Senin, Desember 18, 2006

Sepenggal Kisah Cinta Mahatma Gandhi

Jika ada orang rela berkorban apa saja demi orang yang ia cintai, tentu bukan hal istimewa. Jika kita dengar ada orang yang ikhlas memertaruhkan segenap yang ia punya demi sebuah nilai atau ideologi yang 100% dipercayainya, kita pun tidak akan menganggapnya luar biasa.

Buku “Gandhi Cintaku” (Qanita, 2001) karya Sudhir Kakar bukanlah buku yang mengisahkan salah satu dari dua model kecintaan di atas. Buku ini justru memberi kita gambaran yang sungguh menyentuh tentang bagaimana jadinya jika dua model kecintaan itu bercampurbaur dengan cara yang subtil dan total.

Tersebutlah seorang perempuan bernama Mirabehn. Ia mencintai seseorang lelaki tua sekaligus juga mencintai sebuah nilai atau ideologi. Lelaki tua yang dicintainya adalah Mahatma Gandhi. Dan nilai atau ideologi yang dicintainya juga adalah “Mahatma Gandhi”. Ia mencintai Gandhi secara utuh, baik sosoknya sebagai manusia-lelaki sekaligus mencintai nilai-nilai dan pandangan hidup yang diperjuangkan Gandhi.

Mirabehn yang lahir pada 1892, nama asalnya Madeline Slade, mengenal Gandhi lewat biografi yang Romain Roland, pemenang Nobel Sastra 1915. Mira langsung terpikat dan bertekad pergi ke Ashram Sabharmati, kediaman Gandhi, untuk mengabdikan hidupnya.

Ini jelas bukan keputusan mudah. Bisa kita bayangkan bagaimana reaksi publik begitu mengetahui, Mirabehn, putri Sir Edmund Slade (Komandan Armada Laut Inggris di India Timur), tiba-tiba meninggalkan hidupnya yang mewah dan berkecukupan hanya untuk mengabdi pada orang yang justru menjadi penentang utama kolonialisme Inggris.

Mira berangkat ke India pada 1925. Gandhi, yang sebelumnya telah berkorespondensi dengan Mira, menyambutnya dengan istimewa. Dan sejak itu, Mira seperti menjadi anak emas Gandhi. Ia mendapat hak-hak yang tak dipunyai kebanyakan penghuni Ashram. Mira, misalnya, mendapat keleluasaan untuk menemani Gandhi di ruangannya menjelang waktu tidur.

Pelan tapi pasti, kepercayaan Gandhi kepadanya makin meninggi. Mira dipercaya untuk menjadi semacam asisten Gandhi. Bahkan, Mira pun diijinkan memijat-mijat kepala Gandhi, sebuah aktivitas yang sebelumnya hanya menjadi hak istimewa Kasturba, istri Gandhi sendiri.

Tetapi Gandhi kemudian mencopot sederet keistimewaan itu. Gandhi melakukannya bukan semata untuk meredakan kecemburuan Kasturba dan penghuni Ashram lainnya, melainkan karena Gandhi mulai khawatir kalau Mira tidak lagi mencintai “Gandhi” sebagai sebuah gugusan nilai perjuangan, melainkan mencintai dirinya sebagai manusia-lelaki. Jika dibiarkan, Mira bisa saja meninggalkan nilai-nilai “Gandhi” jika dirinya, Gandhi, telah mangkat.

Mira sendiri pun menyadari betapa ia juga mencintai Gandhi sebagai manusia. Sudhir Kakar menggambarkan bagaimana gelisahnya Mira tiap kali Gandhi berada jauh dari dirinya. Di saat-saat seperti itulah Mira tersiksa. Mira betul-betul berada dalam tekanan psikologis yang tak tertahankan.

Di puncak kegelisahan itulah muncul sosok Prithvi Singh, seorang lelaki pejuang kemerdekaan India yang radikal. Selama Prithvi di Ashram, Mira sering beroleh kesempatan berduaan dengannya. Mira pun jatuh hati pada Prithvi. Dengan dukungan Gandhi, Mira sebisa mungkin menarik perhatian sang pujaan. Malang tak bisa ditolak. Ketika Mira bersiap menanggalkan sumpahnya untuk selibat, Prithvi justru menolak menikahinya. Kendati terus berusaha meluluhkan hati Prithvi, lelaki pejuang itu tak mengubah keputusannya.

Mira terhempas dalam sekali pukul. Mira kembali mengalami pukulan luar biasa berat ketika Gandhi terbunuh. Dalam selang waktu yang agak lama, Mira hanya berdiam diri. Mengenang Gandhi. Lewat 5 tahun kemudian, ia baru kembali memulai aktivitas. Ia sempat mendirikan Gopal Ashram di Bhilangana, India, pada 1952.

