Minggu, Agustus 26, 2007

Manyar Manyar

: untuk atik

Jika boleh rindu,
ejalah namaku di sela bibirmu

Jika boleh rindu,
diam saja di situ
simpan semua gincu di dadamu

Jika tak boleh rindu,
pergi saja sesukamu
biar aku yang mencarimu

Selengkapnya......

Minggu, Agustus 19, 2007

Pram Tidak Membakar Buku!

: Menanggapi Arya Gunawan dan Prahara Budaya dengan (Sedikit) Rinci

Arya, Jadi kapan sebenarnya Pram membakar buku seperti halnya Nur Mahmudi Ismail?

Sayang sekali Anda tak bisa menjawabnya dan justru berkelit dengan mengganti frase “Pram bakar buku” dengan frase “mendiamkan / menganjurkan membakar buku”.

Saya sudah menduga Anda tak bisa menjawabnya. Saya juga bahkan sudah bisa menduga Anda akan berkelit dengan mengganti frase “Pram membakar buku” dengan frase “Pram membiarkan/menganjurkan bakar buku”. Dugaan saya sepenuhnya presisi.

(Jujur, saya tidak yakin Anda akan mengganti frase “Pram bakar buku” dengan “Pram menganjurkan/mendiamkan pembakaran” jika saya tidak menantang Anda secara terbuka untuk berbicara mengenai perkara ini secara detail – kendati Anda bilang tulisan panjang Anda bukan karena untuk menanggapi tantangan saya).

Tapi sekadar mengingatkan, tulisan Anda (baik untuk mengkritik materi pernyataan sikap, menjawab Linda atau pun menjawab Aboeprijadi) jelas-jelas menyebutkan Pram “membakari buku-buku lawan ideologisnya”.

Dan itu dilakukan berkali-kali. Terus menerus dalam tiga tulisan Anda itu (dan baru diganti dengan “membiarkan atau menganjurkan pembakaran” dalam tulisan Anda yang terbaru setelah saya menantang Anda untuk menjawabnya dengan detail).

Kita tahu semua, seperti apa kelakuan Nur Mahmudi yang pernah Anda coblos dalam perkara ini. Dengan mudah saya bisa sebutkan kapan dan di mana kelakuan Nur Mahmudi itu terjadi. Itulah sebabnya saya menantang Anda secara terbuka. Saya jengah karena Anda terus menerus menyamakan apple to apple antara Pram dan Nur Mahmudi dalam soal bakar-membakar ini

Kita bisa berdebat soal selisih antara “membakar buku” dengan mendiamkan/menganjurkan pembakaran”. Tapi yang jelas, keduanya tidak persis.

Dengan terus-menerus mereproduksi frase “Pram membakari buku” (seperti terbaca jelas dalam 3 tulisan Anda: kritik untuk materi pernyataan sikap, jawaban pada Linda, dan jawaban pada Aboeprijadi), saya kahawatir Anda terpeleset pada “ommision of fact”. Karena Pram memang tidak membakar buku (sampai ada yang bisa membuktikannya).

Sayang bukan jika apa yang Anda sebut sebagai “memukul air di dulang terpercik wajah sendiri” ternyata berlaku pula pada Anda?

Jika memang tidak bisa membuktikan Pram membakar buku, janganlah katakan itu berkali-kali. Jika Anda hanya bisa membuktikan bahwa “Pram memberangus kebebasan berpikir” atau “mendiamkan pembakaran buku”, cukuplah Anda katakan itu saja dan tak usahlah menggunakan frase-frase berlebihan yang tak bisa dibuktikan koherensinya dengan kenyataan. Itu jauh lebih bertanggungjawab. Barangkali lebih “ilmiah”. Dan yang jelas itu jauh lebih “adil”.

