Rabu, September 26, 2007

Tidak Setiap....

Jika air dipanaskan, ia memuai. Jika air didinginkan, ia menjadi es. Tetapi, tidak setiap dusta jadi dosa. Dan, tidak setiap tangis jadi derita. Ada sekian banyak keniscayaan. Tapi, tidak kalah banyak pula ketidakpastian.

Sajak Sutardji pernah menjadi kawan yang khidmat menemani saya memahami ini.

Hidup adalah serentetan gelombang kejut yang kadang kala tak sepenuhnya bisa kita mengerti tapi pasti tak bisa kita elakkan. Kita tak akan mampu memprediksi secara presisi apa yang akan terjadi esok hari.

Jika hidup seumpama buku, kita hanya tahu persis isi halaman yang sudah kita baca dan tak akan pernah mampu menebak secara presisi halaman berikutnya sampai kita sendiri usai membacanya.

Sewaktu Sydney Sheldon hampir saja menenggak berbelas-belas pil tidur untuk mengakhiri hidupnya, jauh sebelum ia menjadi penulis best-seller, ayahnya datang memergokinya dan mengajak ia berjalan-jalan. Di sebuah tikungan, ayah Sydney Sheldon yang seorang salesman itu berujar dengan ringkas:

“Kalau kau benar-benar ingin bunuh diri, Sydney, aku mengerti. Tapi aku tidak suka melihatmu terburu-buru menutup bukumu dan melewatkan kesenangan yang mungkin terjadi padamu di halaman selanjutnya –halaman yang akan kau tulis.”

Dan begitulah. Sydney Sheldon memutuskan menunda rencana bunuh diri yang sudah ia persiapkan dengan matang. Kita tahu Sydney Sheldon kemudian banyak melahirkan novel-novel yang menjadi best-seller. Tapi hari itu, Sydney pastilah tak tahu –mungkin tak yakin—bahwa nasibnya akan segemilang ini.

Karena tidak setiap derita panjang hari ini sudah pasti jadi derita pula di esok hari, setidaknya seperti kata Sutardji:

JADI

tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap tanya
jadi ragu
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap seru
jadi mau
tidak setiap tangan
jadi pegang
tidak setiap luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahku!



Tidak perlu kita berpikir njlimet dengan merujuk dekonstruksi Derrida yang memajang papan pengumuman sedang berambisi membongkar oposisi-biner dalam semua teks filsafat Barat untuk memahami ini.

Cukuplah saya katakan: sajak itu, sehemat saya, amat pantas menjadi kawan tiap kali kita sedang dilamun pesimise yang paling menggidikkan atau sewaktu sedang dibuai optimisme yang paling memabukkan.

Pesimisme dan optimisme sejajar dalam satu hal: keduanya berangkat dari satu perhitungan bahwa ada hal-ihwal yang sudah bisa kita ramal/prediksi akan sungguh terjadi. Bedanya, pesimisme melihat ramalan/prediksi itu dengan cara yang muram dan durja, sementara optimisme menempatkan ramalan/prediksi itu dalam suasana yang terang dan penuh keyakinan.

Karena tidak setiap derita menjadi luka dan karena tidak setiap sepi jadi duri, mengapa kita mesti pesimis? Karena tidak setiap jawab jadi sebab dan tidak setiap kabar jadi tahu, kenapa kita harus optimis?

Sekali lagi, jika hidup seumpama buku, hari ini adalah halaman yang sedang kita baca, hari kemarin adalah halaman yang sudah terlewat dan hari esok adalah halaman berikutnya yang belum kita baca.

Tapi, jika perumpamaan hidup sebagai buku itu bisa diterima, saya lebih percaya buku yang jadi perumpamaan itu semestinya adalah buku puisi, dan bukan prosa.

Puisi menjadi hidup karena ambivalensi maknanya dapat ditarik ke titik yang yang satu atau ke titik yang lain, dari ujung yang satu hingga ujung yang lainnya lagi. Dari satu sajak yang sama, tiap orang dalam keadaan yang amat berbeda dan bahkan bertentangan, dapat memeroleh makna yang cocok dan relevan untuk situasi masing-masing. Denotasi bahasa prosa yang (relatif) tunggal-makna, ditranformasi menjadi konotasi bahasa yang poli-makna.

Sebuah puisi hanya bisa dimengeri dengan memadai jika kita sudah usai membaca keseluruhannya, itu pun kadang kurang cukup, karena masih dibutuhkan pembacaan berulang-ulang, dengan tingkat resepsi yang terkadang pula mesti kian ditinggikan.

Kita urai dan cecap makna dari satu larik ke larik berikutnya, dari satu bait ke bait berikutnya. Kita tak akan pernah tahu kejutan apa yang akan diberikan pada larik atau bait berikutnya. Dan, terkadang, begitu kita tiba di ujung sebuah puisi, bangunan pengertian dan makna yang sudah kita anyam pelan-pelan dari hasil pembacaan sedari kata pertama bisa jadi harus dicairkan kembali, dirombak lagi untuk kemudian kita bangun susunan pengertian baru yang bisa jadi jauh beda dengan sebelumnya.

Karena tidak setiap seru jadi mau dan tidak setiap tanda jadi makna, kenapa tidak kita jalani saja hidup ini? Mengapa tidak kita hadapi suspense atau kejutan yang akan diberikan hidup esok hari?

Menggetarkan tentu saja menunggu sesuatu dengan penuh cemas, menanti sesuatu yang tak sepenuhnya mampu kita kira-kira apa itu bentuknya. Tapi kita memang tak bisa berharap terlalu banyak pada misterium hari depan, selain menikmati saja setiap debar di setiap penantiannya.

Karena kita memang hanya bersandar pada angin, kata sebuah sajak yang lain.

Selengkapnya......

Kamis, September 13, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (7)

: Martapura... Martapura....

Senin, 3 September 2007 (14.30-18.00)

Hujan telah benar-benar reda. Aku memberi isyarat pada ojek yang ku sewa untuk bersiap berangkat. (Aku naik ojek. Lagi banyak duit kah? Siang tadi, Kompas menghubungiku dan memberitahu esai panjangku muncul sendirian di halaman 14 hari Sabtu kemarin. Ku pikir, sesekali menyenangkan hati tak apalah. Sudah bisa dikira-kira pundi rekeningku bertambah lumayan. Hehehe….)

Martapura masih sekitar 22 pal lagi.

Aku masih sempat melihat kayu rapuh yang menopang rumah kayu di sebelah kanan mesjid. Adakah Martapura, kota yang tua itu, juga sudah mengelupas seperti kayu tadi?

Beberapa tempo lagi, aku bisa mencari jawabannya, langsung di jantung kota Martapura.

****

Martapura menyambutku dengan suara orang mengaji yang disuarkan dari mesjid.

Saya tidak tahu persis itu rekaman kaset ataukah suara langsung orang yang mengaji. Jika boleh saya mengira, sepertinya itu suara yang disuarkan langsung dari orang yang memang sedang mengaji.

Perkenalanku dengan Martapura, dengan demikian, berlangsung dengan cara yang konservatif.

Martapura, sudah sejak lama, dikenal sebagai kota yang religius. Kota ini menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan. Hingga saat ini, Martapura masih dipenuhi puluhan pondok pesantren yang menjadi tempat belajar ribuan santri dari pelbagai penjuru Kalimantan.

Jika harus dicari di mana kota yang paling pantas disebut sebagai Serambi Mekkah di Kalimantan, tak ada yang lebih pantas selain Martapura.

Jadi, jika kedatangan saya di Martapura langsung disambut dengan suara orang mengaji, pastilah ini perkenalan yang konservatif, setidaknya koheren dengan imajinasi awal saya tentang Martapura.

Saya langsung menuju pasar Martapura. Pasar ini terletak di seberang jalan kantor bupati Martapura. Di mukanya, berdiri kokoh gerbang yang di atasnya terpacak kalimat: PASAR WADAI TRADISIONAL “MARTAPURA”. Di bagian bawah tulisan itu terlihat logo harian “Banjarmasin Post” dan tabloid “Ummah”.

Saya agak kecewa sebenarnya. Saya berharap, gerbang pasar Martapura itu mengambil bentuk arsitektur khas Martapura. Tapi yang saya lihat hanyalah gerbang yang sepenuhnya terbuat dari dari besi dan seng. Gerbang itu ditopang oleh besi-besi dan tulisan PASAR WADAI TRADISIONAL “MARTAPURA” terpacak di sebilah seng. Tak ada penanda yang bisa menghadirkan Martapura sebagai sebuah kota yang punya umur yang tak pendek.

