Selasa, November 27, 2007

"Ngobrol" dengan Mas Tirto dan Pramoedya

:: tanggapan terakhir untuk andreas harsono dari yayasan pantau


Tadi malam saya menggelar ritus jelangkung. Saya merapal mantra dalam sebuah genisa al-kitabiah: “Jelangkung jalangse... datang tak dijemput pulang tak diantar. Hwarkadalah Hoooo.....”

Dengan kemurahan hati, mereka kini mau keluar dari pendiangan mereka masing-masing. Ada tiga yang segera meloncat di meja bulat-tidak persegi-juga-tidak setelah namanya saya sebut tiga kali: “Mas Tirto” (Tirtoadisoerjo), Bung Pram (Pramoedya Ananta Toer) dan Gus Durrahman (Abdurrachman Surjomihardjo).

Saya pun langsung keluarkan secarik surat terakhir dari Andreas Harsono (selanjutnya ditulis "Kritikus Kita"): “Pers, Sejarah dan Rasialisme by Andreas Harsono”.

“Mas Tirto, Bung Pram, Gus Durrahman kenal penulisnya?” tanya saya. Mas Tirto melihat kertas itu dan menggeleng. Bung Pram hanya merogoh kantong dan menyalakan sebatang kretek. Adapun Gus Durrahman malah mendongakkan kepala.

“Kalau saya, apakah Anda semua kenal juga?” Ketiganya serempak tertawa dan bilang berbareng: “Tidakkkkkkkkk!” (Sambil mengucapkan itu, Mas Tirto menempelkan jari-jarinya di bibir bawah, Bung Pram menempelkan dua telapak tangannya di pipi dan Gus Durrahman cengir-cengir sambil garuk-garuk kepala)

Tapi lupakan kenal-mengenal sepihak itu. Mari kita bahas tuduhan yang penting-penting saja. Saya mulai saja dari Gus Durrahman yang namanya dikutip di pragraf ketiga oleh Kritikus Kita itu.

Bagaimana pendapat Gus Durrahman dengan kalimat ini: “Kalau mau mencari data siapa yang terbit lebih awal, Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia menyebut suratkabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, atau sekitar 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia/ Mengapa patokannya Taufik Rahzen bukan 1744?”

”Ada apa memang kutipan itu? Emang bener gitu kok. Masalahnya apa?” tanya Gus Durrahman.

”Masalahnya, Kritikus Kita itu mengutip sampeyan justru untuk menolak sosok Mas Tirto dijadikan Sang Pemula atau pelopor pers nasional!”

”Lho, gimana sih Kritikus Kita itu? Dia baca buku saya gak sih? Kan di buku yang sama itu juga saya ada bilang bahwa Mas Tirto ini memang pelopor pers nasional. Cobalah kau tengok halaman 77 buku itu!”

Segera saya buka halaman yang dikutip Kritikus Kita dengan sepotong-potong itu. Ternyata benar. Di situ tertulis begini: “Pelopor pers nasional yalah Medan Prijaji (waktu itu terbit sebagai mingguan), yang sesuai dengan namanya merupakan suara golongan priyayi, lingkungan yang ingin dicapai yalah ‘Anak Hindia’... Mungkin sekali Raden Mas Tirtoadisuryo adalah pengusaha pertama Indonesia yang bergerak dibidang penerbitan dan percetakan. Ia juga dianggap sebagai wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai alat untuk membentuk pendapat umum. Rupa dan andam (opmaak) suratkabar yang diterbitkan memberi kesan menyegarkan pada jama itu, karena pemuatan karangan, warta berita, pengumuman, iklan, dan sebagainya disusun secara baru.”

“Di situ juga saya tulis,” kata Gus Durrahman, “Pengakuan Ki Hadjar Dewantara tentang Mas Tirto sebagai pelopor pers nasional juga saya sertakan. Coba kau tengok halaman 83!

Saya ikuti saja intruksi Gus Durrahman ini. Dan, lagi-lagi, memang benar. Di situ ada kata-kata Ki Hadjar: “Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtoahdisuryo, bekas murid Stovia yang waktu itu bekerja sebagai radaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.” (Ki Hadjar, sebelum bergelut di dunia pendidikan, pernah bergabung dengan Douwes Dekker di Indsiche Partij dan ikut mengelola koran De Express dan pendiri koran Persatoean Hindia (1919))

Saya cek lagi buku itu yang saya baca dari cetakan penerbit Kompas, 2002. Saya ngeri juga melihat nama-nama yang dipampang sebagai tim peneliti. Isinya sejarawan tulen bin beneran. Selain Gus Durrachman sendiri sebagai ketua tim, ada AB Lapian, Eerkelens (KITLV), Taufik Abdullah, Soebagijo IN, P Swantoro sampai Leo Suryadinata.

Oya, ngomong-ngomong Leo Suryadinata, saya terkejut karena bagian yang ada menyebut kepeloporan Tirto itu pada bab II ditulis oleh Gus Durrahman dan Leo Suryadinata, seorang Tionghoa yang diakui punya reputasi dan kredibiltas dalam historiografi orang Tionghoa di Indonesia.

Dari rak buku sebelah timur tiba-tiba meloncat arwah Sudarjo Tjokrosisworo dengan menenteng Sekilas Perdjuangan Sebangsa (1958: 145). Ia menyerahkan sebait komentar Parada Harahap atas kiprah Tirto: “Beliaulah jang boleh dikatakan wakil dan pendukung batas perpisahan ,,lama dan baru’’. Setelah mengatakan itu, arwah Sudarjo melesat lagi ke rak buku secepat ia datang. Datang tak diundang, pergi juga tak diantar.

Gus Durrhaman lalu bertanya pada saya: “Apakah Kritikus Kita itu juga mengutipkan kata-kata di bab II yang saya tulis dengan Koh Leo Suryadinata gak?!”

“Kan saya udah bilang kagak, Gus!” jawab saya. (Emang kagak!)

“Lho, kok bisa?”

“Waduh mana saya tahu, Gus. Saya juga heran. Sengaja nggak ya? Apa untuk menutup-nutupi kenyataan bahwa Gus Durrahman dan Koh Leo menulis bab yang mengakui kepeloporan Mas Tirto ya?” jawab saya sembari bertanya.

Dia nggak baca buku itu kali....” sambung Gus Durrahman acuh. Gus Durrahman tiba-tiba menoleh kepada Mas Tirto seraya berkata: “Mas Tirto, beneran deh, di buku itu saya ada bilang kalau Anda ini pelopor pers nasional. Malah saya kutipkan kata-kata Ki Hadjar juga. Jadi kalau ada orang yang pake-pake buku saya untuk menyangkan kepeloporan Mas Tirto, itu bukan tanggung jawab saya lagi tuh. Beneran loh ini, mas. Swear!”

“Itu politik kutipan kayaknya deh,” sergah saya.

“Lho, istilah politik kutipan itu kan istilahnya GM waktu nulis tentang pidato Paus Benediktus beberapa waktu lalu,” lanjut Gus Durrahman.

Yang nyahut tiba-tiba Bung Pram: “GM? Perasaan kenal deh!”

“Lha iya, Bung. Dia dulu ikut tandatangan Manifesto Kebudayaan itu loh. Dia juga bikin obituari waktu Bung mati kemarin,” jawab saya.

“Ooh, begitu ya. Wah, setahun lebih di akhirat bikin ingatanku lumer ternyata. Maklum udah pikun. Hahahahaha,” jawab Bung Pram sambil terbahak.

Saya kembali menoleh ke Gus Durrahman seraya bertanya: “Apakah Kritikus Kita sudah tak adil sejak dari kutipan?”

Gus Durrahman tak menjawab dan dipersilakannya saja kepada pembaca menilai.

Tapi Bung Pram langsung menimpal: “Eh, kutipan Anda tadi... apa itu ‘tak adil sejak...’ bukankah itu mirip dengan apa yang saya tuliskan di Tetralogi Bumi Manusia halaman 52 itu?”

“Betul, Bung. ‘Adil sejak dalam pikiran’. Tapi karena konteksnya kutipan, jadi saya plesetkan saja. Tapi kebetulan sekali, giliran Anda sekarang, Bung. Kritikus Kita itu bilang, coba Bung lihat di paragraf dua belas tulisannya, menyebut Bung menulis soal ’Tirto dengan kedekatan emosional. Tirto dan Pramoedya sama-sama kelahiran Blora’. Apa komentar, Bung?”

”Waduh, saya gak ngerti maksudnya kalimat ’menulis dengan kedekatan emosional’. Kalau kalimatnya ’menulis Tirto karena kedekatan emosional’ mungkin saya masih bisa mengerti maksudnya apa.”

”Mungkin maksudnya Bung menulis Tirto ’karena’ ada kedekatan emosional. Jadi, kata ’dengan’ itu mungkin seharusnya ’karena’,” ujar saya mencoba mengira-ngira.

”Oke lah kalo gitu. Tapi yang mana dulu tulisannya? Yang Tetralogi Buru atau Sang Pemula? Gak disebutkan juga?”

”Nggak disebutin persisnya yang mana sama Kritikus Kita itu,” jawab saya cepat.

”Gini... kalau yang Kritikus Kita maksudkan adalah Tetralogi Buru, emangnya kenapa menulis dengan kedekatan emosional? So what gitchu loch.... Lha saya kan nulis fiksi. Mana bisa menulis fiksi tanpa kedekatan emosional dengan karakter tokoh yang mau saya tulis. Bisa garing, dong. Kaya makan kerupuk terasi. Gimana, sih?”

”Kalo yang dimaksudkan Kritikus Kita saya menulis Tirto itu yang buku Sang Pemula, ya sama aja: emangnya kenapa kalo menulis buku karena kedekatan emosional? So what gitchu loch.... Dalam skripsi yang ilmiah aja ada bagian tentang alasan subyektif dan obyektif kenapa memilih satu topik. Artinya, kedekatan emosional yang sifatnya personal juga kagak haram-haram amat. Wajar dong orang meneliti topik yang disukainya. Tapi kan saya juga punya alasan obyektif kenapa memilih nulis Tirto.”

”Betul, bung. Di kampus saya juga semua skripsi ada alasan subyektif kenapa seseorang memilih satu topik. Biasanya itu ada di bab I skripsi,” sambar saya.

”Lho, Bung mahasiswa sejarah juga?” tanya Pram.

”Udah bukan lagi. Mantan mahasiswa sejarah, bung!”

”Keluar baik-baik atau dilempar keluar?”

”Nggak usahlah ngomong yang itu Bung. Nggak baik didengar orang banyak,” jawab saya mempertegas agar Bung Pram menghentikan interogasinya soal kuliah.

”Tapi tega amat sih aku nulis Sang Pemula dan Tetralogi Buru dengan riset dan sokongan bahan-bahan primer yang melimpah dan memertaruhkan keselamatan tapi cuma diberi predikat ’karena kedekatan emosional’ saja. Hiks... hiks.... Apes lagi deh, gue.”