Dengan terus-menerus mereproduksi frase “Pram membakari buku” pada saat sebenarnya Anda memaksudkan (dan hanya bisa membuktikan) “Pram memberangus kebebasan berpikir atau mendiamkan pembakaran buku”, Anda sama saja sedang mereproduksi jargon-jargon.

Tidak usah pula menyebut tantangan saya sebagai Agitprop seraya menulis dalam tanda kurung itu sebagai istilah PKI.

Apa pula itu maksudnya? Apakah Anda sedang mencoba membangun sebuah atribusi (diam-diam) buat saya sebagai orang yang berbahasa dengan nuansa PKI? “Tantangan berpolemik secara terbuka” tidak identik dengan Agitprop, apalagi dengan PKI. Organ-organ jaman behuela, tidak hanya PKI, biasa menggunakan istilah Agitprop, termasuk salah satu musuh besar PKI yaitu Partai Murba. Coba Anda baca Katalog Kepartaian Indonesia yang diterbitkan Kementerian Penerangan pada 1951. Janganlah mulai bikin-bikin atribusi dengan gaya stigmatisasi macam itu lah…. Biasa aja, dong!

Cara-cara Anda menyebut tantangan saya yang dinyatakan secara terbuka dengan menghubung-hubungkannya dengan “agitprop” dan “PKI” rentan membawa Anda pada laku stigmatisasi. Saya berprasangka baik Anda tidak sedang ingin membangun atribusi (diam-diam) bahwa saya “seperti PKI”, tapi cukup jelas, cara-cara macam Anda itu sering kita dengar sebelum 1998.

Jadi, Bung Arya, jika memang Anda tidak mampu membuktikan kapan dan di mana Pram membakar buku, tak usah pula Anda terus menerus mereproduksinya. Carilah parafrase/kalimat yang Anda anggap jauh lebih koheren dengan kenyataan dan yang dengan mudah pula Anda membuktikannya.

Kita tidak makin cerdas dan jernih menyikapi sejarah dengan mereproduksi terus-menerus jargon-jargon, seperti juga kita tidak bisa melawan lupa dengan cara begitu.

Orang harus membayar apa yang ia perbuat dan orang tak bisa diminta membayar apa yang tidak ia lakukan.

****

Arya,

Sekarang, mari kita omong-omong sebentar tentang buku “Prahara Budaya” yang disusun oleh DS Moeljanto dan Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail.

Saya tidak apriori dengan “Prahara Budaya”, tapi saya tidak percaya begitu saja dengan buku “Prahara Budaya” dalam upaya memahami PKI-LEKRA-Pram.

Buku itu melulu diisi sisi keburukan PKI-LEKRA-Pram. Siapa pun yang pernah membaca buku “Prahara Budaya”, akan terjerat oleh kesan betapa ganas, bahaya, dan biadabnya PKI-Lekra-Pram. Propaganda Orde Baru tentang komunisme sebagai mahluk jahat seperti satu partitur dengan buku “Prahara Budaya”. Tidak berlebihan jika saya bilang buku itu disusun dengan cara propaganda, bukan dengan semangat ilmiah untuk menemukan “kebenaran”.

Jika ada orang yang bertanya pada saya buku apa yang berhasil membangun kesan betapa ganas dan berbahayanya Lekra-PKI-Pram, salah satu yang akan dengan tangkas saya sebutkan adalah buku “Prahara Budaya”.

Itu pula yang saya alami ketika membaca “Prahara Budaya” di awal-awal masa kuliah dulu. Kesan saya ketika itu, betapa jahat dan sama sekali tak ada nilai positifnya PKI-Lekra-Pram. Saya yang dibesarkan dalam kultur bahasa Indonesia yang baik dan benar ala Orde Baru, terperangah membaca artikel-artikel dari para pendukung PKI atau Lekra yang menggunakan gaya bahasa provokatif dan “gila-gilan”.