Di sebelah kiri pasar itu berderet-deret warung makanan. Warung-warung itu didirikan tidak permanen sehingga bisa dibongkar pasang. Atapnya terbuat dari plastik terpal yang umumnya berwarna biru. Antara warung yang satu dengan warung yang lain tidak dipisahkan oleh sekat atau tembok. Warung-warung makanan itu berjejer sedemikian rupa. Sambung menyambung.

Sementara di belakang gerbang pasar, persisnya di belakang bagian kanan, berderet-deret kios-kios permanen. Beberapa saya lihat ada kios handphone yang juga menyediakan voucher pulsa. Beberapa saya jumpai juga kios-kios yang menjual pakaian, kaos dan kain-kain. Tapi 80% kios-kios permanen itu menjual permata. Ya, kios-kios permata.

Kios-kios itu menjual perhiasan-perhiasan dan cenderamata yang matanya terbuat dari permata atau tiruan dari permata, dengan pelbagai kadarnya. Tidak beda dengan kios-kios kerajinan perak di Kota Gede Yogyakarta. Bedanya, di Martapura, kios-kios itu berkumpul di satu tempat, di Pasar Martapura, dan ukuran kios itu satu sama lain hampir sama. Beberapa kios, saya lihat, sanggung menyewa lebih dari satu kios.

Di hadapan kios-kios permata itulah terletak satu ruang yang cukup luas, kira-kira seluas lapangan sepakbola. Inilah barangkali yang disebut alun-alun kota Martapura.

Tapi ruang luas itu tak bisa saya sebut alun-alun. Selain itu bias Jawa, ruang lapang di sekitar Pasar Martapura tak berbentuk ruang yang benar-benar bebas dari benda-benda laiknya lapangan alun-alun di Jawa. Ruang itu dipenuhi oleh tiang-tiang besar terbuat dari beton yang sepertinya dibuat sebagai landmark Martapura. Dan memang seperti itulah kelihatannya.

Saya perhatikan ada 13 tiang besar. Di tengah-tengah ada tiang beton yang terbesar. Di kanan dan kiri tiang yang terbesar itu berderet 12 tiang lain. 12 tiang itu terdiri dari dua ukuran yang berbeda. Tiang berukuran sedang ada di deret paling luar, baik itu di kanan maupun di kiri. Di antara tiang yang sedang dan tiang terbesar, terdapat tiang-tiang paling kecil.

Tiang-tiang itu, bisa jadi, memang mencerminkan upaya merumuskan identitas Martapura. Lihat saja, di setiap tiang itu, terpacak kaligrafi yang dibuat dengan menggunakan teknik cetak beton. Saya mencoba membaca kaligrafi di tiang-tiang tersebut. Sebagian bisa saya baca. Sebagian terbesar tak mampu saya baca. Kendati membaca al-Quran saya masih mampu, tetapi membaca kaligrafi jauh lebih sulit. Mata pelajaran khot yang saya terima dulu di Madrasah Ibtidaiyah beterbangan entah ke mana.

Saya sangat menyukai landmark Martapura ini. Komposisinya pas. Menyaksikan tiang-tiang itu dari jarak dekat dan memandanginya selekat yang saya bisa membuatku merasa seperti sedang berada di satu tempat yang jauh. Ya, jauh dari tanah asal. Tanah Jawa seperti terentang dalam jarak emosi yang tak terjangkau. Saya tak pernah meihat landmark seperti ini di Jawa. Tidak juga di Kudus atau Jombang, misalnya.

Tetapi, seperti juga gerbang pasar, tiang-tiang itu bukankah landmark yang sudah berusia lanjut. Tiang-tiang itu sepenuhnya baru. Masih mengkilap. Saya perhatikan satu-satu tiang-tiang itu. Tak ada cat yang mengelupas.

Ah, saya tak melihat sesuatu yang tua dari Martapura. Kota ini seperti tak memiliki “sejarah”. Setidaknya, seperti itulah kesan pertama yang saya lihat di jam-jam pertama kedatanganku di Martapura.

Besok, saya berjanji, untuk lebih memerhatikan manusia-manusia yang berhayat di Martapura.

Selengkapnya......

Sabtu, September 08, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (6)

: Filsafat di Pal 19

Senin, 3 September 2007 (14.00-14.45 WITA)

Perjalananku menuju Martapura terhenti di pal 19. Kira-kira di daerah kecamatan Gambut. Ini sudah di luar Banjarmasin dan termasuk ke dalam wilayah kabupaten Banjar Baru.

Hujan deras. Sangat deras. Di kejauhan, aku melihat ada minibus yang terperosok ke ladang di tepi jalan.

Aku berteduh di sebuah mesjid yang tak terlampau besar. Di sebelah kanan, ada tempat berteduh yang sudah dipenuhi para pengojek. Tempat itu, sepertinya, memang pangkalan ojek.

Di sebelah kiri mesjid, dalam rentang jarak 15 meter, berdiri sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Lantai rumah itu tak menempel di tanah melainkan ditopang oleh kayu-kayu besar yang sudah mulai rapuh. Di setiap sisinya, ada sekira 5 kayu besar yang ditanam. Kayu yang berada di tengah tampak sudah mulai goyah. Dari kejauhan, aku melihat kulitnya sudah mulai mengelupas. Ya, kayu itu memang tak dikupas kulitnya. Di depan rumah kayu itu, ada ruang kecil, juga terbuat dari kayu, yang digunakan sebagai kios berjualan voucher pulsa.

Aku melihat jalanan yang basah. Hujan begitu rapat. Hujan itu pula yang mengirimiku berbonggol-bonggol udara dingin yang membuatku makin undur ke belakang, selangkah demi selangkah, dan berhenti setelah punggungku membentur tembok mesjid. Aku silangkan kedua tanganku di dadaku.

Aku menoleh ke kanan. Dan, aha…. Hujan juga mengirimiku seorang perempuan cantik. Hujan pula yang sepertinya memerintahkan perempuan itu mengirimiku sepucuk senyum.

Kalau sudah begini, seperti biasa, aku nyalakan batang A-Mild ku yang pertama.

Dan percakapan itu pun dimulai. Namanya Iza, setidaknya begitulah ia mengaku. Seperti biasa juga, aku tak pernah menyebutkan nama asliku. Kali ini kupakai nama: Basiyo (karena waktu itu yang aku ingat hanya nama pelawak di Jogja).

“Saya kuliah, bang. Di Universitas Lambung Mangkurat.” (butuh 35 menit lagi dari tempat kami berteduh untuk tiba di kampus Lambung Mangkurat). “Mau kemana?”

“Ke Martapura!”

“Ada saudara di sana?”

“Nggak. Cuma main aja.”

“Dari mana memang?”

“Bandung.” (Maaf, Bandung, kau kupakai! Hehehe….)

Iza berkisah tentang kuliahnya di fakultas hukum, tentang kesulitannya mencari buku-buku kuliah, tentang dosen-dosen yang membosankan dan dua pembimbing skripsi yang kerap berseberangan. Dia mengeluhkan studinya seakan-akan tak ada yang menyenangkan dari studinya (Andai dia tahu urusan brengsekku dengan kuliah….)

“Abang dulu kuliah di mana?” (Hahahaha…. Aku tergelak dalam hati!)

“Filsafat!” Aku menjawab sekenanya. Pada seorang guru yang kutemui di warung makan di Pal 6 setengah jam lalu, aku mengaku sebagai bekas (bukan alumni, lho!) mahasiswa akuntansi.

Respons Iza sungguh mengejutkan: “Wah, kalau begitu bisa meramal, dong? Bisa menebak karakter orang, dong?”

Kali ini aku tidak tergelak. Bukan karena tidak lucu. Sungguh, respons Iza begitu lucu sebenarnya. Tapi kelucuan itu kalah oleh rasa heranku yang tak kepalang. Aku tatap matanya lekat-lekat dengan kening berkerut.

“Ada apa, bang?”

“Gak. Gak kenapa-napa.” Aku menjawab sambil nyengir kuda.
Selera bercakap-cakapku langsung memuai ke udara.

Sewaktu Iza pamit hendak pergi duluan menyusul hujan yang reda, aku masih berpikir keras: Siapa sih filsuf yang jago meramal? Oh ya, dalam sejumlah segi, Karl Marx atau Toynbee hingga Croce juga “peramal” masa depan.