Setelah beberapa kali melakukan eksperimen sosial, Mira akhirnya memilih hidup sendiri. Di sebuah tempat yang terpencil di dekat Wina, Austria. Di sana ia menyepi. Merenung. Dan terutama, Mira kembali menekuni dan memelajari musik Beethoven, sosok yang sebelum kehadiran Gandhi, pernah demikian membuat Mira terobsesi. Ia sempat melahirkan sejumlah karya tulis tentang Beethoven. Mira, dengan demikian, akhirnya kembali ke pelukan lelaki yang pertama kali membuatnya jatuh cinta. Beethoven.

Di bagian awal buku Kakar, pembaca akan mendapati perjuangan Sudhir mencari dan menemui Mira di kediamannya yang senyap dipinggiran Wina itu. Di sana, Sudhir menyaksikan betapa Mira hanya hidup berdua dengan seorang pembantunya dari India. Dan ini ironisnya: Ketika Sudhir pergi meninggalkan kediaman Mira, pembantu dari India itu berlari di sisi mobil Sudhir dan memohon agar sudi membawa dirinya kembali ke India. Sudhir tentu tak mengabulkannya. Tapi dari sana, kita beroleh sebuah petunjuk betapa akhirnsa pembantunya yang paling setia pun bahkan berniat meninggalkannya.

Di tempat itu pulalah Mira mengahabiskan sisa usianya dengan kemasygulan yang menderas. Ya... Mira menyaksikan bagaimana perjuangan Gandhi untuk mendirikan negara India modern yang damai dan berdaulat pupus oleh fanatisme ras dan agama yang dipeluk dengan gila-gilaan.

Dalam kesepian yang berlarat-larat itulah, Mira mendiang pada 20 Juni 1982.

“Gandhi Cintaku”, bagi saya, adalah buku yang dengan baik memaparkan pasang surut sebuah gelombang cinta yang datang dan menghempas susul menyusul. Keteguhan Mira untuk mengambil jalan hidup Gandhiji yang tindih menindih sedemikian rupa dengan rasa cinta platonik Mira terhadap Gandhi sebagai manusia-lelaki dipaparkan Kakar dengan wajar namun menyentuh. Lara hati yang ditanggung Mira ketika cintanya ditampik Prithvi pun digelar Kakar dengan dingin, persis sedingin sosok Mira dalam kesehariannya.

Sebagai seorang ahli di bidang psikoanalisis, Kakar tentu saja punya perangkat metodologis yang meyakinkan untuk mengetahui, mendiagnosis dan menguraikan dunia kejiwaan tokoh-tokohnya yang kebetulan memang ia kenal itu.

Selain sebagai pakar kejiwaan, Sudhir Kakar memang mengenal langsung Mira, Gandhi, Kasturba, Prithvi maupun Ashram Sabharmati dan seisi penghuninya. Kakar adalah salah seorang penghuni Ashram yang ditugasi Gandhi untuk mengajari Mira bahasa Hindi. Jadi Kakar memang tahu betul laku tokoh-tokoh itu berikut semua yang terjadi di keseharian Ashram.

Salah satu kelebihan buku ini berpangkal dari sana. Dengan membaca “Gandhi Cintaku”, kita akan mengenal sosok Gandhi secara lebih dekat. Jika di dunia Gandhi di kenal sebagai sosok tenang dan berpembawaan kalem, buku ini justru menggambarkan keseharian Gandhi sebagai seutuhnya manusia, yang bisa tertawa, melucu, cemberut, ragu, bimbang, sedih, ketakutan bahkan murka.

Di sini pula kita bisa mengetahui bahwa Gandhi, pelopor nomor wahid gerakan anti-kekerasan Ahimsha, ternyata bisa pula menampar seorang perempuan (Jerman) yang ia anggap telah berlaku keterlaluan. Penggambaran Kakar atas kedekatan Gandhi dan Mira yang “lumayan mesra” juga sukses memotret sosok Gandhi sebagai manusia besar dan sensual.

Hanya saja kita akan sedikit kesulitan untuk menempatkan posisi buku ini. Deskripsi tentang situasi Ashram dan detail prilaku tokoh-tokohnya, bisa dibilang merupakan sebuah fakta, sepanjang fakta dimengerti sebagai rangkaian kejadian yang tertangkap langsung oleh mata Kakar. Surat-surat Mira kepada Gandhi dan Prithvi dan juga sebaliknya juga faktual karena dikutip langsung dari surat-surat asli mereka yang kini tersimpan di Perpustakaan Nehru. Tetapi buku ini juga bukan sebuah tulisan reportase, apalagi buku sejarah, karena di banyak bagian, Kakar telah mengimbuhinya dengan imajinasi dan fantasinya sendiri. Beruntung di bagian awal Kakar sudah memberi catatan tentang bagian dan hal-hal mana saja yang faktual dan mana yang fiksional.