(Jadinya, saya pun tidak heran jika Arya Gunawan – yang juga dibesarkan dalam kultur pendidikan yang memuja bahasa Indonesia yang baik dan benar -- menanggapi subjek postingan saya yang berjudul TANTANGAN TERBUKA BUAT ARYA GUNAWAN dengan memberi komentar sebagai tulisan “bernuansa agitprov” dan pada saat yang sama masih merasa perlu menulis dalam tanda kurung “ini tentu saja istilah PKI”. Karena saya menggunakan gaya bahasa bernuansa Agitprop yang merupakan istilah PKI dan dengan demikian saya -– secara tidak langsung — dianggap “bernuansa PKI”. Bah, macam mana pula kejernihan membaca sejarah dan melawan alpa dilakukan dengan gaya pukul rata macam begini, Bung?)

Belakangan, setelah saya membacai langsung koran Harian Rakyat (milik PKI), Bintang Timur (yang lembar budayanya, Lentera, dipegang oleh Pram), Abadi (milik Masjumi) atau Duta Masjarakat (milik NU) apalagi Indonesia Raja pimpinan Mochtar Loebis, saya baru sadar bahwa gaya bahasa macam itu memang menjadi “cara wicara” (type of speech) ketika itu. Gaya bahasa macam itu memang mencerminkan dengan baik semangat zaman ketika itu yang dipenuhi semangat berpolemik, tantang menantang, hantam menghantam.

Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dengan baik sekali membangun kesan bahwa bahasa itu sebagai cermin kepribadian ganas PKI-Lekra, yang ia sebut sebagai gaya bahasa “caci-maki” dan “propaganda”, tetapi pada saat yang sama Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail juga menggunakan gaya bahasa yang tidak kalah agitatifnya, seperti “mesin penyerangan untuk Manikebu”, dll.

Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail tidak pernah menyebut-nyebut bahwa jika pun harus dicari orang yang dimintai pertanggungjawaban atas gaya bahasa yang agresif dan agitatif itu, Soekarno tidak bisa tidak tersangkut-paut dalam perkara ini. Soekarno adalah orang yang punya kemampuan membentuk “cara-wicara” dan gaya bahasa. “Prahara Budaya” tak pernah menjelaskan konteks ini secara jernih.

Arya benar bahwa “Prahara Budaya” memuat tulisan-tulisan langsung para pelaku sejarah ketika itu. Tapi, keberadaan tulisan para pelaku sejarah, tidak serta merta membuat “Prahara Budaya” menjadi cukup berwibawa untuk dijadikan rujukan memahami sepakterjang PKI-Lekra-Pram secara utuh dan proporsional.

Sebabnya, “Prahara Budaya” hanya memajang tulisan-tulisan para pelaku sejarah ketika itu dengan penyuntingan yang tidak begitu jelas teknik dan metodenya. Sementara pada saat yang sama, Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dan DS Moeljanto bisa dengan leluasa menuliskan kesimpulan, tafsir, dan pernyataan-pernyataan apa pun yang ingin ia suarakan.

Ini kentara, saya contohkan salah satunya, pada pengantar dia pada bagian kelima “Prahara Budaya” yang ia upayakan untuk bisa mencitrakan betapa para penyair Lekra memang menghamba pada Lenin dan Komunisme dan bahkan dianggap sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965.

Dia menyebut puisi penyair Mawie yang berjudul “Kutunggu Bumi Memerah Darah” yang dimuat pada Maret 1965 sebagai bukti (saya kutipkan tulisan Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail) “karena rupanya dia sudah tahu sebelumnya”. Maksudnya, penyair Mawie dianggap sudah tahu bahwa akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965.

Ini propaganda, saya kira, karena terlalu berlebihan menyebut Mawie tahu akan terjadi pertumpahan darah pada 1 Oktober 1965, apalagi Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail tidak pernah menjelaskan argumen atas tuduhannya itu dalam sebiji kalimat pun. Dengan memvonis penyair Mawie sudah tahu peristiwa 1 Oktober 1965 jauh-jauh hari sebelumnya, kita dikesankan untuk percaya bahwa mereka semua memang terlibat, atau setidaknya, tahu.