Iza, akhirnya, tak senaif yang kukira. Entah dia sadar itu atau tidak.

Selengkapnya......

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (5)

: Van Der Wijk di Banjarmasin

Senin, 3 September 2007 (12.15-13.30 WITA)


Aku menemukan kembali Tenggelamnya Kapal van Der Wijk di Banjarmasin. Serta merta aku ingat kembali masa kanakku.

Di jalan Niaga, ada tiga buah toko buku. Jangan bayangkan toko buku itu macam Social Agency, kios-kios di Shopping Center, kios-kios di Palasari Bandung yang kini terbakar, kios-kios di Pasar Johar Semarang atau seperti lapak-lapak di Kwitang dan Bulungan Jakarta atau toko buku di jalan Semarang, Surabaya. Apalagi dengan toko bukunya Jose Rizal di TIM atau kios Pak Ucup di Jogja.

Salah satu di antaranya berukuran sekira 3 X 5 meter. Di sana banyak sekali buku-buku pelajaran sekolah. Di kanan kiri tembok kayu ada kotak-kotak tempat bertumpuk-tumpuk poster berjejalan. Aku perhatikan, banyak sekali poster-poster itu bergambar para ulama besar di Banjar, banyak juga poster para pemain bola luar negeri, dan sama banyaknya juga dengan poster-poster berisi pelajaran matematika hingga biologi.

Di kanan kiri di lantai, bertebaran buku-buku pelajaran. Di lajur tengah, ada papan tempat menaruh buku-buku dari jenis stensilan. Freddy S, Wiro Sableng, Abdullah Harahap, Pendekar Rajawali Sakti, dan novel-novel stensilan lainnya.

Aku melangkah ke bagian dalam. Di dekat meja kasir yang sepi, ada tiang kayu yang tak terlalu besar. Di sebelah kiri tiang itu ada beberapa tumpuk buku tua yang tak berapa banyak. Aku bergerak ke arah sana. Aku mencium “ada yang tak beres” di tumpukan itu. Aku angkat tumpukan itu. (Inilah sentuhan pertamaku pada buku yang kutemukan di Kalimantan).

Tak kuingat ada buku apa saja di sana. Yang kuingat hanya: “Mudik” (antologi cerpen lebaran yang diterbitkan Bentang –aku sudah punya), beberapa novel “Sherlock Holmes” (aku sedang tak membutuhkannya), “Namaku Hiroko” (novel NH Dini –aku sudah punya bersama novel Dini lainnya “Pada Sebuah Kapal”), “Cerita Rakyat Ajisaka” (entah versi yang mana -- aku punya salah satu versinya yang bergambar), dll.

Di tumpukan itu pula aku menemukan…. Tenggelamnya Kapal van Der Wijk yang dikarang ulama cum sastrawan yang pernah menjadi ketua MUI, Haji Abdul Karim Malik Amrullah alias HAMKA.

Tenggelamnya Kapal van Der Wijk itu kondisinya sudah cukup mengenaskan. Sampulnya sudah rontok dan entah tertinggal di mana. Aku cari-cari, siapa tahu terselip, tetap saja tak kutemukan. Di tepi bawahnya sudah sedikit grepes oleh rayap. Kertasnya lembab dan dingin.

Betapa kesepiannya engkau, hai… Zaenuddin!

Seketika aku ingat ibuku. Roman inilah yang dipakai ibuku untuk mengajariku membaca. Aku diajari mengeja oleh ibu lewat roman itu. Tentu saja sebelumnya aku sudah diperkenalkan lebih dulu dengan huruf-huruf oleh ibu. Jadi roman HAMKA itu hanya dipakai untuk mengajariku mengeja. Aku ingat, roman itu hanya dipakai beberapa halaman saja. Untuk mengeja sehalaman saja butuh waktu berhari-hari.

Ibu seorang pembaca roman yang tangguh. Roman-roman lama, terutama dari zaman Balai Pustaka, macam Layar Terkembang, Siti Nurbaya, Tak Putus Dirundung Malang, Salah Asuhan hingga novel maha tebal (tapi buruk) Grotta Azzura-nya Takdir Alisjahbana (yang kelak saya habiskan semasa di SMP) dengan mudah kutemukan di rumahku yang separuh tembok dan separuhnya dari anyaman bambu itu.

Ibu adalah guru membaca yang hebat. Sebagai guru membaca, ibu selalu berhasil memikatku untuk terus membaca dan membaca lagi.

Aku ingat, di kelas 4 SD, ibu mengajakku berlomba membaca. Lomba itu selalu digelar mulai selepas shalat berjama’ah Isya. Karena namanya lomba, pasti ada hadiahnya. Ibu tahu aku sangat doyan pisang goreng. Dan itulah hadiahnya. Peraturannya begini: siapa yang tidur lebih dulu, dia dinyatakan kalah. Jika ibu tidur lebih dulu, esoknya, sepulang mengajar dari sekolah, ibu mesti membawakanku 10 potong pisang goreng berikut bubuk-bubuk gorengan terigunya. Jika aku yang kalah, aku mesti menyapu halaman rumah plus menyiram bunga.

Ibu sering sekali kalah. Aku juga kadang menyerah, tapi seingatku ibu jauh lebih sering kalah. Itulah sebabnya aku kecanduan lomba membaca. Karena aku sering menang.

Aku selalu menagih perlombaan itu. Tentu saja tidak selalu tiap hari lomba membaca itu digelar. Tapi, setidakanya, tiga kali seminggu lomba itu pasti digelar.

Kelak, setelah aku kelas 6 SD atau kalau tidak sewaktu aku sudah menginjak SMP kelas 1, aku baru sadar, bahwa ibu sering mengalah. Ya, ibu sering pura-pura tidur duluan.

Kata Ibu: “Biar kamu terus nantang lomba baca.”

Ibu tak pernah kehabisan bahan bacaan. Dia sering membawakanku buku-buku cerita dari sekolah yang diterbitkan Dinas P & K: buku-buku yang dipojok kanan atasnya selalu ada tulisan yang dipagari kotak bertuliskan keterangan bahwa buku tersebut tidak bisa diperjualbelikan.

Selain itu, ibu sering menyuruh adik bungsunya yang sekolah di Jogja untuk membelikanku majalah Bobo bekas yang dibeli kiloan dari Shopping Center. Dua bulan sekali adik bungsu ibu, yatu oomku sendiri, pulang dan membawakanku majalah Bobo bekas bertumpuk-tumpuk.

Tapi bukan Ibu yang pertama kali mengajariku membaca. Bapak-lah orangnya.

Huruf pertama yang dikenalkan bapak adalah huruf “K”, huruf kedua adalah huruf “O”, huruf ketiga adalah huruf “M”, huruf ketiga adalah huruf “A”…..

Ya, bapak berlangganan KOMPAS. Tiap siang, setelah pulang dari sekolah, bapak selalu terlihat membaca koran itu. Satu waktu, ketika aku masih berusia empat tahun, aku bertanya pada bapak sembari menunjuk banner besar di bagian atas halaman pertama KOMPAS.

“Pak, ini huruf apa?”

“Ini huruf “K””?

“Yang ini?”

“Huruf “o”.”

Dan begitu seterusnya.

Bapak memang yang mengenalkanku pertama kali dengan huruf. Ya, huruf. Sejak kecil aku tak suka angka. Itulah sebabnya aku tak mewarisi kecerdasan bapak dalam matematika.

Tapi ibulah yang mengajariku mencintai buku dan membaca. Jika hari ini aku begitu menyukai buku dan bahkan menghidupi diriku sejak semester 3 dan membiayai kuliah adikku dengan menulis, lagi-lagi aku harus berterimakasih pada ibuku.

Ku tukar “Tenggelamnya Kapal van Der Wijk” dengan lima lembar duit seribu. Harganya hanya empat ribu, sebenarnya. Tapi aku tak berniat meminta kembaliannya.

Aku melangkah keluar dan bergerak ke jalan besar dengan kedua tangan membuka-buka halaman roman itu. Hati saya riang bukan main. Di angkutan kota bercat kuning yang akan membawaku ke terminal “Pal 6” (karena terminal itu terletak di Km. 6 jln. A Yani), aku mencoba membuka-buka lagi roman itu.

