Minggu, Maret 30, 2008

Kuburan dan Saya

-- scriptopedia kematian (4)

Makam adalah kekancing yang meneguhkan bahwa sebuah keluarga punya masa silam di sebuah kampung. Keluarga tanpa satu pun makam bisa dianggap sebagai keluarga tanpa masa silam, wangsa tanpa puak atau dinasti tanpa catatan sejarah.

Saya bisa mengerti jika pada masa kecil dulu saya pernah mengeluh: “Bu, kenapa sih kita gak punya makam?”

Pertanyaan itu muncul begitu saja pada salah satu hari lebaran. Berbeda dengan para tetangga yang biasa pergi berziarah ke kuburan setelah shalat ied, kami sekeluarga hanya duduk-duduk di ruang tamu. Rasanya tak enak. Saya seringkali merengek-rengek untuk diijinkan ikut salah satu tetangga yang berziarah ke kuburan.

Saya tinggal di kampung kecil di pelosok perbatasan antara Cirebon dan Kuningan. Kami keluarga perantau: bapak dari Jogja dan ibu dari Bandung. Tak ada satu pun sanak saudara di kampung.

Alhasil, jika memang tak mudik ke kampung bapak atau ibu, lebaran di kampung selalu dihabiskan tanpa acara ziarah ke kuburan. Dan itu tak mengenakkan. Rasanya seperti menjadi orang asing. Penaka tak punya sejarah.

Mungkin dari situlah pertama kali saya mulai mengakrabi kuburan. Saya praktis amat jarang merasa jirih bermain-main di kuburan. Bagi saya, bermain-main di kuburan bisa dianggap sebagai kompensasi perasaan asing tinggal di sebuah kampung tanpa saudara, tanpa puak dan tanpa wangsa.

Kebetulan rumah saya tak begitu jauh dari kuburan. Antara rumah dengan kuburan hanya terpisah oleh lapangan sepakbola dan sebuah sungai. Dari beranda rumah, kuburan terlihat dengan cukup jelas. Di belakang kuburan, lanskap Gunung Ciremai yang hijau menjulang memerkaya pemandangan dari beranda.

Dulu, sewaktu kecil, saya amat sering bermain di kuburan. Setiap kali usai bermain bola di lapangan, saya selalu menghabiskan waktu bermain-main di pinggiran kuburan, membasuk muka di sungai yang mengitari kuburan. Jika bermain bola di bawah guyuran hujan, saya selalu mencucui pakaian lebih dulu di sungai itu.

Di tengah kuburan ada sebuah batu besar yang permukaannya datar dan luas. Orang-orang menyebutnya “mungkal samak” alias “batu tikar”. Sebutan itu muncul karena permukaannya yang memang datar dan luas. Saya senang bermain di situ. Rebahan. Sembari menikmati udara kuburan yang sepoi dan sejuk. Pernah saya tertidur di situ selama 4 jam, dari selepas dzuhur hingga lewat waktu ashar. Roman “Tenggelamnya Kapal van der Wijk” karangan Buya Hamka saya habiskan di “mungkal samak” ini.

Di sebelah utara ada kebun tebu yang cukup luas. Jika sedang haus, saya sering mencuri tebu dan kemudian sembunyi dari kejaran mandor tebu di tengah kuburan, di mana lagi jika bukan di “mungkal samak” yang tersembunyi oleh semak dan alang-alang. Saya pernah memakan tebu banyak sekali dan esoknya suara saya sama sekali tak keluar. Padahal sore harinya adalah jadwal saya mengumandangkan adzan maghrib dan isya di “tajug”, sebutan di kampung untuk langgar atau surau tempat kami belajar mengaji.

Saking akrabnya dengan kuburan, saya pernah mengajak teman-teman sepermainan saya untuk kemping di kuburan itu. Tentu saja tak ada satu pun yang mau, kendati saya sudah mengiming-imingi mereka makanan, indomie dan perbekalan seandainya mereka bersedia.

“Mungkal samak” di tengah kuburan itu memang enak untuk dijadikan tempat berteduh, mencari kesejukan dan istirahat. Letaknya persis berada di bawah rindang pohon beringin yang tinggi dan besar sekaligus juga tua. Sewaktu saya sering bermain di sana, beringin itu sudah benar-benar tua dan sebagian besar kayunya sudah mengering. Menjelang saya lulus SD, beringin itu sudah benar-benar kering. Entah kenapa. Untung saja deretan pokok pohon kamboja masih cukup mampu membuat teduh “mungkal samak”.

Ada satu peristiwa yang tak akan pernah saya lupakan mengenai pohon beringin yang sudah kering itu. Satu waktu, bersama beberapa teman, saya mencuri singkong yang ada di “bubulak”, sebutan untuk apa yang dalam bahasa Indonesia disebut “tegalan”. Kami membakar dan memakan singkong di bawah pohon beringin kering itu.

Setelah itu kami bermain bola. Menjelang maghrib kami bubar kembali ke kediaman masing-masing. Mandi dan berkemas untuk pergi ke “tajug”. Selepas isya, sekitar jam 8 kurang, kami pulang ke rumah.

Sesampainya di jalan, orang-orang banyak yang berdiri di tepi jalan. Ternyata, pohon beringin di tengah kuburan itu terbakar. Dari kejauhan saya melihat lidah api menjilat-jilat dengan perkasa. Pemandangannya indah sekali. Seperti sebuah kembang api raksasa. Warnanya merah membara di tengah malam yang gulita.

Saya tak tahu penyebabnya apa. Tapi, dalam hati, saya mengira pohon itu terbakar gara-gara ulah kami membakar singkong di bawahnya. Kebetulan itu musim kemarau dan angin cukup besar. Kemungkinan bara api yang masih tersisa tertiup angin sehingga jadilah pemandangan malam yang menakjubkan. Hingga hari ini, saya dan teman-teman tak pernah menceritakan kelakuan nakal kami itu.

Seorang teman kecil saya, namanya Supandi, biasa dipanggil Pandi, seorang bek kanan kesebelasan kami yang tangguh dan perkasa, dengan sepasang kaki yang kekar dan ditakuti para penyerang lawan, dibaringkan di kuburan itu. Ia meninggal sekitar tahun 2000 silam karena kecelakaan mobil sewaktu menjadi sales sebuah pabrik roti. Saya tak bisa menyalatkannya, tak pernah mengusung kerandanya, dan tak melihat jenazahnya untuk terakhir kali. Kabar kematiannya telat saya dengar. Jika melihat nisannya, saya langsung ingat salah satu penggal masa kecil yang tak akan pernah mampu saya ulang kembali.

Kuburan itu kini benar-benar menjadi masa silam saya dalam arti yang sebenar-benarnya. Di sana, sebuah penggal kehidupan saya dan sekeluarga dibaringkan untuk selamanya. Adik saya yang nomer tiga, namanya Irwan Kurniawan, dimakamkan di sana setelah tak mampu menanggung lara akibat terjangan aedes aegypti. Dia dimakamkan di sisi utara kuburan, persis berbatasan dengan kebun tebu yang dulu biasa saya curi. [kisah tragedi kematian adik saya bisa dibaca di sini]

Setiap pagi, sewaktu menunggu angkutan untuk mengajar di sekolah, ibu sering menatap kuburan ini dari jauhan. Ibu sering berkaca-kaca jika menggelar ritual penuh kenangan yang memerihkan itu.

Saya sendiri akhirnya sadar bahwa tak enak juga punya makam. Sebab, kehadiran makam bagi sebuah keluarga ternyata mesti ditebus oleh rasa kehilangan yang mendalam, sebuah kehilangan tanpa tiket kepulangan.

Dulu, saya terlalu kecil untuk memahami hal ihwal yang sebenarnya sederhana ini.

Selengkapnya......

Selasa, Maret 25, 2008

Isyarat Kematian di Langit Gunung Kidul

-- scriptopedia kematian (3)

Isyarat kematian itu selalu datang tanpa permisi, tiba-tiba dan tak berbelas kasih.

Ia selalu datang di sekitar atau menjelang tengah malam. Biasanya, kedatangannya didahului oleh hembusan angin sepoi-sepoi yang menegakkan bulu kuduk. Jika sudah demikian, bersiaplah mendongakkan kepala, picingkan mata setajam-tajamnya, perhatikan pucuk-pucuk pohonan di sekeliling dan pastikan apakah Anda melihat pijar bola api berwarna merah semu kuning yang menyemburatkan sinar bercorak kebiruan dengan ekor sinar yang bisa mencapai panjang dua meter.

Jika sepasang mata Anda benar-benar melihatnya, silakan berdoa agar pijar bola api itu tidak melesat cepat ke arah Anda atau ke tempat di mana Anda sedang bermukim. Sebab jika benar, bersiaplah untuk menikmati hari-hari terakhir Anda menghirup kehidupan.

Orang-orang di Gunung Kidul menyebutnya sebagai “pulung gantung”. Pijar bola api yang gentayangan di tengah malam itu dipercaya sebagai isyarat kematian yang hampir mendekati kepastian. Semacam sasmita (pertanda) yang nyaris menjadi pepasten (kepastian), dalam istilah orang Jawa.

Bagi orang yang sering membaca literatur tentang kebudayaan Jawa, istilah “pulung gantung” yang menguarkan aroma horor kematian yang menggidikkan sepintas terdengar ganjil.

Dalam kosa kata kebudayaan Jawa, Istilah “pulung” sering disepadankan dengan “wahyu” (lihat Kamus Jawa-Kawi yang disusun CF Winters dan RNg. Ranggawarsita). Per definisi, “pulung” atau “wahyu” di situ berarti “isyarat bahwa Tuhan atau (kadang) leluhur memberikan restu pada orang tersebut untuk menjadi pemimpin atau penguasa”.