Jika saja Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail mau adil, dia harus katakan bahwa puisi dengan nuansa “merah-darah” tidak ada hubungannya dengan peristiwa 1 Oktober karena para penyair yang bersimpati dengan Lekra sudah terbiasa menggunakan metafora macam itu bertahun-tahun jauh sebelum 1965.

Itu bisa dibaca dari puisi Njoto berjudul “Merah Kesumba” yang diterbitkan pada Maret 1961 atau puisi Roemandung berjudul “Darah Merah di Wadjah Duka” yang ditulis di Pematangsiantar pada April 1958 dan diterbitkan Harian Rakjat pada 7 Juli 1962.

Sayangnya ini tak dimuat oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail di “Prahara Budaya”. Bukankah menggelikan jika mereka disebut tahu bahwa beberapa tahun ke depan akan terjadi peristiwa 1 Oktober 1965.

Saya dulu percaya bahwa setiap orang-orang Lekra memang terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 1965, ya karena buku “Prahara Budaya” ini. Untung saja saya punya kesempatan untuk menelusuri sumber-sumber asli koran-koran pada zaman itu dan lebih teliti serta berhati-hati memamah “Prahara Budaya”.

Bagaimana dengan orang-orang yang tak punya akses pada sumber-sumber itu? Kasihan sekali jika mereka percaya bahwa para Mawie dan para penyair Lekra sudah tahu jauh-jauh hari peristiwa berdarah 1 Oktober 1965.

“Prahara Budaya” tidak cukup adil memberi tempat dan menggambarkan PKI-Lekra-Pram. Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dan DS Moeljanto hanya memajang tulisan-tulisan yang menggambarkan wajah seram PKI-Lekra-Pram dan menggiring pembaca untuk sampai pada kesimpulan itu dengan menerakan komentar-komentarnya sendiri.

Hanya dengan membaca “Prahara Budaya”, kita hanya akan mendapat cerita keganasan PKI yang menggerebek mesjid di Kanigoro tanpa akan pernah tahu bahwa PKI yang sama pernah membangun dan merehab belasan mesjid di Sumatera pada 1964. Hanya dengan membaca “Prahara Budaya”, kita hanya akan mendapat gambaran PKI-Lekra-Pram sebagai subyek-subyek yang membakari buku dan memberangus kebebasan berpikir orang-orang Manikebu (dalam istilah Pram) atau Manifestan (dalam istilah Wiratmo Soekito).

Hanya dengan membaca “Prahara Budaya”, kita tidak akan pernah menyadari satu hal penting: bahwa PKI-Lekra-Pram juga sepaham dengan Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dalam soal moralitas.

Belakangan saya membacai koran-koran lama, termasuk Harian Rakyat dan Bintang Timur. Salah satu hal yang baru saya sadari, dan tak akan pernah Anda sadari jika hanya membaca Prahara Budaya, adalah bahwa PKI-Lekra adalah organ yang getol sekali mengampanyekan soal moralitas, seperti juga Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail di hari-hari belakangan.

Hanya membaca “Prahara Budaya”, kita akan kehilangan kesempatan untuk menyadari bahwa PKI-Lekra amat getol mengampanyekan anti buku-buku cabul, majalah-majalah cabul, film-film cabul, sastra cabul hingga pakaian-pakaian cabul.

Wakil CC PKI Njoto ketika pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bodjonegoro, Jawa Timur. Sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, malam itu Njoto tak mengepit berlembar-lembar kertas pidato, sebagaimana Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail lakukan di Taman Ismail Marzuki ketika berpidato ihwal Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) atau pun di ruang auditorium UNY sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Pendidikan Sastra.

Njoto, malam itu, berbicara mengenai sikap PKI atas demoralisasi masyarakat, khususnya bagi anak-anak pelajar. Njoto bilang: “PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot”.”