Aku kemudian ingat ibuku. Ya, ibuku. Tadi pagi, ibu mengirimiku sepucuk sms:

“Zen, msh keneh (artinya: juga) lama di kalmntn? Trs kuliah anu can (artinya: yang belum) beres aman?”

Ya, perkuliahan sudah dimulai. Aku belum lagi membayar SPP, apalagi mengisi KRS. Padahal ini semesterku yang ke-14. Semester terakhirku.

Aku baru ingat: dulu, ibu tak pernah menyuruhku membaca buku pelajaran atau mengerjakan PR.

Selengkapnya......

Selasa, September 04, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (4)

: "Keperkasaan" di Banjarmasin

Minggu, 3 September 2007 (18.00-23.00)

Pernahkah melihat satu jalan dipenuhi oleh deretan lapak-lapak penjual jamu yang semuanya menawarkan “keperkasaan pria”?

Di jalan menuju arah Glodok di Jakarta, di malam hari, kita memang akan menjumpai gerobak-gerobak yang menawarkan “jamu-jamu” keperkasaan pria. Bedanya, di sana “jamu-jamu” itu sudah berbentuk pil-pil modern, macam Viagra (entah asli atau tidak) dan berjenis-jenis kondom.

Banjarmasin berbeda. 200 meter dari Losmen Niaga yang aku singgahi beberapa jam lalu, di sebelah timur gedung BNI 1946, di sebelah utara Pasar Baru, berderet lapak-lapak penjual jamu “keperkasaan pria”. Betul-betul jamu. Diracik di situ dan di minum di gelas.

Saya tiba di sana sekira pukul 18.00.

Saya hitung, ada sekira 18 lapak. Sepertinya jumlah itu lebih sedikit karena pada saat yang sama, dari kejauhan, saya masih melihat ada lapa-lapak yang baru menggelar dagangannya. Tiap-tiap lapak diisi oleh sebuah meja dan beberapa kursi. Di meja itu pula jamu-jamu diletakkan. Kadang ada meja-meja kecil untuk menaruh barang-barang yang lain. Lapak-lapak itu berada di trotoar jalan. Saat siang, di situ berjejer toko-toko yang menjual berbagai macam dagangan, dari barang elektronik hingga pakaian.

Saya duduk di lapak paling ujung barat. Beberapa meter sebelum lampu merah.

Mungkin karena saya membawa ransel yang menggembung dan penuh, penjual itu tahu saya seorang pendatang. Itulah sebabnya dia langsung berbicara dengan bahasa Indonesia tapi masih dengan aksen Banjar yang cepat.

“Jamu, bang?”

Tak langsung kujawab dia. Aku memilih mengamati dagangan-dagangannya. Aku tergelak melihat di salah satu kotak kecil terdapat pil-pil terbungkus yang bertuliskan “viagra”.

“Itu asli, bang?” tanya saya.

Dia tertawa. “Murah kok, cuma 30 ribu.”

Saya tahu itu viagra palsu.

“Mau minum jamu? Ampuh ini. Coba lah.”

“Buat apa? Saya gak bisa ngetes ampuh apa nggak kok. Nggak, ah.”

“Sampeyan dari mana?” tanya dia. (Di Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Kuala Kapuas, Pulang Pisau bahkan hingga Palangkaraya, “kamu” dalam bahasa setempat adalah “sampeyan”. Sama dengan di Jogja atau Jawa Tengah atau Jawa Timur. Kata “iya” pun di sini sama dengan di Jawa yaitu “Nggih”.).

“Dari Jogja.”

Lelaki berusia sekitar 40-an yang sedang bercakap denganku ini seorang keturunan Tionghoa. Dia bilang sudah 3 tahun dia membuka lapak ini.

Di akhir percakapan, setelah menjajal keampuhan jamu yang kata dia bisa menawarkan pegal-pegal di badan, saya angkat ransel. Sebelum pergi saya bertanya:

“Di sini jualan jamu keperkasaan pria semua. Emangnya para penjual di sini “perkasa” semua ya, bang?

Dia nyengir. Tapi akhirnya ia menjawab juga sambil menunjuk penjual lainnya yang berjarak 15 meter: “Orang di sebelah sana itu sudah kawin 13 tahun tapi belum punya anak juga.”

Aku tergelak. Kali ini benar-benar tergelak!

****

Malam itu saya berputar-putar dengan berjalan kaki di wilayah Pasar Baru, melewati BNI 46, Wisma Kalteng, Robert Dept. Store, Wisma Antasari, dll. Saya lupa detail semua gedung-gedung besar yang kulewati. Satu setengah jam saya berputar-putar.

Banjarmasin malam hari tak sepanas siang. Barangkali karena pengaruh hujan yang mengguyur siang tadi. Jalanan masih becek. Saya harus menggulung jeans hitam yang kukenakan. Jalanan cukup padat. Sama seperti siang.

Banjarmasin adalah kota yang cukup sibuk. Jalanan padat. Panas. Asap. Polusi udara. Untung saja transportasi dalam kota di Banjarmasin tak menyediakan metro mini seperti di Jakarta atau Jogja dan hanya kendaraan satu pintu yang kebanyakan berjenis carry. Jika ada metro mini, saya kira, jalanan akan makin riuh.

Jalan-jalan di Banjarmasin relatif lebar. Kondisi jalan di dalam kota relatif baik. Di ruas-ruas jalan tertentu sedang digelar perbaikan jalan dan pengerukan sungai dan got-got. Jangan heran jika jalanan dipenuhi debu yang melilipi mata.

Di mana-mana berderet toko-toko besar. Saya belum sempat mampir di mall atau swalayan dan yang sejenisnya. Tapi yang saya saksikan, di Banjarmasin, banyak sekali toko-toko besar berlantai dua yang hanya menjual satu jenis saja, seperti khusus elektronik, khusus tekstil, dll. Dealer-dealer kendaraan bertebaran di mana-mana, terutama di ruas jalan A Yani yang menghubungkan Banjarmasin dengan kota-kota lain di sebelah barat, seperti Banjar Baru atau Martapura.

Di mana-mana ojek bertebaran. Jika kita berjalan kaki menyusuri ruas-ruas jalan di Banjarmasin, kita akan sering diteriaki dari kejauhan oleh ojek-ojek itu. Sangat banyak. Di pangkalan, di halte, di kios-kios penjual rokok, dan di mana-mana. Lama-lama saya hampir curiga di mana pun ada orang duduk di atas motor, pastilah itu tukang ojek. Tentu saja itu kecurigaan berlebihan yang lahir akibat rasa jengah karena keseringan diteriaki oleh tukang ojek yang menawarkan diri.

Bagaimana dengan warnet? Tak banyak yang bisa saya temukan dalam perjalanan berputar-putar itu. Seingat saya, hanya ada tiga warnet yang saya lihat. Salah satunya berada di satu ruko besar yang lantai duanya dipenuhi counter-counter toko komputer dan aksesoris-aksesorisnya. Letaknya kira-kira 400 meter di sebelah timur lapak-lapak jamu. Di sanalah saya menghabiskan waktu dari jam 20.00 sampai 21.30.

Tempatnya lumayan lebar. Di sana, tak ada meja dan kursi. Hanya lesehan. Semua monitor sudah menggunakan jenis kapsul. Koneksinya lumayan baik. Semua-mua komputer dilengkapi dengan headset dan cam. Ada 30 komputer aku lihat dengan salah satu komputer tak terpakai karena rusak. Setidaknya begitulah yang saya baca dari kertas yang ditempeli di bagian atas CPU komputer tersebut. Satu jam harganya 5000 ribu rupiah. Tapi warnet ini juga menawarkan paket malam seharga 13 ribu untuk pemakaian dari jam 23.00-06.00 pagi.

Beberapa hari kemudian, setelah berputar-putar lebih jauh, saya baru tahu bahwa nyaris semua warnet menggunakan model lesehan dan menawarkan paket-paket macam itu. Di Jogja, seperti yang beberapa saya lihat juga di Surabaya, paket-paket seperti itu jarang sekali ditemukan. Paling banter hanya “happy hours” yang menawarkan kortingan yang kadang hingga 50 persen dari harga normal.

Perjalanan saya berhenti di sebuah warung kopi yang berbentuk gerobak sepanjang dua meter. Saya duduk di sana. Seorang perempuan berusia 60-an tahun melayani saya. Di sana saya menyantap indomie rasa soto banjar. Dalam waktu cepat mangkuk sudah kosong dan isinya pindah ke perutku yang memang keroncongan. Kemudian, seperti biasa, saya memesan kopi pahit hitam.

