Senin, Desember 31, 2007

Lalu Waktu Bukanlah Giliranku

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku
-- Amir Hamzah, "Padamu Jua"


Selama tiga hari saya menikmati hidup yang hening dan kadang terasa begitu meditatif sebelum sepucuk imel berisi tuduhan yang nyelonong tanpa melakukan klarifikasi lebih dulu berhasil membuat pertahananku jebol dan dadaku kembali meledak.

Saya menjawab imel itu tanpa basa-basi, juga tanpa metafora. Jika ada yang sedikit perlu disesali, barangkali, karena saya menjawab imel itu pada saat kepala masih terasa beruap dan otak saya masih dalam keadaan murka. Tentu saja tak ada kata-kata kasar apalagi makian. Tapi, jawaban saya yang keras, sudah cukup menjelaskan betapa saya tak cukup tenang merespons keadaan.

Betapa tipisnya selisih antara keheningan dan kemarahan.

Tahun 2007 memang menjadi tahun yang hebat, penuh gejolak personal, naik turun emosi yang begitu cepat, semangat yang menggelegak, kenakalan yang liar, dan kadang sentimentalitas yang mendadak muncul dengan lembutnya.

Di tahun ini saya terlibat dalam sejumlah perdebatan yang panjang dan sengit, polemik yang mulanya antara saya sendiri dengan seseorang, tapi dengan cepat berbelok menjadi sengketa diskursif yang melibatkan institusi. Sesekali muncul hardikan yang sedikit sarkas, tuduhan yang tidak masuk akal, serta prasangka yang berlebihan.

Ada beberapa nama yang sebelumnya saya anggap sebagai “mentor” di tahun ini berubah menjadi sparring partner dalam sebuah sengketa gagasan.

Tak pernah saya diam tanpa melakukan “serangan balasan” tiap kali ada yang “menyerang”. Agresi dihadapi dengan agresi. Sikap santun saya sambut dengan tak kalah santunnya. Sepanjang tahun 2007 ini saya bisa dengan cepat bersalin rupa dari seorang yang santun menjadi seorang yang begitu agresif. Begitu pula sebaliknya.

Saya menutup tahun ini dengan menulis resensi buku di sebuah surat kabar yang isinya menganggap buruk sebuah buku yang ditulis seorang begawan, orang yang diam-diam pernah saya anggap sebagai mentor, yang oleh penulis-penulis resensi lainnya buku dia itu dipuja-puji setinggi bintang.

Tiba-tiba saja saya menyadari betapa saya begitu percaya diri. Tanpa sedikit pun rasa jirih, apalagi takut dan minder, saya membuka perdebatan, menantang muka lawan muka beberapa nama yang mungkin Anda kenal atau pernah Anda dengar, nama-nama yang cukup mentereng dan punya reputasi yang tidak enteng.

Saya sampai pada gagasan bahwa sebuah perdebatan yang saya ikuti dengan penuh semangat selalu berhasil menginjeksi energiku menjadi bertambah lipatannya. Saya selalu merasa makin kuat dan tangguh. Makin tangguh lawan debatnya, saya makin pula merasa bertambah kuat.

Saya ingat, pilihan macam itu saya unduh dari sikap Musashi. Kira-kira di pengujung 2006, saya menyelesaikan novel Musashi. Saat itu juga saya merasa perlu mengikuti jejaknya: mendatangi beberapa pendekar dan menantangnya “berkelahi”.

Ya, di pengujung warsa ini, jumlah “kawan” dan “musuh” saya ternyata jumlahnya nyaris berimbang. Seseorang yang pernah menjadi kawan yang begitu akrab tiba-tiba menjelma menjadi sosok yang begitu berjarak, sejumlah nama yang tadinya begitu asing mak mbedundu bisa menjadi karib yang begitu intim atau seseorang yang tadinya aku panggil dengan begitu mesra mendadak menjadi pribadi yang tak mengenakkan untuk dikenang.

Blog ini membuat jumlah nama yang mesti kuingat kian bertambah. Relasi makin meluas. Pembacaku juga makin berlipat. Beberapa menghubungiku secara personal. Ada yang minta masukan soal tulisan-tulisannya, ada yang sekadar memuji, tak jarang ada yang memaki dan mencercaku sebagai pribadi yang keras kepala dan sombong gak ketulungan, tapi satu dua orang menghubungiku untuk menawari pekerjaan yang sayangnya belum bisa aku penuhi. Di ujung tahun ini pula aku ditawari sebuah situs berita untuk menjadi kolomnis tetap selama Piala Eropa berlangsung di bulan Juli besok; satu-satunya tawaran yang tak mungkin bisa aku tolak.

Jumlah hari di tahun 2007, tentu saja, sama jumlahnya dengan tahun-tahun yang lain. Tapi peristiwa demi peristiwa, keputusan demi keputusan serta tindakan demi tindakan yang kuambil membuat tahun ini rasanya memuai menjadi lebih panjang tapi sekaligus rasanya begitu padat.

Di tahun inilah saya berhasil menyelesaikan dilema soal studi yang beberapa tahun sebelumnya saya biarkan berlarut-larut. Di tahun ini pula aku berani bicara muka lawan muka dengan ibuku dalam status sebagai manusia yang punya hak dan kewajiban yang mandiri, dan bukan dalam status sebagai anak sulung dan anak lelaki satu-satunya.

Di tahun ini pula saya mencapai tingkat produktifitas menulis yang nyaris gila-gilaan. Hampir tiap hari saya menulis dan tak ada hari tanpa menulis: menulis untuk media massa, menulis untuk blog, menulis untuk pekerjaan, menulis bagian-bagian dari buku dan novelku sampai menulis untuk beberapa milis yang saya ikuti.

SJanuari 2007 hingga Desember 2007, saya sudah menulis sebanyak 395 naskah.

Tulisan-tulisan itu berbagai macam bentuknya: esai, resensi buku, puisi, cerpen, beberapa bagian novel dan buku, naskah skenario film dan naskah-naskah personal yang lebih banyak aku pajang di blog. Naskah terpanjang yang saya hasilkan adalah esai sepanjang 27.157 kata yang merupakan seperempat bagian dari buku yang sedang aku garap dengan mencicil.

Saya lebih sering menulis ketimbang berak dan makan, apalagi pacaran. Aktivitas menulis hanya dikalahkan oleh aktivitas merokok. Sehari saya menghisap rokok –minimal-- sebanyak 3 bungkus. Jadi, jumlah bungkus rokok yang kuhabiskan selama setahun hampir kira-kira mendekati angka 1000 bungkus. Jika satu bungkus di rata-rata seharga 7000 ribu rupiah (saya merokok A-Mild yang harganya di kisaran 8-9 ribu), berarti saya sudah membakar duit berjuta-juta. Anjrit!

Di tahun ini pula jumlah kota yang saya singgahi berlipat-lipat jumlahnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ada sekitar 27 kota yang saya singgahi. Saya mesti berganti sandal eiger sebanyak 4 kali dan jumlah ransel yang saya miliki pun bertambah menjadi empat biji.

Maka cukup pantas kiranya jika bagi saya tahun 2007 merupakan tahun tergila sekaligus tahun terhebat sepanjang saya hidup. Dan itu berlangsung persis pada saat saya menginjak usia yang ke-25 tahun. Usia saya sudah seperempat abad. Jika angka harapan hidup manusia Indonesia rata-rata mencapai 65 tahun, itu artinya sudah sepertiga masa hidup saya habiskan.

Jika ada yang perlu saya sesali di tahun 2007 ini adalah betapa minimnya waktu yang dihabiskan untuk membaca. Ya, saya jarang sekali membaca dengan ekstensif. Buku-buku yang dibaca lebih banyak digerakkan oleh kepentingan pragmatis: untuk menyelesaikan tulisan. Saya lebih sering membaca dengan teknik skimming di tahun 2007 ini. Mungkin jumlah buku yang dibaca dengan keakraban seperti bercakap-cakap dengan seorang karib atau seorang kekasih jumlahnya tak mencapai 20 biji.

Beberapa kali saya terantuk batu dan jatuh tersungkur oleh sejumlah sebab dan alasan. Tapi saya tak mau dan tak sudi jatuh tersungkur lama-lama. Cepat-cepatlah bangkit. Ayo kibas-kibaskan celana dan baju yang kotor oleh debu dan keringat, lalu kenakan ransel dan segeralah mulai perjalanan dan pertarungan berikutnya.

Saya tak tahu seperti apa hidup saya di tahun 2008. Di tengah kesehatan yang tak setangguh empat tahun sebelumnya, paru-paru yang makin boyak, berat badan yang hanya tersisa 55 kg, mata yang makin memerah karena jarang tidur, dan maag yang lumayan mengganggu, tahun 2008 pastilah akan menjadi tahun yang tak mudah.

Tapi itu semua mesti dihadapi dengan dada yang membusung. Hidup terlalu pendek untuk dirayakan dengan sentimentil apalagi dengan sikap pengecut. Dan, satu lagi, hidup terlalu penting untuk dijalani dengan mengikuti opini orang. Itu akan menjadi hidup yang meletihkan.

