Rabu, April 30, 2008

Menjelang Berakhirnya Pasar Malam

-- Mengenangmu, Pram....

[re-post, karena saya pernah bejanji untuk memajang catatan detik-detik kematian pramoedya di front-page blog ini tiap 30 april, tanggal kematian maestro yang saya dapuk sebagai guru ini. catatan ini pernah diterbitkan panitia fky 2007 dalam buku berjudul "tongue in your ear"]

Semalaman, dari jam setengah 10 malam sampai Minggu pagi, saya berada di kediaman Pram di Utan Kayu. Bersama sejumlah teman, saya mengalami langsung, menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Pramoedya meregang nyawa, melawan maut, dan kemudian menyerah.

Mengingat kembali proses-proses itu, saya seperti sedang membaca kembali Bukan Pasar Malam.

Saya datang ke rumah Pramoedya sekitar pukul 22.30, Sabtu malam, bersama Ella Devianti, gadis cantik yang baru saja menelurkan novel pertamanya, Paradoks Maggy. Sesampainya di sana, saya langsung disuruh masuk ke halaman rumah Pram. Saya lihat masih banyak orang di sana. Ada beberapa reporter televisi sedang menenteng kamera. Yang saya lihat secara jelas hanya reporter SCTV.

Rumah Pram 2 meter di atas jalan, dan memasuki halamannya berarti kita mesti menaiki jalan masuk yang menanjak. Di sana saya belum melihat satu pun orang yang ku kenal. Saya duduk sesaat di tanjakan halaman rumah, persis di sebelah seorang lelaki paruh baya yang duduk tercenung.

Saya beranikan diri bertanya: “Bagaimana kabar si Bung?”

“Saya tak tahu persis. Katanya malah sudah meninggal,” jawabnya pendek. Ia langsung menunduk begitu usai menjawab

Saya terhenyak. Saya tak percaya tentu saja. Sebab 15 menit sebelum sampai, Muhidin M Dahlan, karib dan rekan sekantor, mengabarkan Pram masih bertahan setelah melewati masa krisis sebanyak tiga kali. Saya juga tak percaya karena sebelum berangkat saya sempat membuka detik.com, dan di sana dikabarkan bahwa Pram masih bisa bertahan, dan bahkan minta sebatang rokok kesayangannya, Djarum Super.

Saya tengok kanan-kiri. Saya lihat beberapa orang yang ku kenal. Bersama Ella saya kemudian mendekati mereka yang duduk mengelilingi sebuah meja kaca, persis di samping kanan rumah. Saya bertanya pada Muhidin. Dan Chavchay Syaifullah, wartawan Media Indonesia yang baru saja melaunching bukunya tentang Chairil Anwar, menjawab: “Aman, bung. Terkendali!”

Saya lega. Saya hisap sebatang rokok. Dua batang rokok. Tiga batang rokok. Sembari terus saja bercakap-cakap. Membincangkan apa saja. Selama proses inilah belasan sms dari karib-karib saya masuk menanyakan kebenaran kabar wafatnya Pram. Sekitar pukul setengah 12, sms Faiz Ahsoul masuk, juga menanyakan kabar Pram.

Saya jawab: “Pram masih bertahan. Dia baru saja melewati krisisnya yang ketiga. Dan dia malahan meminta rokok.”

Selain kepada Faiz, sms itu juga saya kirim ke Arief Santoso, redaktur budaya Jawa Pos.

10 menit kemudian Faiz kembali membalas. “Syukurlah. Saya sedang di Kaliurang, menyaksikan Merapi yang mulai memanas. Mungkin Pram dan merapi sudah berjanji saling menunggu.”

Saya diam. Tak ku jawab sms itu.

Kemudian Susilo Ananta Toer, adik termuda Pramoedya keluar menemui beberapa wartawan televisi. Susilo bilang bahwa Pram pernah berjanji untuk bertahan hingga 100 tahun. “Bertahan, Bung. Ini baru 81, belum seratus!"

Saya tersenyum. Siapa yang tahu dan siapa yang sebetulnya menentukan usia?
Yang saya tahu, Susilo pula yang sempat bersikukuh agar Pram tetap dirawat di RS Carolus. Susilo tidak ingin kejadian di mana ayah mereka akhirnya wafat setelah 3 hari dibawa pulang dari rumah sakit. Hal itu bisa dibaca dalam Bukan Pasar Malam.

****
Di hari Minggu yang masih begitu dini, kurang lebih sekitar jam 2 pagi, Astuti Ananta Toer, putri yang begitu dekat dengan Pram, tiba-tiba menghambur dari kamar tempat ayahnya dibaringkan. Ia berteriak-teriak: “Oma… Oma….”

Waktu itu tamu dan pelayat sudah banyak yang undur. Ointu gerbang berwarna hiau sudah ditutup. Kami, yang ada di sebelah kanan kediaman Pram di Utan Kayu, refleks bangkit dari masing-masing duduknya dan langsung menghambur masuk ke dalam kamar depan tempat Pram dibaringkan.

Saya dan yang lain hanya diam terpaku, di ruang tamu, dengan mata yang nanar menatap dari kejauhan, terdengar jelas hentakan nafas satu-satu yang susah payah dihela Pram. Maestro yang dikagumi ribuan anak muda itu tampak tergeletak lemah. Ia diselimuti dengan selimut berwarna coklat bercorak kembang putih-putih. Sepasang lengannya mengenakan sarung tangan berwarna hitam. Sejumlah selang menancap di pergelangan tangan dan hidungnya. Infus dan oksigen.

Saya berada persis di ujung sepasang kaki Pram. Saya lihat sepasang kakinya keluar dari selimut. Sepasang kaki yang lemah dan tampak letih. Dibungkus kaus kaki coklat tipis.

Kembali saya ingat Bukan Pasar Malam. Si tokoh, pada kedatangannya yang pertama mengunjungi ayahnya yang terbaring sakit, memerikan bagaimana sepasang kaki ayahnya; sebuah pemeriaan yang secara luarbiasa akhirnya terulang pada diri Pram sendiri.

“Kudekati ranjang ayahku, kuraba kakinya yang kering. Hatiku tersayat. Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku juga dan pernah mengembara ke mana-mana? Dan kaki itu terkapar di atas kasur ranjang rumahsakit. Bukan kemauannya. Ya, bukan kemauannya. Rupa-rupanya manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya. Dan kelak begitu juga halnya dengan kakiku.” (Bukan Pasar Malam, hal. 48).

Ya…. Seperti juga Pram yang meraba kaki ayahnya, saya menyentuh kaki Pram yang masih menyisakan sejumput udara hangat. Saya melolosi sepasang kaus kaki coklat tipis yang membungkus sepasang kaki Pram yang letih dan berkarat oleh waktu dan sejumlah pengkhianatan.

Saya ingat Yukio Mishima, sastrawan Jepang yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara seppuku yang luarbiasa dramatis, sebuah gaya artisitik memerlakukan kematian tak ubahnya sebuah panggung teater. Mishima yang bunuh diri pada 1970 itu juga pernah menulis sebuah novelet, sama seperti Bukan Pasar Malam, judulnya Patriotisme. Di cerpen itu, Mishima mengisahkan secara detail bagaimana seorang perwira Jepang melakukan seppuku. Dan sungguh menakjubkan, Mishima juga mati dengan cara yang sama seperti ia pernah tuliskan sebelumnya dalam novelet Patriotisme itu.

Pikiran saya ke mana-mana. Saya berdiri persis di tiang tempat di man botol infus digantungkan. Saya perhatikan botol infus itu. Saya perhatikan, tetes-tetes infus begitu lambat menetes. Dan semua orang, saya kira, juga merasa detik begitu lama beranjak. Lama sekali. Saya pernah ingat seorang suster yang dulu semasa kecil pernah merawat saya sewaktu saya diterjang penyakit demam berdarah. Kata dia, kalau infus cepat habisnya berarti yang dirawat itu ada kemungkinan pulih, sementara jika infus begitu lama habisnya, itu pertanda buruk.