Saya duduk mencangkung di kursi panjang itu. Juga seperti biasa, berbatang-batang A-Mild kusulap menjadi berbuntal-buntal asap dan berbiji-biji puntung. Enam batang kuhabiskan dalam acara minum kopi sendirian selama satu setengah jam itu.

Udara makin terasa dingin. Jaket hitam yang mulai kumal oleh keringat dan debu jalanan aku resleting. Aku sulut batang A-Mild terakhir. Saya berjalan kembali ke warnet yang tadi saya datangi. Saya tidak ingin ngenet lagi. Saya hanya akan menghabiskan malam di sebuah kursi panjang yang ada di depan warnet itu. Ya, saya akan merebahkan diri di sana hingga sekira jam 6 pagi.

Di sana pasti aman dan bebas dari dingin. Sebab, seperti yang saya bilang sebelumnya, warnet itu terletak di lantai dua sebuah ruko besar. Saya membelikan sebungkus rokok Dji Sam Soe untuk operator warnet yang akan saya mintai tolong mencharge laptop dan hp-ku yang jadul itu.

Tapi sebelum tidur, saya sempatkan memanfaatkan sisa batrei di laptop. Aku menulis catatan perjalananku hari ini. Catatan ini ditulis di bangku panjang itu. 45 menit aku habiskan waktu untuk itu.

Setelah itu, saya mulai lelap dengan udara malam di Banjarmasin yang terasa dingin. Ataukah dingin itu hanya akibat dari rasa sunyi? Sepertinya begitu.

Selengkapnya......

Senin, September 03, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (3)

: Menyusuri Biografi Bapak

(Minggu, 2 September 2007, antara pukul 07.00 WIB-13.00 WIB)

Aku tiba di Borneo pada pukul 07.00 WITA. Jam di hp ku tentu saja masih pukul 06.00 WIB. Aku segera menyesuaikannya dengan waktu di Borneo. Jam kupercepat satu jam. Ini upaya adaptasi saya yang pertama dengan Borneo.

Saya melangkah tanpa satu pun pemahaman yang jelas ke mana langkah pertama di Borneo diayunkan. Akhirnya aku memilih menuju wartel yang berada di sebelah utara gerbang pelabuhan Trisakti. Jaraknya sekitar 30 m.

Beberapa orang ku hubungi. Salah satunya rumahku sendiri. Ada alamat yang harus aku tanyakan pada bapak. Aku mendapatkannya: Soewaldjio d/a Basarang km. 9 Kuala Kapuas (belakang pasar).

Lengkapkah alamat itu? Sepertinya tidak karena itu alamat yang dicatat dan diingat bapak di luar kepala sejak tahun 1975 dan tak pernah lagi di-up date. Dan biarlah kali ini saya mengisahkan sebentar salah satu urusan yang akhirnya (mesti) ku urus dengan orang bernama Soewaldjio ini.

****

Saya adalah anak pertama dari seorang lelaki yang senang keluyuran ke tempat-tempat yang jauh dan baru di masa mudanya dulu. Ya, itulah bapakku.

Sekira tahun 1975, tujuh tahun sebelum aku dilahirkan, bapak pergi ke Kalimantan. Sepenuturannya, dia ingin mengetahui seperti apa kondisi para transmigran dari Jawa di Kalimantan. Bapak bilang, ini sebagai ancang-ancang jika sewaktu-waktu beberapa orang temannya akan bertransmigrasi kelak. Bapak ingin tahu seberapa memungkinkan dan seberapa meyakinkan masa depan di daerah transmigran. Bisa dibilang, bapak mencoba menjadi pembuka jalan, kendati ia sendiri bilang dirinya belum tentu ikut bertransmigrasi.

Dalam istilah bapak: mbabat alas.

Dalam salah satu perjalannya, bapak sampai di Kabupaten Kuala Kapuas di Kalimantan Tengah, tepatnya di kecamatan Basarang. Merunut alamat yang bapak berikan, letak persisnya ada di jalan Basarang km. 9. Orang-orang di Kalimantan biasa menyebut satuan kilometer dengan kata: “pal”. (Saya ingat cerita Wiro Sableng. Bastian Tito kerap sekali menggunakan satuan “pal” untuk jarak yang jauh, sementara jarak-jarak yang dekat kerap ia gunakan frase “sepelemparan tombak”)

Di tempat itulah bapak berdiam beberapa waktu. Rencana petualangan dia berhenti di Basarang. Di tempat itulah bapak ikut merintis sekolah dasar pertama. Bapak sendiri yang menjadi pengajar di sana. Kebetulan bapak lulusan Sekolah Pendidikan Guru di Jogja. Jadi, sedikit banyak, setidaknya secara formal, bapak punya kompetensi untuk itu.

Saya tidak tahu persis berapa lama bapak di sana. Terlalu ribet untuk dikisahkan lewat telpon. Satu yang pasti, bapak banyak sekali dibantu oleh orang bernama Soewaldjio ini. Di rumah dia pula bapak berdiam. Bukan cuma itu, bapak juga berhutang budi pada orang tersebut dalam satu problem penting yang memaksa bapak akhirnya angkat kaki dari Kalimantan. Kembali ke Jawa untuk kemudian berjumpa dengan perempuan yang kelak menjadi ibuku.

Bapak sepertinya menjalin asmara dengan seorang gadis setempat. Pribumi. Atau dalam kosa kata orang-orang setempat untuk menyebut orang Dayak: “Paluhur”. Saya tak tahu nama gadis itu dan bapak sendiri menolak memberi tahu. “Jika kau sampai di sana, kau pasti akan tahu siapa nama perempuan itu,” begitu kata bapak.

Mula-mula ini bukan urusan antara bapak dengan gadis tersebut. Ini urusan antara bapak dengan ayah sang gadis. Jika boleh dipersingkat, jadinya begini: Bapak diminta kawin dengan seorang gadis Dayak oleh ayah sang gadis tersebut. Dan, aha… pria Dayak itu adalah salah satu kamitua di daerah Basarang.

Saya tidak tahu pasal apa yang membikin bapak ditaksir oleh pria Dayak itu untuk dijadikan menantu. Ganteng jelas nggak. Ibu pernah cerita dulu: “Waktu mudanya, bapak mu itu sama sekali gak tampan, lagaknya ndeso, tapi dia memang punya nyali yang besar.”

Kata bapak, siapa pun pendatang yang diminta jadi menantu oleh seorang kamitua Dayak, tidak punya banyak pilihan. Hanya bisa menerima. Jika tidak, ya macam-macamlah resikonya, dari mulai terancam secara fisik hingga hal ihwal mistik Dayak yang sudah nyaris menjadi legenda itu.

Sewaktu bapak sedang memertimbangkan semuanya, bapak tiba-tiba diserang sakit. Entah kenapa. Bapak bilang tak pernah ia sakit selama itu. Soewaldjio ini yang mengurus hari ke hari kesehatan dan kebutuhan bapak. Dan dengan bantuan Soewaldjio pula, bapak sembuh setelah urusan ribet dengan sejumlah para penyembuh tradisional.

Bapak bilang kalau dia sebenarnya tidak terlalu keberatan dengan gadis itu. Sewaktu kutanya apakah gadis itu cantik atau tidak, bapak hanya nyengir. Tahu sendirilah kau, kata bapak. Tapi bapak terganggu secara kultural dengan peradatan Dayak. Njawa dia muncul sepertinya.

Bapak akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jawa. Pindah kota atau daerah di Kalimantan, seturut nasehat Soewaldjio, tidak akan menyelesaikan masalah. Mistik lagi-lagi argumennya: selama masih di Kalimantan, kamitua itu tetap bisa berbuat banyak hal.

Bapak menemui gadis tersebut dan bilang terus terang bahwa dirinya akan kembali ke Jawa untuk sementara. Bapak berjanji akan mengirimi kabar dan jika mampu akan kembali ke Kalimantan. Bukan untuk tinggal di Kalimantan, tapi untuk menemui gadis itu kembali dan jika mungkin akan membawanya ke Jawa.

Urusan ternyata tak selesai sampai di situ. Bukan perkara mudah “minggat” dari “pengawasan” sang kamitua yang punya banyak kenalannya. Pak Soewaldjio lagi-lagi membantu Bapak. Entah dengan siasat apa, Bapak bisa keluar dari Kuala Kapuas, bergerak ke Banjarmasin dan kembali ke Jawa dengan kapal pertama yang akan berangkat ke Surabaya dari pelabuhan Trisakti.