Ya, inilah saya di tahun 2007. Kita lihat, apa saya masih bisa berkarya hingga Desember tahun berikutnya. Kau, jika mau, bisa menjadi saksinya.

Selamat Tahun Baru 2008!

Selengkapnya......

Selasa, Desember 25, 2007

Asmaradana



"Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu.

Bulanpun lamban dalam angin, abai dalam waktu

Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku,
Kulupakan wajahmu."



Seorang Ibu melepas anak lelakinya yang hendak membalaskan kesumat keluarga. Ibu itu tahu anaknya akan gagal. Ia juga tahu tak akan pernah melihat anaknya lagi. Mereka bertemu terakhir kali di beranda. Anak lelaki tadi mencium lutut ibunya. Sang Ibu hanya mengelus-elus rambut anaknya yang bersimpuh sembari menahan sedu yang ditahan.

Perjumpaan sepasang ibu dan anak itu digelar tanpa kata-kata. Semuanya dirayakan dalam diam; melalui gerak yang intens dan begitu lambat –dan karenanya terasa menyiksa.

Saya menyaksikan adegan yang menakjubkan itu pada dini hari menjelang subuh yang sepi melalui sebuah layar TV raksasa. Di luar angin begitu berisik dan hujan masih belum bosan membasahi tanah Jakarta yang belakangan serasa makin gembur.

Saya lalu berpindah ke ruangan depan. Di hadapan saya terbentang kaca yang lebar juga bening. Dari sana saya bisa melihat jalanan di bawah yang becek, pohon-pohon yang basah, rel kereta api dan pucuk Istiqlal yang sedang bersiap mengalunkan adzan. Rumput-rumput di tepi Ciliwung yang berjarak sepelemparan tombak terlihat membasah. Saya tak melihat ada satu pun jejak kaki di sana.

Saya duduk sendiri pagi itu. Tanpa sepeser pun uang di saku, apa boleh buat, saya mesti menikmati momen yang begini intim tanpa kretek dan kopi. Tapi, barangkali, karena itulah justru saya bisa menikmati fantasi yang ditularkan adegan yang baru saya saksikan. Adakah yang lebih "menyenangkan" selain menyadari betapa kita begitu melarat justru di pengujung Desember, sewaktu orang-orang sedang sibuk menyiapkan pesta dan perjalanan?

[Aha, saya jadi ingat sajak Sapardi yang berjudul "Sajak Desember": kutanggalkan mantel serta topiku yang tua/ketika daun penanggalan gugur/lewat tengah malam. kemudian kuhitung/hutang-hutangku pada-Mu/mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;/di luar hujan pun masih kudengar/dari celah-celah jendela. ada yang terbaring/di kursi letih sekali/masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan selembar baju/ketika kusebut berulang nama-Mu; taram/temaram bayang, bianglala itu]

Lalu saya bertanya pada diri sendiri: Apa yang akan saya lakukan jika berhadapan untuk terakhir kalinya dengan orang yang saya tahu ia akan menemui kematiannya? Atau, jika diperbolehkan, saya bertanya pada Anda: Apa yang akan Anda lakukan jika mesti menghadapi momen yang menggiriskan macam demikian?

Sejujurnya saya tak bisa menjawab, mungkin lebih tepat tak sanggup. Bagaimana bisa kita menghadapi momen macam itu? Jika pun bisa, lebih karena kita tak punya pilihan lain, momen itu pastilah akan dihadapi dengan cara yang minim kata-kata.

Saya pernah membaca prosa menggetarkan yang becerita tentang pertemuan terakhir sepasang kekasih: Buah Delima karya Yasunari Kawabata!

Pemuda benama Keikichi datang ke rumah kekasihnya, Kimiko, sebelum pergi ke medan perang. Keduanya seperti paham bahwa ada kemungkinan pertemuan itu akan menjadi pertemuan yang terakhir. Pertemuan ini digelar pada pukul 10 pagi.

Apa yang dilakukan Kimiko? Dia menyerahkan sebiji buah delima pada kekasihnya. Apakah Kekichi memakannya? Saya kutipkan langsung dari hasil terjemahan Sapard Djoko Damono:

“Jelas bahwa pemuda itu (Kekichi) menjatuhkannya ketika sesuatu yang terasa hangat menyusup di matanya dan waktu itu ia sudah mulai membelahnya. Ia belum sampai membelahnya menjadi dua. Delima itu tergeletak dengan biji-bijinya di atas.

Ibunya membawanya ke dapur dan mencucinya, dan memberikannya kepada Kimiko. Kimiko merengut tidak mau menerimanya, dan kemudian, sekali lagi wajahnya memerah, menerima buah itu dengan pikiran yang agak kalut.

Keikichi seolah telah mengambil beberapa biji di bagian pinggir buah itu.

Dengan kehadiran ibunya di depannya, terasa aneh bagi Kimiko untuk tidak memakannya. Ia menggigit buah itu dengan acuh tak acuh. Mulutnya terasa pahit. Ia mencecap semacam kebahagiaan yang memilukan, seolah-olah merasuk jauh ke dalam dirinya.

Sendirian dengan kebahagiaan tersembunyi, Kimiko merasa malu di hadapan ibunya. Ia berpikir bahwa peristiwa tadi merupakan salam pisah yang lebih baik dari yang bisa dibayangkan Keikichi, dan bahwa ia bisa menanti pemuda itu sampai kapan pun ia kembali.

Ia memandang ke arah ibunya. Matahari mencapai pintu kertas yang agak jauh dari tempatnya duduk di depan kaca. Gadis itu agak takut-takut menggigit delima yang ada di pangkuannya.”


Saya sudah membaca prosa itu berkali-kali dan selalu saja saya merasa ada yang mengharukan di sana; sebentuk keharuan yang rasanya begitu murni, kendati –tentu saja-- saya terlalu sombong untuk bahkan sekadar berkaca-kaca. Hingga saat ini, saya selalu merasa, tak ada prosa yang mampu menandingi karya Kawabata itu dalam hal memerikan situasi pertemuan pamungkas yang tak akan mungkin tergelar lagi.

Saya pernah begitu naifnya membacakan prosa itu ketika bertemu untuk terakhir kalinya dengan seorang perempuan, di ujung Desember 2002. Tentu saja dia menangis. Dia pernah mengirim kartu pos dan bilang bahwa ia tak bisa memaafkan saya karena ia menganggap saya telah mengeksploitasi perpisahan yang tak diharapkan itu.

Saya melakukan itu lebih karena saya tak tahu hendak berkata apa. Saya ingin membelikannya syal. Tapi karena saya begitu melarat ketika itu, saya hanya bisa membacakan prosa tersebut dan lantas menyerahkan buku yang memuat prosa Kawabata tadi.

[Saya tak tahu ada di mana dan seperti apa kabarnya sekarang dan apakah dia masih mengenang adegan menjengkelkan itu atau tidak.]

Ada juga kisah cinta Damarwulan dan Anjasmara. Damarwulan mendapatkan Anjasmara dengan susah payah. Saya pernah menyaksikan film lama tentang kisah ini. Tetapi film itu, tentu saja, berakhir bahagia. Padahal, dalam versi yang lain, seperti dalam salah satu pupuh Asmaradana, kisah keduanya juga berakhir dengan dramatis. Dikisahkan, Damarwulan menggelar pertemuan dengan Anjasmara beberapa saat sebelum Damarwulan pergi ke medan peperangan. Keduanya tahu bahwa pertempuran itu tak akan pernah dimenangkan. Apa yang dilakukan keduanya di pertemuan terakhir?

Sayang sekali saya belum pernah membaca langsung pupuh Asmaradana yang mengisahkan pertemuan terakhir keduanya. Tapi saya pernah membaca sajak Goenawan Mohamad yang mengisahkan kembali pertemuan terakhir dua orang itu. Saya sangat suka sajak ini dan itulah satu-satunya sajak Goenawan Mohamad yang saya hapal di luar kepala dari awal hingga akhir.

Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat
peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila
esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke
utara, ia tak akan lagi mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu.
Bulanpun lamban dalam angin, abai dalam waktu
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
Kulupakan wajahmu.


Bagi saya, tak ada sajak dalam bahasa Indonesia yang mampu menandingi sajak Goenawan yang satu ini dalam hal memerikan momen pertemuan terakhir yang akan diakhiri oleh kematian; ini momen yang berat dan menggetarkan, saat di mana kehadiran dan kefanaan begitu tipis selisihnya.

Saya kadang bosan dengan beberapa sajak Goenawan yang selalu kebak dengan pemerian suasana. Tapi memang tak ada kesempatan untuk berpikir seandainya menghadapi momen penuh maut seperti yang dihadapi ibu-anak dalam film yang kusaksikan atau Kekichi-Kimiko atau Damarwulan-Anjasmara. Momen-momen seperti itu memang sudah menjadi jatahnya otak kanan, bukan otak kiri.