Saat itu saya sadar kalau Pram sedang meregang nyawa. Susah betul ia menarik nafas. Sesekali dagunya terangkat. Mungkin untuk memudahkan masuknya oksigen. Tangannya lemah terkulai. Mujib menggenggam tangan kiri, Oma (panggilan untuk istri Pram) bergantian menggenggam tangan kanan.

Lagi-lagi entah siapa yang memulai, tampaknya Mbak Titik (panggilan Astuti), beberapa orang yang hadir mulai menggumamkan do’a. Ada yang menggumam dalam hati, dan ada yang setengah berteriak. Seisi kamar seperti bergetar oleh do’a dan himpunan kalimat-kalimat suci.

Taufik Rahzen memecah suasana sakral dan menyayat itu dengan suara setengah berteriak: “Bung Pram… Bung Pram…..”

Rahzen mencoba menyadarkan, berupaya agar Pram tak kehilangan kesadaran.

Beberapa saat kemudian, Mbak Titik, dengan nada antara kasihan melihat Pram yang meregang nyawa dan campuran rasa frustasi takut kehilangan, tiba-tiba berkata dengan keras: “sudahlah… biarkan dia pergi. Kasihan. Kasihan dia….”

Seisi kamar terhenyak. “Jangan, Bung! Jangan menyerah, Bung!” batin saya dalam hati seperti hendak menolak rasa pesimis yang pelahan mulai merayap.

Tapi kali ini Pramoedya masih bertahan. Pelan tapi pasti, setelah 45 menit meregang-regang, ia kembali berhasil menguasai kesadarannya. Nafasnya mulai teratur.

“Opa… opa….” teriak Mbak Titik.

Pram menengok ke arah Mbak Titik.

Seantero kamar menarik nafas lega. Pram sadar kembali.

****
Tetapi itu tak lama. Sekitar pukul 03.15 pagi, Pram kembali diterjang krisis. Kali ini lebih menyesakkan untuk disaksikan.

Saya lihat bagaimana orang yang berdiri tegar sendirian bertahun-tahun lamanya, dipenjara di semua rezim yang pernah berkuasa di sini (di penjara kolonial Belanda, rezim fasis Jepang, zaman Soekarno juga Orde Harto), tampak megap-megap. Dagunya sesekali terangkat. Ia berulang kali mengubah-ubah posisi tangannya. Sekali waktu ia merentangkan sepasang tangannya, dengan wajah terangkat, seperti hendak menantang duel sang maut. Kali lain ia meletakkan dua tangannya di atas kepalanya. Tentu saja masih dengan deru nafas yang makin lemah dan patah-patah.

Deru do’a makin kencang menghambur dari seantero kamar. Semua-muanya. Tak terkecuali saya. Dalam hati tentu saja. Saya tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya meregang nyawa, menempuhi sekarat, bertarung dengan malaikat penjagal nyawa. Saya ingat sebuah do’a Rasulullah yang memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari sakitnya meregang nyawa, yang kata Rasul, sakitnya tujuh kali lebih menggidikkan dari sayatan pisau yang paling tajam.
Saya bergidik. Begini rupanya meregang nyawa. Hih…. Dan, jujur saja, baru sekali itulah saya lihat orang sekarat. Dan entah ini anugerah ataukah kutuk, pengalaman pertama menyaksikan orang sekarat itu justru ketika Pram, orang yang saya anggap sebagai guru, yang menjadi “aktornya”.

Berkali-kali, Yudistira dan Astuti memegang lengan kiri ayahnya. Sesekali mereka mendekatkan kuping ke mulut Pram, berjaga jika sewaktu-waktu Pram membisikkan pesannya yang terakhir. Yudis sesekali membacakan kata-kata suci ke telinga ayahnya.

Saya tak tahu apa yang ada dalam batin Pram ketika di detik-detik terakhir hidupnya ia dido’akan, dihujani oleh kata-kata yang diyakini suci. Adakah Pram menolak? Mungkinkah Pram menampik?

Pelan-pelan saya khawatir, jangan-jangan Pram merentangkan tangan atau menggeleng-gelengkan kepala sebetulnya sebagai bentuk penolakan Pram atas cara keluarga, karib dan pengagumnya memerlakukan dirinya. Saya khawatir, jangan-jangan Pram hanya ingin mati dengan caranya sendiri, bukan seperti cara orang-orang yang saat itu ada di sampingnya sewaktu sedang bertarung dengan wabah maut.

Tapi kita tidak pernah akan tahu apa yang ada di kepalaPram saat itu. Kita tak akan tahu apakan Pram menolak atau tidak. Dan kita juga tak akan tahu bagaimana sebetulnya Pram ingin menghadapi maut. Lagipula, saya dan barangkali semua orang yang hadir yang mendoakan Pram dengan kata-kata suci yang dalam seumur hidup Pram jarang sekali ia ucapkan, hanya bergerak mengikuti insting, naluri. Saya, dan barangkali juga yang lain, tak pernah terlintas pikiran hendak meng-Islam-kan Pram, sebab saya dan yang lain juga tak tahu apakah Pram muslim atau bukan.

Saya ingat Pram pernah berkata bahwa orang ateis yang menjadi ateis karena pilihan sadar biasanya adalah orang yang paling banyak memikiran Tuhan. “Orang ateis,” dalam kata-kata Pram sendiri, “adalah mereka yang telah melewati banyak ‘stasiun’ pemberhentian.”

Saya tak tahu Pram sudah melewati berapa stasiun. Yang saya tahu, Pram, seperti bisa kita baca dalam Bukan Pasar Malam, membisikkan kata-kata suci yang memuji kebesaran Tuhan ke telinga ayahnya yang baru saja meninggal dunia, 57 tahun lalu, di pengujung warsa 1949 yang muram.

Sejarah barangkali adalah sebentuk persilangan dan tumbukan antara satu pengulangan menuju pengulangan yang lain. Semacam circle. Tak peduli betapa para sejarawan memeluk teguh doktrin ein malig, sejarah hanya terjadi sekali.

Di jam-jam terakhirnya itu, saya, lewat sebuah koinsidensi yang menakjubkan, bisa berada langsung melihatnya, menjadi penyaksi dari satu tahap paling genting setiap manusia: mati!

Pada fase krisisnya yang terakhir, sebelum kemudian ia meninggal pada jam 9 pagi itu, saya menyaksikan bagaimana Pram terus dikendalikan oleh hidupnya, kenangannya, dan aktivitas-aktivitas hidupnya.

Di tengah-tengah badai lara yang makin menyiksa, dengan suara yang parau dan nafas megap-megap, Pram masih sempat menanyakan kabar apakah sampah sudah dibakar.

Pram memang punya hobi aneh: membakar sampah. Jika kita baca Nyanyi Seorang Bisu, kumpulan surat-surat Pram untuk anak-anaknya yang ditulis dari Buru, kita akan tahu bahwa membakar sampah adalah salah satu cara menyibukkan diri seorang Pram selama diburu. Membiarkan diri melamun kosong di pulau pengasingan yang mengerikan sama saja dengan menyerahkan jiwa kita pada kegilaan. Membakar sampah adalah cara Pram melawan waktu yang menggerus, sekaligus sebentuk rsistensi Pram atas pengkondisian rezim Harto yang memang menginginkan agar dia jatuh bukan oleh tangan-tangan kasar aparat, melainkan jatuh dalam kegilaan dirinya sendiri.

Dan Pram tak hanya ingin membakar sampah. Ia juga ingin jenazahnya dibakar, dikremasi. Bukan dikubur. Permintaan yang kelak tak dikabulkan keluarganya.

Yang membuat saya makin tergetar adalah betapa Pram dalam perlawanannya yang terakhir terhadap kematian, akhirnya luruh juga dalam ketakutan. Saya saksikan bagaimana Pram menitikkan air mata. Berkali-kali. Anaknya Yudistira Ananta Toer, dalam perbincangan beberapa jam sebelumnya, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat Pram menangis, baik menangis terharu maupun menangis karena sedih, tidak juga ketika Pram pertama kali kembali ke rumahnya di Utan Kayu setelah sepuluh tahun lebih diasingkan ke Pulau Buru.