Tiba-tiba Mas Tirto menyela dan berujar: ”Pram, udahlah jangan sedih gitu. Cup... cup.... Mau orang nyebut karena kedekatan emosional atau karena kedekatan apa kek, toh karya ente tentang ane itu top marketop. Apalagi nyang judulnya Bumi Manusia itu. Seisi dunia udah tau kok. Kagak ngaruh lah....”

Aku langsung nimbrung lagi dan bertanya pada Mas Tirto.

”Mas, tau nggak, Kritikus Kita ini juga menduga ente pernah berbuat rasis.”

”Masya Allah. Yang benar?”

“Beneran. Di paragraf 11 tulisannya, Kritikus Kita menyebut kalau mas bertingkah rada-rada rasis gitu dech sewaktu menolak Douwes Dekker. Gimana ini? Bener gak toh?”

“Coba kau pegang jidatmu,” kata Mas Tirto. Aku peganglah jidatku. Ealah... Mas Tirto malah cekikan sambil bilang: “Cuaffeee dechhh.....”

“Lho, Mas Tirto nonton sinetron juga? Hahahaha.... Tapi gimana itu mas soal tuduhan rasis itu?”

“Sebelum ane jawab, kau bacalah ini.”

Aku menerima beberapa gepok koran tua yang sudah menguning. Satu per satu aku baca. Aku baca tulisan berjudul “Tolonglah Orang Cina Miskin” di Pembrita Betawi edisi 2 Mei 1902:

“Atas permintaannya orang banyak, maka kitapun di persilahkan akan membuka suara dalam Pembrita Betawi, yaitu ingatan yang boleh menolong kepada orang-orang Cina miskin dan belum cukup kemampuannya akan menggunakan seorang dokter.

Perhimpunan Tiong Hoa Hwe Koan, sudah membuka rumah di mana orang-orang Cina boleh dapat pertolongannya seorang dokter dengan tiada bayaran, tetapi obat tidak bisa di kasih percuma.

Sekolahan dokter Jawa tiap-tiap hari membuka tempat di mana orang miskin baik Cina, baik Pribumi, baik bangsa Eropa, boleh dapat pertolongan dokter dengan obat tiada dengan bayaran....”


Aku juga baca tulisan panjang berjudul “Pacar Cina” (Pembrita Betawi 10 April 1902) juga “Bangsa Cina di Priangan” (Soenda Berita 26 Juli 1904). Di sana tergambar betapa penulisnya membela, membantu dan bersimpati pada orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda.

“Itu semua tulisan Mas Tirto?” tanya saya.

“Ya iya lahhhh. Saya bela-belain itu orang-orang Tionghoa,” jawabnya dengan lagak kaya artis sinetron.

”Mas Tirto, terus ihwal van Heustz itu gimana? Tepatnya tulisan Mas itu seperti apa sih sehingga Kritikus Kita ini sampe bilang: Saya tak bisa membayangkan bagaimana seorang politikus macam Tirto, yang dekat dengan van Heutsz, yang tangannya berlumuran darah orang Aceh, bisa diterima oleh wartawan di Aceh sebagai “pahlawan”?”

”Apa karena saya dekat dengan Heutzs yang berlumuran darah terus saya juga ikut amis darah gitu? Apa terus saya njilat-njilat sama Heutzs gitu? Memangnya dia sebutkan seberapa dekat dan seperti apa dekatnya? Nggak kan? Nggak kan?!? Memangnya kenapa kalau saya dekat? Paragraf itu tendensius sekali karena tanpa menjelaskan alasan dan detail kedekatan saya dengan Heutzs, dia seperti mencoba membangun opini kalau saya ikut-ikutan bertanggung jawab terhadap Aceh Oorlog. Terlaluuuuu..... (baca dengan lagak Rhoma Irama).... Kalau di dunia jurnalistik itu harus cover both side. Caranya jelasin dong seperti apa juga kiprah saya menghajar-hajar aparat pemerintahan Heutzs lewat tulisan saya. Itu baru adil. Pram, coba kau jelasin deh yang beginian, kalo ane yang cerita ntar dikira riya dan pamer. Lagian kan si Pram udah jadi jubir ane,” jawab Mas Tirto.

Lalu saya meminta Bung Pram untuk berbicara tentang soal Tirto dan Aceh juga soal Heutzs. Bung Pram menjawab:

”Dari 225 orang yang mendapatkan bantuan hukum Medan Prijaji di antara penjual ikan pindang dan ikan kering di pasar, bupati, dan beberapa sultan di luar Jawa-Madura, terdapat seorang bekas pejuang Aceh, yang dibuang ke Bandung tanpa prosedur hukum yang wajar. Pada suatu kali ia dipanggil Kontrolir Kutaraja, dinaikkan ke kapal yang berlayar ke Jawa tanpa sempat membritahukan pada familinya. Sampai di Bandung dilepas seperti ikan di lubuk payau. Siapa coba yang ngurus dan membela orang Aceh itu?”

”Siapa dong yang nolongin itu orang Aceh?”

”Ya elah, masih bertanya juga. Coba deh baca-baca lagi Medan Prijaji-nya Th IV 1910. Makanya, kalau mau ngomongin Tirto baca Medan Prijaji dan tulisan-tulisan Mas Tirto langsung, jangan cuma ngutip-ngutip buku yang sekunder doang. Kutipan-kutipan yang penting juga jangan disembunyiin.”

Aku diam saja. Malu euy digertak Pram gitu. Tapi dalam hati aku berpikir, rupanya Kritikus Kita tak melihat kenapa Tirto dekat dengan Heutsz tanpa mau tahu apa latar dan tujuan apa sebenarnya yang disemaikan Tirto. Kritikus Kita juga mengabaikan bagaimana mesti berpikir historis dengan melihat konteks semasa untuk menilai tokoh sejarah dan bukannya langsung pada kesimpulan: ”Bagaimana seorang politikus macam Tirto bisa diterima oleh wartawan di Aceh sebagai “pahlawan”?

Faktanya, Tirto memang dekat dengan van Heustz, kata Pram, “Tapi bukan berarti Mas Tirto terus bungkam sama pemerintahan Heutzs dan antek-anteknya. Coba kau baca Sang Pemula, di situ saya sebutkan bagaimana pegawai kolonial sepenting Rinkes aja pada 19 Februari 1912 sampe bilang: “Dalam mingguan yang kemudian jadi harian itu, diserang dengan keras Pemerintah dan para pegawai Pemerintah, peraturan-peraturan Pemerintah “dihajar” dan dalam pada itu mempengaruhi lingkungan-lingkungan setengah-terpelajar dengan bujukan, dengan mendesakkan perbaikan nasib dan lain-lain semacamnya....”

“Waduh... Rinkes aja bilang gitu ya?”

“Bukan bilang gitu, tapi nulis begitu.....”

Namun, sungguh kaget saya, karena kalimat itu juga menjadi akhir sesi jelangkung. Mas Tirto, Bung Pram dan Gus Durrahman tiba-tiba menghilang dan kembali ke rak buku di pojok kamarku. Tinggallah saya yang terbengong-bengong dan lesu darah.

Padahal masih ada hal yang perlu diluruskan: ”Tirto pun memakai pendekatan rasial ketika menyerang E.F.E. Douwes Dekker....”

Untuk soal yang pertama, saya menyeret kaki membukai sendiri Medan Prijaji Th III, 1909, hlm 609-627 tanpa konfirmasi lagi dengan Mas Tirto.

Saya tak yakin Kritikus Kita membaca keseluruhan artikel panjang yang jika diketik ulang menjadi 12 halaman (typer di kantor kami sudah mengetiknya ulang, jadi saya tahu panjangnya dalam MS Word) atau hanya mencomot dari karya Pram, Sang Pemula atau Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers, yang dikutip sekilas.

Artikel itu pada dasarnya membahas pentingnya memakai bahasa sendiri, memperkuat pertahanan budaya sendiri agar jangan ter-Belanda-kan: “Heranlah bahwa bangsa kita kebanyakan sudah tidak ambil peduli lagi pada bangsanya yang telah jadi setengah atau jadi Belanda itu. Heranlah bahwa bangsa kita kebanyakan lebih cinta pada bangsa Olanda yang bijaksana dan cinta pada kita dari bangsa kita yang sudah jadi Belanda itu... Ini, posisi, yang sedemikian sia-sia ada diaduk-aduk oleh itu zoogenaamde kaum muda yang di pecat oleh bangsa Eropa yang belaga itu keadaan, pura-pura membela pada bangsa kita, tapi sejatinya akan peras kantong kita, di pecut dengan kepedihan buat kuli, akan dijerumuskan kedalam,, kerbauwengat alias libang kerbau, akan jadi bangsa kapiran....”

Dalam konteks itu, ada yang mengusulkan pemuda Douwes Dekker menjadi redaktur organ yang akan didirikan Boedi Oetomo dengan lingkup: Sunda, Jawa, Madura. Gusarlah Tirto. Karena dari pengalamannya membantu koran orang Eropa, ia merasa bahwa orang-orang Boedi Oetomo itu yang merupakan bangsa nomor tiga dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda ini bisalah memimpin dirinya sendiri dalam memajukan kebudayaan dan bahasa sendiri. Apalagi cuma memimpin koran doang, nggak sulit-sulit amat:

“Sejak kita jadi pembantu dengan dapat surat kabar percuma dari s. k. Hindia Olanda, pada tahun 1894 sudah tidak salahlah pemandangan kita bahwa kita pribumi tetap berpribumian kita, tetapi wajib kita berikhtiar sebagai ikhtiarnya bangsa Eropa, menyelidik, memandaikan bahasa dan adat istiadat serta lembaga kita, tetapi bahasa dan istiadat itu tidak digunakan akan mengganti bahasa dan adat istiadat asli, hanya melainkan digunakan jadi harta benda akan menambahi kekayaan kita kekuatan kita
....
Kita cela, karena tuan D. D. belum boleh dan belum bisa jadi pemimpin kita orang Jawa karena pengetahuannya tentang kita kalau tidak sama, ada lebih rendah dari pada pengetahuannya tentang keadaan kita, murid-murid sekolahan dokter yang sedang kanak-kanak dan sangat miskin akan luwang itu, tetapi bergijet-gijet dengan tidak mengukur dirinya akan memimpin berkenaan bangsa kita yang tidak kekurangan bijaksana dan arif.”


Coba perhatikan paragraf kedua itu. Penolakan Tirto pada Douwes Dekker juga diilhami oleh argumen ihwal pemahaman Douwes Dekker mengenai bangsa Jawa yang menjadi konstituen utama Boedi Oetama. Bisa jadi penilaian Tirto keliru soal kadar pengetahuan Dekker mengenai bangsa Jawa. Tapi, cukup jelas, Tirto di situ tak menggunakan argumen yang rasialis.