Saya pernah membacakan sajak Goenawan ini untuk seseorang ketika sedang keluyuran di tepi Sungai Kapuas di belantara Kalimantan. Dari pulau yang berbeda saya membacakannya dengan bantuan nokia butut yang hingga kini masih saya panggul ke mana-mana. Saya tak tahu ia masih mengingatnya atau tidak.

Ya, dari Desember hingga Desember lagi. Kadang saya merasa, sejarah selalu berulang. Histoire se repete.

Selamat Natal. Damai di hati. Damai di bumi!

--------

Pada hari idul adha kemarin, saya tersenyum dengan lepas, --ya, benar-benar senyum dengan lepas—ketika seorang teman dari Jogja mengirimiku sms yang berbunyi: “Zen, ajari saya menikmati hari raya korban saat saya sendiri adalah korban sejarah!”

Saya menjawab smsnya dg ringkas: "Hahahaha...." (Itu jawaban terbaik yang bisa saya berikan!)

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 22, 2007

Pulang Pisau

“Begini saja, aku akan membuatkan
sebuah peta menuju hatiku. Setuju?” katamu


Di sini hanya ada jeda
sungai yang coklat
dan sebungkus tusuk gigi
yang kau kirim lewat truk-truk pengangkut batubara

Apa yang ingin kau cungkil dariku, adikku?

Tak ada lagi sisa
bahkan sebutir slilit di gerahamku yang rompal
oleh gigil yang menahun

Tapi kau tak habisnya mengulitiku
kali ini dengan sepucuk pisau tanpa gagang
yang kau kirim, juga, lewat truk pengangkut batubara

Apa lagi yang ingin kau sayat dariku, adikku?

Bahkan kangen yang tawar ini
ingin kau renggut juga?

[pulangpisau, kal-teng, 9/7/07]

Selengkapnya......

Selasa, Desember 18, 2007

Maaf, Aku Lupa Kematianmu

Maaf, saya melupakanmu. Saya bahkan lupa kemarin adalah hari kematianmu.

Pagi ini aku terbangun dengan hati yang tak begitu baik. Masih tersisa sejumput rasa enek di dada sebelah kiri. Bengong selama setengah jam setelah terbangun menjadi makanan biasa dalam situasi macam begini.

Lalu aku melihat kalender. 18 Desember. Dan… astaga, tanggal 17 Desember. Ya, 17 Desember. Masya Allah, aku baru ingat. Maafkan. Maafkan saya. Segera aku duduk. Menyandar di tembok. Aku baca 3 kali berturut-turut surat al-Fatihah. Aku kirimkan bacaan suci itu ke alamatmu di swargaloka.

Aku mengenalmu pertama kali dari buku milik pamanku yang bersekolah di Jogja. Kalau tak salah sewaktu aku duduk di kelas 2 SMA. Lalu aku makin mengenalmu dari tulisan Sayyed Hossein Nasr, Anne Marie Schimmel dan –terutama—William Chittik. Setahun lalu aku selesai membaca karyamu yang paling monumental yang diterbitkan oleh Bentang.

Di sekitar tahun 2000-an, sewaktu aku mencecap seperti apa rasanya menjadi mahasiswa, namamu begitu terkenal. Salah satu forum diskusi yang pernah kuikuti di akhir 1999 pernah membahasmu. Seorang senior saya membacakan salah satu syairmu. Namamu menjadi bagian dari gaya hidup spiritual banyak mahasiswa di Jogja, sama seperti yang terjadi di Barat. Pada 1997, kau pernah ditahbiskan sebagai panyair paling cemerlang oleh sebuah tabloid berhaluan Kristen.

Kamu lah yang membuatku mencari, membeli, mengumpulkan, dan membaca buku-buku sufi. Mungkin ada sekira 60-an buku tentang sufi yang kumiliki berkat perkenalanku denganmu. Dari situlah saya pernah beberapa kali menulis tentang sufisme. Salah satunya diterbitkan dalam sebuah antologi buku.

Tapi, kalau dipikir-pikir, sungguh tepat waktunya perayaan hari kematianmu hampir berhimpitan harinya dengan beberapa situasi tak mengenakkan yang kualami.

Malam Minggu kemarin, di sebuah kafe yang sepi dengan gerimis yang rapat di luar, aku masih mengingatmu. Di sana aku baru saja menemukan kehilangan; sesuatu yang bukan sekali dua aku alami setelah bepergian meninggalkan Jogja dalam waktu yang cukup lama. Ya, perjalanan dan kehilangan itu seperti sepasang kekasih yang selalu bergandengan tangan. Dan itu sudah cukup untuk menautkanku denganmu. Mengingatmu lagi. Dan mengucapkan dalam hati salah satu baitmu yang paling kuingat.

Cinta, katamu, bukan semata kesenangan belaka. Ia pada mulanya sesuatu yang menyiksa dan menyakitkan. Ia adalah api yang membakar semua ilusi, termasuk ilusi ihwal jati diri, identitas dan semacamnya. Aku tak akan lupa ajaranmu ini. Satu waktu aku pernah menemani seorang kawan yang sedang jatuh dengan mewedarkan ajaranmu, seperti malam kemarin aku mendaraskan ajaranmu kembali untuk diriku sendiri.

Maaf, maafkan aku melupakan hari kematianmu yang ke-800, sesuatu yang sungguh aku tak mengerti kenapa bisa begitu. Nanti malam, aku berjanji, akan mengaji al-Matsnawi, kitabmu yang paling termasyhur.

Maafkan aku, ya... Rumi.

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 15, 2007

Fiksi Para Pejalan

Seorang pejalan – sepintas lalu sepertinya -- sering “meninggalkan”: rumah, keluarga, pekerjaan, masa lalu atau kekasih. Tapi, semua pejalan tahu bahwa pada momen-momen yang krusial, para pejalan yang justru sering “ditinggalkan”.

Seorang lelaki tua pengayuh perahu dalam cerita Herman Hesse, Sidharta, pernah bicara tentang “melepas”. Makin banyak yang ditinggalkan oleh seorang pejalan, sebanyak itu pula seorang pejalan mesti siap ditinggalkan. Penting, kata lelaki tua itu, untuk “melepas” semua yang dimiliki jika ingin berjalan dengan tanpa beban.

Itulah sebabnya tak semua orang bisa jadi pejalan. Terlalu berat melepas semua yang dimiliki. Ada semacam fiksi – mungkin lebih pas disebut harapan – bahwa satu hari ketika seorang pejalan kembali, ada sejumlah hal yang menunggunya, apakah itu rumah, keluarga, kenangan atau kekasih.

Padahal, apa yang semula dibayangkan sebagai orang atau benda yang akan menyambut kedatangan seorang pejalan, pada saat yang sama berpeluang untuk menyuguhi seorang pejalan pengalaman yang tak mengenakkan.

Bukankah tak menyenangkan rumah yang kita anggap akan menunggu kedatangan kita ternyata pintunya sudah tertutup? Bukankah menyesakkan kekasih yang kita anggap akan menunggu kepulangan kita ternyata tak memiliki cukup tenaga merentangkan kedua tangan untuk memeluk badan kita yang bau oleh keringat perjalanan?

Bukan sekali dua saya mengalami yang seperti itu. Dan itulah sebabnya saya bisa bicara seperti ini.

Tidak mudah memang jatuh cinta dan menyerahkan sebagian hati pada seorang pejalan yang bisa pergi dan keluyuran ke mana pun ia mau, seringkali tiba-tiba dan mendadak dan tanpa pamit. Dalam situasi seperti itu, terlalu susah bagi seorang pejalan untuk menyempurnakan janji pada kekasihnya, terlalu sukar bagi seorang pejalan untuk menuntaskan rencana bersama dengan kekasihnya.

Perpisahan hanya tinggal menunggu waktu, kadang perpisahan bahkan tak bisa menunggu sampai seorang pejalan benar-benar sudah kembali pulang.

Dalam situasi seperti ini, saya baru bisa menjawab pertanyaan seorang penyair, Ira Komang. Tiga bulan silam, sewaktu sedang keluyuran di belantara Kalimantan (Banjarmasin, Martapura, Banjar, Barito Utara, Kuala Kapuas, Pulang Pisau, Anjir Separat, Palangkaraya, Tamianglayang, Buntok, Muarateweh terus memotong Kalimantan Tengah hingga di Pangkalan Bun), dia mengirimiku sms: “Zen, kamu lebih suka berjalan pergi atau berjalan pulang?”

Setelah melakukan belasan perjalanan, terakhir menelusuri Bali dan kembali lewat jalan darat untuk singgah di sejumlah kota, dari Jembrana, Negare, Banyuwangi, Situbondo, Malang, Surabaya hingga Solo, saya sekarang dengan mudah bisa menjawab pertanyaan itu: “Ira, saya lebih suka berjalan pergi ketimbang berjalan pulang!”

Saya harus membereskan sejumlah hal lebih dulu sebelum menggelar beberapa perjalanan penting tahun depan.