Tetapi Pram akhirnya masih bisa bertahan juga, seperti memenangkan sebuah ronde dari serangkaian pertandingan melawan maut. Pukul 4 pagi Pram kembaali bisa tersadar.

****
Saya dan beberapa teman akhirnya pamit undur dari rumah Pram. Saya letih. Lelah. Semalaman tak tidur. Tapi yang jauh lebih membikin letih adalah pengalaman menyaksikan seorang Pram, yang sama-sama kami kagumi itu, meregang nyawa, menahan sakit, melawan kematian.

Ya, saya percaya Pram memang melawan sebisanya. Ia masih ingin hidup hingga 100 tahun. Ia masih ingin bertemu dan berdialog terus menerus dengan angkatan muda yang ia harapkan bisa mengembalikan laju Indonesia ke relnya yang benar. Ia juga masih ingin menyelesaikan Ensiklopedi Citra Kawasan Indonesia yang baru tergarap sebagian, kendati sebagian di sini artinya bahan-bahan itu telah menumpuk setinggi 3 meter lebih.

Saya juga yakin Pram akan bertahan. Tidak, Bung Pram pasti bisa bertahan. Pasti. Begitu saya mencoba meyakinkan diri sendiri.

Tetapi saya keliru. Ketika sedang berada di bus kota, sekitar pukul 9 pagi, sebuah sms dari Taufik Rahzen yang isinya pendek sekali, tapi justru membikin dada seperti runtuh: “Pram baru aja jalan….”

Semenit kemudian sms Muhidin masuk. Isinya membikin badan meriang: “Pram telah meninggal dunia. 09.02. Inilah erangannya yang terakhir: “Saya tak kuat. Bakar saya dalam mati saya.”

Saya menyesal tak ada di sampingnya ketika ia terbang pergi. Saya menyesal. Sangat.

Di atas bus kota yang reyot yang membawa saya ke arah Tanjung Duren di wilayah Jakarta Barat itulah saya terima kabar kematiannya. Saya kirim sms pendek ke semua teman yang bisa saya hubungi. “Pram wafat. Barusan.”

****
Pram dimakamkan di Karet, satu pemakaman dengan si binatang jalang Chairil Anwar. Ia memang diantarkan oleh ribuan pelayat dan anak muda yang mengaguminya. Ia dimakamkan secara islami, kepergiannya juga diiringi oleh Internationale dan Darah Juang.

Tetapi pada akhirnya ia pergi sendiri. Sendirian. Sesuatu yang sudah dipahami oleh Pram 57 tahun sebelumnya. Dalam paragraf penutup Bukan Pasar Malam, Pram menulis sesuatu yang akhirnya ia alami juga:

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang… seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”


Jakarta-Jogja, 5-6 Mei 2006

Selengkapnya......

Minggu, April 27, 2008

Kereta

--Mengenangmu, Ril….

Saya merasa sajak ini begitu imajinatif menggambarkan rasa pedih dan perih. Rasa pedih dan perih itu serasa diuraikan satu per satu, perlahan-lahan, dengan penuh kesabaran, mungkin seperti mengupas kulit ari selapis demi selapis. Fakta bahwa uraian imajinatif ihwal rasa pedih dan perih itu digambarkan melalui metafora “kereta”, moda transportasi yang begitu saya sukai, makin membuat sajak itu punya tempat tersendiri dalam hati.

Saya sedang (akan) membicarakan sajak Chairil Anwar yang berjudul “Dalam Kereta”, salah satu sajak Chairil yang mungkin amat jarang dikenal orang, kalah jauh terkenal dari sajak “Aku”, “Krawang-Bekasi”, atau “Senja di Pelabuhan Kecil”.

Sajak ini termuat dalam antologi sajak Chairil yang berjudul “Kereta Api Penghabisan”. Anda mungkin baru mendengar antologi itu. Jangan khawatir, bukan hanya Anda saja yang baru mendengar. Entah siapa orang yang masih punya cetakan antologi itu. Kabarnya, antologi itu hilang di rimba yang entah.

Nah, sajak “Dalam Kereta” adalah satu-satunya sajak yang “terselamatkan” dari antologi “Kereta Api Penghabisan” – yang kehilangannya oleh Saut Situmorang disebut sebagai “moksa puitis”.

Di situ saja sudah muncul satu koinsidensi yang menarik. Apa yang bisa kita takik dari kenyataan bahwa satu-satunya sajak dari antologi “Kereta Api Penghabisan” yang raib ternyata berjudul “Dalam Kereta”?

Dua judul itu, satu judul antologinya dan satunya lagi judul salah satu sajaknya, sama-sama memuat kata “kereta”. Saya ingin berandai-andai, mungkin Sang Maha Puisi memang sengaja (hanya) menyelamatkan sajak “Dalam Kereta” dari –jika istilah Saut bisa dikutip lagi-- “moksa puisi”, dari keraiban. Jika pengandaian puitik itu benar, bisakah itu dibaca sebagai kemungkinan bahwa (jangan-jangan) sajak “Dalam Kereta” memang bisa merepresentasikan isi antologi “Kereta Api Penghabisan”?

Entahlah. Saya tak ingin melanjutkan pengandaian yang amat bisa jadi meleset itu. Tapi untuk satu hal ini saya tak sedang berandai-andai. Begini:

Pada tahun-tahun antara 1945-1949, salah satu penggal kehidupan Chairil yang penuh nyala api kreatifitas (Chairil check out dari muka bumi pada 28 Februari 1949), kereta punya tempat yang istimewa dalam korpus kesadaran dan ingatan kaum republiken.

Soekarno-Hatta, pada awal Januari 1946, pindah ke Jogjakarta dengan mengendarai sebuah kereta malam melalui sebuah perjuangan yang dramatis. Kereta berhenti di dekat kediaman Soekarno di Pegangsaan Timur –mungkin di sekitar stasiun Cikini sekarang—selepas maghrib. Soekarno-Hatta dan keluarganya berikut sejumlah pejabat republik sudah bersiap di kediaman Sokarno. Begitu kereta datang, mereka naik kereta malam tersebut. Dari Jakarta hingga Bekasi, kereta bergerak tanpa satu pun lampu dinyalakan untuk menghindari penciuman intelijen Belanda. Kereta akhirnya tiba di Stasiun Tugu keesokan harinya dan Sultan Hamengkubuwana IX sudah menyambut di ujung peron. Kisah Jogjakarta menjadi ibukota di mulai dari situ.

Sjahrir, yang waktu itu menjabat Perdana Menteri, untuk sementara masih tinggal di Jakarta. Untuk pergi-balik Jakarta-Jogja, Sjahrir punya kereta khusus. Ben Anderson, dalam disertasinya yang sudah menjadi klasik, “Revolusi Pemuda” – pernah menggunakan metafora “kereta Sjahrir” itu untuk menunjukkan pola diplomasi dan kecenderungan politik Sjahrir yang sukar ditebak.

Tentara dari Divisi Siliwangi yang hijrah ke kantung-kantung Republik di Jawa Tengah dan Jogjakarta, diangkut dari Cirebon (tepatnya di stasiun Parujakan yang khusus melayani barang dan penumpang yang menuju jalur utara via Tegal dan Semarang) dengan mengendarai kereta. Mereka juga turun di Stasiun Tugu dengan disambut gadis-gadis palang merah yang mengelu-elukan mereka. (foto di atas menceritakan Bung Hatta sedang menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu pada 12 Februari 1948)

Mungkin dari situlah Ismail Marzuki pernah menciptakan lagu “Sepasang Mata Bola”. Lagu syahdu itu juga menyebutkan kereta dan Jogja –pastilah itu merujuk Stasiun Tugu. Kita simak salah satu petikannya: “Hampir malam di Jogja/ Ketika keretaku tiba/ …Sepasang mata bola/ Gemilang murni mesra/ Telah memandang beta/ Di stasiun Jogja/ Sepasang mata bola/ Seolah olah berkata/ Pergilah pahlawanku….”

Tapi tak ada adegan yang lebih menyedihkan daripada tragedi yang di negeri Belanda terkenal dengan sebutan “De Trein vande Dood” alias “Gerbong Maut”.