Orang Jawa mengenalnya sebagai “wahyu keprabon”. Biografi para penguasa tlatah Jawa yang ditulis dalam banyak babad, syair atau legenda selalu diselipi cerita mengenai “wahyu/pulung keprabon” ini. Ben Anderson, dalam kertas kerja yang diterbitkan oleh Miriam Budiarjo pada 1991, pernah menjlentrehkan istilah “pulung” atau “wahyu kesakten” untuk memahami konsepsi kekuasaan Jawa.

Dalam pemahaman umum orang Jawa, “pulung” juga dianggap sinonim dengan segala hal yang berbau kemuliaan, kebahagiaan, berkah, anugerah, kabegjan. Jika seseorang dengan cara yang mudah tiba-tiba mendapatkan sesuatu yang baik dan membahagiakan, orang Jawa biasa berujar: “Ketiban pulung” (kejatuhan berkah).

Tapi lain cerita jika di belakang kata “pulung” itu disematkan kata “gantung” alias “pulung gantung”. Tak ada satu pun orang di Gunung Kidul yang akan bersyukur jika rumahnya “ketiban pulung gantung”. Sebabnya sederhana tapi berefek amat serius: “pulung gantung” dianggap sebagai isyarat kematian, persisnya kematian dengan cara gantung diri.

Kepercayaan macam ini masih bertahan dengan kuat di banyak sekali wilayah di Gunung Kidul, terutama di pelosok-pelosok desa yang terpencil. Mereka percaya bahwa salah seorang warga yang rumahnya berada di sekitar lokasi jatuhnya pulung gantung akan melakukan bunuh diri dengan teknik gantung diri (beberapa kasus kadang dengan menceburkan diri ke sumur, tapi angkanya relatif kecil).

Dan mereka percaya ini tak bisa dicegah. Pepasten. Kepastian. Orang yang rumahnya berada di sekitar lokasi jatuhnya pulung gantung biasanya akan berusaha menghindari maut dengan cara menggelar selamatan atau pengajian sembari berjaga siang dan malam. Akan tetapi pulung gantung tetap akan memakan korban. Jika tidak orang yang rumahnya kejatuhan pulung gantung, maka korban akan muncul dari kerabat pemilik rumah atau jika tidak dari tetangga yang berdekatan dengan lokasi jatuhnya pulung gantung.

Ketika akhirnya muncul korban gantung diri, horor kematian tak berhenti sampai di situ. Orang-orang percaya bahwa arah hadap pelaku gantung diri juga menjadi isyarat kematian berikutnya: pada arah yang dihadap oleh jenazah gantung diri itulah kelak pulung gantung akan turun. Misalnya, jika seorang korban gantung diri ditemukan dalam keadaan menghadap ke arah utara, maka pada arah itu pulalah pulung gantung dipercaya akan jatuh kelak di kemudian hari.

Ini menjadi horor dan teror karena tidak cukup jelas utara di situ merujuk apa. Bisa jadi itu merujuk rumah yang berada di sebelah utara rumah si korban. Masalahnya, rumah di sebelah utara itu banyak jumlahnya. Kadang, arah itu merujuk kampung atau pedukuhan yang berada di sebelah utara rumah si korban. Masalahnya, kampung dan pedukuhan yang berada di sebelah utara rumah si korban juga banyak jumlahnya.

Ini memungkinkan aroma kematian itu menyebar dan menyelimuti banyak orang di banyak kampung atau pedukuhan. Mereka berharap-harap cemas: mungkinkan rumah atau pedukuhan saya yang akan kejatuhan pulung gantung berikutnya?

Di beberapa tempat, kepercayaan terhadap benda langit yang bersinar malam hari sebagai isyarat sesuatu yang buruk memang bukannya tak ada. Tapi tak ada yang sespesifik di Gunung Kidul.

Sewaktu kecil (kampung saya di perbatasan Cirebon-Kuningan, Ciremai terlihat cukup jelas), saya mendengar cerita tentang “banaspati” yang pemeriannya kurang lebih hampir mirip seperti pulung gantung. Dikabarkan bahwa banaspati ini mencari korban. Jika banaspati ini sudah memilih korban, begitu yang saya dengar waktu kecil, korban yang dipilih tak akan pernah bisa sembunyi. Belakangan, saya sering mendengar pula kepercayaan ihwal banaspati ini ternyata banyak juga berkembang di wilayah-wilayah lain di tlatah Jawa.

Di Barat juga ada kepercayaan mengenai benda langit seperti lentera yang berkelip-kelip memancarkan semburat warna biru. Benda itu biasa disebut “jack o’lantern” atau “will o’ the wisp”. Benda langit ini dipercaya sebagai hantu gentayangan yang membawa api neraka yang akan menyesatkan siapa saja yang mengikutinya sehingga ia akan tersesat tanpa bisa kembali atau bahkan terperosok ke dalam rawa-rawa penuh buaya atau paya-paya yang digenangi lumpur hidup yang bisa menyedot siapa saja yang terjebak di dalamnya.

Mitos “jack o’lantern” atau “will o’ the wisp” itu perlahan lenyap seiring kemunculan teknologi listrik yang membuat malam-malam di Eropa menjadi terang benderang. Belum ada riset yang bisa menjelaskan hubungan antara masih bertahannya mitos pulung gantung ini dengan peta penyebaran listrik di Gunung Kidul. Di pelosok desa-desa Gunung Kidul memang masih belum teraliri listrik. Jika pun sudah, kondisi geografis yang berbukit-bukit dan masih dipenuhi ladang dan alang-alang seringkali membuat desa-desa tersebut relatif gelap jika malam hari.

Cerita ihwal banaspati yang saya dengar di masa kecil, kurang lebih, juga beredar dengan kuat sewaktu kampung saya masih belum teraliri listrik. Sekarang, anak-anak kecil di kampung saya sudah jarang yang mengenal cerita mengenai banaspati.

Kendati sama-sama menguarkan aroma maut yang menggidikkan, kepercayaan mengenai Mitos “jack o’lantern” atau “will o’ the wisp” atau banaspati di kampung saya maupun di wilayah lain yang pernah saya dengar, (setahu saya) tak pernah menggerakkan seseorang untuk melakukan bunuh diri, apalagi dengan cara gantung diri. Hanya di Gunung Kidul sajalah kepercayaan tentang pijar bola api di malam hari dipercaya akan berakhir dengan tragedi gantung diri.

Beberapa penelitian sudah mencoba mencari tahu fenomena pulung gantung ini. Beberapa di antaranya yang pernah saya baca adalah penelitian Noor Sulistyo Budi di desa Pacarejo (Jurnal Patra Widya No3/2004), buku “Talipati” karya Iman Budhi Santoso yang diterbitkan Jalasutra dan buku “Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh dDiri di Gunungkidul” karya Darmaningtyas yang diterbitkan oleh penerbit Salwa.

Yang masih saya ingat, Darmaningtyas dan Noor Sulisyto Budi tidak cukup memuaskan dalam memberi penjelasan bagaimana jatuhnya pulung gantung itu membentuk alam kesadaran atau bawah sadar seseorang sehingga ia yakin bahwa dirinya memang dipilih oleh pulung gantung untuk melakukan bunuh diri.

Darmaningtyas dan Noor Sulistyo Budi menawarkan jalan untuk memahami tingginya angka gantung diri di Gunung Kidul melalui pendekatan sosiologis, seperti tekanan ekonomi, kemiskinan, jeratan hutang atau penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Sudah bisa ditebak, penjelasan macam ini memang berbau Durkheimian. Durkheim pernah menulis buku berjudul “Suicide” yang mencoba memberi perspektif sosiologis untuk memahami fenomena bunuh diri di kalangan Katolik dan Protestan. Buku “Suicice” ditulis Durkheim setelah ia begitu terpukul oleh bunuh diri yang dilakukan karibnya bernama Victor Hommay.

Survey yang mendalam mengenai pelaku gantung diri yang berhasil diselamatkan mungkin bisa mengisi kekosongan ini. Wawancara yang intensif dengan pelaku gantung diri di pelosok Gunung Kidul yang berhasil diselamatkan mungkin bisa menguraikan bagaimana terbentuknya keyakinan orang tersebut untuk melakukan bunuh diri dalam kaitannya dengan pulung gantung.

Masalahnya, amat jarang ada pelaku gantung diri di Gunung Kidul yang berhasil diselamatkan nyawanya. Noor Sulistyo Budi yang melakukan penelitian mengenai pulung gantung di wilayah kecamatan Semanu mencatat bahwa dari sekian banyak narasumber yang ia temui hanya ada seorang narasumber yang pernah mendengar ada pelaku gantung diri yang bisa diselamatkan, itu pun ia hanya mendengar dua kali selama hidupnya.

Hingga hari ini, kepercayaan terhadap pulung gantung masih bertahan dengan kuat di Gunung Kidul, terutama di pelosok-pelosok desa yang terpencil. Di tempat-tempat itu, orang-orang masih cemas sewaktu malam-malam mendongakkan kepala ke langit dan berharap tak ada benda bersinar merah kebiru-biruan yang melesat cepat menuju pekarangan rumahnya.

Jika ternyata pulang gantung benar-benar muncul, tak lama lagi seisi kampung akan merasa dibayangi-bayangi kematian dengan lekat, inilah titimangsa di mana kematian rasanya begitu akrab dan dekat, mungkin seperti bunyi kelepak kelelawar yang terbang hilir mudik di atas genting sewaktu malam sudah benar-benar lengkap.

Selengkapnya......

Sabtu, Maret 22, 2008

62 Tahun Wafatnya Amir Hamzah

-- scriptopedia kematian (2)

Amir Hamzah adalah bangsawan yang harus tewas karena statusnya sebagai bangsawan.

Di Tanjungpura, Langkat, Amir Hamzah dilahirkan pada 28 Februari 1911. Status sebagai anak bendahara Kesultanan Langkat membukakan jalan lebar bagi Amir Hamzah untuk mencecapi bangku sekolah setinggi mungkin, menguakkan jalan untuk membangun hubungan dengan para intelektual dan sastrawan, dan memungkinkannya berkarya dan menulis puisi tanpa harus dipusingkan perkara perut dan bertahan hidup.