Ada sebuah kebanggaan memang bila bangsa yang disebut Tirto sebagai “bangsa-bangsa terprentah” itu bisa mengatur dan memimpin dirinya sendiri dalam organisasi untuk menumbuhkan kepercayaan diri yang susut oleh pemakzulan martabat berabad lamanya. Seperti kebanggaan ini: “Pers Belanda sudah berteriak, Sarikat itu tidak didalam pimpinan yang baik. Ya, berteriak, tapi tidak berbuat sesuatu apa untuk menolong gerakan itu ... Kita yang memimpin gerakan itu hanya tersenyum dan goyang kepala sesudah bergirang yang kami orang sudah bergerak tidak dengan pimpinan bangsa Eropa.....” (MP, Th IV, No 10, 1910)

Kritikus Kita juga utarakan soal Tirto belajar ke mana-mana: “guru Tirto dalam jurnalisme adalah Karel Wijbrands, warga Prancis, kelahiran Amsterdam dan meninggal di Batavia pada 1929. Tirto patuh dan hormat pada Wijbrands.”

Apa salahnya dan kenapa memang kalau belajar sama Wong Prancis? Apa salah menghormati orang yang banyak membimbing kita? Lha, agama Tirto aja nyuruh orang untuk belajar sampai ke Cina. Kritikus Kita saja belajar ilmu jurnalisme sastrawi sampai ke Amrikiya dan Mpu Kovach. Itu nggak soal, dong. Biasa aja, dech. Tirto bisa belajar kepada siapa saja untuk mendapatkan pencerahan kepada bangsanya agar melek bahwa mereka sedang diperas dan melawan dengan jalan koran.

Dari proses belajar itu kemudian Tirto mendapatkan kredo atau kerangka melihat peta politik Hindia yang sangat baru untuk masanya: “yang terprentah” dan “yang memrentah”. Dan kredo itu diperjuangkan dalam tindakan dengan gerakan pers yang sistematis: diurus oleh orang-orang terprentah dan didanai dari proses mengelola uang masyarakat yang terprentah.

Kritikus Kita
ini mencoba mencari celah-celah untuk membuktikan betapa Tirto punya coreng-moreng, termasuk menggunakan cara berpikir ahistoris dan tak melihat konteks (mempraktikkan politik kutipan lagi) ketika menuduh Tirto berbuat rasis pada Douwes Dekker.

Laku itu sama saja dengan menginginkan Tirto mesti tampil sempurna seperti seorang malaikat yang putih-bersih. Bagiku, ”memaksa” Tirto tampil sempurna dan langsung menghakiminya sebagai rasis tanpa mengindahkan pergolakan semasa di mana seseorang bertarung, tak ubahnya igauan.

Lagi pula, mustahil ada orang yang disukai oleh semua orang. Akan selalu ada orang yang tak menyukainya, termasuk Tirto. Jadi saya sih gak kaget jika di kemudian hari ada orang Aceh atau Papua menyatakan menolak Tirto. Itu sangat wajar sekali. Lha wong Benjamin Franklin aja, yang mengeluarkan traktat pembebasan para budak kulit hitam, masih saja ada orang kulit hitam yang menuduhnya rasis. (Sam Winsberg pernah membahas tuduhan rasis pada Franklin dalam buku Berpikir Historis. Bahasan itu amat membantu kita untuk berpikir historis dan menilai kepribadian tokoh sejarah secara adil dan sesuai konteks zamannya)

Ucapan Pram masih mengiang: ”Tirto secara falsafi tidak tahu arah tujuan yang akan ditempuh. Dan itulah keterbatasan intelektualnya. Sebagaimana halnya dengan setiap pelopor, perintis, tanpa contoh di hadapan, ia pun tidak kalis dari kekurangan dan kelemahan.”

Ya, Tirto juga manusia.

-----------------------------------

Oh ya, di sini saya kutipkan juga petikan wawancara dengan Taufik Rahzen soal tuduhan rasis pada project ini. Versi aslinya bisa dilihat di mesjid sebelah kepunyaan Muhidin.

Apakah Pak Taufik seorang rasis dengan memilih Tirto sebagai patok?

Saya akui bahwa saya kaget sekali dituduh rasialis dan Andreas Harsono mengait-ngaitkannya ke mana-mana. Saya bahkan tak memikirkan apa yang disampaikannya tentang Pribumi yang dipahaminya dan kemudian langsung ditudingkannya kepada saya. Dia nggak tahu saja bahwa saya pernah membuat tafsir sendiri atas apa yang disebut Pribumi, Ibumi, Bumiputra, Prabumi. Apalagi dia kait-kaitkan dengan Toriq Hadad, Fikri Jufri, di mana mereka adalah teman-teman baik saya. Aneh betul, dia yang memikirkan itu, tapi saya sama sekali tak memikirkannya.

Saya ini orang yang kosmopolit. Sejarah hidup saya adalah sejarah perjalanan ke seantero daerah konflik di muka bumi. Dan ingat: Saya itu orang Sumbawa dan Tirto itu orang Jawa. Saya sama sekali tak berpretensi asal-usul seperti itu.

Saya ke Perang Teluk Irak-AS mempertaruhkan nyawa yang selembar ini, ke Burma, ke Indo China, India, Sri Lanka, dan menggagas perdamaian multikultur di Bali, Kalimantan, dan nyaris di seluruh wilayah Indonesia saya gagas festival kebudayaan untuk perdamaian, dan sebagainya sebelum dia pergi ke mana-mana dan belum melakukan apa-apa. Saya melakukan itu untuk menghadang SARA dalam politik.

Karenanya, sungguh tudingan Andreas Harsono sama sekali tak berdasar. Yang justru rasialis itu dia sendiri. Dia yang terus mengutak-atik keluarganya sendiri dan membesar-besarkan isu tentang dirinya dari Tionghoa dan sebagainya di majalah, tanpa disadarinya bahwa pretensi itu saja sudah rasial. Dia justru membangkit-bangkitkan semangat itu di mana justru orang yang ditudingnya tak memikirkannya.

Kalau saya menyebut Pribumi, itu bukan dalam konteks pribumi asal-usul. Itu politik kewarganegaraan. Tiong Hoa yang kewarganegaraannya dan poros politiknya untuk kemajuan Indonesia, mereka itu disebut Pribumi atau dalam bahasa Tirto “bangsa-bangsa yang terprentah”. Soalnya kapan momentum itu terjadi. Perdebatan di internal aktivis pers Tionghoa itu kan terjadi pada 1932 saat PAI ada. Penulis-penulis spesialis (sejarah) Tiong Hoa saya kira tahu betul soal itu.

Jadi, bagaimana untuk menghadang semangat rasialis itu?

Mulai sejak dalam pikiran seperti kata Pram itu. Justru semangat membesar-besarkan Pribumi secara asal-usul itu yang coba dihadang Tirto dan sayangnya itu masih berada dalam kerangka berpikir Andreas. Kredo “bangsa yang terprentah” justru menyatukan bangsa timur asing dan inlander yang dikategorikan oleh Belanda secara rasialis itu. Tirto melihat peta politik bukan dari sudut asal-usul SARA itu, tapi ekonomi-politik. Karena itu, kalau ada Tiong Hoa yang korup, maka itu harus diserang.

Selengkapnya......

Minggu, November 25, 2007

Biarkan Buku Membukakan Dirinya

Jorge Luis Borges, orang Argentina yang meraih Nobel Sastra pada 1986, pernah membayangkan surga itu seperti sebuah perpustakaan yang agung.

Tentu saja saya tahu itu metafora. Tapi bagi orang yang justru tak pernah bisa membaca secara maksimal di perpustakaan, macam saya ini, metafora Borges itu pastilah berlebihan.

Kemarin saya nonton film Everything is Illuminate. Ada seorang kakek yang tak buta tapi selalu ingin dianggap buta, namanya Baruch, yang sewaktu muda terkenal punya kelakuan aneh. Tiap hari dia berkunjung ke perpustakaan di desanya. Tapi dia tak pernah membaca. Dia hanya sibuk menenteng-nenteng buku. Ia hanya menaruh buku itu di atas meja dan diam mematung seraya memandangi tumpukan buku di hadapannya.

Saya kadang merasa seperti tokoh Baruch jika berkunjung ke perpustakaan. Selalu bersemangat melihat katalog manual maupun digital, sibuk memesan buku, tapi kerap berakhir buruk: hanya membuka-buka saja, sesekali mencatat, dan seringnya berakhir dengan menulis order foto copy (terutama jika uang saku lagi berlebih).

Tapi ini bukan hanya terjadi di perpustakaan.

80% koleksi buku yang saya punya tersusun di paviliun bagian depan rumah. Selain ada sekira 1500-an buku, di paviliun itu juga saya tumpuk koran-koran, kliping-kliping, kertas-kertas kerja yang belum selesai, majalah dan jurnal, sebiji komputer pentium 3 yang sering ngadat, serta meja bundar dan empat kursi yang semuanya dari jati. Dan, tentu saja: semuanya berantakan dan acak kadul. Simbok menyebut ruangan itu sebagai "gua hira".

Apa yang terjadi: saya sangat jarang membaca di ruangan itu. Saat susah tidur, saya sering pergi ke paviliun dan mengambil beberapa buku. Lalu duduk di kursi. Membuka-buka buku, garuk-garuk, ngudud klepus-klepus, menguap, lalu beranjak ke dalam rumah sembari menenteng buku. Sembari rebahan di karpet, saya bisa lama membaca, kadang hingga pagi. Ketika bangun, saya sering menyadari, buku di karpet itu makin banyak ketimbang malam sebelumnya.

Jika saya sedang di kantor Jakarta, yang di semua ruangannya penuh dengan buku-buku, saya juga mengalami hal serupa. Bukan sekali dua saya berada di kantor Jakarta selama seminggu atau dua minggu dan saya tak pernah membaca serius. Membaca sambil lalu saja. Sekadar say hello, barangkali. Sebagian besar waktu saya habiskan di depan monitor, bekerja, menulis, menyunting naskah, membuka blog, sesekali chatting, browsing atau menghabiskan waktu dengan rebahan di sofa empuk sembari mencari-cari film bagus di HBO, Cinemax, AXN, atau nonton bola di EPSN dan MUTV.

Ya, saya lebih bisa membaca di ruangan yang tak terlalu banyak buku. Saya bisa secara acak mengambil salah satu di antaranya dan sering berjam-jam menekuri satu biji buku saja. Jika bukunya tak menarik, saya bisa ambil yang lain, begitu dan begitu seterusnya. Tapi saya bisa lebih tahan lama memegang buku jika begitu, ketimbang di ruangan yang sesak dengan buku, entah di perpustakaan pribadi, kantor atau perpustakaan umum.