Tragedi ini bermula sewaktu Belanda hendak mengevakuasi 100 orang yang dicurigai sebagai bagian dari gerakan nasionalis dari penjara Bondowoso ke penjara Kalisosok di Surabaya pada 23 November 1947. Mereka dimasukkan ke dalam 3 gerbong. Kereta berangkat dari Bondowoso pada pukul 3 dini hari.

Seperti gerbong yang membawa tahanan NAZI ke kamp Auschwitz, gerbong-gerbong itu pun ditutup rapat dan minim ventilasi. Selama perjalanan sepanjang 13 jam, tahanan tak pernah diberi makan dan minum, gerbong tak pernah dibuka dan diperiksa. Sesampainya di Surabaya, begitu gerbong dibuka, ternyata 46 orang tahanan kedapatan tewas karena dehidrasi dan kehabisan oksigen.

Salah satu cerita dalam “Percikan Revolusi + Subuh”-nya Pramoedya pernah dengan baik menggambarkan bagaimana suasana kereta pada masa revolusi yang dipenuhi hiruk-pikuk perempuan bakul beras yang rela dijamah-jamah kondektur agar dapat korting atau malah gratis. Hal yang sama diulang kembali oleh Pramoedya sewaktu menulis novel perang berjudul “Di Tepi Kali Bekasi” dengan protagonis bernama Farid, pemuda penuh semangat nasionalis namun tak cukup punya pengertian yang utuh ihwal apa dan akan berakhir seperti apa dan di mana perjuangan yang dilakukannya.

Chairil sendiri amat sering naik kereta. Jiwa petualangan dan keluyuran Chairil, hanya bisa disalurkan dengan mengendarai kereta api, terutama jika ia hendak pergi ke kota-kota di daerah timur. Salah satu cerita terkenal tentang kelakuan Chairil adalah sewaktu ia naik kereta ke Surabaya untuk –dalam koar-koarnya—berjuang dengan Arek-arek Suroboyo. Ternyata, salah seorang yang mengenal Chairil, menjumpai Chairil sedang asyik masyuk di salah satu gerbong kereta dengan seorang perempuan di sekitar masa digelarnya pertempuran Surabaya yang dimulai pada 20 November.

Kata-kata Chairil sendiri banyak ditulis digerbong-gerbong kereta untuk menyemangati para pemuda revolusioner. Kata-kata itu berbunyi: “Boeng, Ajo, Boeng!” Padahal, kata-kata itu dicomot begitu saja oleh Chairil dari sapaan khas para pelacur di Senen sewaktu menawari pria-pria hidung belang untuk “ngamar”.

Begitulah, kereta menempati posisi yang istimewa dalam sejarah perjuangan pada masa revolusi, periode di mana Chairil sedang benar-benar menikmati masa puncak kreativitas dan elan vitalnya sebagai penyair dan manusia.

Antologi “Kereta Api Penghabisan” mungkin dipersembahkan Chairil untuk mengenang semua peristiwa di atas kereta yang dialaminya, disaksikannya langsung atau sekadar didengarnya. Tengara itu –mungkin—cukup masuk akal karena Chairil dikenal sebagai orang yang tampak begitu terobsesi dengan hidup dalam semua bentuk dan penampakannya. Sajak-sajak Chairil seperti berhulu dari realitas yang terjadi di sekitarnya, rekaman atas pengalaman hidup yang dialami salah satu atau salah lima inderanya.

Jika pun benar begitu, anehnya, sajak “Dalam Kereta” sendiri rasa-rasanya sepenuhnya beraura muram, mencucuk, dan –jika saya membayangkannya—kadang bisa membuat gigil. Kendati semua barisnya diakhiri dengan huruf “a”, yang biasanya lebih memungkinkan munculnya aura yang terang, sajak itu terasa mencekam. Ada suasana pengap di sana, ada aura penantian atas sesuatu yang tak pasti tapi sepertinya sesuatu yang mengerikan atau menyakitkan, dan ada sejumput rasa sakit yang perlahan-lahan makin terasa kuat.

Sajak “Dalam Kereta” dibuka oleh dua baris berbunyi:

Dalam Kereta
Hujan menebal jendela

Dua baris itu langsung menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil menggambarkan suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada (1) di “dalam kereta”, ealah…. (2) masih pula keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.

Tentu saja tidak semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat akan merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang jatuh cinta atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan menikmati rinai hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam dada. Hanya saja, baris-baris berikutnya –sehemat saya—lebih menunjukkan aura mencekam ketimbang riang.

Semarang, Solo? Makin dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama

Ya, ya, dua baris berikutnya dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju Semarang dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota tujuan sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah Chairil sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum tahu tujuan? Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.

Kendati belum jelas dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup jelas punya tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan “menguak purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara purnama akan dikuak di Solo.

Yang jelas, di situ Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan “menguak purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam kosa kata sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan obsesi dan tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti hentakan dari ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.

Objek dari target atau obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal abstrak yang seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh, indah, pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau tantang-menantang.

Tiga baris terakhir sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan mencekam yang sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu pukulan ironi yang menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:

Caya menyayat mulut dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.

Semarang atau Solo, dua kota yang dibayangkan sebagai tempat untuk “menangkup senja” dan “menguak purnama”, ternyata “sengaja didatangi” justru untuk membiarkan diri, mulut dan mata disayat ca(ha)ya, sayatan yang begitu kuat sampai-sampai mampu menjengkingkan kereta dan jiwa. Di situlah irononya bercokol.

Frase “sengaja didatangi” itu tidak berlebihan karena –cukup jelas—Chairil di situ memang mengajak pembaca untuk mengikuti pengalaman visual dibekap gerbong kereta yang dibekam hujan yang menebali jendela dan juga disayat-sayat oleh cahaya yang mampu menjengkingkan jiwa. Dan Chairil melakukannya dengan perlahan-lahan, sabar dan mengimbuhinya dengan beberapa ketidakpastian kecil (soal kota tujuan).

Ya, perlahan-lahan pembaca diajak merasakan suasana pedih dan perih yang sedetik demi sedetik makin menyayat-nyayat, dari mulai mata… mulut… lantas terus turun menyayati dada.

Ada sejumput kesan masokisme di situ; tentang Chairil yang mengajak pembaca menikmati segala pengalaman pedih dan perih yang menghunjam dengan perlahan namun dengan tingkat kepastian yang --tak bisa diragukan—akan terus merambat hingga dada.

Dan Chairil memercayakan semua lakon (bernada) masokis itu dipanggungkan di atas gerbong-gerbong kereta, bukan truk atau sedan atau kapal laut. Kenapa dengan kereta? Selain soal fakta bahwa Chairil sering bepergian ke kota-kota yang jauh dengan kereta dan arti penting kereta pada zaman itu, adakah alasan lain kenapa Chairil memilih kereta?

Saya tidak tahu pastinya. Tapi, seturut pengalaman saya, kereta memang jauh lebih memungkinkan pengalaman mencekam dan liris itu ditelan dalam dada, lebih dari kapal laut atau pesawat terbang apalagi mobil. Ada sesuatu yang khusus dari kereta –sesuatu yang saya khawatir tak bisa menjelaskannya.

Tapi, jika boleh berbagi pengalaman, saya selalu merasa kereta memiliki ruang yang memungkinkan imajinasi lebih leluasa berkembang. Bentuk kereta, yang memanjang dari satu gerbong ke gerbong lainnya dan masih memungkinkan orang melihat gerbong-gerbong di depan atau di belakang, rasanya sering menghadirkan suasana seperti sedang berada di sebuah lorong yang panjang.

Menariknya, lorong panjang itu selalu mentok di badan lokomotif. Di luar pesawat terbang (yang pada masa Chairil belum populer sebagai koda transportasi umum), nyaris semua kendaraan pada masa itu memungkinkan penumpang menyaksikan apa yang sedang terjadi di depan. Kita hanya bisa melihat gerbong-gerbong di depan, tapi kita tak akan pernah bisa melihat apa yang sedang menghadang di depan lokomotif.