Buku ini, mungkin, lebih pas disebut sebagai karya semi-fiksi, tepatnya sebuah semi-fiksi yang menyentuh dan menggoda tentang perjuangan sejumlah anak manusia dalam memerjuangkan cinta dan keyakinan hidupnya.

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 16, 2006

Aubade Perempuan Eksil

Sutanti, istri DN Aidit, baru saja melahirkan anak pertamanya. Di hari membahagiakan itu Aidit di mana entah. Sobron jadi orang pertama keluarga Aidit di Jakarta yang datang menjenguk.

Tanti lantas menyerahkan pada Sobron ari-ari jabang bayinya untuk diurus. Tapi Sobron, kala itu masih pemuda ingusan yang baru hijrah dari Belitung dan awam benar soal primbon tata-polah orang Jawa, asal saja membuangnya ke sungai!

“Kata orang (Jawa), kalau ari-ari dibuang ke sungai, si pemiliknya akan berkelana terus,” tulis Ibaruri Putri Alam, anak sulung DN Aidit, si pemilik ari-ari yang dibuang ke sungai itu.

Dan itu pula yang senyatanya berlaku. Pada awal Oktober 1958, Ibaruri yang berusia 16 tahun dikirim Aidit ke Moskow bersama adiknya, Ilya. Ada semacam naluri politik dalam diri DN Aidit untuk menyekolahkan anak-anak perempuannya ke luar negeri sehingga jika ada deru deram politik yang membahayakan, mereka bisa menyelamatkan diri.

Sejak itu Iba dan Ilya tak pernah bisa kembali ke Indonesia, ia menjadi seorang pengungsi abadi. Keduanya sebenarnya sukses meraih gelar sarjana di Eropa Timur. Tapi gelar itu menjadi tak bermakna apa-apa ketika mereka kemudian “pindah” dan terpaksa berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu negeri ke negeri yang lain: Rusia, Tiongkok, Burma, Macao dan terakhir menetap di Prancis.

Baru pada April 2005 Iba bisa kembali menginjak bumi Indonesia. Tapi sebagai warga negara Prancis. Status WNI-nya tak diakui, bahkan ketika Gus Dur sebagai Presiden pernah menjaminnya.

Iba tak akan melupakan Gus Dur. Iba juga akan mengingat terus sebuah peristiwa bertarikh 2001, di sebuah musim panas yang terik di Paris. Gus Dur kala itu masih Presiden Indonesia, singgah di Paris dan menjumpai orang-orang Indonesia yang menjadi eksil. Iba diundang khusus untuk datang. Dia bahkan disediakan tempat duduk di deret paling depan, berdekatan dengan Gus Dur.

Begitu tiba, Gus Dur langsung menghampiri Iba, dan berucap: “Iba, saya belum berhasil membatalkan TAP MPRS no. XXV 1966. Saya sudah perjuangkan, tapi belum berhasil.”

Di otobiografinya ini, Ibaruri (nama yang diambil Aidit dari nama pendekar Partai Komunis Spanyol, Dolores Ibaruri) menuliskan ingatannya akan fragmen penting itu seraya mengimbuhinya dengan sebuntal kesan yang personal dan karenanya terasa cukup mengharukan:

“Aku, Ibaruri, yang sudah puluhan tahun tak pernah menginjakkan kaki di Kedutaan Besar Republik Indonesia! Kali ini dicari Presiden Indonesia in person. …Aku berterimaksih dan menjawab tidak apa-apa. …Dengan sederhana serta tulus beliau pernah meminta maaf. Dan apa yang lahir dari situ? Secara sederhana pula orang-orang PKI itu memaafkannya. Kok repot-repot.” (hal. 270)

Iba mungkin masih belum paham betapa soal maaf-memaafkan, di sini, kerap merepotkan, bagi seorang Gus Dur sekali pun. Sebab maaf, betapapun, menyiratkan masih terpacak tegaknya kesadaran ihwal arang yang mencoreng-coreng, laku yang berlancung-lancung, atau tingkah yang mengerkah-ngerkah.

Memaafkan karenanya selalu jadi medan penuh ketegangan antara “kebutuhan melupakan”, “naluri mengenangkan” dan “hasrat membayangkan masa depan”. Otobiografi Ibaruri ini adalah salah satu contoh yang cukup mengesankan bagaimana ketegangan macam itu mencuat kuat.