Februari atau April saya ingin menelusuri Pulau Sumba, menetap beberapa minggu di Waingapu dan Waikabubak, untuk menyaksikan upacara pasolla dan memerhatikan dari dekat ritus-ritus penuh magis “agama” Marapu. Tahun depan juga, jika berkesempatan dalam soal pendanaan, saya ingin pergi ke Lassa, kota tertinggi di Pegunungan Himalaya, tinggal beberapa waktu di sana, memelajari upacara-upacara dan mungkin menikmati sensasi menghisap hasis di tengah dingin yang mencucuk. Beberapa perjalanan kecil ke kota-kota di Jawa yang belum kudatangi juga aku rencanakan. Bangka dan Belitung sepertinya juga menarik untuk didatangi.

Saya harus membereskan sejumlah hal, mencoba melepas sejumlah hal, agar tak terlalu banyak dibayangi oleh fiksi tentang “meninggalkan” dan “ditinggalkan”, baik oleh sesuatu yang konkrit maupun yang abstrak. Saya mesti merumuskan kembali apa yang dinamakan “kepemilikan” untuk bisa menyelesaikan dilema yang pernah diajukan dengan begitu baik oleh Erich Fromm: “memiliki” (to have) atau “menjadi” (to be).

Saya sudah membereskan soal perkuliahan. Sudah membereskan persoalan rumah di Jogja yang tak terurus karena terlalu sering ditinggalkan. Sudah membagi buku-buku kepada beberapa orang, beberapa teman, beberapa bekas dosen, dan sejumlah mantan pacar. Saya hanya tinggal memutuskan kepada siapa saya menitipkan buku-buku terpenting saya di Jogja.

Saya juga memilih jalan vegetarian untuk menstabilkan banyak hal: sikap tergesa, kemrungsung, belajar melepaskan ambisi, serta emosi yang fluktuatif. Karakter-karakter macam itu seringkali menyulitkan saya sewaktu sedang berada di perjalanan.

Dan yang terpenting, tiap kali sebelum pergi berjalan, saya mesti memastikan lebih dulu tak akan ada yang “merengek” bertanya: “Mas, kapan pulang?”

Itu pertanyaan yang paling mengganggu.

Selengkapnya......

Rabu, Desember 12, 2007

Di Bali....

Pada temaram senja yang gerimis itu saya duduk di hadapan patung Wisnu yang gigantik. Di hadapan saya, duduk bersila 50-an umat dari 3 “agama” yang sedang bertafakkur dalam diam.

Saya merasakan sensasi dari rasa magis yang menguar dari bau kemenyan yang terbakar, hawa panas dari api yang dinyalakan, bunyi canang yang dipukul, nada indah dari dawai kecapi yang dipetik dan alunan seruling yang ditiup sayup-sayup.

Kota Denpasar yang gemerlap dan laut yang biru serta Airport yang sibuk terlihat dengan jelas. Pesawat-pesawat yang datang dan pergi dalam gelap makin menyempurnakan suasana menjadi lebih menggetarkan.

Dari arah selatan, dari balik punggung patung Wisnu yang gagah itu, tampak bukit-bukit cadas yang dipapras dan ditatah. Di beberapa bagian, tercetak relief-relief gigantik yang –kendati masih baru tapi terasa—demikian tua dan purba.

Satu jam sebelumnya, di ruang pameran yang terletak di bawah Patung Wisnu, saya menyaksikan karya instalasi Nyoman Erawan yang menggetarkan.

Dia mengeksplorasi gong dengan original. Bagian tengah gong itu dia bor. Dari bagian yang dibor itu, ia memasang tiang kecil yang menyangga sebuah ranting pohon yang kering dan meranggas. Ujung lain ranting itu ditopang oleh benda semacam gir yang bergerigi yang mengelilingi garis terluar gong tersebut. Dengan tuas di tengah dan gir di pinggir itulah ranting kayu itu diputar secara konstan mengelilingi gong tersebut. Yang menarik, gir yang berputar mengelilingi gong itu menghasilkan bunyi-bunyian yang berbeda: gemuruh yang menakutkan, suara mengerik yang membikin ngilu, suara tabuhan gong yang kadang terasa mengejutkan dan juga suara yang tanpa bunyi, hening, sunyi.

Menyaksikan karya instalasi itu, berikut bunyi-bunyian yang dihasilkannya, membuat saya merasa berada dalam situasi “hitung mundur”, countdown. Ranting kering yang meranggas itu, serta bunyo-bunyian yang mengantarkan pada sekian imajinasi yang berbeda, membawa saya pada suasana hitung mundur menuju momen yang menghancurkan, semacam kiamat barangkali, saat di mana bumi –“gaia”, sebut James Lovelock-- sudah tak mampu lagi menopang kehidupan dan kerakusan umat manusia yang menumpang pada dirinya.

Di situ saya sadar bahwa manusia –bisa jadi—adalah satu-satunya spesies yang bisa menghancurkan proses evolusi dirinya sendiri.

Itulah sebabnya kawasan yang saya datangi ini dinamai Garuda Wisnu Kencana. Wisnu, kita tahu, adalah satu dari tiga sosok trimurti yang berperan sebagai pemelihara semesta.

Di tempat yang sama pula, Nyoman Erawan dan 30-an seniman dari pelbagai daerah memamerkan karya-karya mereka yang bertemakan “Ibumi”: Ibu Bumi atau I (Saya) dan Bumi. Kantor tempat saya bekerja, bekerja sama dengan beberapa pihak lain, menggelar pameran ini sengaja bersamaan dengan Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim.

Dan di hadapan patung Wisnu yang belum sepenuhnya rampung itu, umat dari 3 “agama” menggelar upacara bersama yang bertajuk Climate, Peace and Meditation. Perubahan iklim, perdamaian dan meditasi secara jenial dipadu-padankan sedemikian rupa.

Yang paling mengharukan dari upacara ini adalah bagaimana tiga umat yang –kendati punya sejumlah kesamaan—memiliki sekian perbedaan itu bisa sama-sama khidmat dan takzim sepanjang upacara.

Saya tiba di lokasi upacara sewaktu umat Hindu masih menggelar upacaranya sendiri. Setengah jam kemudian, satu per satu muncul orang-orang berpakaian serba hitam dengan ikat kepala bercorak batik. Ini menjadi kontras yang mengejutkan karena umat Hindu kebanyakan menggunakan pakaian serba putih dan ikat kepala putih. Dari warna dan corak pakaian serta bahasa yang mereka pergunakan, saya langsung menebak mereka adalah para penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, agama “asli” orang-orang Sunda yang dalam kategori pemerintah dan perundang-undangan “hanya” diberi status sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Sementara di bagian selatan, sudah duduk bersila sekitar lima orang lelaki yang mengenakan celana komprang hitam dan bertelanjang dada. Di pinggang mereka terselip sebilah senjata pendek bersarung. Rambut mereka panjang dan gimbal. Mereka inilah yang dikenal sebagai Dayak Indramayu (komunitas "Bumi Segandu" dari Losarang): komunitas kecil yang sebulan lalu baru saja dikenai fatwa sesat oleh MUI.

Dalam doktrin agama yang saya peluk, mereka semua adalah para pemeluk agama “ardhi”, agama bumi, bukan agama “samawi”, atau agama “langit”. Mereka inilah, orang-orang yang begitu tenang dan khidmat itu, yang disebut sebagai “orang kafir”, para penghayat bid’ah dan khurafat. MUI menyebut salah satu dari mereka sebagai “sesat”. Dalam sejarah Eropa, para penganut agama bumi ini pernah menjadi musuh berat gereja. Orang-orang Sunda Wiwitan dan Dayak Indramayu ini dalam sejarah Eropa mungkin yang disebut sebagai “penganut Pagan”.

Mereka langsung duduk di bagian tengah ruangan, persis di hadapan Patung Wisnu. Mereka langsung melibatkan dan terlibat dalam upacara yang dipimpin oleh Pedanda dari umat Hindu. Di tengah-tengah mereka dinyalakan api.

Upacara berlangsung dengan khidmat. Pedande yang tinggi, putih dan berjanggut panjang memimpin doa-doa yang sepenuhnya tak saya mengerti. Orang-orang Sunda Wiwitan dan Dayak Indramayu bisa langsung masuk begitu saja ke dalam upacara tanpa banyak kata-kata. Mereka begitu mengkhidmati upacara yang dipimpin pedanda Hindu, seakan di antara mereka tak ada perbedaan tata ritual sedikit pun.

Pedanda Hindu kadang memukulkan canang yang diikuti oleh tiupan yang melahirkan suara sengkakala yang melengking, mirip tanda dimulainya perang seperti yang sering saya saksikan sewaktu kecil dari film Mahabharata. Di sela-sela bunyi-bunyian Hindu itu, muncul suara seruling dan kecapi yang mengingatkan saya pada masa kecil di kaki gunung Ciremai, alunan khas Priangan.