Bentuk kereta memungkinkan penghayatan terhadap ketidakpastian muncul dalam kadar yang lebih kuat; situasi tak menentu, fana dan hanya memungkinkan kita pasrah pada kewaspadaan masinis, karena penumpang kereta tak bisa mengingatkan masinis jika ada sesuatu yang berbahaya di depan sana.

Dan para penumpang kereta tak pernah bisa untuk bersiap lebih dulu menghadapi bencana, rel yang patah atau jembatan yang rengkah karena penumpang memang tak pernah tahu apa yang terjadi di depan sana.

Tahu-tahu dan tiba-tiba, gerbong yang kita tumpangi anjlok atau bahkan terguling ke kanan, "menjengking kereta, menjengking jiwa", kata Chairil.

Saya jadi ingat penyair Indrian Koto, yang pada satu dini hari, tiba-tiba goyah kakinya begitu mendengar pluit petugas stasiun dan lengking lokomotif tanda kereta sebentar lagi akan beranjak. Di mana lagi jika bukan di Stasiun Tugu!

----------------------
Untuk mengenang 59 kematian Chairil, beberapa teman sekantor saya yang sehari-hari sibuk menggarap Kronik Seabad Kebangkitan Nasional merelakan diri menulis sesuatu tentang Chairil Anwar. Mereka adalah Ridwan Munawwar dan Yusrizal Elga. Seorang lagi adalah Haska, penulis buku “Bob Marley: Rasta Reggae dan Revolusi” yang juga kontributor salah satu terbitan di tempat kantor saya bekerja, “Bataviase Nouvelles”.

Sila diklik link-link di bawah ini untuk membaca catatan-catatan mereka tentang Chairil Anwar:


Chairil Anwar: Pintu-Pintu Pengakuan

Sebuah Ingatan untuk Chairil Anwar

Jejak Chairil Anwar dalam Ingatan seorang Pengigau

Selengkapnya......

Minggu, April 20, 2008

Jendela

-- surat buat Ann

Ann, sore ini tiba-tiba aku memikirkan banyak hal tentang jendela seraya pada saat yang sama aku juga lupa pernahkah kita duduk berdua di gigir jendela dalam waktu yang lama. Saya lupa, Ann. Sungguh. Dan untuk itu, maafkanlah aku.

Aku tak tahu kapan kau membaca catatan ini, sepucuk surat yang ditulis di sebuah kampung kecil di tubir pantai Cihara (Bayah) yang sepi, merayakan hari jadi, sembari menggumamkan beberapa metrum sekar megatruh dalam kepungan resau ombak yang bergemuruh.

Mungkin kau merasa heran, kenapa senja yang sempurna dirayakan dengan menyimak sekar megatruh. Apa boleh buat, Ann, sekar asmaradana sedang tak kena. Aku merasa, sekar asmaradana lebih berpeluang membuatku leka. Aku sedang tak ingin leka, Ann. Sedang tak sudi diguyah lupa.

Megatruh, Ann. Ya, megatruh. Dari kata “pegat”, lantas menjadi “megat”, yang berarti “putus” dan kata “ruh” atau “jiwa” atau “nyawa” atau “atma” dalam tradisi Buddha. Megatruh berarti ajal, Ann. Maut. Situasi di mana nyawa atau ruh “megat”, bisa pula “mingat”.

Aku pernah tergoda membandingkan megatruh dengan requiem, mungkin antara megatruh-nya Yasadipura yang dianggap tabu dilantunkan di sekitar sungai dengan Introitus Requiem-nya Wolfgang Amadeus Mozart yang sering berkumandang pada misa arwah di kapel-kapel gereja.

Tahun lalu, Ann, ya… tahun lalu, aku merayakan hari jadi dengan seminggu penuh memutar-mutar Introitus Requiem, komposisi yang ditulis menjelang Mozart disambangi maut. Tahun ini, saat kau tak lagi bersisian denganku, Ann, aku sangat ingin mendengarkan sekar megatruh dilantunkan. Ya, cukup megatruh-nya saja, sebab jika semua sekar macapat dilantunkan bisa panjang pertunjukan.

Aku tak ingin mengulang apa yang sudah ku tulis pada catatan hari jadi tahun yang silam. Cukup ku katakan: cara terbaik untuk merayakan hari jadi adalah dengan memikirkan kematian, sebab kedatangan hari jadi bukanlah titimangsa perpanjangan yuswa melainkan justru menjadi peristiwa yang meneguhkan makin ausnya kita punya usia.

Heidegger, Ann, filsuf yang pernah kuceritakan saat fragmen pengkhianatan itu terbuka nyaris tanpa jelaga, pernah bernubuah: “Ketika seseorang dilahirkan, ia sudah terlalu tua untuk mati.”

Megatruh, “pegat-e ruh”, terasa makin ngelangut jika disimak dari tingkap jendela. Kubayangkan, malaikat-malaikat maut mengambang lebih dulu di jendela sebelum ia melesat ke dalam dan sekejap kemudian kembali terbang ke swargaloka membawa nyawa yang baru saja direnggutnya dengan perkasa dan tanpa kata-kata sayonara.

“Keringat begitu deras melumuri tangan malaikat, dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela, memandang wajahmu dalam gaib asmaradana. Tuhan, beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang.”

Sajak itu berjudul “Ciuman Terakhir Menjelang Kematian”, ditulis oleh penyair dan kyai bernama Zainal Arifin Thoha. Tahukah kau, Ann, kalau beliau juga mendiang pada satu malam di bawah tingkap jendela rumahnya, setahun silam, persis seperti bunyi sajak yang ditulisnya itu.

Jendela, Ann, bukan pintu. Pintu adalah tempat lalu lalangnya para tamu dan para pejalan yang singgah, sebuah lorong yang terbuka dan nyaris tanpa rahasia. Semua orang pernah melewati pintu, melepaskan sepatu, melihat paras tuan rumah, lalu duduk di sofa di dekat slintru, mungkin sambil memandangi seisi ruang tamu dan mengagumi potret-potret keluarga atau lukisan pemandangan berlatar langit yang begitu biru. Tak ada rahasia di antara dua pilar pintu.

Tapi jendela, Ann, ya… jendela, lebih banyak menyimpan rahasia. Jendela bisa dibaca sebagai memoar kesendirian pemiliknya, yang –mungkin—hari demi hari memandangi jalanan sembari menanti kedatangan tukang pos yang membawa kabar kekasihnya yang sedang merantau nun entah di mana.

Jendela bisa pula dihayati sebagai nubuah bagi jiwa yang ingin bebas dari seorang putri yang dipenjara di sebuah kastil yang megah. Jendela menjadi perantara antara “dunia luar” yang merdeka dengan “dunia dalam” yang penuh krama dan tata.

Di situ jendela memberikan kepedihan dan kesenangan sekaligus. Ia menjadi kepedihan karena jendela menyadarkan seseorang betapa ia sedang ditelan oleh tembok-tembok yang tak berbelas kasih. Ia menjadi kesenangan karena pada saat yang sama jendela akan terus-menerus mengingatkan bahwa dunia luar yang merdeka itu masih ada dan akan terus terbuka bagi siapa saja yang berani menghadapinya.

Jendela memang menyembunyikan rahasia dan peristiwa yang tergelar di kamar pemiliknya.

Tanyakan saja pada Marius Pontmercy, seorang pemuda revolusioner, yang sering menatap jendela kamar Cosette dari plaza yang sepi dalam cerita Victor Hugo yang terkenal itu, “Les Miserables”. Baginya, jendela selalu menawarkan sebuah rahasia: Sedang apa kekasihnya di dalam sana?

Bagaimana dengan jendela di kamarmu, Ann? Kau anggap apa ia? Ataukah kau lebih sering mengabaikannya sendirian di pojok kamarmu, menahan laju angin malam yang membawakan gigil itu?

Ann, kubayangkan kau sedang duduk di jendela kamarmu, menyerahkan dagu mu yang lancip pada dasar jendela, sementara matamu memandang jauh ke muka, entah merenungkan apa, mungkin merenungkan sebuah negeri yang jauh atau mengkhayalkan sebuah perjalanan yang sudah lama kau rancang atau justru sedang memikirkan seorang mahesa yang kau tunggu kepulangannya.