Dalam kilas balik yang terlalu panjang untuk dikisahkan secara detail, bapak kembali ke Jawa, kembali bertualang ke Sumatera, menjadi pedagang kain di Lampung, menjadi guru honorer di Banten, dan dalam salah satu liburan di Jogja, ia bertemu dengan ibu dan menikahlah mereka di pertengahan 1980. Aku lahir dua tahun kemudian. Sebagai anak pertama dan anak lelaki satu-satunya. Itu pula yang menjadi akhir perjalanan-perjalanan panjang bapak. (Pak, mestinya kau ngerti juga kenapa anakmu ini sukar benar diajak serius ngomongin urusan jodoh. Tak maulah, setidaknya belum, hobi kelayaban ini terputus, pak.)

Bapak memintaku untuk menemui Soewaldjio. “Sampaikan terimakasih bapak padanya,” kata bapak.

“Bagaimana urusan dengan gadis itu? Siapa nama gadis itu?” tanya saya.

“Kau cari saja Pak Soewaldjio. Kau tanya apa yang kau ingin tahu. Dia bisa menceritakannya.”

“Kalau pak Soewaldjio sudah wafat?”

“Kau cari kuburnya. Kau datangi. Bacakan apa yang bisa kamu bacakan.”

"Kalau aku bisa temui gadis itu apa yang mesti ku bilang?"

"Terserah. Tapi, kau bisa memintakan maaf karena ada janji yang tak bisa bapak penuhi."

Saya diam. Kelak, jika saya bisa menemui gadis itu, kurang lebih saya akan bilang gini: "Saya tak tahu ada urusan apa kalian dulu di masa muda. Tapi saya dititipi maaf oleh bapak. Terserah maaf itu diterima atau tidak. Saya sekadar menyampaikan. Saya tak bisa membayar hutang bapak saya. Tak ada dosa turunanan di antara saya dan bapak."

Dalam hati, saya berjanji, kalimat yang sama akan saya katakan di kuburannya jika gadis tersebut sudah wafat.

Kita lihat saja, apa yang akan terjadi beberapa hari ke depan.

***

Saya tiba di Banjarmasin pukul 08.00 WITA. Saya butuh listrik. Untuk hp dan laptop. Ada sejumlah orang yang saya hubungi dan ada sejumlah catatan yang mesti segera saya susun. Tapi duit mepet. Saya cari hotel yang tampak paling jelek. Saya temukannya di pojok pasar baru.

Mereka minta bayaran 30 ribu. Saya menawarnya. Saya bilang, saya tak lama, hanya sampai sore saja. Saya minta diberi kortingan. Ibu muda yang menjadi resepsionis itu akhirnya memberi potongan harga separuh. Jadi saya hanya perlu membayar 15 ribu saja.

Losmen itu namanya Hotel Niaga. Tempat ini menarik. Di depannya ada sebuah klenteng tua, di depan sebelah kanan ada deretan kios-kios lapak yang menjual macam-macam barang. Di depan pintu ada pangkalan ojek. Suasana riuh dan juga panas.

Hotel Niaga terdiri dari dua lantai. Saya ditempatkan di lantai dua. Kamarnya kecil bukan main. Hanya berukuran 1,5 m x 2,5 m. Ada ranjang dari kayu, kasur busa, dan sepotong bantal. Di sana ada meja tulis kecil dan sebiji kipas angin. Di balik pintu ada kapstock bertangkai empat.

Saya perhatikan, ada dua lubang listrik yang bisa dipakai. Saya lega. Itu artinya hp dan laptop bisa discharge bersamaan. Tanpa cuci muka dan kamar mandi, hp saya charge dan laptop saya hidupkan.

Saya ngebut untuk menuliskan catatan perjalanan saya selama beberapa hari. Saya hitung, saya bisa menulis hingga jam 1 siang. Setelah itu saya bisa tidur selama 3 jam. Dan jam 4 saya bisa check out dari losmen ini, sesuai perjanjian saya dengan resepsionis.

Tak saya buang waktu yang tersisa. Dengan di temani segelas kopi pahit dan sebungkus rokok clasmild saya susun tiga catatan dan sebuah surat. Dua di antaranya saya posting di blog. Saya menyelesaikannya lebih cepat. Jam setengah satu semua catatan itu kelar sudah. Persis jam 12.30 WITA, saya merebahkan diri. Istirahat.

Nanti sore saya ingin ke warnet, kirim surat, posting blog dan kirim beberapa naskah esai ke beberapa koran. Malamnya, saya ingin menghabiskan waktu menelusuri jalan-jalan di Banjarmasin. Setidaknya sampai jam 10 malam. Setelah itu saya harus mencari akal, di mana saya bisa tidur dengan gratis.

Duit terlalu tipis untuk dipakai di hotel kelas jangkrik sekali pun.

Selengkapnya......

Minggu, September 02, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (2)

: Bagaskara di Laut Jawa

(Sabtu, 1 September 2007, antara pukul 13.00 WIB-18.00 WIB)

Nduk, pernahkah kau melihat pelangi kecil yang timbul-tenggelam dengan cepat? Pernahkah kau melihat langit seperti diselubungi kipas raksasa berwarna merah membara?

Aku melihatnya di atas KM Kumala dan biarlah kali ini aku mengisahkannya sedikit.

Siang itu, sekira pukul 13.00, aku melihat air laut yang dibelah oleh kapal. Kebetulan ombak mulai membesar. Kadang kapal oleng ke kiri dengan agak kuat. Agak menakutkan juga untuk orang yang baru menaiki kapal laut (feri penyeberangan tak kuhitung).

Tapi di situlah aku melihat simfoni alam yang remeh tapi menakjubkan.

Laju kapal yang membelah ombak membuat air laut menyembur ke udara. Dan di titik tertinggi semburan air itulah, ya pada air laut yang menyembur itu, aku lihat berkali-kali muncul pelangi. Durasinya pendek. Hanya hitungan detik. Kadang dua detik, kadang tiga detik kadang lima detik, untuk kemudian pelangi kecil-kecil itu lenyap. Tapi kejadian itu berulangkali muncul tiap kali ombak besar dibelah oleh laju kapal.

Aku menyaksikan rentetan pelangi kecil-kecilan sejak dari haluan hingga buritan. Kecil-kecil. Mudah hilang, tapi diganti oleh pelangi kecil lain yang datang menyusul pecahnya ombak oleh laju kapal yang mudah oleng ini. Terus begitu. Selama dua jam.

Dari pelangi ke pelangi sambung menyambung menjadi satu rangkaian kolase warna yang membuat mataku sepenuhnya dipenuhi oleh warna-warna cerah: merah, kuning, hijau….

Tiap kali melihat langit di jauhan atau lorong-lorong dek, setelah aku memerhatikan dengan lekat orkestra pelangi kecil itu, mataku serasa selalu melihat pelangi.

Nduk, kau pasti pernah melihat pelangi. Tapi pelangi yang ini berbeda. Pelangi kecil-kecilan, lebih pendek masa pertunjukkannya, dan yang pasti, kau harus menundukkan kepala untuk melihatnya karena pelangi itu ada di bawah kita, di lautan.

Ini bedanya dengan pelangi biasa yang mesti kita lihat dengan menengadahkan kepala. Karena di darat, pelangi selalu ada di ujung langit sementara di sini pelangi ada di pinggir lambung kapal.

Pelangi, nduk, pelangi. Apakah kamu pernah dengar cerita tentang pelangi sebagai jalan pulang ke kahyangan dari para bidadari yang sedang mandi di bumi? Kau pasti pernah dengar cerita Joko Tarub, pemuda yang mencuri selendang salah satu bidadari yang sedang mandi di air terjun. Jika pernah menyaksikan pelangi kecil-kecilan yang menakjubkan seperti yang aku lihat di atas KM Kumala, masihkan kau berpikir bahwa pelangi adalah jalan pulang para bidadari ke kahyangan?

Bagiku, nduk, rangkaian pelangi kecil-kecilan itu adalah “jalan pulang” kembali menjadi anak-anak. Kita, orang (yang sok) dewasa ini, kadang tak peduli dengan remeh temeh yang disediakan semesta. Kita kehilangan sifat mudah takjub yang menjadi khas anak-anak, sifat rewel yang kadang membikin penat ayah-ibunya yang dihujani pertanyaan yang mereka kira tidak penting: “Bu, pelangi tuh apa sih? Kok bisa ada pelangi? Hujan air nya dari mana, bu?