Situasi terasa begitu meditatif. Kedirian dan identitas kolektif masing-masing seperti dilepaskan. Semua peserta upacara –dan saya sendiri—mencoba memasuki satu ruang yang nir-batas, tanpa sekat, satu ruang bersama (imaginative space, istilah Marshal G Hodgson yang sudah saya “plesetkan”) di mana perbedaan dirayakan justru dengan cara mencari titik-titik pertemuan.

Saya begitu menikmai situasi lintas batas ini dengan perasaan yang penuh. Dalam beberapa waktu saya mencoba melampui segala macam kategorisasi, samawi-ardhi, sesat-tidak sesat, dan ketegori-kategori ciptaan lain yang menyekat-nyekat. Mungkin inilah yang oleh antropolog Arnold van-Gennep maksudkan sebagai situasi liminal.

Hikmah terpenting dari semua yang saya saksikan selama beberapa jam ini adalah bahwa ikhtiar untuk memperbaiki kualitas lingkungan hanya bisa dilakukan sepanjang semua umat manusia bisa melepaskan identitas masing-masing, egoisme sektoral, kalkulasi untung rugi diri sendiri.

Inilah yang belum, misalnya, dimiliki oleh Amerika Serikat yang masih menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Mereka masih berhitung bahwa ratifikasi Protokol Kyoto dan konsensus yang mengikat untuk menekan emisi karbon pastilah akan memukul perekonomian dan pilar-pilar industri mereka. Begitu juga dengan Kanada dan Jepang yang menolak konsensus yang mengikat ihwal pengurangan emisi karbon.

Negara berkembang mendesak negara maju, sementara negara maju menuntut upaya itu juga mesti menjadi tanggungjawab negara berkembang. Kategori dan kalkulasi lagi-lagi muncul dan menjadi jurang yang membuat konsensus yang lebih bertenaga sukar untuk dicapai.

Tanpa menyadari arti penting situasi liminal yang melampaui sekat dan batas pelbagai kategori dan kalkulasi, ikhtiar untuk menyelamatkan dan memerbaiki kualitas bumi sepertinya masih akan menemui aral yang tak sepele.

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 08, 2007

Tiga Requiem pada Satu Hari

Pada 7 Desember 1918, Raden Mas Tirtoadisoerjo wafat. Jenazahnya diantar ke pemakaman di Mangga Dua oleh --hanya-- 7 orang saja. Hanya dua surat kabar yang memberitakan kematiannya, itu pun selang 5 hari setelah kematiannya.

Saya (mencoba) mengenalnya dan saya juga coba mengenalkannya pada sebanyak mungkin orang dengan cara yang saya mampu, ikhtiar yang pernah dengan begitu dahsyat dilakukan oleh Pramoedya.

Saya --bersama belasan teman-- menempatkannya sebagai patok sejarah (pers) Indonesia.

Kemarin, pada 7 Desember 2007, kami mengadakan pameran "Seabad Pers Kebangsaan" di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, tempat di mana Soekarno membacakan pledoinya yang terkenal, Indonesia Menggugat, sewaktu diadili oleh pengadilan kolonial pada 1930. Kebetulan kemarin itu persis pada hari Jumat, hari di mana mingguan Medan Prijaji biasa terbit dan menyapa para pembacanya.

Salah seorang cicit Mas Tirto, Dewi Yull, juga hadir mewakili keluarga besar keturunan Mas Tirtoadisoerjo.

Orang boleh tak sepakat dengan ini. Tapi, bagi kami, jika orang yang meyakini Titro sebagai patok sejarah pers kebangsaan jumlahnya lebih banyak dari 7 orang yang mengantarkannya ke liang lahat, kami anggap kerja kami sudah berhasil.

Ya, hanya itu. Sesederhana itu.

[Jika tak ada hal yang darurat, kami akan menerbitkan karya lengkap Raden Mas Tirtoadisoerjo dalam sebuah buku utuh yang kami perkirakan bisa mencapai 800 halaman lebih. Tulisan-tulisan itu meliputi karya fiksi, berita hingga karangan-karangan Mas Tirto lainnya yang menyentuh beragam tema: sebagian terbesar soal pemerintahan, soal kesehatan, soal fashion, soal organisasi, soal dunia perempuan, dll. Inilah salah satu cara kami menghargai pribadi besar ini]

******

Pada 7 Desember 2007, Profesor Sartono Kartodirdjo, empu studi sejarah Indonesia, juga meninggal pada usianya yang ke-86 tahun.

Dia orang hebat. Dialah penubuh studi sejarah Indonesia dengan pendekatan multidisipliner, yang mengenalkan bagaimana teori-teori ilmu sosial yang beragam itu digunakan untuk mengkaji sebuah peristiwa sejarah. Disertasinya yang lantas diterbitkan menjadi buku Pemberontakan Petani Banten, menjadi salah satu buku klasik yang nyaris dibaca oleh semua mahasiswa sejarah Indonesia. Buku itu juga selalu direkomendasikan bagi siapa pun yang ingin mendalami subjek petani dalam studi sejarah di mana pun.

Saya tak akan pernah lupa kata-katanya tentang betapa intelektual itu tidak boleh seperti pohon pisang yang hanya berbuah sekali, kemudian ditebang, dan setelah itu mati. Intelektual mesti terus berkarya dan berkarya. Jangan pernah seperti pohon pisang.

Saya akan mengingatnya, Empu. Sebisanya, tentu saja. Bukumu, Pemberontakan Petani Banten, selalu saya tempatkan di bagian paling atas rak buku saya.

[Untuk mengenang kepergian Empu Sartono, saya cantumkan satu naskah saya yang mengulas karya terakhir Prof. Sartono yang saya miliki. Naskah itu bisa dibaca pada bagian paling akhir dari postingan ini]

******

Pada 7 Desember 2007, Profesor Fuad Hasan juga wafat pada usia ke-78 tahun. Saya memiliki beberapa bukunya. Tapi, hanya satu yang saya letakkan di bagian atas rak buku saya: "Apologia". Buku ini tak pernah bosan saya baca. Kalau tak salah ingat, saya sudah membacanya 4 kali.

Buku ini merupakan saduran dari 3 naskah pidato Socrates sewaktu diadili di Athena. Satu naskah pembelaan atas tuntutan (duplik), satu naskah pidato tanggapan penuntut yang menanggapi dupliknya (replik), dan terakhir naskah pidato perpisahan Socrates sebelum dieksekusi mati.

Naskah Apologia itu disadur dengan bahasa yang indah oleh Prof. Fuad Hasan. Naskah itu bisa menunjukkan pada kita salah satu teknik menghancurkan fondasi arguman orang lain sewaktu sedang berdebat. Tetapi jauh di atas semua itu, naskah Apologia menunjukkan bahwa bagi Socrates politik bukanlah "seni mencapai tujuan" (seperti kata Bismarck), tetapi lebih merupakan "seni memertahankan prinsip" (art of principle).

Hatta menyebut etika itu sebagai "Etik Socratik" dalam bukunya yang terkenal, Alam Pikiran Yunani.

[Untuk mengenang Prof. Fuad Hasan, saya postingkan juga catatan saya mengenai naskah Apologia yang disadur oleh Prof. Fuad Hasan. Catatan itu saya lampirkan di bagian paling bawah postingan saya ini, setelah review atas buku Prof. Sartono artodirdjo]

*****

Tiga requiem pada satu hari. Adieu, Prof Sartono. Adieu, Prof. Fuad Hasan. Damailah kalian Di Sana. Sampaikan salam saya pada Mas Tirtoadisoerjo.

---------------------------------------------

Judul Buku : Sejak Indische sampai Indonesia
Penulis : Sartono Kartodirjo
Pengantar : Taufik Abdullah
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Cetakan : I, Desember 2005
Tebal : xxiv + 316

“MESU BUDI” SEORANG GURU BESAR

Taufik Abdullah mengakhiri pengantarnya untuk buku ini dengan sebuah pertanyaan retoris: “Mestikah diherankan kalau sampai kinipun Prof Sartono tetap dianggap ‘guru’ oleh sebagian besar sejarawan Indonesia, walaupun mungkin mereka sama sekali tak sempat belajar di bawah bimbingannya?”

Siapa pun yang mengikuti perkembangan ilmu sejarah di Indonesia kemungkinan tak akan menganggap Taufik Abdullah berlebihan. Sartono Kartodirdjo memang seorang guru besar dalam pengertiannya yang paling lengkap, baik guru besar dalam arti sebagai jenjang akademik tertinggi yang bisa dicapai seorang akdemisi (profesor/mahaguru) maupun guru besar dalam arti sebagai seorang guru atau pendidik yang memang besar.

Sebagai seorang mahaguru bidang sejarah, Sartono memang pilih tanding. Seberapa mumpuni seorang Sartono sebagai sejarawan bisa dilacak dari (setidaknya) dua hal sekaligus: (1) dari karya-karya yang ia hasilkan dan (2) dari (sebut saja) mazhab sejarah yang ia dirikan yang dikemudian hari demikian memengaruhi perkembangan ilmu sejarah di Indonesia.