Tapi, status sebagai bangsawan itu pula yang menjadi kunci dari kematiannya yang rudin.

Pada 1925, Amir Hamzah melanjutkan pendidikan ke Jawa, mula-mula di MULO Batavia, kemudian di AMS Solo dan kembali ke Batavia untuk belajar hukum di Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.

Selain mengajarkan rindu, perantauan yang jauh dari tanah asal kerap mengkondisikan perantau untuk merenungkan tanah asal berikut warisannya yang membentuk kolase kepribadian. Dari situlah, ketegangan antara “masa lalu dan tanah asal” dengan “masa kini dan tanah rantau” berlangsung sengit. Selain bisa memompa denyut kreatifitas, ketegangan kultural yang merembes ke area peronal ini juga mewarnai atau bahkan membentuk karya-karya kreatif yang dilahirkan.

Dalam posisinya sebagai bangsawan Langkat sekaligus anak kandung yang sah dari kebudayaan Melayu yang punya tradisi panjang dalam berpuisi, Amir Hamzah merasakan benar ketegangan antara keharusan menghormati tradisi dengan kehendak untuk menemukan sesuatu yang baru dan segar.

Secara bentuk dan lanskap imajinal, puisi Amir Hamzah tampak masih terikat erat dengan masa lalu (baca: tradisi) perpuisian Melayu. Jika dibaca hari ini, diksi-diksi yang digunakan Amir Hamzah barangkali akan terasa arkaik. Tapi pembaca yang jeli akan menemukan beapa ketegangan antara “yang lama dan yang baru”, antara “tanah asal dengan tanah rantau”, terselip di banyak sajaknya, baik dalam bentuk pemakaian kosa non Melayu maupun pengucapan yang lebih dinamis ketimbang pantun atau seloka-seloka lama.

Ada kata “alit” (bahasa Jawa: “kecil”) dalam puisi “Tetapi Aku” (Tersapu sutera pigura/ dengan nilam hitam kelam/ berpadaman lentera alit) atau kata “moal” (bahasa Sunda: “tidak mau”) dalam puisi “Di Dalam Kelam” (Berjalan aku di dalam kelam/ terus lurus moal berhenti).

Ikhtiar literer yang dilakukan pujangga yang oleh HB Jassin ditahbiskan sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru” berhasil, setidaknya, menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.

Tapi bagi Amir Hamzah, ketegangan antara tradisi dan modernitas belum sepenuhnya lunas.

Menarik untuk mencermati bagaimana dilema dalam diri Amir Hamzah sewaktu ia, bersama Armjn Pane dan St. Takdir Alisjahbana, mendirikan dan menghidupi majalah Poedjangga Baroe. Peran penting majalah kebudayaan ini terletak pada munculnya polemik ihwal identitas dan sumber kebudayaan (Indonesia) baru yang hendak digagas.

Sikap Poedjangga Baroe, persisnya sikap St. Takdir yang menjadi hoefd redacteur-nya, jelas: kebudayaan Indonesia harus dibangun di atas alas-dasar yang baru, bukan merujuk pada warisan Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram. Dan rujukan yang jadi sumber sumber itu adalah Barat.

Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, dan Ki Hajar Dewantara menyorong ke muka menantang ide itu dengan mengingatkan bahwa adalah musykil dan sia-sia meninggalkan saja warisan kebudayaan sendiri, kebudayaan Timur, yang oleh St. Takdir dianggap statis dan mandek.

Di hadapan bentangan polemik yang mengubu itu, saya tidak tahu persis bagaimana sikap Amir Hamzah. Sikap yang memuja Barat jelas pilihan St. Takdir. Kita tak pernah tahu persis bagaimana gejolak di antara tiga triumvirat Poedjangga Baroe, terutama gejolak dalam diri Amir, seorang bangsawan yang punya beban memelihara dan merawat tradisi puitika Melayu dengan tuntutan untuk membuka diri pada yang baru, dalam visi St. Takdir hal itu berarti membuka diri dan mengadopsi nilia-nilai (puitika) “Barat”.

Amir Hamzah mestinya tertekan. Saya bayangkan, kerabatnya di istana Langkat mungkin mengajukan protes bagaimana bisa majalah yang didirikan oleh (salah satunya) Amir Hamzah secara terang-terangan mengkampanyekan gagasan mengadopsi nlai-nilai Barat seraya memalingkan muka pada warisan akar tunjang yang bernama tradisi.

Amir Hamzah di sini lebih banyak diam. Amir, sepanjang yang saya tahu, lebih banyak berkonsentrasi menulis puisi. Dia seperti menjaga jarak dari polemik wacana yang mula-mula dihela oleh majalah yang didirikannya. Adakah Amir Hamzah segan pada St. Takdir?

Amir Hamzah memang setuju pada sejumlah hal yang disebut pembaruan dan kemajuan, termasuk dalam tradisi puitika Melayu. Tapi membayangkan Amir Hamzah berpikir dan meyakini seperti halnya St. Takdir, sungguh di luar bayangan.

Statusnya sebagai bangsawan Langkat pula yang memaksanya untuk menelan cintanya pada Soendari, seorang gadis Solo, yang ia temui semasa sekolah di Solo. Perempuan inilah yang menjadi ilham dari puisi-puisi cinta Amir Hamzah. Amir begitu terpukau oleh pererempuan yang disebut-sebut bernama Soendari. Amir Hamzah bahkan sampai “…memuji dikau,/ dengan mulut tertutup/ mata terkatup, sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.” (puisi Memuji Dikau).

Kita tahu kasih Amir tak sampai. Lara? Tentunya demikian. Amir, seperti bisa kita baca dari sejumlah puisinya, bahkan sempat merasa seperti ada surga yang hilang. Simaklah puisinya yang berjudul “Taman Dunia”: "…berbisik engkau: Taman swarga, taman swarga mutiara rupa. Engkaupun lenyap. Termanggu aku gilakan rupa.”

Bagi seorang yang pada masa itu bergelar “sarjana muda bidang hukum”, seorang cendekiawan yang mendirikan salah satu majalah kebudayaan paling berpengaruh dalam sejarah kebudayaan Indonesia, penyair yang disebut sebagai Raja Penyair Poedjangga Baroe, patah asmara karena beban tradisi untuk pulang ke tanah kelahiran dan menkah dengan perempuan sederajat tentu nestapa yang menyesakkan.

Amir Hamzah, saya bayangkan, mungkin menyesal. “Bagaimana bisa nasibku sama dengan Siti Nurbaya yang tak pernah sekolah dan tak pernah ke mana-mana?” pertanyaan macam itu barangkali yang membuatnya gundah.

Menyusul proklamasi 1945, Amir Hamzah yang menjabat Pangeran Langkat Hulu, dan semua pejabat kesultanan Langkat, ditengara oleh massa revolusioner yang tak sabar kepada kaum bangsawan yang diuntungkan selama penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Upaya Sekutu membujuk para Sultan di seantero Melayu agar bersedia bekerjasama makin menebalkan kecurigaan itu.

Sikap yang ragu dan terlalu berhati-hati yang ditunjukkan para Sultan di wilayah Melayu (Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Siak dan Pelalawan) membuat mereka kehilangan momentum untuk memainkan peran signifikan dalam arah perkembangan Indonesia di masa depan.

Seperti Sunan Pakubuwana XI di Surakarta, sikapnya yang ragu dan terlalu berhati-hati membuat keraajannya kehilangan momentum untuk memainkan peran lebih signifikan. Setidaknya, nasib Kasunanan Surakarta tak setragis sultan-sultan Melayu, karena pemerintah Indonesia dengan sigap melindungi Surakarta dari ancaman revolusi sosial yang sebenarnya tinggal menunggu momentum saja.

Ini berbeda dengan Kesultanan Yogyakarta yang diganjar status Daerah Istimewa oleh pemerintah Indonesia, menyusul dilansirnya Maklumat Hamengkubuwana IX hanya sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, yang isinya menyatakan dukungan terhadap pemerintah Indonesia sembari pada saat yang sama memproklamirkan Yogyakarta sebagai bagian Indonesia.

Sebuah momentum biasanya hanya berlangsung beberapa kerjap saja. Sekali momentum lepas, dia tak akan pernah kembali. Setiap pemimpin yang pandai membaca tanda-tanda zaman serta punya ketajaman intuisi, tahu benar arti penting memanfaatkan momentum.

Amir Hamzah tahu benar soal momentum macam itu, bahkan mengalami dan menghayati semua tragika dan kepedihan yang diakibatkan kegagalan memanfaatkan momentum.

Ketika akhirnya pecah revolusi sosial pada 3 Maret 1942, semua keluarga bangsawan Langkat ditangkap, termasuk Amir Hamzah. Dan pada dini hari 20 Maret 1946 Amir Hamzah dihukum mati.

Saya tak tahu, apa yang kira-kira dilakukan oleh Amir Hamzah menjelang kematiannya. Saya berharap dia akan menghadapi kematian dengan kuat, tidak selirih puisi-puisianya, barangkali seperti cara Federico Garcia Lorca menghadapi kematian seperti yang bisa kita tonton dalam The Disappearance of Garcia Lorca.

Dalam film yang dibintangi Andi Garcia itu, Lorca digambarkan menghadapi maut dengan tenang. Para algojonya berharap Lorca akan ketakutan dan meminta ampun seraya menjura-jura. Tapi Lorca tidak. Ketika moncong pistol menempel di pelipisnya, Lorca malah menatap langit malam yang diseraki gemintang, seraya berpuisi: “Where’s my moon?”

Tenang. Secual pun tak ada tanda was-was. Karena itulah sang algojo tak sanggup tarik pelatuk. Algojo itu jengkel, sebab ia ingin sekali, bahkan terobsesi, melihat penyair Andalusia yang necis itu meratap ketakutan, dan memohon-mohon untuk diampuni. Penonton tahu obsesi itu tak kabul.