Sikap meremehkan itu, nduk, membuat kita kerap kehilangan momen untuk merenungkan sasmita yang diberikan semesta. Kepekaan pada sasmita macam itu, kadang, membuat orang bisa menjadi cukup spiritual, setidaknya dalam beberapa kerjap. Tapi selama kepekaan itu tetap dipelihara, spiritualitas beberapa kerjap itu berpeluang sambung-nyinambung dengan kerjap-kerjap pengalaman lainnya. Jika demikian, pastilah ada sedikit hal yang berubah dalam batin.

Semesta memang penuh pertanda. Tapi itu semua hanya akan menjadi gejala alam biasa jika kita tak pernah memaknainya. Semesta sebagai pertanda itulah yang membuat semesta punya kualitasnya sendiri, punya jati dirinya sendiri, semacam innerlichkeit, barangkali.

Innerlichkeit semesta itu tampil dalam caranya yang khas: sunyi, diam, tapi jelas bukan bisu. Ia tak pernah menutup diri. Jika kau berkeras memahaminya, tak perlu kau buka cangkang innerlichkeit semesta itu, sebab dia akan membukakan dirinya sendiri.

Seperti kata Rumi: “Orang yang gigih mencari, pasti akan ditemukan.”

Lewat pelangi kecil-kecilan yang berderet-deret itulah aku kembali menjadi seperti anak-anak, nduk. Tak puas-puasnya aku memelototi ombak-ombak yang dipecahkan oleh laju kapal. Tiap kali ada ombak besar yang pecah dan membuat air laut membeliak ke udara, aku berharap-harap bisa melihat pelangi kecil yang tipis. Dan jika pelangi itu benar-benar muncul, walau sebentar, aku pasti bernafas lega.

Nduk, dadaku terasa lapang. Pandangku dipenuhi warna-warna cerah, setelah sekian lama selalu pekat, seperti baju dan jeans serba hitam yang selalu kukenakan di mana pun dan pada waktu apa pun, termasuk ketika catatan ini sedang kuselesaikan.

Dan di sebelah barat, ya di sebelah barat, nduk, aku lihat langit hadir dalam ujudnya sebagai kipas raksasa yang berwarna merah membara.

Sewaktu sore mulai meremang, di ufuk barat, awan tipis dan renggang-renggang menyelubungi bagaskara yang hendak pulang. Seperti yang sering kau lihat, bagaskara di sore hari selalu tampak merah membara. Dan awan-awan yang tipis dan renggang-renggang itu, justru membuat bagaskara yang sudah tenggelam separuh ke laut itu seperti kipas raksasa. Awan-awan yang renggang itu membuat sinar bagaskara terpancar menyebar, seperti lajur-lajur kipas.

Ini jauh lebih indah ketimbang langit sore yang kau lihat jika kau sedang melakukan perjalanan dari Bandung menuju Jakarta dengan melewati tol Cipularang. Aku pernah melihatnya beberapa kali. Dari arah Bandung, aku lihat bagaskara yang membara bulat utuh. Dalam bentang alam itu, bagaskara lebih kental nuansa maskulinnya. Terlihat gagah, memang, tapi kadang justru terlihat angker karena seperti sedang menyimpan amarah, dan karenanya tampak maskulin. Seperti pemerian Dante Alighieri tentang neraka dalam karya monumentalnya, Divina Commedia, terutama di bagian pertamanya: Inferno.

Bagaskara yang kulihat sore ini, nduk, yang oleh awan-awan tipis dan renggang disulap seperti kipas raksasa yang merah membara, tampil lebih feminin. Lembut. Dan karenanya terasa akrab. Tak pernah aku merasa seakrab ini dengan bagaskara.

Lagipula, bukankah kipas lebih sering dipegang perempuan?

Ah, aku membayangkan, kipas raksasa merah membara di ufuk barat adalah kipas yang sedang kau pegang, dan entah di suatu tempat yang mana, ku bayangkan kau menatapku.

Barangkali, Tuhan Sang Pencipta Sasmita sedang menyusun kaligrafi. Ya, pelangi-pelangi kecil itu dan juga bagaskara yang tampil seperti kipas indah merah membara, pastilah kaligrafi buatannya.

Nduk, dadaku terasa penuh entah oleh apa. Aku topang wajahku dengan dua tanganku. Mataku nyalang ke arah barat.

Tiba-tiba, televisi di kantin yang aku duduki sejak siang, mengumandangkan adzan maghrib. Dan, sungguh, beberapa orang yang ada di sekitarku, yang tadinya sibuk bercakap-cakap, mendadak berhenti begitu mendengar adzan. Aku perhatikan sekeliling, mereka memang diam. Suasana sunyi. Hanya debur ombak yang terdengar begitu dekat, amat dekat.

Adzan di tengah samudera, pada saat kapal diayun-ayunkan dengan keras, terasa lebih mencucuk. Seharusnya kau ada di sini dan bersamaku mendengarkan simfoni ini.

Nduk, bagaimana kabarmu? Maaf, aku lupa menanyakannya.

Selengkapnya......

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (1)

: Pada sebuah Kapal yang Mengingatkan pada Maut

(Sabtu, 1 September 2007, antara 08.00 WIB-13.00 WIB)

“Nduk, aku berangkat. Aku naik KM Kumala.”

Aku kirim pesan singkat itu hanya beberapa saat setelah KM Kumala bergerak meninggalkan Tanjung Perak, Surabaya.

Tak sampai lima menit, balasan pun datang. Isinya sedikit membuat tawar: “Kumala itu nama temen kecilku di Belitung. Tapi dia sudah gak ada. Meninggal waktu melahirkan L Duh. Ati2, mas. Tenan lho. Ati2.”

Aku berdiri di tepi dek 3 untuk beberapa lama. Merenungkan sebentar pesan tadi. Ada yang diam-diam menyelinap ke dalam, lewat kerongkongan, masuk ke dada dan lalu sedikit membuat sesak. Di sana, aura dingin itu hinggap dengan lindap. Entah akan bersemayam berapa lama ia di sana.

Aku perhatikan lautan. Air begitu tenang. Tapi ini sementara karena masih di sekitar pantai. Kita tak pernah tahu ada berapa badai dan ombak besar yang menunggu di tengah sana. Ya, aku insyaf akan itu.

Lalu aku masuk ke kantin. Aku pesan minuman.

“Kopi hitam pahit satu, mas!”

Aku duduk di dekat tangga. Kunyalakan rokok pertamaku. Dilanjutkan batang yang kedua dan ketiga. Sekitar 45 menit kuhabiskan untuk menelan kopi pahit hitam dan tiga batang rokok yang kusulap menjadi asap dan sampah puntung.

Aku beranjak. Melangkah ke ruang informasi. Di sana, aku memesan satu kamar. Aku harus membayar 25 ribu untuk itu. Tak apalah. Aku butuh ruang yang sedikit nyaman dan aman untuk merebahkan diri beberapa waktu sekaligus bisa menjadi tempat menyimpan ranselku yang berat. Berat juga kalau ransel berisi notebook, kamera, beberapa potong pakaian, dua buah novel dan empat antologi puisi itu aku usung ke mana-mana.

Aku dapat ruang di dek 3. Kamar no. 1. Jadi, aku berada di kamar paling depan dari seantero kapal. Di sana, aku mesti berbagi ruangan dengan seorang lelaki paruh baya. Wajahnya keras. Rambutnya cepak. Badannya pendek tapi kekar. Kulitnya hitam seperti terbakar matahari.

Dan, aha… dia ternyata seorang pelaut. Jadi, di pelayaranku yang pertama, aku sekamar dengan pelaut.

“Sepertinya cuaca bagus. Ombak kecil,” katanya pelan.

Aku nyengir. Segini dibilang kecil? Padahal aku sudah merasakan ayunan ombak. Gimana di tengah laut nanti? Dasar, pelaut!