Itulah sebabnya saya menyebar 300-an koleksi buku lainnya di seantero rumah. Di depan tivi, di karpet dekat pintu, di jendela, di kamarku atau kamar adikku, di buffet, kadang di dapur juga ada. 100-an buku juga saya angkut ke kantorku di dekat alun-alun kidul Jogja.

Dengan begitu, saya berharap, saya bisa ambil salah satu buku jika sedang rebahan, nonton tivi, atau jika lagi bengong tak karuan. Dan, seperti biasanya, saya bisa lebih tahan membaca.

Saya tak tahu kenapa dan saya tak berniat mencari jawabannya. Mungkin ini memang prilaku dan kebiasaan saya.

Seorang lelaki paruh baya, berusia sekitar 46 tahun, yang koleksi bukunya 20 kali lipat lebih banyak dari saya, yang sampai menyewa sebuah rumah di tepi jurang Dago Bengkok di Bandung hanya untuk menyimpan seperenam koleksi bukunya (sisanya tersebar di Bali, Jogja, Jakarta dan tertinggal di kota-kota lain yang pernah ia kunjungi: Athena, Yerusalem, Baghdad, Bam di Iran yang hancur oleh gempa, Sabharmati di India, hingga Tibet), ternyata punya prilaku yang sama dengan saya.

Dia pernah menyewa sebuah rumah kecil yang temboknya berdempetan dengan tembok perpustakaan nasional di Salemba. Alasannya, agar bisa lebih dekat dengan perpustakaan dan bisa dengan mudah pergi ke perpustakaan jika mau.

Hasilnya, dia hanya sekali masuk ke perpustakaan itu dan itu pun berakhir dengan sia-sia: bengong nggak jelas, hanya melihat katalog, memesan buku, dan dua jam kemudian ngeloyor pergi naik bajaj ke Kwitang.

Ternyata saya tak sendiri. Ada juga orang-orang yang betah membaca, tapi tidak di perpustakaan.

******

Dua malam lalu, untuk pertama kalinya, saya memikirkan hal ini. Pemicunya sederhana: buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang: 1954-1966.

Ini buku yang punya kisahnya sendiri sampai bisa di tangan saya. Dulu, seorang teman di kampusku, mencari buku ini setengah mati untuk keperluan skripsinya tentang novel Iwan Simatupang, Merahnya Merah. Hingga dia mengundurkan diri dari kampus tanpa menggondol ijazah, saya tak berhasil membantunya. Ajaibnya, saya menemukan buku ini di sebuah toko buku tua nan sepi di pojok kota Palangkaraya, persis pada saat saya sedang tak memerlukannya.

Itu terjadi pada awal bulan September silam. Saya biarkan saja buku itu. Sewaktu saya mau berangkat ke Jakarta, seperti biasa, saya menyambangi “gua hira”, melihat-lihat rak buku, dan mengambil beberapa. Salah satunya buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang itu. Hingga dua minggu di Jakarta buku itu tak pernah saya sentuh.

Dua hari yang lalu, saya tidur sore di sela-sela rak buku di ruangan belakang kantor. Iseng saya ambil bukunya Iwan dan membacanya. Asik juga membaca surat-surat Iwan yang ia kirimkan pada karibnya, B Sularto. Tapi yang jauh lebih menarik adalah surat-surat itu –juga novel Merahnya Merah-- ditulis sewaktu Iwan sedang tinggal di Hotel Salak. Bukan tinggal sehari dua hari, tetapi menetap selama –setidaknya—dua tahun, bersama anaknya (Iwan sudah bercerai ketika itu).

Saya berpikir seperti apa rasanya seorang manusia bohemian macam Iwan tinggal di hotel selama dua tahun. Di kamar yang tak seberapa luas, dengan seorang anak, memikirkan biaya sewa, makan, dll. Iwan menyebut dirinya sebagai “manusia hotel” atau ia juga menyebutnya “manusia in transito”.

Esoknya, setelah seharian bekerja, saya berbaring di tempat yang sama, di sela-sela rak besi perpustakaan di ruangan belakang kantorku. Saya kembali memikirkan tentang “manusia hotel”. Pada satu momen saya menoleh ke buku-buku yang tersusun di sampingku. Dan: aku menemukan biografi Sofyan Ponda yang ditulis Mottinggo Boesje dan dikata-pengantari oleh Rosihan Anwar.

Ada yang tahu Sofyan Ponda? Dia orang yang banyak mendirikan hotel-hotel kelas menengah di Jakarta di tahun 70-an. Hotel Sofyan, yang salah satunya ada di Gondangdia Lama, mengambil namanya. Hotel Menteng juga dia yang bikin dan punya. Dia pernah dijuluki “raja hotel-hotel kecil”.

Saya membaca buku itu dengan senang. Menarik menelusuri kisah hidupnya yang bohemian, yang menikah sampai tiga kali, yang tetap ke bar dan panti pijat walau sudah berusia 60 tahun, dan mengagumi Conrad Hilton yang mendirikan Hotel Hilton itu. Blak-blakan dia bagi kisah hidupnya. Tanpa malu-malu.

Ada kata-kata Sofyan Ponda yang aku suka: “Orang tidak mungkin kaya karena mendirikan hotel, tapi orang kaya biasanya memiliki hotel!”

Tiba-tiba, semuanya terangkai sedemikian rupa menjadi pemahaman baru. Saya menangkap sebuah ide yang berlesatan di udara. Ya, saya akan menulis satu esai tentang ini. Dalam waktu 2,5 jam, esai itu selesai.

Belum sempurna, memang. Saya masih merasa perlu mamajang kata-kata Knut Hamsun dalam novelnya yang menggairahkan, Lapar. Kata-kata itu begitu kuat. Tanpa kata-kata Hamsun, saya merasa ada yang tak lengkap dari esai itu. Sayangnya saya hanya ingat kira-kiranya saja. Persisnya saya lupa. Dan saya tak mau gegabah. Sialnya: saya tak puna novel Hamsun itu, copy yang saya punya ada di Jogja.

Itulah sebabnya esai itu ku biarkan saja bengong di salah satu folder. Tak akan saya kirim sebelum saya baca lagi Hamsun. Sampai kapan? Entahlah. Pastinya sampai saya baca lagi novel Lapar-nya Hamsun itu.

Kapan saya bisa membaca Hamsun? Entahlah. Saya tak akan bersusah payah mencarinya. Sebab, jika memang sudah waktunya, buku itu pasti menampakkan dirinya dengan cara yang tak terduga-duga. Jika saat ini saya belum menganggap kelar esai itu dan belum juga dapat menemukan buku Hamsun, itu artinya memang belum saatnya esai itu saya kirim dan belum pula saatnya saya bisa membaca lagi Hamsun.

Seperti waktu saya menemukan buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang. Siapa yang menyangka buku itu tergeletak di toko buku tua dan sepi di Palangkaraya? 5 ribu perak harganya.

Kebetulan? Mungkin saja. Sayangnya saya tak percaya dengan kebetulan. Ya, tak ada kebetulan dalam hidup. Apa yang kita anggap kebetulan-kebetulan itu sebenarnya adalah kepingan puzzle (ke)hidup(an) yang terangkai sedemikian rupa dan lantas membentuk apa yang kita sebut sebagai “sejarah”.

James Redfield, dalam novel Celestine Prophecy yang disebut-sebut membangkitkan gelombang eko-turisme, menyebut itu sebagai “koinsidensi”.

****

Saya pernah membaca Balthasar Oddysey: Nama Tuhan yang Keseratus karangan Amin Maalouf. Buku itu mengisahkan perjalanan Balthasar, seorang saudagar buku dari Spanyol, yang bepergian dari Mesir hingga ke Inggris untuk menemukan buku Nama Tuhan yang Keseratus. Barangsiapa bisa menemukan buku itu dan bisa melafalkan nama Tuhan yang ke seratus (asmaul husna berjumlah 99 bukan?), maka kiamat bisa tertunda.

Tapi sewaktu buku itu sudah diperoleh, Balthasar susah betul membacanya. Tiap kali mulai membaca, matanya sering meremang kabur. Berkali-kali dia mencoba dan selalu gagal. Paling banter cuma dua halaman saja bisa dia baca dalam sehari. Akhirnya buku itu ia taro begitu saja. Hingga beberapa lama. Ketika ia iseng membuka buku itu lagi, ternyata Balthasar bisa membacanya. Meski kadang matanya suka meremang kabur, toh buku Nama Tuhan yang Keseratus bisa dibacanya dengan relatif mudah.

Ada kata-kata Balthasar yang bagus di situ. “Kadang buku sendiri yang memilih kapan ia bisa dibaca dan oleh siapa,” begitu kira-kira kalimat Balthasar.


Begitulah kira-kira hubungan pribadi saya dengan buku-buku. Saya sering membeli buku dan saya tak menyentuhnya hingga berbulan-bulan bahkan tahun. Sampai satu waktu –tiba-tiba—buku itu membukakan dirinya, minta untuk aku buka dan aku baca. Kadang karena buku itu tergeletak di depan tivi atau di samping kasur dan aku malas beranjak ke bunker penyimpanan buku untuk mengambil buku yang lain. Atau kadang tiba-tiba aku menyentuhnya karena pekerjaan menuntunku untuk menyentuh dan membacanya.

Banyak buku yang tak ingin saya sentuh. Tapi jika sudah waktunya, buku itu pasti aku sentuh dan aku buka lalu aku baca. Buku yang menuntun dan menentukan kapan saatnya ia mesti dibaca.

“Buku itu seperti mahluk hidup, kok!” ujar lelaki paruh baya yang sempat kuceritakan tadi itu, lelaki yang nama belakangnya sama dengan nama depanku itu.

Itulah sebabnya, barangkali, saya jarang bisa membaca tekun di perpustakaan. Barangkali seperti seorang lelaki pemula yang sudah susah payah belajar dan menghapal kata-kata cinta tapi tak mampu berbicara sepatah pun sewaktu perempuan yang ditaksirnya sudah berada di depannya; tapi di lain waktu ia bisa dengan lancar bilang “I love you” pada perempuan yang sama saat ia tak merencanakannya sama sekali.

Orang yang mencari akan ditemukan. Kalau tak salah, itu kata-kata Rumi.

Selengkapnya......

Kamis, November 22, 2007

Agar Indonesia Tak Lekas Keriput

-- untuk bersihar lubis

"Kalau kamu mencurahkan tenaga untuk menulis,
seluruh dunia akan mendukungmu...." (Pramoedya Ananta Toer, 1986)

Siapa yang masih percaya bahwa penjara bisa membungkam pengarang dan kata-kata sebaiknya menyimak sumpah Tan Malaka.

Dari dalam kubur, kata Tan Malaka sewaktu diinterogasi polisi Hongkong pada 1927, “Suaraku akan terdengar lebih keras!”