Dalam hal Andalusia dan diktatornya yang bernama Jenderal Franco, juga bagi setiap penguasa mana pun yang terkaing-kaing mengejar ambisi untuk setotalnya menguasai, kekuasaan akan selalu tampak tergopoh-gopoh, dan karenanya kedodoran. Sebab, sekokoh apa punkontrol, semenjulang apa pun tahta, dan seperih apa pun respresi yang ditangguk orang jelata, toh orang masih bisa melawan, meski itu minimum. Dengan memaki dalam hati, misalnya. Atau memelesetkan lagi-lagu.

Dalam hal Lorca, ia melawan lewat puisi. Barangkali karena tahu bahwa maut sudah tak mungkin lagi ditampik, maka takut pun sudah tak cukup berarti lagi baginya. Maka ia pun berpuisi. Puisi pungkasan Lorca (“where my moon”) karenanya adalah satire, sebungkus kado terakhir berisi cibiran untuk kekuasaan yang tampak kedodoran.

Kita, sekali lagi, tak tahu apa yang terjadi dengan Amir Hamzah di detik-detik terakhirnya. Yang pasti, Amir tak sedang memainkan lakon, apalagi film. Ia hidup dan menghidupi langsung semua tragikanya yang degil dan rudin itu. Sebuah kehidupan yang selalu berada di antara. Selalu terjepit.

Amir Hamzah terlibat langsung dengan ketegangan antara dunia lama yang statis dengan dunia baru yang bergejolak. Amir Hamzah terjepit di antara keduanya. Dan ia tak bisa keluar dari keterjepitan itu.Persis seperti yang tergambar dalam puisinya yang berjudul “Hanyut Aku”:

“Tenggelam dalam malam,/ air di atas menindih keras/ bumi di bawah menolak ke atas/ mati aku, kekasihku, mati aku!”

Selengkapnya......

Kamis, Maret 20, 2008

Nikah di Depan Jenazah Ayah

-- scriptopedia kematian (1)

Beberapa bulan lalu saya pernah menonton feature “10 film bertema wedding terbaik versi HBO”. Beberapa di antaranya sudah saya saksikan. Tapi, dari 10 film tersebut, sepertinya tak ada yang sedramatis pernikahan seperti yang akan saya ceritakan sebentar lagi. Menariknya, ini bukan film, tapi sebuah kisah nyata.

Peristiwa ini berlangsung di Jogjakarta, tepatnya di Bangsal Kencono, salah satu ruangan paling wingit di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di ruangan inilah raja-raja dari Dinasti Hamengkubuwana menjalankan kekuasaannya. Usia Bangsal Kencono hampir setua usia Kraton Yogyakarta.

Pernikahan yang aneh, ganjil dan tak pernah terjadi sepanjang sejarah kraton ini digelar pada 7 Oktober 1988. Keganjilan ini disebabkan –setidaknya—oleh tiga pokok: (1) akad nikah dilaksanakan di Bangsal Kencono, (2) akad nikah digelar untuk empat pasangan kakak-beradik sekaligus dan (3) pernikahan dilaksanakan di hadapan jenazah Sultan Hamengkubuwana IX.

Hamengkubuwana IX, yang pernah menduduki beberapa jabatan penting di republik ini (dari mulai Menteri Pertahanan, Ketua KONI hingga Wakil Presiden), wafat pada 2 Oktober di Rumah Sakit Geoge Washington, Amerika.

Hari itu, jenazah Hamengkubuwana IX baru saja tiba di Jogja, setelah sempat disemayamkan pada malam sebelumnya di Jakarta. Sebelum tiba di Jakarta, jenazah dibawa dari bandara Honolulu oleh pesawat Garuda Indonesia Airways. Sebelum tiba di Honolulu, jenazah dibawa oleh Air Force II (pesawat kepresidenan Wakil Presiden Amerika) langsung dari Washington.

Akad nikah dilangsungkan hanya beberapa saat setelah jenazah Hamengkubuwana IX disemayamkan di Bangsal Kencono. Di tengah suasana duka yang menjalar ke seantero negeri (pemerintah menetapkan hari berkabung nasional selama 7 hari) itulah, di bawah tatapan ratusan pasang mata yang sembab di dalam Kraton dan puluhan ribu pasang mata yang mencoba mengintip dari luar pagar, akad nikah yang ganjil dan aneh itu pun digelar.

Siapa saja yang menikah?

Pertama, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat, anak ketiga Hamengkubuwana IX dari istrinya yang kedua, Kanjeng Raden Ayu Hastungkoro. Ia menikah dengan Raden Roro Endang Hermaningrum, seorang sarjana hukum lulusan Universitas Atmajaya Jogjakarta.

Kedua, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Candradiningrat, anak keempat Hamengkubuwana IX dari ibu yang sama dengan Yudhaningrat. Ia menikah dengan Hery Iswanti.

Ketiga, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Pakuningrat, anak pertama Hamengkubuwana IX dari istrinya yang ketiga, Kanjeng Raden Ayu Ciptomurti. Perempuan yang beruntung menjadi istri Pakuningrat adalah Nurita Afridiani (26 thn), seorang lulusan akademi sekretaris. Saya pernah melihat potretnya sewaktu muda. Hidungnya mancung, sorot matanya tajam, bibirnya ranum, dan kulitnya kuning langsat.

Keempat, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Cakraningrat, adik kandung persis Pakuningrat dari ibu yang sama. Ia menikah dengan Laksmi Indra, seorang insinyur yang biasa disapa Etty.

[Hamengkubuwana IX memiliki lima istri. Hamengkubuwana X lahir dari istri yang kedua, Hastungkoro. Dari lima istrinya itu, ia memiliki 22 orang anak. Ini belum seberapa. Simak daftar ini: Pakubuwana III beranak 46 orang, Pakubuwana IV beranak 56 orang, Pakubuwana V beranak 45 orang, Pakubuwana IX beranak 57 orang. Padahal belum ada viagra! Hehehehe….]

Empat pasangan yang menikah itu maju satu per satu mendekati jenazah ayahnya yang terbaring di Bangsal Kencono. Mereka menghaturkan sembah sebanyak lima kali, sama takzim dan khidmatnya seperti mereka menghaturkan sembah sewaktu Hamengkubuwana IX masih hidup. Puluhan pasang mata yang bisa masuk ke Kraton hanya bisa menyaksikan lima kali sembah itu dari jauhan. Tak ada satu pun yang boleh mendekati jenazah.

Mereka menikah di hadapan sebilah keris yang tak diketahui namanya sebagai simbol dari ayahandanya yang sudah mendiang. Semuanya digelar tanpa satu pun kilatan blitz. Tak ada kamera yang memotret. Semua prosesi akad pun digelar nyaris dengan hening karena pengras suara memang tak digunakan.

Sebelumnya, mereka sudah lebih dulu menyambut kedatangan jenazah mendiang yang baru saja diturunkan dari ambulance yang membawa jenazah dari bandara Adi Sucipto. Mereka berjejer di sebelah kiri dari jalan yang akan dilewati peti jenazah. Semuanya mengenakan pakaian serba hitam dan bawahan terbuat dari batik berwarna coklat yang bercorak truntum latar cemeng. Semuanya tanpa hiasan dan perhiasan. Hari itu tak boleh.

“Saya sedih dan bingung,” kata Gusti Bendoro Pangeran Haryo Cakraningrat mengoementari pernikahannya ini.

[Beberapa tahun silam, saya pernah membaca berita pernikahan yang sejenis. Kali ini menimpa orang biasa yang bukan bangsawan. Saya lupa di koran mana dan di daerah mana. Yang terang, pernikahan ini –seingat saya—bisa jadi lebih dramatis.

Berkebalikan dengan peristiwa di Bangsal Kencono, pernikahan ini hanya menikahkan satu pasangan. Tapi -- ini yang lebih dramatis-- pasangan ini menikah di hadapan lima jenazah sekaligus yang merupakan keluarga dari mempelai lelaki yang tewas karena kecelakaan ketika hendak menghadiri akad nikah ini]

Selengkapnya......

Selasa, Maret 18, 2008

Peta

:: dipicu oleh berita ini dan postingan ini

Pada mulanya adalah hasrat. Lalu gulungan kertas di hamparkan, titik-titik di tebarkan, warna-warni ditaburkan, batas-batas dipastikan dan peta pun dilahirkan. Lalu, seperti yang sering kita baca dari sejarah, penaklukkan dikukuhkan.

Itulah sebabnya Cornelis dan Frederik de Houtman rela menanggung resiko dipenjara demi memeroleh selembar peta, sementara anak-anak sekolah di Indonesia memerlakukan peta sebagai bahan ajar yang mesti dihapalkan demi memeroleh ponten bagus dalam pelajaran ilmu bumi.

Dari bab 13 buku Miles Harvey, “The Island of Lost Map”, saya menemukan cerita bagaimana si kembar Houtman, di kota Lisbon, susah payah mendapatkan selembar peta navigasi yang dipergunakan para pelaut Portugis untuk berlayar ke Hindia. Keduanya tertangkap dan dipenjara dengan dakwaan menyelundupkan peta ke Belanda.

Setelah keluar dari penjara, Houtman bersaudara mereproduksi lembaran peta yang telah berhasil mereka selundupkan. Dari sanalah mereka lantas menggelar pelayaran mandiri ke Hindia [setelah sebelumnya tergabung dalam pelayaran Portugis] dengan mengikuti jalur yang pernah dilalui Alfonso d’Albuquerque dan tiba di Nusantara pada 1596.

Belanda, dengan demikian, baru saja memulai langkah kecil untuk membangun koloni raksasa jauh di Timur.

Kita tahu kemudian Belanda harus saling sikut lebih dulu dengan Portugis dan Spanyol untuk memeroleh kekuasaannya di bandar-bandar yang riuh di Nusantara. Tapi jauh sebelum saling sikut dengan meledakkan mesiu dan mengokang senapan itu dimulai, saling sikut sudah lebih dulu digelar untuk memerebutkan dan menciptakan peta.