Ya, tak ada tempat yang lebih baik selain jendela untuk merenungkan hal ihwal yang demikian. Jendela adalah penghubung hari ini dengan masa depan yang belum sepenuhnya bisa kita bayangkan.

“Sebuah Jendela menyerahkan kamar ini pada dunia,” tulis Chairil Anwar dalam sajaknya, “Pada Sebuah Kamar”.

Larik sajak itu mengejutkan karena di sana “jendela” dihadirkan sebagai subjek yang aktif, sosok yang punya prakarsa. Saya tidak tahu kenapa di situ “jendela” memilih untuk “menyerahkan kamar ini” pada dunia. Mungkin “jendela” jengah dengan segala macam pengkhianatan yang tergelar tiap malam di sana dan terus-menerus disembunyikan para pelakunya dengan menutup jendela serapat-rapatnya. Aku tak tahu dan tidak semua memang harus ku tahu.

Seperti juga aku tak tahu ada rahasia apa di balik jendela kamarmu, Ann. Mungkin memang lebih baik aku tak tahu. Sebab siapa tahu dengan itu aku justru akan terus memandangi jendelamu dari kejauhan sembari menebak-nebak sedang apa dirimu di dalam sana, seperti Marius Pontmercy memandangi jendela Cosette.

Aku lebih sering berkelana, bepergian membelakangi huma, meninggalkan tingkap jendela. Dalam setiap depa perjalanan yang sedang ku hela, aku banyak melihat jendela. Bagi orang yang sedang mengukur setiap depa perjalanan, jendela serupa godaan untuk istirah, rayuan untuk tetirah, bujukan untuk singgah.

Dan jika godaan, rayuan dan bujukan untuk singgah dan tetirah itu sudah tak tertahankan, pastilah aku akan menuju jendelamu, bukan jendela yang lain, mengetuknya perlahan, sembari mengucapkan kata-kata yang pernah diukir Franz Kafka:

“May I kiss you then? On this miserable paper? I might as well open the window and kiss the night air.”

Ann, kowe pancen ngangeni. Duh....

Selengkapnya......

Mengambang

Sesekali, kau mungkin bisa menjajal pengalaman yang baru saja ku alami. Jika kau ingin kembali ke Jogja atau bepergian ke mana pun, meninggalkan tanah asal, puakmu, pergilah dengan mengendarai kereta api. Selanjutnya, berdirilah di bordes paling belakang. Majulah sedekat mungkin dengan ujung kereta itu. Kau mungkin bisa berdiri persis di tubir kereta.

Biarkan angin menyentuhmu dan mengusutkan rambutmu yang tak begitu panjang itu. Kau boleh membayangkan sedang berdiri di atas geladak kapal, tapi jangan kau bayangkan dirimu seperti Jack Dawson yang sedang memeluk Rose di ujung depan Titanic. Kau tancapkan saja pandanganmu lurus ke depan. Ke arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh kereta yang kau tumpangi.

Lalu cobalah kau fokus. Biarkan retina matamu menangkap berlajur-lajur rel yang seperti tergesa-gesa ditinggalkan kereta. Toh, kita tak pernah tahu, betulkah kereta yang sedang bergerak menjauh? Jangan-jangan, itu hanya ilusi saja? Berada di dimensi seperti ini, biarkan imajinasimu, mungkin juga ilusimu, membayangkan bahwa sebenarnya rel-rel itulah yang bergerak menjauh.

Jika kau kebetulan naik kereta malam, sesekali tengoklah atap-atap dunia, langit-langit malam yang diseraki gemintang, sepasi bulan, dan tebaran mega-mega, mungkin juga arakan awan-awan. Biarkan sensasi yang sama menyapamu: siapa yang sebenarnya bergerak? Bumi ini, di mana kita nangkring manis di dalamnya, ataukah bulan, bintang, mega dan awan-awan itu yang sebenarnya bergerak?

Aku, seperti yang sedang kuceritakan ini, membiarkan diri dikosongkan oleh imajinasi, oleh ilusi, atau apa lah namanya. Aku lupakan pelajaran SD dulu ihwal teori heliosentrisme yang meyakini bumilah yang berputar mengelilingi matahari. Aku lupakan pula semua pengetahuan yang ku punya dan membiakan ilusi dan imajinasi tentang gerak itu mengayun-ayunkan jelujur kesadaran yang belakangan memang terasa letih ini.

10 menit. 20 menit. 30 menit. Satu jam. Dua jam.

Selama itu pulalah aku berdiri mematung di ujung gerbong ini. Membiarkan ilusi pergerakan benda-benda itu melembamkan retina mataku yang mulai terasa pedih. Di titimangsa macam ini, ketika kepalamu mulai terasa pening dan kedua matamu mulai mengabur, tetaplah kau lihat jelujur rel-rel itu. Biarkan saja begitu. Bahkan mungkin sewaktu perutmu mulai terasa mual.

Di titik yang paling kritis, ketika kau sudah merasa sungguh letih, pejamkan lah matamu. Tapi cukup mata kau saja yang terpejam. Biarkan inderamu yang lain tetap terjaga. Hidungmu, telingamu, pori-pori kulitmu, lidahmu. Juga perasaan dan imajinasimu. Biarkan saja batas antara ilusi dan imajinasi itu menghablur, mengabur dan memiuh. Dan sekarang, rasakanlah, di mana sekarang kau sedang berada?

Ketika aku sendiri yang melakukannya, aku merasa sedang berada dalam sebuah lorong panjang yang tak terlalu lebar tapi juga tak terlampau sempit. Semua dindingnya tampak berwarna putih pucat. Dan, aha, aku merasa dinding putih pucat itu begerak sangat cepat, sementara aku hanya berdiri diam. Ya, diam saja.

Aku merasa sedang berdiri mengambang.

Selengkapnya......

Selasa, April 15, 2008

Megatruh Hari Jadi

Saya merayakan kedatangan 16 April ini dengan membeli sebiji kaos berwarna hitam yang di dadanya tertulis kata-kata yang begitu pas menggambarkan warsa-warsa yang akan segera menjelang: “No Risk No Fun: Cause Life Begin at 40 Knots”.

Tak ada perayaan. Tak ada tart yang dibelah atau lilin yang ditiup. Sebab tua itu pasti dan mati juga pasti. Malam ini, tepat pada pergantian hari, aku membacakan tagline blog ini berkali-kali:

“HIDUP YANG TAK DIPERTARUHKAN TAK AKAN PERNAH DIMENANGKAN!”

Selengkapnya......

Selasa, April 08, 2008

Danse Macabre

--scriptopedia kematian (6)

Saya punya kesan bahwa upacara-upacara pemakaman atau kematian yang penuh dengan kemewahan dan aura pesta yang riuh biasanya lahir dari ajaran-ajaran agama non-Ibrahimiah atau samawi (langit). Dalam hal upacara Rambu Solo berasal dari ajaran Aluk Todolo yang bercorak pagan atau dari agama Hindu dalam kasus upacara ngaben atau mestia di Bali.

Kesan itu pula yang saya temukan dalam beberapa monograf tentang upacara pemakaman atau kematian di dalam kebudayaan-kebudayaan yang dipengaruhi ajaran agama pagan, termasuk di Eropa sekali pun. Ada negosiasi yang sengit, untuk tidak menyebutnya sebagai “pertarungan”, antara gereja yang ingin membasmi laku bid’ah dalam upacara kematian yang dipengaruhi ajaran-ajaran pagan.

Orang Barat mengenal frase "danse macabre" a.k.a "tarian kematian" yang mencitrakan el-maut dalam sosoknya yang menari-nari. Jangan heran jika di masa abad pertengahan upacara kematian seringkali dirayakan dengan pesta pora yang ditingkahi oleh tarian-tarian yang seringkali membuat orang-orang yang ikut menari terbawa dalam suasana trance.