Pengarang boleh mati atau dipenjara. Tapi kata-kata tak pernah bisa dikerangkeng. Sekali tertulis, kata-kata akan tumbuh sendiri, seperti organisme yang hidup, menembusi ruang dan waktu, menempuhi riwayatnya sendiri.

Umur kata-kata seringkali jauh lebih panjang ketimbang usia pengarangnya. Seperti wabah sampar, kata-kata yang ditulis dari kamar yang pengap atau kaki gunung yang sunyi bisa menyebar hingga tempat-tempat yang jauh di seberang benua. Ya, sampai jauh, seperti kata Nyi Ontosoroh kepada Minke: “Tahu kau mengapa aku sayang kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”

Jika kematian pengarangnya sekali pun tak sanggup menghentikan riwayat peredaran kata-kata, untuk apa lagi mahkamah dan penjara?

Para hakim, jaksa dan polisi, tidakkah Anda mengerti bahwa (gagasan tentang) Indonesia (yang merdeka) dirumuskan, disuar-pendarkan, dibayangkan dan –karenanya bisa dibilang—dilahirkan dari sel-sel penjara dan pulau-pulau pengasingan?

Sewaktu menerbitkan hasil penelitiannya tentang dunia pergerakan antara 1927-1934, John Ingleson dengan tepat memberi bukunya itu judul yang metaforis: “Road to Exile”. Dengan memilih metafora itu sebagai judul bukunya, Ingleson seperti hendak menegaskan bahwa jalan pergerakan menentang kolonialisme Belanda adalah satu rute panjang nan terjal menuju pemenjaraan dan pengasingan.

Dunia pergerakan adalah jalan pintas menuju pemenjaraan dan pengasingan. Banyak aktivis pergerakan yang mesti merasakan pengapnya gedung Landraad seperti yang dialami Soekarno, dinginnya sel penjara seperti dialami Hatta atau Tan Malaka dan buasnya pulau pengasingan yang bertabur malaria dan kolera seperti yang dialami oleh Mas Marco Kartodikromo hinggwa wafatnya di Digoel.

Banyak yang tumpas umurnya. Tak sedikit yang merosot dan jatuh mentalnya, tidak hanya menjadi gila, tapi juga menyerah dalam keputusasaan dan rasa gentar. Tapi, kita juga tahu, pada sosok-sosok terbaik aktivis pergerakan –yang beberapa sudah saya sebutkan namanya barusan-- pemenjaraan dan pengasingan justru membuat visi dan gagasan ihwal Indonesia yang merdeka makin menemukan bentuknya yang jelas dan benderang.

Dan dari dingin dan sunyinya penjara dan pengasingan itulah, mereka mengolah batin, memertajam kepekaan, dan mengasah pikiran. Dari tempat yang jauh dari hiruk pikuk, mereka bertapa dan menggelar apa yang oleh Profesor Sartono Kartodirdjo sebagai “laku yogi” atau "mesu budi" menurut Mangkunegoro V dalam Serat Wedhatama.

Mereka membaca buku yang bisa mereka jangkau, memikirkan apa yang bisa mereka pikirkan dan merenungkan apa yang bisa direnungkan. Hasil pembacaan, pikiran dan perenungan itu mereka olah kembali dan –selayaknya para empu keris—bahan-bahan olahan itu mereka tempa-lipat sedemikian rupa menjadi “berbilah-bilah keris” dengan daya pamor yang gilang-cemerlang.

Soekarno melahirkan berbilah-bilah “keris” berupa berlembar-lembar artikel yang bagus tentang hubungan Islam dan negara. Hatta melahirkan “keris” yang ia namai “Alam Pikiran Yunani”. Sjahrir melansir “keris” yang kelak masyhur dengan julukan “Indonesien Operveinzingen”.

Karya-karya itulah, yang jumlahnya pasti berlimpah jika semuanya disebutkan satu per satu, yang menjadi “medical record” atas embrio yang masih begitu belia: Indonesia. Karya-karya itu pula yang mesti dibaca bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana gestur dan tekstur gagasan (ke)Indonesia(an) dalam bentuknya yang masih janin.

Indonesia –sedikit banyak—memang ditemukan, dibayangkan, disuar-pendarkan dan dirumuskan dari pengapnya ruang pengadilan, dinginnya lantai penjara dan ganasnya pulau pengasingan.

Jika kita memberi dorongan dan dukungan pada Bersihar Lubis, pastikan bahwa dorongan dan dukungan itu bukan hanya untuk Bersihar Lubis karena dia pasti tak akan gontai dan tak akan berhenti menulis. Pastikan bahwa dorongan dan dukungan kita juga bukan semata untuk kebebasan berkarya karena situasi yang tidak bebas dan pemenjaraan justru kerap menjadi ladang persemaian karya-karya besar.

Kita memberi dukungan dan dorongan pada Bersihar Lubis terutama karena kita tidak ingin artikel atau pledoi Bersihar kelak akan diingat dan dibaca oleh anak cucu kita sebagai “medical record” dari Indonesia yang sudah tua, keriput, megap-megap dan nyaris sekarat.

Saya tidak menginginkan itu. Kita tidak menginginkan itu.

Selengkapnya......

Minggu, November 18, 2007

"Oral Sex" Raja Jawa

Saya masih ingat, belasan orang yang ada satu ruangan dengan saya terkejut bukan main sewaktu saya bilang: “Oral seks di Kraton Jawa, dan itu dilakukan oleh sesama laki-laki bangsawan, bahkan diabadikan dalam Babad Tanah Jawi!”

Ketika itu saya berhadapan dengan dua kelompok orang yang sedang bersitegang. Kelompok pertama adalah anak-anak UKM Seni dan Tradisi di bekas kampus yang sudah saya tinggalkan. Mereka baru saja kena “musibah” ditegur keras dan bahkan dibekukan kepengurusannya karena mementaskan satu lakon yang –bagi jajaran rektorat—dianggap melanggar batas-batas kesopanan. Kelompok satunya adalah anak-anak BEM, baik universitas maupun fakultas, yang mengecam pertunjukan itu dan mereka pula yang “menekan” pihak rektorat untuk “menegur keras” UKM Seni dan Tradisi.

Peristiwa itu berlangsung pada tengahan 2005 silam. Sudah lama, memang. Tapi saya masih ingat bahwa argumen pihak rektorat untuk membekukan kepengurusan UKM Seni dan Tradisi karena pertunjukkan itu tidak (1) mengindahkan nilai-nilai ketimuran, (2) tidak edukatif dan (2) tidak memedulikan status kampus sebagai “pabrik” penghasil guru yang mesti bermoral adilihung.

Terus terang saja saya tak sabar karena jargon “nilai-nilai ketimuran” terus direpoduksi selama dua jam terus menerus tanpa ada satu pun dari mereka yang pernah menjelaskan apa yang dimaksud dengan jargon “nilai-nilai ketimuran” itu. Saya yang tadinya hanya mendengarkan–maklum udah mahasiswa tua yang kudu tahu diri—tak tahan untuk tidak angkat bacot.

Dan saya ceritakanlah soal hisap-menghisap sperma itu.

Pangeran Puger diangkat menjadi Sultan Mataram dengan gelar Pakubuwana I setelah berhasil mengalahkan Amangkurat III (keponakannya sendiri). Puger sendiri didukung dan memang meminta dukungan dari VOC. Kendati demikian, status Paku Buwana I bermasalah karena ia naik melalui satu proses yang –katakanlah-- tidak normal. Pangeran Puger merasa ia belum memeroleh “wahyu keraton”. Pendeknya, kekuasaan Puger tidak legitimate.

Lantas, bagaimana ia membangun legitimasinya?

Serat Babad Tanah Jawi memberi legitimasi dengan mengisahkan bahwa Pangeran Puger menghisap sperma Amangkurat II (kakaknya sendiri atau ayah dari Amangkurat III). Dahsyatnya lagi, Puger menghisap sperma ketika abangnya itu sendiri sudah menjadi mayat. (Apa kira-kira istilahnya? Oral sex cum nekrofilia? Hehehe….)

Adegan itu tercatat dalam Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit saking Nabi Adam doemagi in Taoen 1647; yang dalam edisi cetakan 1941 ada di halaman 260. Adegan yang sama bisa dilihat dalam monograf yang detail dan memukau karya Darsiti Soeratman yang berjudul Kehidupan Dunia Kraton: Surakarta: 1830-1935 di halaman 212.

Tentu saja saya tahu bahwa babad bukanlah karya ilmiah sejarah. Sudah biasa jika babad-babad itu merupakan hasil kolase fiksi dan fakta. Tapi, pada level membangun legitimasi kekuasaan di hadapan massa rakyat, sudah tak relevan lagi itu fakta atau fiksi. Yang terang, secara sadar fragmen itu memang diciptakan untuk menjelaskan bahwa Puger atau Pakubuwana I sudah menerima “wahyu keraton” dengan menghisap sperma Sultan sebelumnya, Amangkurat II, yang adalah kakak angkatnya sendiri.

Bisakah Anda bayangkan, seorang Sultan Mataram yang menyandang gelar Panembahan Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama (Panglima Perang dan Ulama yang Menata Agama) membangun legitimasinya dengan cara menghisap sperma kakaknya sendiri yang sudah jadi mayat?

[Dalam kasus Ken Arok, Kitab Pararaton membangun legitimasi kekuasaany dengan mengisahkan bahwa Ken Arok sudah membawa wahyu kraton (kadang disebut wahyu keprabon) karena sewaktu bayi Ken Arok ditemukan di hutan, badannya sudah memancarkan cahaya berkilauan. Cahaya dari kemaluan --ada yang menyebut dari paha-- Ken Dedes yang dilihat Ken Arok pun kadang ditafsirkan sebagai wahyu kraton yang mendatangi Ken Arok. Bayangkan: wahyu keraton berasal dari selangkangan perempuan. Ck ck ck ck]

Ketika itu saya ajukan sepucuk pertanyaan retoris: “Jadi, jika UKM Seni dan Tradisi dianggap melanggar nilai-nilai ketimuran hanya karena mementaskan lakon hasil adaptasi Serat Centhini, nilai ketimuran mana yang dilanggar?”

Saya masih belum selesai. Saya bilang: “Justru apa yang kita sebut sebagai tradisi kebudayaan Timur itulah yang getol mengeksplorasi pengalaman seksual.”

Serat Centhini, yang disebut-sebut sebagai kitab dengan kadar ensiklopedis karena kekayaan materinya dalam mengungkap kekayaan pengetahuan Jawa, menyediakan satu bagian khusus yang mengajarkan detail hubungan seksual. Muhidin M Dahlan pernah dengan ciamik mengadaptasi sex education ala Centhini ini dalam novel tebalnya, Kabar Buruk dari Langit.

