur. Hanya ada saya dan notebook yang terus menerus mengumandangkan panggilan ajal dari Requiem-nya Mozart.
Komposisi Requiem dibuat Mozart tanpa alat tulis. Ia hanya menggumam dan bersenandung lamat-lamat. Seorang lelaki paruh baya yang setia menemaninya di tepi ranjang mencatat semua gumaman dan senandung Mozart. Lelaki itu tahu kalau Mozart sedang memersiapkan kematiannya sendiri. Mozart sedang menyiapkan sebuah kado perpisahan yang agung dan khidmat. Kado itu bahkan baru tuntas separoh karena el-maut keburu dini menjemput ajal Mozart.
Sudah tiga minggu ini Requiem yang baru separoh dituntaskan Mozart itu menjadi backsound blog sederhana ini. Berkali-kali sudah saya mendengarnya. Dan tak bosan-bosan saya mendengarnya. Tapi, khusus hari-hari belakangan ini, komposisi agung Mozart ini menyuarkan aura yang lebih kelam dari biasanya. Tiap kali memasuki refrain, suara para penyanyi yang melengking tipis itu seperti jeritan orang-orang yang sedang menikmati kesenyapan dunia baka. Kadang saya seperti mendengar jeritan orang yang terpanggang di neraka.
Di hari kelahiran ini, Requiem Mozart justru lebih menguarkan aroma kematian ketimbang hari-hari sebelumnya.
Tentu saja ini ganjil. Perayaan hari kelahiran biasa dibanjiri doa-doa panjang umur. Tapi, jujur saja, akal sehat saya sedang tidak bisa menerima bagaimana perayaan hari kelahiran yang jelas-jelas menandai berkurangnya ruas kehidupan justru dikhidmati dengan upacara dan doa panjang umur. Jelas-jelas usia berkurang.
Alih-alih mencoba membayangkan hidup yang panjang apalagi kekal, bagi saya, jauh lebih masuk akal perayaan hari kelahiran dihayati dengan cara memikirkan kematian. Bisa jadi itu lebih produktif. Bisa jadi itu justru membuat manusia sedikit menjadi lebih waras.
Saya tidak tahu apakah saya benar atau tidak.
Yang saya tahu, tahun-tahun berlalu dengan begitu cepat. Sejumlah peristiwa dan kenangan tertinggal di belakang. Ada ribuan janji yang terlaksana dan terabaikan. Ada ratusan kisah kesetiaan dan pengkhianatan. Rangkaian perkisahan yang kadang diselimuti kesenyapan tapi kerap pula diselubungi keriuhan yang memekakkan.
Jika rerata harapan hidup manusia Indonesia hanya 67 warsa, ini artinya, sudah sepertiga lebih waktu hidup yang kureguk. Sepertiga pertama ini setengahnya kuhabiskan dengan mencicipi manisnya menjadi anak-anak, seperempatnya kutandaskan sebagai remaja bangor yang mencobai sejumlah pengalaman baru yang terlarang untuk anak-anak, dan seperempat terakhir kuhabiskan dengan menjajal seperti apa rasanya menjadi lelaki dewasa. Dan sebagai manusia yang baru menikmati menjadi lelaki dewasa, sungguh saya tidak tahu, masih berapa dosa lagi yang belum dicicipi.
Sekali lagi, jika menggunakan rerata harapan hidup manusia Indonesia, masih ada sisa 37 tahun lagi saya bisa menjilati remah-remah hidup sekaligus mengendusi segala madu dan racun dunia. Tapi bagaimana jika ternyata umur saya tak sepanjang itu? Bagaimana jika, misalnya, umur saya hanya sampai umur 27?
Soe Hok Gie wafat pada usia 27 kurang sehari. Chairil Anwar juga mati pada usia 27. Begitu juga Kurt Cobain dan Jim Morisson. Dan ribuan anonim lain yang juga tumpas pada kisaran usia serupa.
Saya bukan siapa-siapa. Bukan aktivis, bukan penulis, apalagi musisi. Tapi karena kematian bisa datang kapan saja, tanpa pandang bulu, waktu dan pekerjaan, tak bisa tidak saya masih memendam kekhawatiran soal maut yang terlalu cepat datang menjemput.
Saya khwatir, terus terang saja. Karena masih banyak janji yang belum ku tunaikan. Masih ada sejumlah rencana yang belum ku lunaskan. Sederet hasrat masih antri di daftar tunggu. Senarai keinginan masih mangkrak di buku agenda.
Tentu saja nyali ini mengkeret juga memikirkan sederet dosa yang melintang di dahi dan bayangan bau gosong belulang yang terpanggang di neraka. Sungguh, pendosa ini juga punya rasa gentar. Dan hari ini saya tak ingin tampak perkasa, apalagi sok-sokan menutupi gemetarnya saya tiap kali ingat dan memikirkan keabadian.