Sebagai seorang sejarawan Sartono telah menghasilkan ratusan karya tulis, dari yang berbentuk kertas kerja, keta pengantar buku, makalah, bunga rampai, karya/buku utuh, karya terjemahan hingga sejumlah buku yang disuntingnya. Beberapa karyanya bahkan menjadi bacaan utama yang tak mungkin dilewatkan oleh mahasiswa sejarah di Indonesia.

Salah satu karyanya yang menjadi legenda adalah Pemberontakan Petani Banten 1888 (1996). Karya utama Sartono ini penting bukan hanya karena secara akademis buku ini memang berkualitas (Prof Benjamin White bahkan menyebut siapa pun yang ingin memelajari sejarah petani mesti membaca buku tersebut) melainkan karena buku ini juga telah memberi corak tersendiri dalam perkembangan ilmu sejarah di Indonesia.

Di bawah bimbingan Prof William Frederik Wertheim, Sartono menyusun karya itu dengan menggunakan kerangka sejarah multi-dimensional. Dengan pendekatan itu, Sartono menempatkan peristiwa sejarah dalam sifatnya yang multi-dimensional dalam arti peristiwa-peristiwa sejarah itu dijelaskan sebagai hasil/akibat dari saling-pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, agama dan lain-lain. Untuk bisa mendapatkan penjelasan sejarah yang multi-dimensional, Sartono tentu saja menggunakan teori-teori dari pelbagai disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu. Itulah sebabnya pendekatan Sartono ini disebut juga pendekatan ilmu-ilmu sosial.

Apa yang dilakukan Sartono dalam menyusun disertasinya itulah yang kemudian banyak disebut sebagai “mazhab Sartono”. Sebutan itu muncul karena pendekatan ilmu-ilmu sosial yang dipergunakan Sartono untuk menyusun disertasinya itu selanjutnya sangat memengaruhi ilmu sejarah di Indonesia, tidak hanya di tahun-tahun ketika disertasi itu terbit, melainkan hingga kini masih menjadi tren yang banyak diikuti dan terus diajarkan semua jurusan sejarah di Indonesia.

Sebagai seorang yang terdidik dan akrab dengan teori-teori sosial dari pelbagai disiplin ilmu, tidak mengherankan jika, misalnya, Sartono bisa demikian memikat menulis tentang Perhimpunan Indonesia (PI) dan manifesto politik yang dicetuskan PI (hal. 3-11). Dalam telaah Sartono, tentu saja dengan meminjam perspektif ilmu politik untuk memahami konstelasi politik Hindia Belanda, manifesto politik PI tidak hanya jauh lebih visioner ketimbang pernyataan Sumpah Pemuda melainkan juga lebih konkrit dalam hal pembayangan tentang akan seperti apa dan akan jadi apa Hindia Belanda yang merdeka itu kelak.

Tidak mengherankan pula jika Sartono, tentu saja dengan pemahaman yang cukup tentang administrasi negara dan pemerintahan, bisa menguraikan bagaimana proses pembusukan birokrasi kolonial Hindia Belanda berlangsung dan dengan cara apa korupsi ikut andil dalam proses pembusukan birokrasi kolonial yang disebutnya sebagai otokrasi itu (hal. 164-171).

Jangan terkejut juga jika Sartono bisa dengan lugasnya memaparkan bagaimana dan di mana posisi Pangeran Sambernyawa bagi Indonesia dan juga bagi masyarakat yang tinggal di wilayah yang dulu pernah dilewati dan digunakan Pangeran Sambernyawa sebagai basis perjuangan dan perlawanannya. Dengan pemahaman antropologis yang memadai, Sartono mengungkapkan semua itu tidak hanya dengan mengandalkan sumber-sumber tercetak saja, melainkan juga dengan mengeksplorasi sejumlah folklore yang terwariskan secara turun temurun di banyak daerah kekuasan Pangeran Sambernyawa dulu (hal. 19-26).

Selain menghamparkan topik-topik yang banyak dikaji Sartono dalam karirnya sebagai seorang sejarawan, buku Sejak Indische sampai Indonesia ini juga menunjukkan bagaimana vocation, corak kerja, dari seorang sejarawan besar. Lima bab yang terhampar dalam buku bisa diletakkan ke dalam tiga corak utama.

Corak pertama adalah ketika seorang sejarawan berdialog dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa silam dan juga dengan sejumlah dimensi kesejarahan yang penting untuk dipahami terkait dengan posisi historis Indonesia. Corak pertama yang terentang dalam bab satu dan bab tiga ini menunjukkan bagaimana Sartono bergumul dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, dari mulai perlawanan Pangeran Sambernyawa, eksisitensi PI dan manfisesto yang dicetuskannya, Kongres Boedi Oetomo I hingga berdialog dengan peran historis yang dimainkan Jawaharlal Nehru, baik sebagai seorang pemimpin India maupun dalam kapasitasnya sebagai seorang sejarawan partikelir.

Bab dua dan bab empat menunjukkan bagaimana seorang akademisi macam Sartono bergelut dengan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi bangsa dan negaranya. Inilah yang menjadi corak kedua dari kerja dan pemikiran seorang Sartono. Dengan mendedah pelbagai soal kebangsaan, dari mulai korupsi, spiritualitas dalam pembangunan nasional hingga dinamika rakyat pedesaan, Sartono seakan hendak memberi terang bahwa seorang sejarawan tidak cukup berurusan dan bergelut dengan tetumpuk peristiwa masa lalu, melainkan mesti terlibat dalam memikirkan dan merumuskan persoalan-persoalan konkrit yang terjadi di lingkungan sosial tempat di mana ia berhayat dan berkarir.

Sedangkan bab terakhir buku ini, yang mengisahkan perjalanan intelektual Sartono di pelbagai belahan dunia berikut beberapa perjumpaan Sartono dengan intelektual-intelektual di negeri lain, menunjukkan bahwa seorang sejarawan besar yang paling terdidik dalam kultur akademik yang paling ketat sekali pun tetap tidak akan melupakan dunia pemikiran yang bernuansa filosofis. Dalam bab inilah Sartono mencoba melacak sejumlah etos yang menggerakkan sejumlah kebudayaan, peradaban dan orang-orang di dalamnya.

Dalam salah satu bagian dalam bab lima ini, yang disebut Taufik Abdullah sebagai bab paling mengasyikkan, Sartono memaparkan apa yang disebutnya sebagai “mesu budi” (279-288). Di situ Sartono berbicara tentang asketisme yang menurutnya bisa dipadankan dengan istilah “mesu budi” seperti yang terpapar dalam Serat Wedatama. Ia menulis: “Asketisme tidak dapat diartikan sebagai eskapisme…. Tercantum di dalam prinsip ini soal bekerja keras dan tanpa pamrih, kerajinan, serba hemat, kesemuanya disertai ketertiban melakukan kewajiban terhadap pihak yang dihormati atau tugas yang dianggap suci.”

Kutipan itu menjadi kunci untuk memahami etos yang memungkinkan Sartono menjadi seorang “raksasa” di bidang sejarah. Sartono adalah sejarawan yang menghayati betul laku-tindak “mesu budi” itu, atau dalam istilahnya sendiri, “askese intelektual” yang membikin Sartono menghayati betul profesi sebagai sejarawan.

Jadi tak perlu heran jika Sartono pada 1975 mengundurkan diri dari tim penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia yang terlalu diintervensi oleh Nugroho Notosutanto. Laku-tindak “mesu budi” pula yang membuat Sartono tak pernah kehabisan energi untuk meneliti dan menulis kendati ia tak juga menjadi kaya hingga usianya merembang senja.

Sebagai guru, Sartono mengajarkan laku-tindak “mesu budi” itu. Kuntowoijoyo, salah seorang muridnya yang paling berhasil, pernah memberi testimoni bagaimana Sartono pernah “menyelamatkannya”. Ketika ia baru menggondol PhD dari Amerika, Kunto ditawari kedudukan mapan di sebuah lembaga swasta. Kunto sempat pula ingin mencalonkan sebagai dekan di Fakultas Sastra UGM. Tapi Sartono memberinya nasehat tentang laku-tindak “mesu budi” dan betapa pentingnya seorang intelektual memunyai integritas dan keberanian untuk menghadapi resiko menjadi miskin dan sendiri.

Dalam banyak hal, buku ini memang menjadi potret Sartono Kartodirjo sebagai seorang guru besar, baik dalam maknanya sebagai profesor/mahaguru maupun dalam maknanya sebagai seorang guru/pendidik yang besar dan berhasil memengaruhi generasi sejarawan Indonseia selanjutnya

---------------------------------------------------

Judul Buku: Apologia
Penulis: Socrates featuring Plato
Penerjemah: Fuad Hasan
Penerbit: Pustaka Jaya
Terbitan: I, 1982
Halaman: 120 halaman

APOLOGIA DI ATHENA

Athena adalah panggung di mana buhul peradaban dan kebudayaan Eropa bisa dilacak jejaknya.