Belum cukup? Dari Bugis, ada juga kitab semacam Serat Centhini ini. Nama kitabnya: “Assikalaibineng”. Sebuah disertasi di UI–yang sayangnya sudah saya lupa judul dan penulisnya—pernah mengkaji manuskrip bugis ini. Dalam khasanah Melayu, dikenal kitab yang dinamai “Serat Pegawai”. (Belum lagi kalau menyebut Kamasutra dari India atau The Secret Garden dari jazirah Arab)

Dari dunia pesantren, sejumlah kita kuning juga menguraikan hal yang sama, di antaranya Kitabun-nikah, Uqudullijain dan Ushfuriyah. Yang juga perlu disebut barangkali adalah Qurrat al-Uyun yang detail mengurai tipe-tipe perempuan berdasar perspektif seksual dan juga membahas tahapan-tahapan dalam hubungan suami istri serta sejumlah persoalan seks lainnya.

[Soffa Ihsan pernah menulis buku–In the Name of Sex: Santri, Dunia Kelamin dan Kitab Kuning-- yang cukup detail memerikan bagaimana prilaku seksual di pesantren, baik antara santri dengan santri maupun santri dengan pengasuhnya dan ini berlangsung sesama jenis. Ada satu istilah yang bisa menggambarkan hubungan macam itu: “mairil”. Remuk redam gini saya pernah mondok di pesantren, jadi tahu dikit-dikitlah “kenakalan” santri-santri yang saban hari hanya melihat mahluk yang sejenis dengannya]

Saya tidak bilang bahwa karya-karya itu mengajarkan pornografi. Sewaktu saya menyebutkan karya-karya itu, saya cuma ingin menegaskan bahwa soal seksualitas adalah medan wacana yang terbuka untuk dibicarakan, diapresiasi dan dipelajari dengan terbuka, tanpa pandang kelas sosial, apakah itu bangsawan atau jelata dan sahaya.

UKM Seni dan Tradisi dan pementasannya tersebut, saya bilang ketika itu, justru meneruskan kembali tradisi kebudayaan Timur yang memposisikan seks sebagai satu diskursus. Bedanya, kali ini menggunakan medium seni pertunjukkan. Dan sejauh yang saya lihat, pertunjukkan itu memang jauh dari pornografi.

Salah satu peserta diskusi sempat menyela dengan mengatakan bahwa perilaku “amoral” itu kan dilakukan oleh para bangsawan dan bukan rakyat kebanyakan.

Saya jawab: Pertama, dalam kesadaran orang Jawa di masa silam, kraton justru adalah sumur di mana standar moralitas Jawa ditimba. Nilai-nilai kebudayaan Jawa banyak lahir dari sana. Jadi, agak sukar untuk menarik segregasi yang hitam putih antara kraton dan jelata-sahaya. Jangan heran jika bagi orang Jawa pada masa itu, menjadi abdi dalem adalah jalan hidup terbaik untuk mengabdi pada pusat moral dan duniawi sekaligus; perilaku yang hingga kini masih bisa kita saksikan di Kraton-kraton Jawa.

Kedua, rakyat jelata juga terlibat dalam konfigurasi tata nilai macam itu, termasuk dalam soal seksualitas. Saya contohkan saja satu kasus yang pernah dieksplorasi dengan cukup detail oleh Darsiti Soeratman dalam monograf yang saya sudah saya sebutkan di awal tadi.

Di Kraton Surakarta, bukan hal aneh jika ada abdi dalem yang mengirimkan anak gadisnya (minimal berusia 12 tahun) ke Kraton. Resminya mereka diminta untuk belajar tari Bedhaya. Mereka kerap disebut para Bedhaya. Di luar yang resmi-resmian itu, para orang tua yang mengirimkan anak gadisnya ke Kraton itu biasanya berharap agar anaknya “dihamili oleh raja” sehingga bisa dinikahi sebagai istri selir (garwa selir atau priyantun dalem). Jika itu terjadi, kekayaan dan status keluarga si gadis bisa terangkat (macam itu bisa masuk delik perdagangan perempuan gak ya?)

Dan harapan itu kerap terkabul. Bukan sekali dua para bedhaya itu kedapatan hamil. Jika beruntung, raja bisa menikahinya. Jika apes, raja cukup “memberikan” bedhaya yang hamil itu pada abdi dalem yang lain. Itulah sebabnya, pelajaran tari bagi para bedhaya itu disindir sebagai “magang selir”: magang bagi siapa-siapa yang ngiler jadi selir.

Bukan sekali dua raja menyukai lebih dari satu bedhaya. Siapa yang disukai raja bisa dengan mudah memeroleh hadiah yang mahal-mahal. Jangan heran jika sesama bedhaya sendiri sering bersaing satu sama lain.

Biasanya, raja memanggil salah satu bedhaya ke ruangan kerjanya di bangsal Madusuka. Jika sudah begitu, semua penghuni keputren sudah tahu sama tahu. Lucunya, karena persaingan itu tadi, kerap terjadi ketika raja sedang menunggu bedhaya yang dipanggilnya, bedhaya yang lain kadang nekat dengan lebih duluan “menyusup” ke ruangan raja.

Peristiwa macam itu menjadi praktik yang lazim. Banyak bedhaya yang ketiban apes tak kunjung hamil sehingga peluang untuk diangkat sebagai selir pun makin tipis. Jika sudah begitu, siap-siap saja orang tua si gadis menarik pulang anaknya untuk dikawinkan dengan orang di luar kraton.

Jika sudah begitu, mestikah diherankan jika raja-raja Jawa bisa memiliki jumlah anak puluhan? Saya punya daftar: Pakubuwana III beranak 46 orang, Pakubuwana IV beranak 56 orang, Pakubuwana V beranak 45 orang, Pakubuwana IX beranak 57 orang. (Padahal zaman itu belum ada viagra! Hehehehe…..)

Salah satu buku yang banyak mengisahkan kehidupan seks di kraton Jawa dan masih mudah diperoleh adalah buku Otto Soekatno, Seks Para Pangeran. Di buku itu ada salah satu bab yang mengisahkan bagaimana Amangkurat I membantai mertuanya sendiri, Pangeran Pekik, karena Pekik melindungi anak Amangkurat I sendiri (berarti cucu Pekik sendiri) yang kedapatan berselingkuh dengan selir ayahnya. Amangkurat I ini memang terkenal tiran. Pernah membunuh ribuan ulama dan penguasa lokal. Barangkali, Amangkurat I ini pantas dijuluki Kaisar Nero dari Jawa.

Dan yang beginian bukan monopoli kraton yang didukung dengan diam-diam oleh kawula raja yang mengirim anak gadisnya untuk jadi penari bedhaya saja, tetapi juga memang menjadi cermin dari apa yang terjadi di masyarakat.

Dalam tradisi reog di Ponorogo, misalnya. Lazim terjadi seorang warok “memelihara” seorang anak laki-laki yang rupawan. Hubungan macam ini disebut “gemblakan”. Ada kepercayaan bahwa seorang warok bisa makin berlipat kekuatan magisnya jika bisa “memelihara”, “mencecap” dan “menyerap” energi gemblaknya yang masih ingusan dan jelas-jelas bujangan thing thing. (pedofili bukan ya?)

Jadi, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Timur? Jika memang ada, yang mananya? Tentu saja ada jawaban atas pertanyaan itu. Yang saya ingat, para peserta diskusi yang jumlahnya belasan orang itu kesulitan menjawab.

Dengan mengerahkan kemampuan “speak-speak guk-guk” yang rada-rada hiperbolis, saya berharap diskusi itu bisa membuat mereka yang hadir untuk lebih berhati-hati dan syukur-syukur mencoba merumuskan dengan lebih mantap apa disebut sebagai “nilai-nilai luhur kebudayaan Timur”. Ini mungkin lebih baik ketimbang terus-menerus mereproduksi kata-kata yang sudah menjadi jargon.

Seringkali apa yang sebelumnya dibayangkan sebagai konsep yang sudah jelas dari sononya ternyata masih berlubang di sana-sini.

Selengkapnya......

Kamis, November 15, 2007

Goenawan dan Harapan yang Tak Selesai

Siapa yang berharap ia harus siap kecewa.

Saya mencari, membeli dan lantas mulai membaca buku “Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai” karya Goenawan Mohamad dengan sejumlah harapan. Tapi sayangnya saya menangguk kecewa karenanya.

Pada 23 September 2007, saya membaca sajak-sajak Goen di Kompas; sajak-sajak yang menafsir-ulang roman klasik Cervantes dan menatahnya kembali menjadi rentetan bunyi, kata, baris dan bait yang mengesankan, juga memesona. Seorang teman yang sedang jatuh cinta, amat sering membaca dua baris sajak Goen –dua baris sajak yang kata temanku itu bisa menggambarkan suasana hatinya: “Aku Don Quixote de La Mancha, majenun yang mencarimu.”

Dan di bawah sajak-sajak itu, tercetak beberapa baris atribusi Goen yang salah satunya berbunyi: “Dalam waktu dekat akan terbit buku kumpulan aforismenya, Tentang Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”.

Saya tidak tahu atribusi itu dibuat Goen sendiri atau dibuat oleh Hasif Amini, editor (tamu) rubrik puisi Kompas yang juga sahabat Goen. Dan, terus terang saja, atribusi itu membuatku menunggu terbitnya buku Goen yang satu ini.

Saya berharap akan “menemukan Goen yang lain”, bukan Goen yang menulis Catatan Pinggir (Caping), bukan Goen yang menulis dengan serakan kutipan dan nama-nama besar yang frase-frasenya dicuplik dengan pas dan seringkali cantik.

Goen yang macam itulah, juga Goen yang penyair, yang saya kenal pertama kali di semester pertama kuliah. Via Caping dan puisi-puisinya tentu saja. Saya membacanya, kadang saya ikut-ikutan gayanya menulis (terutama gaya dia menyusun lead) dan bukan sekali dua saya mengutipnya.

Saya seringkali tergoda untuk mencari dan membaca buku-buku yang dicuplik/diulas Goen di esainya. Ulil Abshar Abdalla, dalam esai obituari Edward Said di Kompas, pernah menyebut Goen sebagai “makelar budaya” yang pintar mengenalkan dan memprovokasi orang untuk juga membaca buku-buku yang dikutipnya.

Nirwan Arsuka, dalam salah satu sesi workshop penulisan esai di Yogyakarta beberapa bulan silam, menyebut hampir tak ada penulis esai (berusia muda) di Indonesia yang tak membaca Caping dan banyak di antaranya kepincut dengan Caping. Nirwan, saya kira, tak berlebihan, setidaknya bagi saya pribadi.

Tapi, jujur saja, belakangan saya jarang bisa menikmati Caping seperti beberapa tahun silam. Seringkali saya menangkap kesan Goen mengulang kembali apa yang sudah ditulis sebelumnya; sesuatu yang cukup wajar karena Caping ditulis terus menerus per pekan. Terutama ketika berbicara tentang Tuhan, agama dan sikap keberagamaan, spiritualitas, sekulerisme, Goen –saya kira—selalu berbicara dengan sudut pandang dan pokok pikiran yang sama.