Berdansa dengan orang mati di kuburannya, dengan mengutip Thomas Ohm, adalah suatu kejadian untuk memperkuat rasa suka cita karena masih hidup dan merupakan suatu sumber lagu-lagu dan (bahkan) puisi-puisi yang erotis. Kematian menjadi sama akrabnya dan sama sensualnya dengan rasa senang dan sakit. Kematian seseorang, dengan demikian, justru dipahami sebagai awalan kehidupan bagi orang-orang yang masih hidup.

Pada 1424, lukisan tentang tarian kematian dilukis untuk pertama kali di sebuah dinding kuburan di Paris. Lukisan berjudul Cimetiere des Innocents itu menggambarkan: raja, petani, penulis, anak-anak dan bahkan Paus menari-nari dengan sesosok mayat. Melalui aksi tari-tarian bersama nenek moyangnya yang sudah mati di kuburan mereka, setiap orang berubah mewakili suatu dunia di mana setiap orang berdansa melalui kehidupan dan memeluk kematiannya sendiri.

Pada 1538, terbit buku bergambar pertama yang mendeskripsikan tentang kematian. Buku yang langsung menjadi best-seller itu disusun oleh Hans Holbein the Younger dan dijuduli The Dance of Death. Buku tersebut berisi ilustrasi yang diambil dari potongan-potongan kayu tentang apa yang disebut sebagai danse macabre: suatu tarian simbolis tentang kematian, di mana digambarkan sesosok tengkorak memimpin sekumpulan orang atau tengkorak ke kuburan masing-masing.

Di sana digambarkan bahwa setiap pasangan dansa menanggalkan daging-daging busuknya dan berubah dengan memerlihatkan hiruk pikuk mereka yang kehabisan tenaga dalam genggaman kematian yang dilukiskan sebagai sesuatu yang alami.

Ivan Illich, dalam bab lima di buku Limits to Medicine, mengomentari hal itu sebagai bentuk pemahaman bahwa kematian tidak dipahami sebagai ancaman yang mesti dihadapi orang-orang yang hidup melainkan dimengerti sebagai suatu kejadian pada satu masa tertentu.

Yasmin Ghatta, perempuan berdarah Turki yang menjadi warga negara Prancis, pernah menggambarkan kematian neneknya –seorang seniman kaligrafi—dalam sebuah paragraf yang indah, ringan, sederhana, dan menjelaskan betapa kematian adalah sebuah peristiwa pada satu masa tertentu, bukan akhir segalanya.

Yasmin Ghatta, dalam novel mengharukan berjudul “La Nuit les Caligraphes”, menulis begini: “Kepergianku tanpa banyak basa-basi, sama seperti hidupku. Tak sedikit pun kematian membuatku takut. Kematian hanya kejam pada mereka yang takut kepadanya. …Kematianku selembut pucuk pandan air yang dicelupkan ke dalam tinta, lebih cepat dari tinta yang diserap kertas.”

Pada halaman yang lain dari buku yang sama, Ivan Illich menghadirkan sebuah kutipan agak panjang ihwal kesaksian seseorang terhadap lepasnya ajal dengan cara yang begitu tenang dan tengadah. Begini kesaksian yang dikutip llich:

“…Saya memberinya setengah gelas anggur yang paling baik dari yang saya punyai. Dia segera menjadi riang dan memutar bola matanya yang cantik ke arah saya, seraya erkata: ‘Terimakasih untuk kebaikanmu yang terakhir ini. Kalau engkau dapat mencapai umur sepertiku (93 tahun), maka engkau akan tahu bahwa kematian itu menjadi satu hal yang sama pentingnya dengan tidur.’Setengah jam kemudian dia tertidur untuk selamanya

Mereka dengan begitu tenang menghadapi ajal, sepertinya tahu bahwa kematian tidak dimengerti sebagai akhir kehidupan, melainkan satu peristiwa biasa dalam rangkaian busur kehidupan setiap manusia. Orang yang mati dengan demikian melanjutkan kehidupannya di “dunia yang baru”, sebuah kehidupan yang tidak sama dengan akhirat dalam pengertian ajaran agama Ibrahimiyah sebagai “periode panjang pembalasan yang tanpa akhir”.

Itulah yang dimengerti oleh tiga selir dalam upacara mestia. Pemahaman yang sama, kurang lebih, dilekatkan pada setiap orang mati yang yang di-ngaben atau diupacarai Rambu Solo di Tana Toraja. Itu pula yang mendasari kenapa para Firaun di Mesir dikubur bersama kapal-kapal, perhiasan, bahan makanan dan bahkan para dayang dan pengawal yang sengaja dikorbankan untuk menemani Firaun yang meninggalkan dunia yang fana ini menuju kehidupan baru.

Ya, sebuah kehidupan baru yang kurang lebih seperti kehidupan di dunia ini, yang membutuhkan makan dan minum juga pelayanan dan pengawalan. Tidak ada pembalasan, seperti juga tidak ada surga dan neraka.

Kematian sebagai pintu masuk menuju akhirat, tempat di mana perhitungan dan pembalasan yang tanpa akhir terhadap semua laku manusia di dunia (yang disemainkan oleh ajaran agama dari klan Ibrahimiyah), sepertinya menjadi salah satu sebab menjalarnya sikap kolekif yang cenderung was-was, cemas, gentar, dan ngeri setiap kali menghadapi kematian atau menyaksikan kematian.

Bayangan siksa yang tak terpermanai di neraka, seperti pernah digambarkan Dante Alighieri dalam bagian Inferno dari buku terkenalnya, Divina Commedia, menjadi imaji yang memungkinkan sikap muram menghadapi dan menyaksikan kematian. Si mendiang dibekali hujan do’a-do’a, bukannya makanan, minuman, kapal apalagi dayang atau selir yang dianggap tak lagi dibutuhkan oleh orang mati.

Upacara kematian atau pemakaman di suatu masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk memahami bagaimana imaji mereka tentang kematian. Pada gilirannya, imajinasi kematian dalam satu masyarakat bisa sedikit membantu untuk memahami bagaimana hubungan pribadi dan sosial di antara mereka, dinamika kesadaran mereka ihwal waktu dan siklus hidup serta bagaimana pula mereka memahami hubungan antara dunia yang fana ini dengan “kehidupan” pasca-kematian.

Selengkapnya......

Kamis, April 03, 2008

Janda-janda yang Membakar Diri

-- scriptopedia kematian (5)

Pada 20 Desember 1847, Raja Gianyar meninggal dunia. Jenazah Raja Gianyar lantas dikremasi melalui serangkaian upacara ngaben yang mewah sekaligus sakral, dengan ditemani tiga janda selirnya yang membakar diri hidup-hidup lewat upacara mestia.

Tiga selir itu diusung dengan tiga buah badi, semacam tandu. Di sepanjang perjalanan menuju upacara pembakaran diri, tiga selir yang masih berusia muda itu tak menampakkan raut muka yang muram apalagi gentar. Mereka tampak asyik merias dirinya melalui cermin di tangan kiri dan sisir di tangan kanan.

Mereka tidak seperti sedang menghadapi maut, tetapi seperti hendak menjemput (ke)hidup(an).

Di ketinggian yang sudah ditentukan, dengan jilatan api yang melata-lata di bawahnya, tiga selir itu berdiri dengan tenang. Ribuan pasang mata menyaksikan klimaks upacara ini dengan tatapan hening dan jelas tanpa rasa sedih. Lalu, satu per satu, tiga selir tersebut melangkah meniti papan yang dijulurkan ke tengah lidah api.

Tiga kali mereka menangkupkan tangan di atas kepala dengan masing-masing memegang seekor burung dara. Mereka meloncat ke bawah, menuju jilatan api yang berkobar-kobar, sementara burung-burung dara melesat ke udara, menyimbolkan ruh-ruh yang beterbangan.

Dalam salah satu komentarnya, Helms mencatat: “Keberanian meraka dalam posisi yang mengerikan seperti ini memang luar biasa, tetapi ini ditimbulkan oleh harapan akan kebahagiaan di dunia yang akan datang. Karena… mereka percaya mereka akan menjadi istri-istri favorit dan ratu-ratu untuk mendiang junjungan mereka di dunia yang akan datang itu, dengan kegembiraan dan di tengah kemeriahan dan keagungan, akan menggembirakan kekuatan-kekuatan yang tidak tampak dan menyebabkan Dewa Agung Syiwa menerima mereka tanpa ditunda lagi ke Swarga Surya, surganya (Batara) Indra.”

