Jumat, April 21, 2006

Di Mana Bung Sjahrir? (4)

Di Penjara karena Paux Vas

Sejak itulah Sjahrir perlahan tapi pasti tenggelam, sebuah proses sejarah yang tidak hanya menyesakkan bagi Sjahrir dan para pengikutnya, melainkan juga membikin heran banyak orang asing yang mengikuti perkembangan Indonesia. Seorang diplomat diplomat asing, di hari dikebumikannya Sjahrir, merasa heran bagaimana bisa Sjahrir bisa tersingkir dan dilupakan secara tragis, padahal, kata dia, di masa awal revolusi dunia internasional jauh lebih mengenal Sjahrir ketimbang tokoh pergerakan mana pun.

Sjahrir memang praktis tersingkir. Setelah penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar 1949, Sjahrir makin jauh dari dunia politik. Sesekali ia masih disibukkan oleh statusnya sebagai Ketua Umum Partai Sosialis Indonesia. Tetapi kekalahan tragis yang menimpa PSI dalam pemilu 1955, hampir dipastikan membikin kemungkinan kembalinya Sjahrir ke dalam percaturan politik menjadi betul-betul tertutup.

Puncak pengasingan Sjahrir terjadi ketika ia, bersama Anak Agung, Soebadio Sastrosatomo, Sultan Hamid, Roem dan pemimpin Masyumi lainnya, dipenjarakan oleh Soekarno pada 1962 dengan tuduhan terlibat Bali Connection.

Seperti terpapar dengan detail dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, karya sejarawan Ceko, Rudolf Mrazek, pada 18 Agustus 1962 mantan raja Gianyar akan dingaben dalam sebuah upacara besar. Anak Agung Gede Agung, putra Sang Raja, mengundang sejumlah karibnya: Soetan Sjahrir, Moh Hatta, Roem, Sultan Hamid dari Pontianak, Soebadio Sastrosatomo plus ribuan tamu dan penonton lain yang hadirtentu saja.

Tapi Anak Agung, dalam kata-katanya sendiri, melakukan faux pas, semacam blunder dalam bersikap dan mengambil keputusan: dia tak mengundang Soekarno. Sadar akan kekeliruannya, Anak Agung segera mengundang Soekarno. Tetapi Soekarno tampaknya sudah merasa dihina karena tak diundang. Soekarno, menurut Anak Agung sendiri, akhirnya merasa kecewa.
Lantas pada7 Januari 1962, Soekarno yang sedang melakukan perjalanan di Makasar untuk kampanye Irian Barat, dilempari granat. 3 orang tewas, 28 penonton luka. Soekarno dan rombongan sendiri selamat.

Delapan hari berselang, dua orang Belanda ditangkap. Sejak itulah mulai beredar desas-desus bahwa peristiwa itu diakibatkan oleh apa yang disebut sebagai “Bali Connection”: sebutan untuk komplotan politik yang terdiri dari orang-orang yang berkumpul pada upacara ngaben Raja Gianyar.

Akhirnya pada 16 Januari 1962, Sjahrir, Anak Agung, Soebadio, Sultan Hamid, Roem dan beberapa pemimpin Masyumi lainnya, ditangkap. Tak begitu jelas siapa yang bermain dalam isu “Bali Connection”. Ada yang menyebut Soebandrio, tetapi jenderal Nasution juga disebut. Akhirnya, tidak bisa tidak, Soekarno pun tersangkut.

Dan Soekarno, dua tahun kemudian, seperti terlacak dalam autobiografi yang disusun Cindy Adams, mengakuinya. Soakerno menyebut penangkapan Sjahrir sebagai “hukum revolusi”: pukul musuh kamu, bunuh atau dibunuh. Penjarakan atau dipenjarakan.
Beberapa waktu yang lalu, kata Soekarno dengan kata-kata yang menggeletar, “Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan. Kini Sjahrir dalam penjara. Aku tidak menaruh dendam. Aku menyadari bahwa ini suatu permainan dua sisi yang mengerikan dan aku terlibat. Permainan untuk kelangsungan hidup.”

Dan dalam status sebagai tahanan politik itu, tanpa proses pengadilan yang fair dan terbuka, Sjahrir mengembuskan nafasnya yang terakhir. Sjahrir, lelaki yang dalam usia 36 tahun menjadi Perdana Menteri pertama, mendiang “dalam pengasingan”; sesuatu yang menurut Mrazek nyaris selalu melingkupi kehidupan dan karir politik Sjahrir. (Bersambung)

1 komentar:

zen mengatakan...

jika ingin menulis dengan basah, sepengalaman saya, saya ikuti dua jalan: baca sastra atau nonton film dan rajinlah menulis catatan harian....

itu pengalamanku.... bukan teori loh... hanya pengalamanku...

yang penting coba terus, bung!