Portugis, yang telah lebih dulu tiba di Hindia, dengan sekuatnya menutup informasi yang memungkinkan ekspedisi-ekspedisi asing bisa tiba di Hindia, Surga Rempah Dunia. Itu artinya: peta-peta navigasi pelayaran ke tanah Hindia harus dijaga dengan tangan besi. Pemenjaraan Houtman bersaudara menjadi buktinya.

Tapi itu adalah cerita awal penaklukkan yang sifatnya fisikal. Setelah penaklukkan fisik berhasil dikokohkan, penaklukkan model baru dengan menggunakan peta pun dimulai. Jika penaklukkan pertama membutuhkan peta-peta yang akurat lagi presisi, penaklukkan yang kedua ini membutuhkan peta-peta yang dengan sadar dan sengaja dibuat meleset.

Dalam mata pelajaran ilmu bumi di Hindia Belanda, luas wilayah Belanda dengan sengaja dibengkakkan sedemikian rupa. Dengan deviasi peta yang tak tanggung-tanggung itu, Belanda –sebuah negeri seupil di depan Inggris—tampak menjadi sosok yang perkasa. Harapannya: penguasaan Belanda di Nusantara akan diterima sebagai sesuatu yang wajar karena Belanda memang negeri yang besar nan luas.

“Penaklukkan pengetahun” model itu tak berhenti di situ, kali ini melibatkan “kesepahaman diam-diam” di antara negara-negara kolonialis: “Barat” diteguhkan sedemikian rupa sebagai pusat dunia, paku bumi, episentrum –dan “Timur” dihadirkan sebagai titik-titik koordinat yang semuanya diukur dari paku bumi, dari “Barat”.

Dari sinilah kita mengenal istilah “Timur Jauh” dan ‘Timur Dekar” seraya pada saat yang sama kita tak pernah mendengar “Barat Jauh” dan “Barat Dekat”. Jauh dari mana? Dekat dari mana? Tentu saja ukuran “jauh” dan “dekat” itu diukur dari Barat.

Marshal G Hodgson menyebutnya sebagai “imaginative geography”: geografi imajinatif, geografi pembayangan –yang kelak dikemudian hari kita cukup absah untuk menyebutnya sebagai “fiction geography”, geografi (yang) fiktif.

Sampai di sini saya ingin mengutip pasase milik sejarawan Thailand, Thongchai Winichakul, yang menulis buku Siam Mapped: A History of the Geo-Body of a Nation: “...Sebuah peta adalah model bagi, dan bukan model dari, apa yang konon ia wakili.”

Apa maksudnya? Begini:

Peta, dalam “hitung-hitungan normal dengan menggunakan akal sehat”, seringkali dan semestinya merupakan representasi yang akurat dari bumi atau wilayah yang hendak dipetakan. Jika “Kampung A” luasnya 100 hektar dengan dua buah sungai yang melintas di tengahnya, peta seharusnya menggambarkan itu dengan se-presisi mungkin. Inilah yang dimaksud Thongcai ihwal “peta sebagai model dari apa yang diwakili”.

Sayangnya, seperti yang sebagian sudah saya paparkan di awal [sebagiannya lagi akan saya uraikan di paragraf-paragraf selanjutnya], peta lebih mirip sebagai “model bagi apa yang hendak direalisasikan”.

Coba simak pernyataan Duta Besar Amerika Serikat, Cameron Rees Home, dalam acara peluncuran National Geographic edisi khusus Indonesia. Ia membandingkan peta Indonesia yang ada di kantornya dengan peta administratif Indonesia yang dilansir National Geographic. Di kantor saya, katanya, “Ada peta Indonesia, tertulis Samudera Indonesia, tetapi mengapa di peta ini Samudera Hindia?"

Di situ imajinasi bermain. Indonesia membayangkan bahwa samudera disebut-sebut terluas ketiga di dunia sebagai “miliknya”, sebagai halaman depan “miliknya”, tanpa pernah peduli bahwa dunia lebih mengenalnya sebagai Samudera Hindia. Ini bukan soal salah-benar. Ini adalah soal proyeksi atau –dalam kata-kata Thongchai—“model bagi apa yang diwakili” bukan “model dari apa yang diwakili”.

Pada saat perkampungan Belanda di Papua ditinggalkan para Londo pada 1836 dan kekuasaan Belanda sama sekali belum efektif dan masih jauh dari berkuasa di tanah Papua, toh Belanda sudah melansir peta yang menggambarkan Papua bagian barat menyatu dengan wilayah-wilayah lainnya di sebelah barat.

Padahal, seperti pernah diuraikan oleh Robert Ousbourne, amat sedikit Londo-londo yang sudah pernah melihat Papua. Yang sedikit itu kebanyakan para pegawai Belanda yang ditempatkan di Digul, kawasan angker penuh nyamuk, buaya dan kanibalis DI Merauke yang menjadi pekuburan ratusan syuhada nasionalis yang ditawan karena –terutama—peristiwa perlawanan PKI pada 1926/1927. Belanda sendiri baru memetakan Papua bagian barat dan mencoba membuat sensus penduduk setelah tahun 50-an.

Indonesia mengambilalih imajinasi itu ke dalam kesadarannya. Keberadaan peta yang memasukkan Papua bagian Barat ke dalam wilayah Hindia Belanda [plus beberapa syair Negarakrtagama yang menyebut-nyebut Papua, seperti yang coba diyakinkan Yamin dalam sidang BPUPKI] menjadi alasan bagi Soekarno untuk merebut Papua bagian barat dari tangan Belanda yang masih bercokol di sana.

Soekarno banyak sekali berpidato dengan menggebu-gebu mengenai Papua selama kampanye merebut Papua bagian barat, pada saat ia sendiri sekali pun belum pernah melihat dan menginjakkan kaki di Papua. Sama seperti Yamin --yang dengan argumen arkaik bersemangat memasukkan Papua ke dalam wilayah Indonesia dalam sidang BPUPKI-- sebenarnya belum pernah melihat dan menginjakkan kaki di Papua.

Keberadaan Digul di Merauke, tulis Ben Anderson, juga menjadi salah satu folklore paling menggetarkan mengenai historiografi perjuangan kemerdekaan dan menjadikannya situs yang wingit bagi cerita perjuangan nasional memersatukan wilayah dari Sabang sampai –ke mana lagi jika bukan?—Merauke.

Di situ peta hadir sebagai manifesto sebuah hasrat.

Selengkapnya......

Minggu, Maret 16, 2008

Ijazah

Inilah salah satu contoh dari teks yang dibacakan sewaktu seorang Doktor ditahbiskan di sebuah universitas di Eropa pada 1932:

“Saluten! Sapienti consilo a mairoribus nostis institutum est ut bonarum artium studiosi, anteaquam doctrinam suam ad communem vitae usum confferrent laudabiliter peractis studiis adademicis publicum peterent industriae et eruditionis testimonium et documentum. Quamobrem cum ornatissimus Jan Rusconi e pago Ede legibus academicis satisfecisset atque ad summos honores iam contenderet ipsius eruditiioni debitos. Nos, quo causam honestissimam aduivaremus, cum de progressibus eius in disciplinis ad faculatem Litterarum et Philosophiae pertinentibus disquisiotinem intstituimus, tum audivimus eum defendetem dissertationem cui titulus: Sjair Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina voorzien van inhoudsopgave en aanteekeningen.

In quibus omnibus cum sese talem praestitisset, ut nobis doctrinam et diligentiam probaret, honorificum quod ei debetur virtutis testimonium tribuimus idque propter insignia eius prae ceteris merita CUM LAUDE. Quaproter, Nos, pro prostate nobis concessa, eundem Jan Rusconi LITTERARUM et PHILOSOPHIAE DOCTOREM solemni more creavimus et renuntiavimus et ei concessimus quiquid iuris et honoris doctori letime creato aut lege aut longa consuetudine tribui haberiquie solert. Cuius rei quo sit certior et testatior fides, diploma hoc publicum, manu Actuarii Nostri subscriptum et maiori Universitatis sigillo confirmatum, ei tredendum curavimus.”


Artinya:

"Salam dan hormat bagi pembaca! Dengan pertimbangan arif bijaksana maka menjadi ketentuan para pembesar kami bahwa para mahasiswa susastra, setelah menjalankan studi akademis secara gemilang sebelum membaktikan kesarjanaannya bagi kehidupan publik perlu menerbitkan bukti dan dokumen kegiatan sistematik (adademisi) dan keterpelajarannya. Karen Jan Rusconi yang sangat cemerlang dari kota Ede memenuhi persyaratan akademis dan berusaha mencapai kehormatan tertingginya yang masih menjadi tugas kesarjanaannya, ketika kami menguji kemajuannya dalam displin yang berhubuangan dengan Fakultas Sastra dan Filsafat, dan pada saat kami mendengar dia memertahankan disertasi yang berjudul Sjair Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina voorzien van inhoudsopgave en aateekeningen.

Kami memberikan dukungan bagi pencapaian yang sata pantas mendapat penghormatan itu. Berdasarkan semua alasan yang tersebut di atas ketika dia menunjukkan keutamaan begitu luar biasa sehingga membuktikan kepada kami keterpelajarannya, ketekunan dan kerajinannya, maka kami memberikan kesaksian bahwa saudara yang terhormat tersebut pantas diberikan tandajasa yang melebihi yang lain-lain dengan Cum Laude. Karena itu, Kami, dengan wewenang yang dilimpahkan kepada kami, dengan megah menobatkan dan melantik Jan Rusconi tersebut Doktor Sastra dan Filsafat dan menyerahkan apa saja yang dari pertimbangan hukum dan dari pertimbangan kehormatan baik yang berdasarkan undang-undang atau berdasarkan tradisi panjang harus diberikan kepada dan harus dimiliki oleh seorang doktor yang secara syah dinobatkan. Agar keyakinan terhadap dokumen tersebut lebih syah dan lebih terjamin berdasarkan sumpah kami merasa berkewajiban menyerahkan ijazah negeri yang ditulis oleh Panitera Kami dan disahkan cap utama Universitas."