Sebagai ujung dari laporannya, Helms menulis selarik kalimat “tinggal sedikit lagi hal-hal menarik yang bisa saya ceritakan tentang Bali….”; seakan-akan Helms percaya bahwa hanya tinggal sedikit lagi saja hal menarik di Bali yang bisa ia ceritakan usai upacara kematian yang baginya mengerikan itu ia “santap” dengan mata kepalanya sendiri.

Saya membaca petikan laporanHelms ihwal upacara mestia yang berjudul "Pionering in the Far East and Journeys to California in 1849 and to White Sea in 1848" [yang dimuat dalam buku "Negara Teater"-nya Geertz] dengan rasa takjub sekaligus ngeri. Saya sering menyaksikan upacara-upacara adat dan pernah pula menjadi bagian inheren dari sebuah upacara, tapi tak pernah saya menyaksikan yang sedahsyat ini.

Helms “lebih beruntung” daripada kita karena ia masih sempat menyaksikan upacara kematian yang dahsyat itu. Sejak awal abad 20, upacara pembakaran janda atau mestia sudah tak pernah lagi dilakukan menyusul intervensi pemerintah kolonial Belanda yang menganggapnya sebagai pertunjukkan bar-bar, walaupun upacara ngaben sendiri masih tetap dilakukan bahkan hingga hari ini. Kendati begitu, Clifford Geertz, berdasar informan yang ia kumpulkan, menyebutkan bahwa upacara mestia masih tetap dilakukan secara diam-diam dan rahasia hingga tahun 1920-an.

Tapi, saya tidak yakin pemerintah Belanda melarang upacara mestia semata karena menganggapnya bar-bar alias uncivilized. Ini bukan semata karena klaim bar-bar itu sine qua non sudah bermasalah dalam dirinya karena berangkat dari ukuran-ukuran “Barat” yang coba diterapkan di luar teritori kebudayaan “Barat” itu sendiri, melainkan juga karena upacara mestia, juga upacara-upacara lain di Bali, diam-diam memendam kekuatan subversif.

Ya, Bali adalah sebuah “panggung raksasa” di mana setiap kerajaan di sana dikenal begitu peduli dan sangat memerhatikan upacara-upacara. Dunia politik kerajaan-kerajaan di Bali ketika itu menjadi “dunia pentas” atau “dunia panggung”, di mana kebesaran kekuasaan dipertaruhkan lewat kecanggihan dan kemegahan upacara-upacara yang digelar. Kurang lebih, itulah yang membuat Geertz memberi judul bukunya tentang kerajaan dengan parafrase The Theatre State in Ninetenth Century Bali.

Lewat serangkaian upacara-upacara agung nan megah yang rutin digelar, sebuah kekuasaan sebenarnya sedang memaksimalkan kekuatan “bahasa”, “simbol” dan “makna” itu. Dalam tingkat keberhasilannya yang tinggi, upacara yang seperti itu tak hanya berhenti semata sebagai upacara keagaamaan saja, melainkan bisa menjadi mantra yang akan melahirkan medan energi (semacam hegemoni) yang membuat semua peserta upacara seperti dijadikan saksi dari keagungan dan keabsahan sebuah kekuasaan. Mobilisasi, akhirnya, dengan mudah dikerahkan.

Tidak mengherankan jika perlawanan-perlawanan atas penetrasi kolonial pun dilakukan tak ubahnya seperti sebuah pentas upacara, seperti yang bisa kita simak dari aksi puputan (bertempur sampai titik darah penghabisan) di Badung pada 20 September 1906 maupun di Klungkung pada 28 April 1908. Ratusan orang prajurit berikut raja dan keluarganya, dari yang sepuh hingga anak-anak, menghadang pasukan Belanda dengan pakaian serba putih dan dengan memasang ekspresi muka yang seperti tak kenal jirih.

Puputan adalah sebuah pertempuran sampai akhir, fight to the end. Puputan merupakan jalan ujung, semacam jurus pamungkas, ketika semua pilihan untuk memertahankan tanah air sudah tak lagi bisa diambil. Pertempuran hingga akhir ini, bagi para ksatria di Badung, Klungkung dan terakhir Ngurah Rai, dimengerti tidak cuma sebagai dharma terhadap negara saja, melainkan juga menjadi implementasi dari dharma terhadap agama.

Wajar jika pemerintah Belanda melarang upacara-upacara yang selalu berhasil menyedot perhatian massa yang berlimpah, salah satunya mestia. Dalam reportasenya, Helms menyebut kisaran angka 40 ribu hingga 50 ribu massa yang menyaksikan upacara mestia istana Gianyar. “Kebetulan” upacara mestia, dalam cita rasa “Barat” pasca pencerahan, memang tampak mengerikan dan dianggap tak beradab. Diperolehlah satu alasan “yang tidak kalah sucinya” untuk melarang upacara mestia.

Membaca kembali catatan Helms tentang upacara mestia membuat kita berpikir: kematian ternyata bisa dan pernah disikapi dengan batin yang lapang dan kadang dengan suka cita.

Ekspresi yang begitu tenang yang terpancar dari tiga selir yang hendak membakar dirinya serta sikap ribuan pasang mata yang menyaksikan upacara mestia dengan khidmat memberi terang pada kita bahwa bagi mereka kematian tidak mesti disikapi dengan perasaan duka yang meratap-ratap. Mereka menyikapi kematian dengan sikap yang optimis.

Sementara ribuan pasang mata yang hadir menyaksikan upacara ngaben maupun mestia bukanlah para penonton, mereka adalah bagian inheren dari upacara. Mereka terlibat dan mereka pula yang secara bersamaan memintal makna yang bisa mereka transendir ke dalam kesadaran masing-masing ihwal apa arti kematian orang lain, mungkin raja mungkin bukan, bagi mereka yang ditinggalkan, termasuk diri mereka sendiri yang menyaksikan upacara kematian yang sedang digelar.

------------------------------------------
[Menarik membandingkan “perang puputan” dengan aksi-aksi kamikaze para pilot Jepang pada Perang Dunia ke-II yang nekat menabrakkan diri pada kapal-kapal perang Sekutu.

Bagi balatentara Jepang, pengorbanan jiwa dan raga yang mereka lakukan merupakan manifestasi atas menyatunya konsep kecintaan terhadap tanah air dan Kaisar. Dan karena Kaisar dipercaya sebagai Putra Langit, keturunan langsung dari Amaterasu Omikami, maka kecintaan terhadap tanah air dan Kaisar menyatu sedemikian rupa dengan kepercayaan dan penghayatan mereka terhadap Yang Maha Transendental, Dewa Matahari, Sangkan Paraning Dumadi, Asal dari Segala Muasal.

Maka, pengorbanan jiwa para pilot Kamikaze tak sesederhana kecintaan dan pengorbanan terhadap tanah air. Dalam peta cacah kesadaran macam itu, peperangan untuk membela tanah air yang dipimpin seorang Kaisar yang merupakan Putra Langit, bisa dibaca sebagai sebuah ritual keagamaan.

Kekalahan Jepang adalah aib bagi tanah air, dan karenanya menjadi nila bagi Kaisar. Karena Kaisar adalah Putra Langit, maka kekalahan Jepang bisa menjadi “kekalahan Tuhan yang mereka sembah”.

Bagi seorang Jepang yang dalam struktur kesadarannya mengeram kuat kesadaran transendental macam itu, kekalahan Jepang di medan perang sama sekali tak bisa diterima karena itu sama artinya dengan keruntuhan struktur kepercayaan dan keimanan yang mereka yakini. Dan itu menjadi derita yang tak mungkin tertanggungkan bagi orang yang saleh dalam standar moral Jepang.

Untuk mengetahui sedikit ihwal kamikaze, sila baca catatan kecil saya di sini]

Selengkapnya......