Di satu sisi ini sebentuk konsistensi Goen dalam tema-tema itu, tapi –jujur saja—saya tak banyak menemukan hal yang baru di situ. Saya tidak menyebut repetisi, apalagi copy-paste, karena Goen –seperti biasa—tetap menghadirkan kutipan-kutipan segar dan baru, mengenalkan pemikir dan nama-nama baru, dan terkadang diksi-diksi yang tak saya kenal yang membuat saya penasaran dan terpaksa membuka KBBI yang bercover merah itu.

Tapi, itu permukaan. Di jantungnya yang terdalam, Goen tetap berbicara dengan sudut pandang dan pokok pikiran yang sama dalam tema-tema itu: merayakan pluralisme, spiritualitas yang melintasi sekat-sekat primordialisme dan agama, dll.

Itulah sebabnya, sekitar dua tahun terakhir, tiap kali Goen menulis tema-tema itu, saya kadang membacanya sepintas lalu saja dan –tentu saja— tanpa greget seperti saya membacanya empat atau lima tahun silam.

Ketika mendengar akan terbit buku Goen yang baru, saya berharap akan menemukan Goen yang –seperti “dijanjikan” oleh atribusi Goen di bawah sajak-sajaknya di Kompas- menulis aforisma: kalimat-kalimat yang ringkas, padat, tidak bertele-tele dan tidak “menghambur-hamburkan” kutipan. Mungkin seperti Kalender Kearifan-nya Leo Tolstoy atau kalau pun tulisannya agak panjang ya… seperti Sang Nabi-nya Kahlil Gibran atau tulisan-tulisannya Inayat Khan (untuk menyebut yang pernah saya baca).

Saya tidak berharap Goen akan berbicara dengan sudut pandang atau pokok pikiran yang baru dan mengejutkan, karena Goen –saya menebak ketika itu—akan tetap berbicara dari semangat dan pokok pikiran yang sama. Jadi, harapan saya pada buku Goen yang baru ini, adalah harapan yang –katakanlah—harapan yang sifatnya “teknis”: soal cara Goen menulis. Itu saja harapan saya.

Dan, itulah yang terjadi: siapa yang berharap ia mesti bersiap kecewa. Kali ini saya yang berharap dan akhirnya kecewa.

“Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai” adalah buku yang tak banyak bedanya dengan Caping. Tak hanya itu, para pembaca setia Caping niscaya dengan mudah menemukan tema-tema yang juga pernah diuraikan Goen di Caping dan dengan sudut pandang yang juga sama.

Hal itu bahkan sudah terlihat dalam tulisan I (ada 99 tulisan Goen di sini, dan masing-masing tulisan oleh Goen disebut sebagai “tatal”: serpihan-serpihan kayu yang dipadatkan, tiang-tiang mesjid Demak terbuat dari bahan tatal macam itu). Di situ, Goen menulis tentang tatal yang menopang mesjid Demak. Goen, di situ, membayangkan agama yang tersusun oleh hal-hal yang terbuang, seperti remeh serpih kayu yang disusun jadi tatal, bukan oleh pokok yang lurus dan kukuh.

Tulisan pertama ini bukan hanya berbicara dengan pikiran yang sama dengan esai-esai Goen yang lain jika berbicara tentang Tuhan, agama dan keberagamaan atau spiritualitas, tetapi tema tentang mesjid Demak dan tatal juga sudah diuraikan Goen di Caping berjudul “Jenar” yang tayang di Tempo edisi 12 Januari 2003.

Tema-tema yang digarap ulang kembali dengan mudah akan ditemukan oleh para pembaca yang akrab mengikuti Caping. Sekadar menyebutkan contoh: tulisan ke-24 tentang film the Passion of Christ, tulisan ke-28 (lead tulisan ini bahkan hampir sama dengan Caping berjudul “Pagoda”), tulisan 32 yang mengutip puisi Chairil, tulisan 35 yang menyinggung soal momen sederhana seperti melihat burung kecil yang mengejutkan, tulisan 60 tentang menara Babel (pernah digarap sewaktu Goen mereview film Inarritu, Babel).

Itu adalah contoh yang saya pilih secara acak. Seandainya saya menulis ini di ruang perpustakaan saya sendiri, dengan koleksi Caping yang lengkap, saya niscaya bisa menemukan lebih banyak. Sebab, banyak sekali bagian yang rasanya saya akrab dan pernah membacanya, tapi saya lupa persisnya di Caping edisi berapa itu pernah muncul.

Belum lagi soal “hobi” Goen yang lain yaitu mengutip frase-frase atau bait-bait sajak hasil karya orang lain. Ini juga masih sangat sering muncul di buku Goen yang ini. Kutipan-kutipan itu, tidak hanya dikutip lengkap, semisal satu baris, satu frase atau satu bait, tapi sering juga satu kata.

Kadang, jujur saja, saya terganggu dengan cara Goen menyelipkan kutipan satu kata untuk menjelaskan apa yang ingin disampaikannya.

Misalnya pada tulisan 51: “Di baliknya ada masyarakat, kekuasaan, juga hukum: sebungkah mereka (l’autre, kata Lacan) yang memberi diriku stabilitas sebuah nama, sebuah identitas, melalui bahasa.”

Atau pada tulisan 52: “Dan di tatapan subyek seperti itulah dunia tersaji bagaikan gambar –sebagai weltbild, untuk memakai kata-kata Heideger, dunia yang diringkas jadi obyek…”

Karena saya berharap tidak melihat Goen yang menulis Caping, seperti yang sudah saya ceritakan di awal, saya kecewa menemukan hal-hal semacam itu di buku Goen yang ini. Kutipan l’autre dari Lacan atau Weitbeld dari Heideger itu terasa seperti menggambarkan Goen yang kurang yakin bahwa pembaca juga belum mengerti apa yang hendak ia sampaikan. Menurut hemat saya, penulis esai pemula, seandainya Goen tak mencantumkan l’autre dan weitbeld sekali pun, pembaca tetap bisa menangkap apa yang hendak ia utarakan. (Atau mungkin Goen kurang percaya diri? Mudah-mudahan bukan.)

Tulisan-tulisan dalam “Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”, apa boleh buat, memang tak banyak berbeda dengan Caping. Kita juga masih akan sering menjumpai tulisan-tulisan yang panjang, tulisan-tulisan yang –bagi saya—jauh dari ringkas. Lebih pendek dari Caping, memang, tapi masih bergaya Caping. “Caping banget”, pinjam istilah anak-anak sekarang. Kata-kata masih “berhamburan”, masih muncul beberapa kutipan yang –bagi saya—tidak perlu.

Dan karenanya, kalau bolehlah saya menilai: Goen terasa bertele-tele dan seakan tak yakin bahwa pembaca bisa mencerna apa yang ingin ia katakan bisa ditangkap hanya lewat tulisan pendek atau paragraf yang ringkas atau pasase yang padat.

Padahal, Goen bisa menyusun tulisan pendek yang ringkas dan padat, dengan paragraf berjumlah satu atau dua biji saja, dan hasilnya bagus juga.

Misalnya, saya contohkan beberapa, tulisan 37: “Dilihat dari langit dan keabadian, sejarah tak berbunyi, tak berwarna; tak merisaukan hati: kisah kegagalan yang tak menimbulkan jera, kegairahan dan trauma yang tak dijumlah karena tiap kali terasa berbeda. Ini menjelaskan kenapa dewa-dewa dalam Mahabharata dan Illiad berbuat heboh dan tanpa sesal.”

Sayangnya, yang seperti itu tak banyak jumlahnya. Kebanyakan, kalau boleh saya bilang, seperti Caping yang (di)pendek(kan). Ada beberapa paragraf yang kuat dan mengesankan, tapi karena Goen tak mampu menahan hasratnya untuk terus berkata-kata, paragraf yang kuat tersebut jadi berkurang kemandiriannya (dan kekuatannya), karena diimbuhi oleh paragraf lain lengkap dengan kutipan dari pemikir lain.

Buku ini, karenanya, masih menampakkan Goen yang menulis Caping, sebagai esais yang masih merasa perlu “mendesakkan” banyak kata-kata.

Jika saya editor buku ini, mungkin saya akan mencantumkan sub-judul berbunyi: “Versi Lain Catatan Pinggir” atau mungkin “Catatan Pinggir Volume 7 “.

Selengkapnya......

Sabtu, November 10, 2007

Yang "Membakar" Surabaya dengan Mulutnya

Pada 17 Agustus 1978, berlangsung sebuah upacara kecil nan khidmat memeringati kemerdekaan RI di sebuah penjara di Jakarta. Persis ketika sang saka merah putih dikerek ke udara dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, salah seorang tahanan yang sudah cukup renta tampak menangis.

Ismail Suny, orang yang kini dikenal sebagai pakar hukum tata negara, yang dibui karena berseberangan pendapat dengan Soeharto, mendekati lelaki tua yang masih tampak gagah itu. Dengan setengah berbisik, Suny berkata: "Mengapa Bung menangis? Biasa sajalah."

Suny tak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan ucapannya dengan mengutip sekuplet kata-kata Ho Chi Min: “Dari penjaralah justru muncul orang-orang besar.”

Ho Chi Minh mungkin benar. Seandainya Suny berbicara dengan seorang aktivis muda berusia dua puluhan yang dijebloskan ke penjara karena berunjukrasa, kata-kata Ho Chi Minh yang ia kutipkan mungkin bisa menginjeksi nyali dan denyut nadi perlawanan aktivis itu.

Tapi Suny tak tak berbicara dengan seorang anak muda. Dia berbicara dengan seorang lelaki yang usianya sudah melewati separuh abad, yang dijelujur riwayat hidupnya dipenuhi kisah-kisah heroik perjuangan, seorang lelaki yang pada satu masa pernah memompa semangat dan nyali penduduk seantero kota dengan pidato-pidatonya yang membakar.

Suny sedang berbicara dengan Bung Tomo.

Bung Tomo hadir di penjara bukan sebagai inspektur upacara yang dimintai wejangannya. Bung Tomo mengikuti upacara peringatan kemerdekaan RI di penjara, menatap dikereknya bendera merah putih ke udara di penjara, dalam status sebagai tahanan politik.

Kita tak pernah tahu kenapa Bung Tomo menangis. Yang kita tahu, tiap kali kita mengenang nasib orang-orang yang berjuang memertahankan proklamasi di saat-saatnya yangg tergenting, atau jauh ke belakang lagi, mengenang orang-orang yang pasa masa kolonial Belanda keluar masuk penjara untuk menggerakkan kesadaran rakyat, kita seakan sedang menemukan sebuah kitab yang isinya melulu tragika hidup: riwayat-riwayat hebat yang di ujung hidupnya, atau setidaknya pada penggal tertentu hidupnya, harus menerima rentetan kekecewaan hidup. Mungkin juga kegagalan hidup.