Teks ini ditulis dalam bahasa Latin, yang selama belasan abad menjadi “Bahasa Tuhan”. Pilihan bahasa ini, membuat teks penahbisan tersebut memiliki gema seperti suara dari langit, mungkin seperti do’a-do’a para paderi di gereja. Ini meneguhkan aura kemegahan, keagungan dan sekaligus kesungguhan yang dikelola oleh pihak universitas.

Teks ini kadang disebut “Kredensial” atau “Surat Kepercayaan” yang tradisinya bahkan sudah bertahan sejak abad XV atau bahkan jauh lebih tua lagi. Sepertinya ini menunjukan konservatisme atau kekolotan. Tapi, percayalah, melalui apa yang sepintas konservatif atau kolot inilah kecenderungan untuk “memberhalakan” ijazah itu dimulai.

Ijazah ini menjadi “modal” yang –jika dikelola dengan maksimal—akan berubah menjadi “harta” dan dari “harta” kemudian dialihkan menjadi “kuasa”.

Doktor Daniel Dhakidae, yang terjemahannya atas teks bahasa Latin saya gunakan di atas, menyebut ini sebagai “lingkaran yang tak terputuskan karena kekuasaan pada gilirannya harus sekali lagi berputar-balik untuk mengkonversikan ‘barang’ jadi ‘modal’ lagi dalam siklus yang hampir-hampir tak pernah putus”.

Selengkapnya......

Jumat, Maret 14, 2008

Malioboro, Pada Satu Sore....

Ia dipanggil John Tatto. Di dada kirinya terpacak tatto bergambar donald bebek. Di lengan kanannya terlihat tatto yang mulai kabur tapi masih cukup jelas menampakkan tiga huruf: PAS. “Itu singkatan Perkumpulan Anak Pasar,” katanya.

Kami duduk di bangku panjang di trotoar depan Gedung Agung di ujung Malioboro. Tangan kanannya menggenggam sebotol AO, sebutan untuk salah satu merk minuman beralkohol. Saya menyimak semua geraknya: tangan kiri memegang botol dengan bagian bawah menghadap ke atas, lalu telapak tangan kanannya memukul bagian bawah botol, prak…. Sejurus kemudian, tutup botol dengan mudah dibuka hanya dengan mengulirnya. Dia menuang isi botol ke gelas kecil hingga penuh. Ia menyodorkannya pada saya seraya berujar: “Harus habis!”

Saya menghabiskannya dalam sekali tenggak. Saya masih memegang gelas kecil itu dengan tangan kiri. Mataku melongok ke dalamnya. Ada sedikit sisa busa putih yang melekat di dasar gelas. Sisanya: kosong!

Jalanan tampak ramai. Para pelancong riuh memenuhi trotoar. Beberapa duduk di bangku setengah lingkaran yang dibuat dari beton. Sesekali terdengar suara pluit tukang parkir yang mencoba membujuk pengendara motor. Tujuh becak terparkir dengan rapi di muka gerbang Benteng Vredeburg.

Beberapa saat lagi Maghrib akan tiba. Srengenge di arah barat mencuat dengan sempurna. Lampu-lampu jalan mulai bercahaya memancarkan warna yang agak mirip dengan srengenge: warna kesumba.

Seorang perempuan muda, berwajah sedikit tirus dengan rambut panjang sebahu yang tebal juga hitam, mengenakan t-shirt merah marun dan jeans hitam, tersenyum ke arah kami. “Namanya Arum. Seminggu lalu saya memasang tatto mawar di atas pusarnya,” kata John.

Saya tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Dia membalas. John berteriak: “Mau ke mana?”

“Ke ATM BNI. Nanti saya ke situ.”

Saya kenakan jaket yang terbuat dari bahan jeans berwarna hitam. Udara mulai sedikit mendingin. Saya menaikkan dua kaki. Sejurus kemudian, daguku sudah menancap di salah satu lutut. Tercium bau debu dari jeans yang saya kenakan selama 3 hari berturut-turut.

Oblo, fotografer yang bekerja sebagai stringer di kantor berita Reuters dan sedang bahu membahu dengan saya menyusun sebuah cerita untuk National Geographic edisi April 2008, masih sibuk melayangkan jepretan pada sekian objek yang dianggapnya menarik. Beberapa menit yang lalu ia mengambil gambarku yang sedang menyandar di patok besi di depan pintu gerbang Gedung Agung, saat itu saya sedang membaca "Paris La Nuit" (Paris di Waktu Malam), buku puisi Sitor Situmorang. Potretnya bagus. Saya terlihat menunduk di situ, dengan kedua kaki selonjor ke muka. Di belakang saya terlihat semburat warna merah bersemu oranye terhampar dengan perkasa.

John memandangku dengan lekat. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu. Saya melempar kulit kacang yang banyak berserakan di bawah bangku ke wajahnya yang kali ini terlihat begitu tengil. Sembari terbahak, tentu saja.

“Sudah berapa lama kau di Jogja?”

“Saya? Lama. Lumayan lama. Sejak 1999.”

“Nostalgia?”

“Hahahaha…. Nggak. Tak ada nostalgia kali ini. Jogja sudah tak begitu penting sekarang. Saya bahkan mau jual rumah. Kalau sudah terjual, tidak cukup lagi alasan untuk datang ke sini.”

“Serius? Jogja masih enak, lho….”

“Apanya? Biasa saja. Di sini, saya bisa lebih cepat tua. Jogja mungkin penting bagi hidup saya, itu pun lebih karena di sinilah saya menghabiskan banyak sekali waktu justru pada saat saya masih benar-benar segar, penuh tenaga, sarat ambisi. Hanya itu. Selebihnya, hmmm… tak ada apa-apa.”

“Maksudnya?”

“Seperti album tua. Saya sudah menyimpannya di dalam laci. Saya kunci rapat-rapat. Sesekali mungkin saya akan membukanya dan melihat foto-foto lama yang sekarang tak begitu banyak artinya.”

John seperti enggan mendebat lagi. Ia merapikan rambutnya yang kusut. Diambilnya sebatang Mild yang baru saja saya beli. Tak sampai lima detik, asap sudah mengepul dari bibirnya yang legam oleh ribuan batang rokok yang pernah dihisapnya, ratusan botol minuman keras yang telah ditenggaknya, dan puluhan malam yang sudah dihabiskannya dengan nongkrong di udara terbuka.

“John, bagi saya, setiap kota itu sama. Bedanya, seberapa banyak foto-foto lama pernah kita buat. Foto lama di Jogja itu yang terbanyak. Tapi bukan berarti saya tak bisa mengambil jarak. Saya tak sudi masa silam membunuh masa depan.”

“Janganlah kau bicara rumit-rumit macam itu.”

Saya tergelak. John, saya kira, bukan orang yang kesulitan memahami ucapan saya. Dia lama berkelana. Sepuluh tahun di Bali, dua tahun di Surabaya, setahun di Malang, masa kecil di Padang dan Riau.

“Saya sepertinya nggak bakal pindah-pindah lagi. Jogja sudah lebih dari cukup bagi saya. Tak ada kota yang bisa menerima saya sebaik Jogja. Ada saat di mana saya tak diterima di sebuah kota. Saya tak mengalami perasaan macam itu selama di Jogja. Sejak 1994.”

Saya mendengarnya sembari mengunyah kacang goreng yang dibelikan John. Saya menyimaknya dengan baik. Berharap ada kristal pengalaman yang bisa saya unduh dengan cuma-cuma. Dia meneruskan ceritanya, tentang upayanya membangun usaha jualan lele bakar yang akhirnya bangkrut, menjadi seniman lukis kaca, kemudian menjadi seniman tatto, dan terakhir menjajal peruntungan sebagai tukang becak.

“Kau bagaimana?” tanyanya tiba-tiba.

“Aku? Ah, saya beruntung tak pernah mengalami kesulitan tinggal di sebuah kota. Saya juga tak pernah mengalami perasaan ditolak oleh kota yang sedang saya singgahi. Saya bisa merasakan kesunyian, kesepian sekaligus keramaian di kota mana pun. Ada saat di mana kota yang ramai justru kian meneguhkan betapa saya seorang yang sendiri, tak peduli saat itu saya sedang di tengah keramaian sekali pun. Lain waktu ada kota yang bisa membuatku merasa ramai dan riuh kendati saya sebenarnya sedang sendirian.”

“Kau pasti banyak punya kenalan perempuan di Jogja? Ya, kan? Ngaku sajalah.”

“Tentu saja. Kau mau kukenalkan?”

“Boleh. Tapi apa mau mereka kenal dengan lelaki macam aku ini?”

“Ya, nanti aku pilihkan dari spesies yang justru senang dengan orang macam kau. Hahaha….”

“Memang ada?”

“Ada. Tenang saja. Oya, perempuan tadi siapa namanya?”

“Arum.”

“Di bagian mana lagi kau pernah menatto dia?”

“Rahasia. Hahaha…. Kau mau aku kenalkan?”

“Nggak usah. Kalau pun mau, tak perlu bantuanmu.”

“Yang benar? Yakin?”

“Iya. Aku bahkan sudah tahu umurnya. 24, kan?”

“Tahu dari mana?”

“Aku juga tahu dia membayar tatto yang kau buat tidak dengan uang, bukan?”

“Sial. Bagaimana kau tahu?”

“Hahahaha…. Dulu, diam-diam, saya sering memerhatikannya jika sedang menyetrika pakaianku. Khidmat sekali.”

“Maksudmu?”

“Dulu. Dulu sekali. Sekarang dia bagian dari foto lama yang sudah saya taruh di dalam laci yang terkunci. Namanya bukan Arum. Kena tipu kau! Hahaha….”