Di kota inilah, Herodotus memulai tradisi historiografi. Di kota ini, Sophocles dan Aristophanes menuliskan naskah-naskah drama yang hingga kini masih dipentaskan di mana-mana, dari Broadway hingga komunitas teater jalanan di Malioboro. Di kota ini pula, para pemahat, perupa dan arsitek bahu membahu membangun Parthenon yang agung dan kuil Delphi yang magis.

Dan di sini pulalah, 2406 tahun sebelum Steven Gerard dan Paolo Maldini memimpin anak buahnya mengelar pertarungan yang mungkin akan sedramatis seperti final 2005, Socrates sudah lebih dulu mementaskan sekaligus mengakhiri hidupnya yang unik dengan dramatis.

Ya, pada satu hari di tahun 399 SM, Socrates maju ke depan pengadilan Athena. Dia tahu dia akan (di)kalah(kan). Tapi harga diri dan terutama prinsip filsafat yang dipeluknya hanya memberinya satu pilihan: maju ke depan pengadilan berhadapan muka dengan muka para penuntutnya.

Hari itu, Socrates mesti berhadapan dengan Meletos, Anythos serta Lycon. Tiga orang ini bukan siapa-siapa dibandingkan Socrates. Tetapi, tiga orang ini mustahil dikalahkan karena ketiganya mewakili tiga kelompok sosial yang paling berpengaruh di Athena pada saat itu. Meletos mewakili para penyair, Anythos mewakili para seniman dan negarawan dan Lycon mewakili musuh besar Socrates: kaum sofis.

Pada hari pengadilan yang dihadiri, setidaknya, duapertiga warga Athena, Socrates menyampaikan tiga buah pidato. Pada pagi hari, Socrates membacakan pledoi. Siang harinya, usai pemungutan suara yang memutuskan hukuman mati (280 suara meghukum Socrates dan 220 suara membebaskan) Socrates maju kembali menyampaikan pidato dan diijinkan meminta pengampunan atau alternatif hukuman. Dan sore harinya, setelah pemungutan suara yang kedua menolak alternatif hukuman yang diajukan Socrates, Socrates kembali maju menyampaikan pidato perpisahan.

Tiga buah pidato Socrates, yang ditulis ulang oleh Plato menjadi buku Apologia itu, bagi saya, adalah salah satu rujukan intelektual paling tua dan sempurna atas apa yang disebut John Dewey sebagai konsepsi the art of principle (Bung Hatta menyebutnya sebagai “etik Socratik”). Etik Socratik merupakan anti-tesis dari rumusan Otto van Bismarck yang mengartikan politik sebagai “seni mencapai tujuan”.

Saya menyebut Apologia sebagai rujukan atas konsepsi the art of principle karena tiga buah pidato di hari terakhir Socrates itu sebagai contoh teoritis sekaligus praksis dari laku memertahankan prinsip-prinsip secara lugas, benderang, tanpa tedeng aling-aling dan nyaris keras kepala.

Berbeda dengan beberapa kaum sofis yang diadili, yang menyampaikan pledoi seperti anak SD sedang berdeklamasi, penuh dengan kalimat yang mengharu-biru, kadang dengan rengekan, dengan gerak tangan dan mimik yang dramatik, terkadang dengan tetesan air mata, Socrates menyampaikan semua pembelaan dirinya dengan kalimat yang terus terang, menyebut nama lawannya tanpa inisial, menghantam lawannya (terutama Meletos) dengan lugas, dengan tanpa rasa takut sekaligus tanpa kehilangan sedikitpun cira rasa kerendah-hatian dirinya yang sudah dikenal di delapan penjuru Athena.

Socrates menolak tawaran alternatif hukuman berimigrasi ke luar kota. Socrates memang mengajukan alternatif hukuman berupa denda sebesar 1 Mina. Tetapi karena Denda 1 Mina yang diajukan Socrates murahnya gak ketulungan, maka alternatif hukuman ini lebih mirip satire. Socrates sendiri menolak tawaran bantuan 30 Mina yang ditawarkan para muridnya, antara lain Plato, Crito, Critobolus dan Apollodoros.

Jika drama Antigone karya Sophocles bisa disebut sebagai puncak warisan seni drama kebudayaan Athena, Apologia sebagai epilog kehidupan Socrates adalah versi lain dari semangat dramaturgi kebudayaan Athena dalam kehidupan nyata dan bukan semata di panggung Parthenon yang agung.

Inilah yang membedakan Socrates dengan Aristoteles, yang setelah kematian muridnya, Alexander the Great, juga diadili secara tak adil oleh musuh-musuh politik Alexander. Jika Socrates memilih tetap dihukum mati dan dengan demikian menyempurnakan Apologia sebagai rujukan intelektual sekaligus praksis dari the art of principle, Aristoteles lebih memilih untuk menyingkir ke luar kota.

Hal yang sama dengan Socrates bisa kita temukan pada sosok Thomas More, penulis buku klasik Utopia, yang memilih hukuman mati ketimbang mengesahkan pernikahan Raja Edward yang melanggar prinsip gereja Katolik Roma (Sila tonton film Man for All Season yang mengharukan itu).

Etik Socratik, sekali lagi, adalah anti-tesis dari rumusan Bismarck ihwal politik sebagai “seni mencapai tujuan” (baca: kemenangan). Dalam rumusan itu, politik dimengerti tidak hanya sebagai eufemisme (penghalusan) dari peperangan, tetapi sebagai laku di mana tujuan akan menihilkan segala macam debat ihwal etika. Semua boleh asal tujuan terpenuhi. Segalanya halal sepanjang ada jaminan tujuan bisa direngkuh. Apakah itu dengan lobi-lobi di bawah meja, pertemuan tertutup di hotel-hotel, hingga transfer fulus ke rekening lawan politik.

Hari ini, ketika hidup tak lebih dari berhimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati, ketika politik tak lebih dari deklamasi dan tetek bengek pidato menjemukan kaum Sofis di Athena dulu, Socrates kita ingat tak lebih seperti barang antik di museum yang kita kunjungi saat hari libur anak sekolah.

Selengkapnya......

Sabtu, Desember 01, 2007

Dancing Out....

Di Dago, bersamaan waktunya dengan Kongres Alumni ITB beberapa pekan silam, Taufik Rahzen melansir sebuah joke: “Jika ada Ikatan Mahasiswa Drop Out, tidak ada yang lebih layak menjadi Presidennya selain Gus Dur!”

Lalu saya ingat sebuah percakapan di akhir tahun 2002. Di teras perpustakaan kampus, sembari menunggu hujan reda, saya bilang pada Umar Tajuddin, senior di kampus yang kini mengelola Penerbit Pinus di Jogja: “Ketoke apik nek nang kene, pas aku wisuda, aku nggawe performing art mbakar ijazah sarjanaku….” (Artinya: Sepertinya asyik kalau di sini, sewaktu aku diwisuda, aku bikin performing art dengan membakar ijazahku)

Sewaktu catatan ini sedang ditulis, saya tahu kata-kata di atas tak akan pernah bisa terealisasi. Bukan karena terlalu sayang dengan ijazah. Sama sekali bukan. Kata-kata itu tak mungkin terwujud karena malam ini, satu jam usai menggelar percakapan panjang dan berat dengan simbok, saya memutuskan untuk tak menyelesaikan sekolah.

Itu artinya saya tak akan punya ijazah sarjana dan tak ada pula yang bisa dibakar.

Untuk sejumlah alasan saya merasa lega bukan main. Langkah terasa sedikit lebih ringan. Separuh beban yang menindih sepanjang bulan-bulan terakhir ini lepas dengan cara yang ringan.

Kelegaan itu datang setelah saya menceritakan pilihan saya ini pada simbok. Ya, pada simbok. Dialah yang membuatku berpikir keras, merasa menanggung beban. Saya terlalu tak tega mengecewakan dia. Tak terbayangkan melihat wajahnya sedih.

Dia pula yang selama ini membuatku mencoba bertahan untuk menyelesaikan studi. Ketakutan melihat simbok sedih itulah yang memaksaku sekuatnya untuk tetap membayar SPP, mengurus KRS, mendatangi ruang jurusan, duduk di dalam kelas…. Tapi rasa muak, bosan, letih dan perasaan sia-sia yang selalu datang tiap kali memaksakan diri duduk di dalam kelas makin tak tertahankan.

Saya akhirnya memilih untuk out. Dancing out, kata seorang teman.

Beruntung simbok bisa memahami pilihan ini. Menerima dengan berat, tentu saja. Saya bilang padanya: “Mbok, saya ini jarang meminta. Tapi kali ini, mbok, saya minta ikhlaskan saya untuk tak jadi sarjana.”

Saya tidak drop out. Masa studi saya masih 2 semester lagi. Skripsi sudah kelar, hanya tinggal persetujuan dosen pembimbing saja. Kebetulan pembimbing skripsi saya orang yang hebat, dosen yang moderat, pembimbing yang tak rewel, penulis yang rajin, penceramah yang bersemangat dan dikenal sebagai pemimpin yang bersih dan bersahaja: Prof. Syafi’i Ma’arif, M.A., Ph.D.