Aku melihat jendela. Di ujung sana, samar-samar daratan terlihat. Ya, itu Madura. Aku ingat disertasi Kuntowijoyo tentang pulau yang sedang kulihat dari kejauhan. Aku pernah membacanya empat tahun lalu. Aku juga ingat dengan Zawawi Imron, Si Penyair Celurit Emas. Tak akan aku lupa sajak-sajaknya yang telah memerkenalkanku pada Madura yang kering tapi rasanya selalu tampak maskulin. Aku juga ingat Muchlis Amrin, penyair muda, seorang kawanku, yang selalu mencoba tampil gagah, tapi karena itulah ia selalu tampak lucu.

****

Setelah menyantap jatah makan siang yang diantarkan ke kamar (enak juga makan tanpa harus antri dan berebutan seperti para penumpang lain), aku beranjak ke buritan. Di sana juga ada kantin ternyata. Aku pesan minuman yang sama.

“Kopi hitam pahit satu, Mas!”

Aku geli karena saat itu aku ingat James Bond, yang selalu memesan minuman dengan gayanya yang khas: “Martini, dikocok, bukan diaduk!”

Panas menyengat di buritan. Angin kencang. Ombak kian membesar. Seseorang, sepertinya salah satu petugas kapal, terdengar berkata: “Ada satu meter nih ombak.”

Aku tak tahu apa artinya ombak satu meter, apa konsekuensinya, dan tak tahu pula apakah itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan isyarat bahwa cuaca tidak begitu bagus dan karenanya pelayaran tidak akan mulus.

Aku duduk di salah satu bangku yang terujung. Pandang ku arahkan ke sekeliling. Tak kulihat satu pun kapal lain yang melintas berpapasan dengan KM Kumala. Hanya ada air, ombak dan awan-awan yang berarak di cakrawala.

HP jadul bergetar. Aih, masih ada juga sinyal di tengah samudera begini. Sebuah pesan singkat masuk. Aku membukanya. Terbaca kalimat: “Gak enak mencintai seorang pejalan yang senang kelayaban. Kangen ora enthek-enthek.”

Aku balas pesan pendek itu tanpa kalimat, hanya deretan huruf “h” dan “i”: Hihihi….
Dia membalas: “Dasar burung Kuda.”

Ya, tawa “hihihi” memang mirip cericit burung Kuda, setidaknya begitulah yang dikatakan Atik, perempuan cantik yang menjadi biolog di novel Burung-Burung Manyar.
Tapi Burung Kuda tak pernah melintasi samudera.

Aku mengingat-ingat perjalanan-perjalananku sebelumnya. Ah, sudah lama aku tak menggelar perjalanan panjang dan jauh, bermusyawarah dengan kota-kota yang sebelumnya belum pernah kusinggahi, mengasyiki bangku-bangku di taman kota yang kusinggahi.

Perjalanan panjang terakhirku sudah lewat tiga tahun lalu. Di pengujung 2004 silam, beberapa saat usai lebaran, aku menyusuri garis pantai selatan Jawa, dari Jogja hingga Merak. Pindah dari satu kota ke kota lain, berganti bus, singgah di pantai menjelang senja, duduk di alun-alun kota yang kudatangi selepas maghrib, dan lantas melanjutkan perjalanan menjelang tengah malam. Begitu dan terus begitu. Hingga melintasi Selat Sunda, singgah di Lampung, bergerak terus ke Barat hingga Palembang.

Dari Pelembang aku kembali ke timur. Kali ini lebih ringkas karena tak singgah di setiap kota yang dilewati. Aku hanya berhenti di Tanjungkarang, Lampung, singgah di sebuah rumah sederhana: di sanalah, seseorang yang kala itu begitu penting bagi saya berdiam. Dan sesungguhnya, untuk menemui dialah perjalanan panjang kala itu digelar.

Sejak itu aku tak pernah menggelar perjalanan panjang lagi. Sesekali aku datang ke Bandung, Semarang, Surabaya, Cilacap, Bali, Cirebon dan terutama Jakarta. Tapi kota-kota itu sudah pernah kukunjungi sebelumnya. Tak banyak yang bisa dipuaskan dari perjalanan-perjalanan pendek itu.

Ini ironi terbesarku sebenarnya. Setelah aku membuat www.pejalanjauh.blogspot.com, aku justru tak pernah berjalan jauh lagi. Memalukkan.

*****

Baiklah, aku akan berterus terang: Aku begitu terobsesi dengan perjalanan panjang karena sebuah film dan sebiji novel.

Film itu berjudul Y Tu Mama Tumbien karya Alfonso Cuaron. Film itu ku tonton jauh sebelum aku menikmati Motorcycle Diary yang mengisahkan perjalanan Guevara Muda melintasi Amerika Latin (aku jamin, film Tiga Hari Untuk Selamanya karya Riri Reza tak ada apa-apanya di banding film Y Tu Mama Tumbien ini, sementara Motorcycle Diary satu strip di bawah Y Tu Mama Tumbien).

Praktis Y Tu Mama Tumbien lah yang memengaruhiku. Film yang mengisahkan perjalanan dua orang muda dan seorang gadis dengan mengendarai mobil doyok itu membukakan mataku: aku ini benar-benar katak dalam tempurung.

Dan novel Gao Xingjian, Gunung Jiwa atau Ling Shan, menjadi pemicu kedua dari hasratku menggelar perjalanan.

Gunung Jiwa mengisahkan perjalanan Gao menelusuri sungai Yang Tze sepanjang ribuan mil. Di sana, Gao bercakap-cakap dengan tokoh “kau” yang sebenarnya adalah dirinya sendiri, semacam alter ego, barangkali. Tokoh “aku” dan “kau” berganti-ganti posisi di sana, membuatku hanyut dalam apa yang oleh para kritikus sastra sebut sebagai “stream of consciesness”. Sebenarnya, novel James Joyce, A Portrait of the Artist as A Young Man, jauh lebih baik dalam hal memaparkan teknik straem of consciesness, tapi bagi biografiku sendiri, Gunung Jiwa jauh lebih berpengaruh.

Gunung Jiwa ditulis setelah Gao divonis mengidap kanker paru-paru yang akut dan setelah dia dianggap telah terpolusi oleh kebudayaan Barat menurut rezim komunis RRC.

Di novel itulah, Gao bercakap-cakap dengan banyak sekali mitos, orang-orang baru, legenda-legenda dan terutama dengan dirinya sendiri. Di bagian akhir, saya akhirnya tahu, perjalanan itu berhasil membebaskan Gao dari banyak sekali prasangka, ketakutan, hingga frustasi.

Dari Gao, aku menemukan kesadaran bahwa perjalanan yang panjang dan jauh dengan menempuhi tempat-tempat baru yang belum dikenal, berpeluang membebaskan para pejalan dari prasangka-prasangka, ketakutan dan banyak hal lain yang bersemayam di ruang bawah sadar.

Bagi saya, Gunung Jiwa bahkan lebih baik dari The Alchemist yang banyak disebut-sebut itu, apalagi dengan A Chasing of Rumi yang dikarang Roger Houdson. Betapa pun The Alchemist mengandung banyak sekali parapgraf-paragraf cemerlang, tapi bagiku the Alchemist terlalu didaktis, sarat dengan khotbah.

Y Tu Mama Tumbein dan Gunung Jiwa mengajarkanku bahwa hakikat perjalanan tidak terletak pada kota yang hendak dituju, tapi perjalanan itulah hakikatnya. Perjalanan untuk tujuan perjalanan. Perjalanan demi perjalanan itu sendiri.

Y Tu Mama Tumbien dan Gunung Jiwa juga mengajarkanku bahwa sikap terbaik menghayati perjalanan adalah dengan memerlakukan perjalanan itu dengan dipenuhi sikap terbuka dan membuka diri pada banyak kemungkinan yang muncul. Barangkali seperti membaca puisi, di mana setiap paragraf bisa dibaca sebagai kelopak yang kita buka pelan-pelan. Itulah sebabnya aku membekali diri dengan empat antologi puisi.

Terutama pada Gao, ia selalu menemukan nilai-nilai baru pada satu tempat yang disinggahinya, tapi ia selalu menemukan nilai-nilai itu mesti ia rombak kembali sewaktu ia menemukan nilai baru di kota lain yang ia singgahi kemudian.

The Alchemist, di titimangsa ini, terasa jauh lebih prosais. Maaf, tuan Coelho.

*****

Badanku mendadak terjajar. Ombak makin besar. Aku tekuk kedua lututku dan kupeluk lutut itu di dadaku. Pelan-pelan, aku hisap rokokku yang entah batang keberapa. Ku kepulkan asapnya.

Selengkapnya......