Lalu saya meraih mobile phone. Ada pesan pendek masuk. Maulida mengabariku pernikahannya pada 22 Maret dengan Bima. Keduanya saya kenal. Hebat juga. Berani juga dia, begitu saya pikir. Saya mengirimi pesan pendek balasan. Lima belas menit kemudian ia mengirimiku pesan pendek lagi. Saya nyengir membacanya.

“Kenapa nyengir?”

“Temanku nikah. Saya bilang padanya: Dramatic decision.”

“Lalu ia bilang apa?”

Saya sodorkan mobile phone-ku. John membacanya sedikit keras: “Its kinda dramatic decision for an adventurer like you!”

Oblo, yang saat itu sudah duduk di sebelah kami, tertawa mendengarnya.

Jogja makin malam. Jalanan makin riuh. Tapi saya tak merasakan sesuatu yang dramatis, biasa saja. Kota ini sudah lama tersimpan dalam laci. Saya meraba saku belakang celana. Kunci laci itu masih tersimpan di sana.

Selengkapnya......

Kamis, Maret 13, 2008


T-shirt ini cocok untuk:

1. Orang yang sudah pacaran lebih dari setahun.
2. Orang yang pacarnya belakangan lebih mirip ekor ketimbang homo sapiens.
3. Orang yang pacarnya belakangan sering bilang: "Tunggu apa lagi, sih? Keburu tua, sayang...."
4. Orang yang pacarnya masih gak mau ngerti bahwa sejarah Manchester United jauh lebih panjang ketimbang riwayat hidup dirinya.
5. Orang yang pacarnya sering membanggakan mantan pacar, kakak, ortu atau saudaranya hanya gara-gara urusan: "Jelek-jelek gitu mereka S-1, loh...."
6. ........ (Silakan susun sendiri kriteria selanjutnya)

Selengkapnya......

Senin, Maret 10, 2008

Warung Senja*

[cerita kedua. bukan untuk siapa-siapa. versi asli cerita ini bisa dibaca di sini]

Brosur-brosur perjalanan wisata menyebut kota ini sebagai tempat terbaik untuk menghayati senja. Inilah kota terbaik untuk merayakan kegembiraan, rasa riang juga kebahagiaan.

Tapi aku datang ke sini dengan mengabaikan satu peringatan. Ya, aku datang ke kota ini seorang diri, sesuatu yang sangat tak dianjurkan oleh semua kabar burung atau brosur-brosur perjalanan wisata, sebab tak ada tempat bagi orang-orang yang datang sendiri kemari.

Tapi, toh, aku sudah di sini, dengan segala macam risikonya. Aku ingin berdamai dengan kehilangan yang membuatku lungkrah. Jika memang benar kota ini tempat terbaik untuk merayakan senja dan kebahagiaan, pastilah tempat ini akan menjadi tempat terburuk mengerek rasa kehilangan. Akan kubiarkan saja kota ini bekerja semaunya, menghabiskan semua tenaga yang kumiliki untuk bersedih dan berkaca-kaca. Biar terkuras semuanya. Biar tuntas segalanya.

Aku berencana memusnahkan semua jejak yang tak enak di sini, melumat semua kepedihan yang menahun di kota ini, mungkin dengan mengubur sehelai potret. Di kota ini, ada satu tempat terbaik untuk menggelar ritual penuh beban itu. Seseorang memberitahu keberadaan tempat tersebut.

Tempat itu bernama "Warung Senja".

***

Jika senja sudah turun, kota ini bisa sekhidmat hutan-hutan tempat para paderi menggelar meditasi. Semua orang menikmati senja dengan paras yang bersinar dan kebahagiaan yang tak tergambarkan. Semua terasa tenteram. Orang-orang seperti sibuk dengan hati dan pikirannya sendiri. Tapi, dari bahasa tubuh masing-masing, cukup jelas betapa mereka terlihat bahagia.

Di plaza kota ini aku berdiri termangu, selalu begitu, setidaknya dalam enam senja yang sudah aku lewati. Bukan hanya termangu, tetapi juga ngelangut. Seperti yang sudah kuduga, melewati senja di sini seorang diri menjadi pengalaman paling menggiriskan, juga mengharukan.

Aku menyaksikan kebahagiaan, wajah yang merona, senyum yang terpampang di mana-mana. Aku juga mendengarkan helaan nafas yang bebas juga kata-kata mesra yang dipantulkan tembok-tembok, tiang-tiang telepon, batang-batang pohon juga di setiap helai rumput yang kuinjak. Aku menyaksikan dan mendengarkan semuanya dengan sedan yang lirihnya hanya bisa didengar jantungku sendiri.

Senja ketujuh ini seperti menjadi puncak siksaan itu. Aku bukan hanya selalu mengingatmu, tapi bahkan seperti melihatmu di mana-mana. Selalu saja ada sosok yang seketika kembali menautkanku denganmu.

Seperti barusan ini. Di bangku panjang itu, aku baru saja seperti melihatmu. Ya, benar-benar mirip. Aku tak tahan untuk tak memastikan itu kau atau bukan. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berdiri. Melangkah pelan. Setapak demi setapak. Dia duduk membaca buku sembari bersila, mengenakan celana jeans pendek, dengan ear-phone yang membekam dua pasang telinganya.

Dia tetap bergeming dengan buku di tangan seperti tak acuh dengan keberadaanku. Dari jarak tak lebih tiga meter, dia mendongak ke arahku dengan tatapan yang datar. Aku tergeragap. Dia lalu menegakkan salah satu kakinya sehingga lututnya persis terlipat di depan dada. Aku melihatnya dan dalam sepersekian detik aku langsung sadar itu bukan kau. Di lutut itu tak ada luka yang bekasnya mencuat seperti daging yang sedikit tumbuh. Aku tahu betul seperti apa lututmu.

Dengan perasaan tak jelas aku berbalik arah. Malu, sudah jelas. Aku tak tahu harus merasa kecewa atau lega menyadari itu bukan kau. Aku hanya merasa semua ini mesti diakhiri. Cukup, cukup sampai di sini saja.

Aku memutuskan untuk segera bergerak menuju Warung Senja, tempat di mana ritual kenangan yang aneh dan menyesakkan ini akan kuakhiri. Aku berjalan menuju jalan yang akan membawaku keluar dari plaza yang disesaki para penghayat senja.

Langit benar-benar cerah dan senja tampil dengan parasnya yang sempurna. Mataku penuh dengan paduan warna merah dan kuning yang sedikit gelap, ya… warna kesumba.

Aku tiba-tiba ingat kata-kata yang kau ucapkan sewaktu marah-marah karena aku tak memenuhi janji untuk membacakan cerita di satu senja yang sudah kita sepakati. Aku ketiduran ketika itu. Dengan mata memerah, kau menyemburku dengan kata-kata yang sekarang berdentang sangat kencang di dadaku: "Bagus. Senja memang waktu terbaik untuk tidur bagi laki-laki tanpa rasa humor macam kau!"

Kau mengucapkannya sembari membanting pintu.
***

"Saya sudah menunggu kedatangan Anda sejak lama."

Lelaki paro baya yang sepertinya pemilik Warung Senja mengucapkannya sewaktu aku baru saja duduk di salah satu bangku yang ternyata berdebu, tanda betapa sepi dan sunyinya warung ini dari pengunjung.

"Satu jam sebelum membuka warung, saya selalu menyempatkan diri untuk berkeliling di sekitar plaza. Jadi, saya bukan hanya tahu kalau Anda sudah berada di sini selama enam hari, tapi saya juga tahu Anda selalu menghabiskan senja di plaza seorang diri, duduk di bangku panjang yang sama."

Aku mendengarkan semua perkataannya dengan takjub dan mencoba meraba kemungkinan-kemungkinan yang segera akan dibentangkannya di depanku.

Warung ini berada di depan sebuah pertigaan jalan yang sepi. Ada tiga meja dan beberapa bangku yang terpasang. Semua terbuat dari kayu jati yang sepertinya cukup tua. Di pojok ruangan, terdapat satu akuarium tanpa hiasan sama sekali, tak ada batuan atau tiruan rumput laut. Hanya air bening dan seekor ikan lohan yang selalu diam tak bergerak, tanpa teman, ya… sendirian, seperti laki-laki pemilik warung ini. Seperti aku, tentu saja.

Sambil menunggu gulai dan teh poci, dua menu itu yang hanya bisa disajikan warung ini, aku melangkah ke luar. Aku berdiri di beranda. Tengadah melihat langit. Ah, ya, langit masih dibekam senja. Gelap memang mulai turun, tapi warna merah kesumba masih memayungi kota ini. Atau hanya khusus tempat ini sajakah?

Seingatku, perjalanan dari plaza ke sini menghabiskan waktu sekira 45 menit. Dengan memerhitungkan waktu percakapan dengan pemilik warung dan bengong sekira 10 menit, aku mengira sudah sejam meninggalkan plaza. Ini sudah pukul tujuh malam atau paling tidak setengah tujuh lewat dan malam mestinya sudah benar-benar lengkap. Tapi kenapa di sini senja masih perkasa?

Jalanan begitu sepi. Tak ada yang lewat satu pun. Angin malam rupanya mulai datang. Agak kuat kali ini. Aku melihat beberapa helai daun beterbangan. Suasana begitu khidmat. Sedikit surealias, barangkali.

"Di sini senja selalu lebih lama. Hanya di sini. Di plaza, malam sudah benar-benar lengkap. Orang-orang seperti kita dihukum untuk selalu menemukan senja lebih awal sekaligus melihatnya paling akhir."

Lelaki pemilik warung sudah berdiri di sebelahku. Tangannya bersidekap. "Tak perlu melihat jam. Sebentar lagi senja benar-benar lenyap dan aku tahu persis itu tepat jam tujuh malam. Ini baru jam 18.45. Masih ada 15 menit waktuku untuk menikmati senja terakhir di sini."