Dalam usaha membendung keganasan “barang2 tjabul” itu PKI jauh lebih keras tindakannya. Njoto dalam pidato yang sama tak lupa berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) lantas memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.

Lekra cabang Jogja pernah membuat program melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi PKI dan eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat.

Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatle, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim”.

Pada 8 Juli 1961, Harian Rakjat bersikap keras terhadap film-film Amerika yang dianggap dipenuhi adegan mesum, seks dan mengajarkan kekerasan. Tulisan yang secara jelas menerangkan sikap PKI dalam hal tulisan dan tayangan seks dan kekerasan itu terpajang manis dalam judul “Hanja Menghendaki Sex dan Kekerasan”.

Majalah-majalah yang dianggap cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar saru nan mesum yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring” No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.

Standar moral PKI, dalam hal beginian, relatif keras. Soedjojono, pelukis yang oleh Claire H0lt dalam studinya tentang sejarah seni di Indonesia maupun dalam disertasi Farida Soemargono di Ecolo des Hautes Estudes en Scien Sociales (Paris) disebut sebagai penubuh gagasan realisme (sosialis) Indonesia dalam seni rupa Indonesia ketika ia bergelut di Jogjakarta pada akhir 1930-an hingga awal 1950-an (kurang lebih seperti posisi Pram sebagai penganjur realisme sosialisme dalam kesusastraan), sampai harus dipecat karena menolak meminta maaf dan ampun setelah ia berpoligami dengan menikahi istri mudanya yang bernama Rose Pandanwangi (sama bukan dengan Partai Bulan Bintang yang berazas Islam ketika memecat Zaenal Maarif gara-gara berpoligami?). Sikap Aidit tergolong keras dalam perkara moral macam beginian.

Apakah pernah Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail mengakui “sumbangan” PKI-Lekra dalam perkara beginian? Apakah ada pengungkapan wajah lain PKI-Lekra dalam perkara beginian dalam buku “Prahara Budaya”?

Apakah Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail kesulitan menemukan klping-kliping seperti itu? Saya pastikan tidak mungkin.

Jika Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dengan mudah menampilkan kliping-kliping tulisan yang dengan telanjang menganjurkan pengganjangan terhadap Menikebu, jika mau dia juga bisa dengan mudah menemukan dan menampilkan sikap moral PKI-Lekra dalam soal seks, gambar mesum, film porno dan kekerasan. Kampanye pengganjangan Manikebu sama banyaknya dengan pengganjangan bikini, playboy, film porno, buku cabul, majalah cabul (Anda akan menyadarinya jika menyambangi langsung koran-koran pada masa itu, terutama Harian Rakyat dan Bintang Timur).

Lantas kenapa yang beginian tidak diberi tempat dalam “Prahara Budaya”? Bagi saya, cukup jelas, “Prahara Budaya” memang diabdikan untuk menggelar kampanye untuk membangun citra yang buruk terhadap PKI-Lekra-Pram.

Apakah pernah orang-orang berpikir bahwa PKI-Lekra punya standar moral yang jelas dalam perkara kecabulan? Tidak bukan? Orang hanya tahu keburukan dan keganasan PKI-Lekra. Dan buku “Prahara Budaya”, bagi saya, adalah salah satu eksponen terpenting dari proyek besar stigmatisasi itu.

Buku “Prahara Budaya” memang tidak meyakinkan untuk menjelaskan keutuhan sepakterjang PKI-Lekra-Pram. “Prahara Budaya” baru meyakinkan dalam hal menggambarkan keburukan dan keganasan PKI-Lekra-Pram.