Problem saya hanya menyelesaikan teori. Ada sekira 20 sks lagi. Separuhnya nilai belum keluar dan tinggal diurus pada dosen yang bersangkutan. Separuhnya mesti diambil lagi.

Banyak teman yang menyarankan untuk bertahan. Seorang adik kelasku menawarkan diri membantu menguruskan nilai mata kuliah yang belum keluar. “Apa susahnya berangkat, duduk dan diam di kelas,” kata sejumlah teman lain menyarankan.

Tapi di situlah problemnya. Siapa yang tahan dengan profesor yang jika hendak meminta tanda tangannya mesti diperiksa kukunya lebih dulu? Siapa yang tahan jika terlambat sepuluh menit saja sudah diceramahi dengan empat bahasa sekaligus (Indonesia, Inggris, Belanda dan Arab)? Siapa yang tahan jika ketahuan menguap sekali sudah disuruh berdiri di depan kelas barang lima menit sebelum kemudian diminta keluar untuk cuci muka? Siapa yang tahan jika rambut menyentuh sudah menutupi mata harus dicukur jika tidak tak boleh ikut kuliah? Padahal dia mengampu setidaknya 6 mata kuliah. Dan selama 6 semester saya kudu menghadapi profesor model beginian berikut aturan main yang ia buat sendiri tanpa bisa negosiasi?

Saya masih ingat, pada hari pertama kuliah saya sudah bertengkar hebat dengannya. Gara-gara saya lebih memilih untuk membaca buku Prof. Wertheim, “Gelombang Pasang Emansipasi”, ketimbang mendengarkan ceramahnya tentang betapa hebatnya dia sebagai mahasiswa dulu. Saya bertengkar karena saya tak terima disuruh keluar saat itu juga. Ada sekitar 15 menit kami berdebat. Dia mengancam jika saya tak keluar maka dia yang akan keluar. Saya bersikeras duduk di kelas.

Sejak itulah kami menjadi musuh diam-diam. Dia selalu mencari momen untuk memerpermalukanku. Salah satunya dengan menceramahiku dengan empat bahasa sewaktu Saya menolak potong rambut dan menyuruhku berdiri di kelas selama lima menit karena kedapatan menguap.

Jujur saja saya dendam. Dan saya cari momen untuk membalasnya.

Sewaktu Kongres Ikatan Mahasiswa Sejarah di IKIP Semarang pada awal 2002, dia diundang ceramah pada salah satu sesi. Saya sengaja datang ke sana untuk membalas perlakuannya. Dan itulah yang terjadi. Saya mendebat dia habis-habisan sewaktu bicara tentang Soekarno. Ini memalukan baginya. Dia didebat di muka utusan mahasiswa sejarah dari seluruh Indonesia oleh mahasiswanya sendiri. Mukanya memerah.

Tapi tak ada yang lebih telak selain momen yang satu ini:

Dia biasa membagikan copy dari tulisan-tulisannya yang baru saja dimuat di koran. Dan, sumpah, tulisannya yang dia copy dan bagikan sendiri itu “hanya” dimuat di koran-koran lokal macam Bernas atau Kedaulatan Rakyat. Dia biasa membagikan tulisannya jika baru saja dimuat. Kadang jika di hari kuliahnya ada artikel dia yang dimuat, hari itu juga dia copy dan bagi-bagikan. Tentu saja sembari membangga-banggakan dirinya seakan-akan tulisan itu baru saja dimuat New Yorker atau Prisma.

Satu waktu, pada saat saya akan mengikuti kuliahnya, saya tahu bahwa tulisan dia mengenai bukunya Dr. Hembing baru saja dimuat di Kedaulatan Rakyat. Inilah momen terbaik untuk membalas perlakuannya. Saya copy tiga esai saya yang pernah dimuat di Kompas, Koran Tempo dan Media Indonesia. Saya bagikan satu-satu pada teman-teman yang masuk hari itu. Satu eksemplar saya letakkan di meja dosen.

Persis seperti yang saya duga, dia masuk kelas dan langsung membagikan copy tulisannya. Tanpa duduk di meja lebih dulu, dia cas cis cus bicara tentang tulisannya itu, kapan dimuatnya, berapa honornya, berapa lama membuatnya, dll. 5 menit kemudian dia baru menuju meja. Dia periksa kertas yang ada di mejanya. Dia baca barang beberapa kerjap. Dia mendehem beberapa kali. Lalu mulai mengajar tanpa sedikit pun menyinggung-nyinggung soal tulisannya lagi. Saya merasa impas.

Dan pada profesor inilah, yang anaknya kini menjadi wartawan Bisnis Indonesia, saya punya piutang–setidaknya—2 mata kuliah lagi. Dan saya terlalu tinggi hati untuk kembali duduk di kelasnya dan bertahan untuk terus disindir selama perkuliahan berlangsung.

Profesor ini memang salah satu problem saya di kampus. Tapi, tentu saja, bukan satu-satunya.

Saya terlalu susah bangun pagi untuk kuliah jam 7 (sebagian besar teori yang harus kutempuh lagi adalah mata kuliah semester 1 dan 2 yang jam belajarnya selalu pagi), terlalu pemalas untuk berhadapan dengan birokrasi kampus yang ribet untuk ngurus nilai yang tertahan, terlalu jengah untuk mendengarkan ceramah beberapa dosen tua yang sama keras kepalanya dengan saya, terlalu risih untuk dipandangi seisi ruang jurusan tiap kali masuk untuk mengurus sesuatu, dan paling gak tahan jika harus berpapasan dengan profesor tua itu yang sejak semester pertama sudah menjadi musuh bebuyutanku. “Musuh alamiah,” kata seorang teman satu angkatanku.

Bisa saja sebenarnya saya potong kompas dengan meminta bantuan beberapa petinggi kampus, termasuk mantan Rektor yang sekarang menjadi Dirjen di sebuah departemen yang budget-nya lebih besar ketimbang budget untuk TNI. Dia pernah bilang untuk menghubungunginya kapan saja jika butuh pertolongan soal kuliah.

Tapi saya tak memilih opsi itu. Malu meminta bantuan dia. Sebab, sewaktu dia masih menjabat rektor, saya bersama 4 kawan lain pernah membuat heboh dengan melakukan unjuk rasa yang memakai tehnik yang tak pernah digunakan sepanjang sejarah kampus tempatku kuliah. Masak saya minta bantuan pada orang yang pernah saya demo habis-habisan selama sepekan lebih?

Malas, risih, muak, enggan, malu dan jengkel berpadu baur sedemikian rupa dan mengantarkanku untuk ambil keputusan dancing out sya la la la….

Bukan berarti saya tak gentar dengan pilihan ini. Saya tahu, negeri ini lebih menghargai orang-orang yang punya ijazah. Sejumlah tawaran sudah masuk ke inbox imel maupun hp yang menanayakan kabar kuliahku seraya memintaku menghubungi mereka jika kuliahku kelar sudah. Tawaran menggiurkan yang jelas tak akan pernah bisa saya penuhi, entah jika mereka tak memersoalkan perkara ijazah macam begituan.

Tanpa ijazah sarjana, pilihan tentu lebih sedikit. Tapi bukan berarti pilihan yang bisa kuambil jadi berkurang. Jika pun harus hidup tanpa pekerjaan tetap, setidaknya saya masih bisa menulis. Entah artikel, esai, cerpen, puisi. Toh sejak 4 tahun terakhir saya bisa bertahan hidup hanya dengan menulis. Dengan menulis pula aku berhasil menyekolahkan adikku sampai jadi sarjana.

Tapi, ya sudah…. Toh, pilihan sudah dijatuhkan. Hadapi saja apa yang membentang di depan dengan dada lebar dan mata dipicingkan. Muka lawan muka. Jika pun kelak mesti tersungkur dalam salah satu sesi pertarungan hidup yang gagal kumenangkan, saya berharap untuk tidak tersungkur terlalu lama.

Pastinya, saya kudu bisa meyakinkan orang tua yang kupilih jadi mertuaku kelak bahwa anak perempuannya akan baik-baik saja walau kawin dengan seorang lulusan SMA.Hahaha….

[saya banyak diberkahi teman yang juga memilih dancing out. di antaranya: M Bakkar Wibowo (seniman cover buku), Anas Syahrul Alimi (pendiri penerbit Jendela dan Pustaka Sufi), M Faiz Ahsoul (editor), M Bunyamin (Pemilik toko besi di Madiun), Tri Prasetyo (sekarang bikin EO), Yossy Suparyo (bikin penerbit juga), Muhidin M Dahlan (novelis katrok sekaligus editor-penulis kata pengantar buku-buku Pramoedya), Ikram Putra (kini jadi wartawan bahasa linggis), Maulida (yang satu ini murtad karena akhirnya sekolah lagi. hahaha...), Fahri Salam (wartawan lepas), Bambang Wijoyono (pemiliki usaha travel wisata), AN Ismanto (penyair), Galam Zulkifli (pelukis) sampai Taufik Rahzen dan banyak lagi. Ada yang mau menyusul? Hihihihi....]

Selengkapnya......