Kita tak bisa mengerti, bagaimana orang macam Bung Tomo bisa dipenjarakan. Membahayakan pemerintah? Apa mungkin dia membahayakan negara yang dulu ia perjuangkan dengan semua kenekatan dan keberaniannya yang legendaris itu?

Jika kita berbicara tentang kisah-kisah heroik perlawanan terhadap upaya Belanda menduduki Indonesia pasca proklamasi 1945, nyaris mustahil kita tak menyebut Bung Tomo. Dalam soal perlawanan langsung di medan tempur yang riil, si bung yang satu ini, melampaui “tiga bung” paling masyhur dalam sejarah Indonesia: apakah itu Bung Karno, Bung Hatta atau pun Bung Sjahrir.

“Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir,” tulis Chairil Anwar dalam sajaknya yang terkenal, Krawang-Bekasi.

Bung Tomo tak ada di sajak itu. Chairil bukannya lupa dan tak tahu siapa Bung Tomo. Chairil justru sangat tahu, Bung Tomo tak perlu dijaga. Juga tak perlu dikawal. Bagaimana pula mengawal seorang pemimpin perang yang hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat, dari satu front ke front lain dengan kilat?

*****

Di sebuah sudut kota Surabaya, di ruang kecil seukuran kamar tidur, Bung Tomo duduk di depan sebuah meja kecil. Di depannya, tersorong sebuah mikrofon. Tangannya memegang beberapa helai kertas yang sudah dicoreti oleh potlot.

Dari memoar yang ia tuliskan sendiri, kita simak apa yang berkecamuk di kepala anak muda bertubuh ramping mungil ini.

“Pidatoku mulai kubaca. Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di dalam studio. Seolah-olah di mukaku ada beribu-ribu, bahkan puluhan ribu orang yang mendengarkan pidatoku. Seakan-akan pendengarku itu seorang demi seorang kudekati dan kupegang bahunya, kuajak waspada, bersiap, menghadapi bahaya yang mendatang…. Tak dapat kulukiskan betapa gembiraku, ketika selesai aku membaca. Hampir tak kubersihkan peluh yang membasahi mukaku…. Aku mendengar beberapa orang di antara mereka itu berkata: “Tidak berbeda dengan Bung Karno’.”

Titimangsa ketika itu menunjuk 14 Oktober 1945. Dan dentang pukul terlihat berhenti di angka 19.30 malam. Itulah saat untuk pertama kali Bung Tomo berbicara di corong Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Dan itulah kali pertama Radio Pemberontakan tersebut mengudara.

Radio itu didirikan atas inisiatif Bung Tomo. Kisahnya berawal dari kepergian Bung Tomo ke Jakarta pada awal Oktober. Dalam statusnya sebagai wartawan Antara dan Biro Penerangan Komite Nasional Indonesia Daerah Surabaya, Bung Tomo bertemu dengan pemimpin-pemimpin republik, menceritakan bagaimana di Surabaya arek-arek tak pernah membiarkan sekali pun bendera Belanda berkibar sekenanya, dan juga mengusulkan agar didirikan sebuah siaran radio untuk membakar dan menjaga semangat rakyat, sebagai penyeimbang atas siasat diplomasi pemerintah. Dan radio itu, kata Bung Tomo, sifatnya klandestin dan di luar tanggungjawab pemerintah.

Dari situlah Radio Pemberontakan itu lahir. Dari corong radio tersebut, pidato-pidato dengan menggunakan pelbagai bahasa asing dan bahasa daerah disiarkan. Lagu-lagu perjuangan didendangkan.

Sehari menjelang pertempuran 10 November, radio ini pula yang menyerukan segenap arek-arek Surabaya untuk memertahankan Surabaya dengan apa pun alat dan cara yang dimungkinkan dan jika perlu membumihanguskan Surabaya sendiri jika dirasa Sekutu sudah terang akan berhasil merebut Surabaya.

Pidato-pidato Bung Tomo yang membakar, suaranya yang menggelegar dan kemampuannya memilah yel-yel, membuat tak ada orang Surabaya yang tak mengenal suaranya. Orang tak akan lupa pada seruan di setiap pembukaan orasinya: "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

Sepintas ia tampak gagah dan berkarakter keras. Tapi sesungguhnya dia seorang yang lembut. Kelembutannya, sekaligus rasa frustasinya menyaksikan ulah para politisi Indonesia, tercermin dalam salah satu surat cinta yang ia tulis untuk istrinya pada sekitar awal tahun 1950-an:

“Pagi ini begitu besar kangenku, sehingga ingin saya menulis kemari. Aku saiki dadi politikus tenan. Aku rapat sedino nganti ping pitu. Ibu pertiwi seakan-akan tersenyum di hadapan mataku! Doakan untuk kakandamu, sayang! Agar aku selalu dapat kekuatan. Hanya di waktu malam sebelum tidur, saya selalu merasakan adanya kekosongan! Saya tak mempunyai seorang di sampingku yang dapat melihat air mataku bercucuran, saya menjadi jengkel karena egoisme yang begitu besar dari beberapa orang yang mengaku pemimpin. Sampai ketemu sayang. Veel liefs van je... Tomo (Salam mesra dari Tomo).”

Bung Tomo yang keras hati, yang lembut dan yang idealis, bercampur lebur dalam surat cintanya yang pendek pada istrinya itu.

Di pengujung pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto yang mula-mula didukungnya, Bung Tomo kembali muncul ke permukaan. Namun, di awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11 April 1978 ia ditahan. Ia baru dilepaskan setahun kemudian.

Pada 7 Oktober 1981, ia meninggal dunia di Mekkah saat sedang menunaikan haji. Jenazahnya dibawa ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Bung Tomo memang bukan pahlawan jika ukurannya adalah selembar Surat Keputusan pemerintah. Dia, paling banter, hanya mendapat Bintang Mahaputra Utama pada 1995 secara anumerta.

Tapi, apa arti sehelai dua helai kertas yang bisa lusuh macam itu bagi seseorang macam Bung Tomo?

Selengkapnya......

Senin, November 05, 2007

Biografi Hujan

Hujan --bisa jadi-- adalah isyarat dari langit yang tak mampu lagi menampung awan atau tentang awan yang tak lagi kerasan menggantung kelamaan.

Di kaca depan, aku melihat rinai hujan melukis jelujur garis rapuh yang mudah timbul dan mudah pula tenggelam. Lalu, dengan kecepatan yang perlahan, rinai itu mewariskan kelembaban yang –entah bagaimana caranya—tiba-tiba menyelinap ke kaca bagian dalam dan membentuk titik air yang begitu halus, juga lembut.

Kadang aku iseng menggerakkan ujung telunjukku di kaca bagian dalam yang lembab oleh titis air hujan yang begitu halus itu. Kadang guratan ujung telunjukku tak membentuk apa-apa. Kadang aku menuliskan sebuah kata. Sore ini aku mencatatkan namamu di sana.

Coba kau tengok halaman rumahmu yang basah dan becek itu. Perhatikan bagaimana hujan dan pepohonan bersenggama dengan diam-diam. Bayangkanlah, kira-kira apa yang dikatakan akar pohonan itu pada langit yang mengiriminya kekasih bernama hujan?

Selengkapnya......

Jumat, November 02, 2007

Mau Buku Gratis? Saya Akan Membaginya

Jika saya Paul Warfield Tibbets Jr., barangkali saya akan menyesal, mungkin juga meminta maaf. Tapi saya bukan Tibbets Jr. Dan itulah sebabnya saya hanya bisa berandai-andai.

Hari ini saya mendengar Tibbets Jr. wafat dalam usianyanya yang ke-92 tahun. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di satu kawasan di Ohio.

Tibbets Jr. adalah pilot pesawat pembom B-29 yang membawa bom atom yang masyhur dinamai dengan julukan Little Boy. Bom itulah yang dijatuhkan di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sudah jelas, ribuan orang tewas karena pemboman itu, langsung maupun tidak. Cukup jelas pula kerusakan ekologis akibat pemboman itu. Dan, cukup benderang juga, seperti apa akibat pemboman ini terhadap konstelasi politik dan militer dunia yang sedang dicengkau Perang Dunia II itu.

Tibbets pernah mengunjungi Horoshima beberapa hari setelah pemboman yang menjadi peristiwa pembunuhan massal terbesar yang pernah terjadi di muka bumi. Ia memberi testimoni begini: "Beberapa jalan dan daratan yang kami lalui telah melengkung dan tertekuk-tekuk akibat bom. Hal tergila yang pernah dilihat."

Bandingkan dengan testimoni yang diberikannya beberapa saat sebelum ia menjatuhkan Little Boy: "The city we had seen so clearly in the sunlight a few minutes before was now an ugly smudge. It had completely disappeared under this awful blanket of smoke and fire."

Ketika itu, Tibbets Jr., baru berusia 30 tahun. Dia didampingi oleh seorang ko-pilot yang, menurut kesaksiannya sendiri, membuatnya lebih berani menjatuhkan Little Boy. "If Dante had been with us on the plane, he would have been terrified."

Dante adalah nama ko-pilot yang mendampingi Tibbets Jr. Dante juga adalah nama seorang pengarang Italia terkenal, Dante Alighieri, yang pernah menulis Divina Commedia yang menggambarkan situasi di akhirat ke dalam tiga bagian: purgatorio, paradiso, dan inferno. Bagian yang paling kontroversial dari Divina Commedia adalag bagian inferno (neraka) yang menggambarkan situasi neraka dan bahkan menyebut Muhammad sebagai salah satu penghuninya.

Jika Dante Alighieri hanya bisa menggambarkan situasi neraka, Dante yang ko-pilot inilah yang membuat Tibbets Jr., bisa punya cadangan keberanian untuk menjadikan Hiroshima seperti "neraka" yang membara pada pukul 08.15 pagi.

Dan, yang saya tahu, Tibbets Jr., disebut-sebut tak pernah mengungkapkan penyesalan dan permintaan maaf atas kerusakan yang ditimbulkan bom atom Little Boy, persis seperti sikap pemerintah Amerika Serikat. Jika saya berada di posisi Tibbets Jr., dan sudah mendekati haro-hari akhir kehidupan, barangkali saya akan menyatakan penyesalan dan pasti akan meminta maaf.

Bagaimana jika Anda adalah Tibbets Jr.? Apakah Anda akan menyatakan penyesalan dan meminta maaf?

Jika Anda ingin mendapatkan buku Max Havelaar atau The Alchemist , silakan tulis komentar atau jawaban Anda. Dua jawaban atau komentar yang saya anggap terbaik akan saya kirimi dua novel hebat itu. (Jika Anda sudah memiliki dua novel itu, saya akan berikan opsi novel lain yang mungkin belum Anda miliki).

Saya tunggu hingga 2 minggu sejak tulisan ini resmi dilansir.

Selengkapnya......