Saya orang yang percaya pada kehidupan ba’da kematian, setidaknya kehidupan dalam bentuknya yang paling murni: kehidupan rohani, ruh, jiwa, soul, atau apa pun namanya. Saya percaya bukan semata karena hingga detik ini saya masih merasa sebagai umat dari salah satu agama samawi, tapi saya percaya benar bahwa energi memang tak bisa dimusnahkan, seperti yang pernah saya dengar dari guru ilmu alam di masa SMP dulu. Ya, energi tak bisa diciptakan dan tak bisa dimusnahkahkan. Itulah satu-satunya hukum fisika yang masih nyangkut di kepalaku yang penat ini.
Manusia, berikut seonggok wadag dan sebentuk ruhaninya, adalah energi. Dia tak bisa musnah. Sebagai energi, manusia hanya akan bersalin rupa ke dalam bentuknya yang lain. Dan manusia dalam bentuknya yang lain akan hidup dalam medan energi yang juga berbeda dengan sekarang.
Saya tidak tahu apakah medan energi tempat “manusia-energi” kelak yang sudah bersalin rupa itulah yang dikenal sebagai akhirat. Tapi yang pasti, “medan energi” yang baru itu, akhirat atau apa pun namanya, pasti juga memiliki hukum-hukum kehidupannya sendiri, yang jelas berbeda dengan “hukum kehidupan” dalam medan-energi masa kini yang disebut dunia. Saya sungguh tidak tahu seperti apa hukum yang mengatur pergerakan “manusia-energi” yang sudah bersalin rupa itu.
Pada terra incognita inilah, pada lubang hitam yang belum terjelaskan inilah, jejak-jejak pelajaran agama yang dulu mengisi helai demi helai kesadaranku mengambil alih penjelasan. Dan karena itulah maut masih membuatku gemetar. Juga gentar.
Maka, jika memang bertumpuk dosa yang menempel di jidat ini terlalu menumpuk untuk dihapus dalam sisa waktu hidupku, baiklah, saat ini juga saya tancapkan satu sumpah: akan saya hadapi sisa hidup yang singkat ini dengan tidak merugikan orang lain!
Jika tidak taat pada ritus peribadatan artinya sama saja dengan merugikan Tuhan, biar Tuhan saja yang saya rugikan. Dengan itu, setidaknya, urusan saya menjadi sedikit lebih sederhana: cukup saya meminta ampun pada Tuhan. Soal ampunan itu turun atau tidak, itu bukan hak prerogratif saya lagi.
Asalkan saya tak melukai orang lain, tak menggores orang lain, tak mencederai orang lain, urusan menjadi lebih sederhana ku pikir. Urusan menjadi lebih sederhana karena mencederai orang lain adalah perkara yang lebih rumit ketimbang muergikan Tuhan. Kita mesti minta ampun pada Sang Pemberi Hidup setelah sebelumnya kita meminta maaf pada mahluk hidup yang kita ccederai. Ampunan dari Sang Pemberi Hidup pun hanya bisa turun jika ampunan dari mahluk hidup yang kita cederai sudah kita terima. Ribet bukan?
Sungguh saya tak sedang menantang-nantang. Kesadaran akan usia yang menyentuh seperempat abad telah membuatku terlau sentimental untuk kembali congkak dan pongah. Setidaknya untuk hari ini ketika coretan abu-abu ini sedang kurampungkan.
Saya sedang tak bisa membuat coretan ini menjadi lebih kaya dengan kutipan puisi atau aporisma dari para filsuf atau kyai atau seorang sufi. Buku-buku yang sudah kubaca dan film-film yang sudah kulahap entah di mana dan seperti apa kabarnya. Mereka tak akan banyak menolong sepertinya.
Ya, saya sedang menikmati kembali menjadi manusia yang sepenuhnya diisi rasa gentar. Saya biarkan rasa gentar itu melimpah ruah memenuhi pikiran dan jiwaku. Ku biarkan rasa gentar itu meluber dan membuat kosmik menjadi berubah 180 derajat dalam pandanganku.
Sayangnya saya tak yakin kalau rasa gentar dan gemetar ini bisa membebaskan. Jadi, kubiarkan saja rasa gentar dan gemetar ini menyelimutiku barang beberapa kerjap waktu sahaja. Mungkin satu jam, mungkin sehari, mungkin seminggu. Yang pasti, jika saya rasa sudah cukup, akan kusingkirkan sehelai demi sehelai rasa gentar dan gemetar ini.
Sebab saya tak ingin dikendalikan rasa gemetar. Sebab saya tak ingin dikuasai rasa gentar. Sebab masih banyak pekerjaan yang mesti saya tuntaskan. Sebab masih banyak hutang yang mesti kulunaskan. Sebab masih banyak agenda yang mesti ku tandaskan. Sebab masih banyak rencana yang mesti kuselesaikan. Sebab masih banyak hal yang belum aku catat.
Dan di atas itu semua, bukan kematian benar yang membuat risau. Tapi bayangan mampus dengan meninggalkan sederet janji, rencana dan kerja yang masih teronggok itu yang pasti membikin roh ku masygul.
Hidup memang tak lebih dari sehimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati. Duh, betapa sangsainya hidup pendek yang gagal diisi.



Banyak cara menjemput el-maut. Seorang penyair mungkin akan menghadapi regu tembak dengan cara bertanya sekaligus berpuisi.