Kenangan berkelebatan di nyaris semua helai buku ini, hal lumrah karena sebuah otobiografi dilahirkan memang untuk, salah satunya, mengenang-ngenang.

Tapi dalam hal otobiografi orang macam Ibaruri, (yang duapertiga hidupnya dihabiskan dalam pengasingan karena menjadi korban deru deram politik yang sepenuhnya tak bisa ia mengerti) mengenang selalu menjadi problematis. Dan tidak mudah akhirnya.

Orang-orang seperti Iba inilah yang tahu benar betapa mengenang selalu membuat hidup tak bisa sepenuhnya dipahami: Mengapa harus begini kejadiannya? Kenapa harus begitu yang berlaku senyatanya? Lantas saya mesti melakukan apa?

Di titimangsa seperti itulah ketegangan antara “kebutuhan melupakan”, “naluri mengenangkan” dan “hasrat membayangkan masa depan” saling tindih-menindih, tabrak-menabrak. Iba menggugat-gugat di banyak helai halaman bukunya, soal pembantian keji orang-orang PKI, dll. Tapi Iba juga mencoba mengerti. Dan seringkali tampak ingin melupakan.

Di bawah menggunungnya daki-daki kebohongan, di sudut jiwa yang paling dalam, aku mengharap masih ada tersimpan secuil nurani yang masih polos, masih murni. …Yah, nurani… yang bepuluh-puluh tahun telah diberangus, disumbat, dipaksa bungkam seribu bahasa. Tak ingin aku berdebat tarik urat di sini. Aku hanya ingin menumplekkan jerit hatiku, marah dan tangisku,” tulis Iba (h. 384).

Dalam paragraf itu, kenangan yang membuat rasa masygul pun nongol (“kebohongan dan nurani yang dibungkam”), yang diimbuhi kesadaran kekinian untuk membikinnya sudah (“tak ingin aku berdebat”), sekaligus menyempil pula secual harapan yang kadang terasa naif (“aku mengharap masih ada tersimpan secuil nurani yang masih polos, masih murni”).

Di paragraf itulah “kebutuhan melupakan”, “naluri mengenangkan” dan “hasrat membayangkan masa depan” tampak secara eksplisit, dan lantas terhampar dengan sedemikian rupa menjadi satu kontinum kesadaran yang sinambung dan akhirnya membentuk sejarah hidup seseorang, dalam hal ini Iba, lengkap dengan kontur mentalnya yang khas.

Tetapi, terlihat pula betapa proses mengenangkan yang kerap memerihkan itu ingin dihadirkan Iba bukan penaka sebuah petaka yang hendak digusah pergi. “Biarlah ia tetap di sana dan mengendap,” begitu barangkali Iba berpikir.

Tak mengherankan jika dibalik paragraf-paragraf itu, betapa pun isinya gugatan sekali pun, saya merasa Iba seperti sedang berkompromi dengan yang silam. Dalam hal Iba, mengenang berarti juga berkompromi. Saya temukan sebentuk kepasrahan, barangkali penerimaan, atau sumeleh kata orang Jawa, bahwa hidup memang tak sepenuhnya mulus dan tak akan pernah selalu baik-baik saja. Mesti ada yang retak, split, dan bergurat-gurat luka. (Adakah kepasrahan itu disebabkan karena Iba sudah jadi seorang Budhis yang tentu paham soal determinasi takdir?)

Iba, entah para pengungsi abadi lainnya, ingin semua proses itu bisa terus berlanjut tak terputus. Dan mulus. Jangan ada lagi darah. Juga luka. Apalagi dendam. Itulah sebabnya Iba sempat menaruh harap: “Aku mengharap masih ada secuil nurani yang masih polos dan masih murni”.

Otobiografi di sini telah menjadi salah satu obyektifikasi ihwal sengitnya pertempuran antara “kebutuhan melupakan”, “naluri mengenangkan” dan “hasrat membayangkan masa depan” dalam ruang batinnya. Juga untuk melepaskan keletihan serta segenap-ganjil unek-uneknya. Sekaligus mengabarkan pada anak bangsa leluhurnya (kita, orang Indonesia) bahwa ada banyak yang terluka dalam proses panjang tumbuhnya Indonesia menjadi seperti sekarang.

Menuliskan semua-mua itu sendiri menjadi seperti proses penyembuhan bagi Iba. Seperti kata Virgina Wolf, “Derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma sebuah cerita.”

Kita tidak tahu apakah derita itu sudah tertanggungkan atau belum!

Selengkapnya......