Apa maksudnya? Apa dia mau meninggalkan kota ini? Bagaimana dengan warungnya? Atau, jangan-jangan, dia hendak bunuh diri? Duh, bisa celaka.

Dia lalu memberitahu bahwa gulai kambing akan siap 20 menit lagi dan teh poci sudah ia hidangkan di meja. Aku memilih kembali ke meja dan duduk di sana. Ada dorongan diam-diam untuk membiarkan lelaki itu berdiri di sana sendirian. Dari tempatku duduk, aku melihat lelaki paro baya berusia sekira 40-an tahun itu masih berdiri dengan tangan bersidekap di dadanya. Wajahnya tengadah menghadap ufuk dengan diam yang nyaris sempurna.

Teh poci disajikan dalam teko yang terbuat dari keramik yang warnanya seperti tanah. Aku menuangnya ke cangkir kecil. Mata kupejamkan, penciuman kutajamkan, lalu mencoba menangkap aroma teh yang masih mengepulkan uap. Pelan-pelan wangi itu menyusup ke hidungku, naik ke otak dan dari sana menyebar ke semua rongga di tubuhku. Aku merasakan kesegaran yang alami dan aku seperti mencium bau tanah segar yang baru diguyur hujan. Rasanya seperti berada di perkebunan teh yang di mana-mana menghamparkan hijau.

"Hijau, aku menginginkanmu, hijau. Hijau angin, hijau reranting." Itu sajaknya Lorca, satu-satunya penyair yang kau bersedia disetubuhinya, katamu sendiri. Ah, bahkan aroma teh pun bisa menghadirkanmu lagi. Biasanya aku meludah jika sudah begini, tapi kali ini aku menelannya.

***

Aku menghabiskan satu porsi gulai kambing dengan cepat. Aku bukan hanya lapar, lebih dari itu aku tak nyaman makan dengan orang asing yang terus-menerus memerhatikanku dari jarak yang dekat. Lelaki pemilik warung itu duduk persis di hadapanku, terus-menerus memerhatikanku. Lagi pula, aku memang tak sabar dengan perbincangan yang aku yakin akan tergelar sebentar lagi, sebuah percakapan yang rasanya akan penuh dengan kejutan.

Wajah lelaki pemilik warung itu agak lebar, matanya tajam dengan alis yang cukup tebal. Dia memiliki misai juga kumis yang menyambung dengan jenggot di bawah mulutnya. Perawakannya lebih tinggi sekaligus lebih besar dariku.

"Sudah tujuh tahun saya di kota ini. Selama itu pula saya mengelola warung ini, warung kecil yang hanya buka menjelang senja."

Dia membuka pembicaraan dengan langsung mengisahkan dirinya. Aku merasa berhadapan dengan seseorang yang kesepian dan tak berkawan. Aku tak tahu mesti bersyukur atau tidak menjadi orang yang dipilihnya untuk mendengarkan kisah hidupnya. Mungkin aku orang pertama di kota ini yang mendengarnya tapi mungkin juga tidak. Aku tak tahu.

"Tujuh tahun lalu saya kehilangan istri dan anak pertama saya. Persalinan istri saya tak mulus. Pendarahan membuatnya meninggal. Sementara sungsang membuat anak pertama saya menyusul. Semua berlangsung di bawah naungan senja. Dan saya tak ada di sana. Saya masih di perjalanan pulang. Sibuk dengan diri sendiri. Rasanya begitu berat. Tiap kali melangkah, kaki rasanya seperti menginjak lumpur."

"Lalu, Anda datang kemari?"

"Ya. Saya selalu tersiksa tiap kali senja datang. Lalu saya dengar kabar tentang kota ini dan memutuskan datang ke sini. Saya pikir, tempat teraman dan mungkin terbaik justru berada di sarang musuh, dalam hal ini senja yang selalu membuatku berantakan. Begitulah, saya berharap tempat dengan senja yang paling hebat bisa meleburkan semua kesedihan sehingga semuanya menyatu dalam setiap pori dan darah. Saya ingin sedih dan merasa kehilangan setiap saat, setiap detik, sehingga kesedihan dan kehilangan pelan-pelan menjadi sesuatu yang biasa dan kehilangan daya luluhnya."

"Lantas, apa hasilnya setelah tujuh tahun di sini?"

"Apa yang saya peroleh di sini belum tentu akan sama dengan yang akan Anda dapat. Setiap orang punya caranya sendiri berdamai dengan kehilangan. Tinggallah di sini. Dan lihatlah apa yang bisa Anda jaring di setiap senja, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun."

"Aku tak berencana tinggal di sini. Sekadar singgah beberapa hari, satu atau dua minggu. Aku berencana meneruskan perjalanan ke tempat lain."

"Saya juga begitu dulu, hanya berniat singgah sebentar. Tapi, percayalah, Anda tak akan pernah bisa mengatasi hanya dengan membakar sehelai potret atau pergi sejauh-jauhnya. Setiap kali melupakan, pada saat yang sama sebenarnya kita sedang mengenang. Itu membuat kehilangan makin mengeram, lengkap dengan semua sesaknya. Lupa tak akan pernah membebaskan kita," katanya sembari tersenyum.

Lalu keheningan menjalar di antara kami. Beberapa menit berlalu dengan senyap yang membekap. Dia memandangku lekat.

"Warung ini mesti ada yang meneruskan. Saya sudah menyiapkan semuanya, termasuk berkas-berkas kepemilikan warung ini."

"Apa?"

"Ya, tinggallah di sini. Saya akan meninggalkan kota ini, kembali ke kota saya yang lama. Saya sudah menyelesaikan apa yang saya inginkan dan sudah mampu berdamai dengan semuanya."

"Aduh, aku nggak bisa. Bukannya aku tidak mau."

Lelaki itu terdiam beberapa saat. Dia lalu beranjak ke dalam. Aku mendengar suaranya yang seperti sedang membereskan sesuatu. Ketika ia kembali keluar, ia sudah membawa tas kecil yang disangkutkan ke pundaknya dan memegang sebundel kertas.

"Begini saja. Anda bermalamlah di sini, setidaknya untuk malam ini. Coba pikirkan tawaran saya. Jika ternyata Anda bersikeras ingin pergi, tak apa-apa. Kunci saja warung ini dari luar. Oya, ini salinan catatan yang saya tulis selama di sini. Mungkin bisa membantu. Setidaknya bisa jadi hiburan selama bermalam di sini."

Aku mendengarkannya sembari menunduk. Beberapa saat aku diam. Ketika mendongak, ia sudah di beranda. Dan aku hanya bisa melihat punggungnya.

***

Semalaman aku tak mampu tidur. Semua terasa begitu membingungkan. Hingga menjelang pagi, aku tetap tak tahu harus meneruskan menjaga warung ini atau tidak. Kepalaku agak pening dan mataku letih bukan main gara-gara memaksakan diri membaca catatan lelaki itu. Tulisan tangannya cukup rapi, tapi membaca puluhan lembar tulisan tangan tetap bukan pekerjaan mudah. Catatan itu pun tak berhasil membantuku mengambil keputusan.

Dia mungkin benar, setiap orang punya memoar kehilangannya masing-masing. Dan itu tak bisa dibandingkan. Setiap kehilangan punya dayanya sendiri-sendiri. Tak ada kehilangan yang sama. Pada akhirnya kehilangan akan tetap menjadi sesuatu yang sangat pribadi. Tiap orang mesti menyelesaikannya sendiri.

Aku hanya tahu bahwa membakar sehelai potretmu yang berlatar senja tak akan menyelesaikan semuanya. Potret boleh saja dibakar, tapi kesedihan dan kehilangan tidak berada di atas sehelai kertas. Kehilangan dan kesedihan itu mengeram di dadaku sendiri. Jika ada yang mesti dibakar, seharusnya dada ini, aku sendiri, yang mesti dikremasi.

Aku beranjak menuju beranda. Dari jauhan, langit mulai terang. Ada semburat kemerahan yang pelan-pelan makin lebar. Fajar sebentar lagi datang, disusul siang akan menghumbalang dan senja sudah mengintip dari jauhan. Lalu, seperti kemarin-kemarin, aku akan merayakan senja dengan mengerek lagi kesedihan dan kehilangan.

Dompet di saku celana aku raih dengan tergesa. Aku raih potretmu. Aku memegangnya dengan tangan kanan. Suasana masih gelap. Parasmu di situ tak cukup jelas karena potret ini diambil pada saat senja, sehingga latar dan parasmu di situ terlihat sedikit gelap. Aku mengangkat potret itu lebih tinggi, berharap titik sinar fajar bisa membantu. Ya, pelan-pelan aku bisa melihat senyummu di sana. Aha, sinar merah fajar itu hampir sama dengan warna latar poretmu. Ya, mirip sekali warnanya.

Apa benar potretmu ini diambil waktu senja atau saat menjelang rekah fajar. Senja atau fajar? Mungkin itu sudah tak lagi penting. Toh, senja dan fajar menandai situasi yang sama, ya… situasi perbatasan, dari siang hendak ke malam atau dari malam hendak ke siang. Keduanya sama-sama tak pasti. Kita tak tahu apa yang terjadi jika malam sudah datang, seperti halnya tak tahu apa yang akan kita alami sepanjang siang. Tinggal di sini atau melanjutkan perjalanan sama-sama tak pasti. Aku tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada senja atau fajar berikutnya, di sini atau di mana pun.

Aku kembali menatap potretmu, berharap senyummu kali ini bisa membantuku memutuskan hendak melanjutkan perjalanan ataukah tetap tinggal di sini, menjaga Warung Senja ditemani senyummu di potret yang sedang kugenggam kuat-kuat. (*)

------------------
*) Nama sebuah warung kecil di sebelah barat Alun-Alun Kidul Jogjakarta yang mulai buka beberapa saat menjelang magrib

Selengkapnya......