*****

Arya,

Saya menemukan kesejajaran sikap dan standar moral PKI-Lekra dengan polah Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail hari-hari belakangan ini yang juga doyan betul mempropagandakan sikap anti-karya sastra cabul, novel cabul, film cabul dan majalah cabul melalui peristilahan (dengan gaya menggunakan akronim yang tidak beda dengan PKI-Lekra-Pram), macam SMS (Sastra Mazhab Syahwat), GSM (Gerakan Syahwat Merdeka) atau FAK (Fiksi Alat Kelamin).

Ketika ditanya soal penggunaan akronim-akronim macam itu, GM (dalam komentarnya atas Pernyataan Ode Kampung) berkomentar dingin: “Sepertinya akronim-akronim lagi naik daun sekarang.”

Bedanya, Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail mengalasdasari dengan dalil-dalil kitab suci sementara PKI-Lekra mengalasdasari dirinya dengan dalil-dalil revolusi anti-Nekolim yang dimuntahkan dengan begitu bersemangat di banyak sekali kesempatan oleh Bung Karno.

Jika dulu Njoto atau Aidit atau PKI atau Lekra saling bajak-membajak dengan pemerintah c.q Soekarno untuk melakukan apa yang disebut GM sebagai “memberangus kebebasan berpikir”, itu pula yang sepertinya sedang diusahakan oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail yang datang ke Parlemen untuk meminta kurikulum 2004 yang menghilangkan kata PKI dalam peristiwa 1965 untuk dibatalkan, dalam kosa kata PKI: “diganjang”. (Untuk mengetahui keterlibatan Taufiq Ismail dalam upaya membatalkan kurikulum 2004 bisa dibaca di sini dan di sini)

Anda bisa membaca wawancara teman sekantor saya dengan sejawaran senior Anhar Gonggong yang menguak peristiwa di mana Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail datang ke Parlemen memohon-mohon agar buku sejarah berbasis kurikulum 2004 dilarang dari peredaran. Kata Anhar Gonggong ketika itu: “Faktanya pemerintah lebih mendengar Taufiq Ismail daripada kami para sejarawan.” (komentar Anhar Gonggong selengkapnya bisa dibaca di sini)

Dari situlah asal muasal pembakaran buku pelajaran sejarah berbasis kurikulum 2004 oleh Nur Mahmudi Ismail, orang yang pernah Anda coblos dalam Pemilihan Umum di Depok tapi belakangan Anda mengaku mencabut mandat Anda padanya.

Pembakaran buku dimulai oleh sejumlah orang, termasuk Taufiq Ismail, yang menginginkan agar buku pelajaran sejarah berbasis kurikulum 2004 dihapuskan. Mereka, termasuk juga Taufiq Ismail, mengusahakan hal itu dengan banyak cara, termasuk mendatangi parlemen. Kebetulan parlemen banyak diisi oleh orang-orang yang memang alergi dengan segala macam yang berbau PKI. Kompak sudah. Klop betul.

Maka keluarlah pelarangan buku pelajaran sejarah kurikulum 2004 oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan itulah Nur Mahmudi membakar buku. Setelah itu, keluarlah pernyataan sikap menolak pembakaran buku. Setelah itu, Anda mengritik pernyataan sikap itu sebagai mengandung ommision of fact karena tidak mencantumkan pembakaran buku (yang katanya) dilakukan oleh Pram, seraya pada saat yang sama menyebut terus menerus buku “Prahara Budaya” yang disusun oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail, orang yang justru rajin menuntut pelarangan buku sejarah berbasis kurikulum 2004 yang jadi prolog alias asal muasal pembakaran buku oleh Nur Mahmudi.

Bagaimana bisa kita menganjurkan untuk melawan alpa dan ommision of fact dengan merekomen buku “Prahara Budaya” yang hanya menghadirkan sisi buruk PKI-Lekra-Pram seraya pada saat yang sama menghilangkan banyak hal penting dari sisi lain PKI-Lekra-Pram?

Lagipula, buku itu disusun oleh orang yang justru rajin menuntut pelarangan buku sejarah berbasis kurikulum 2004 yang kelak menjadi pangkal pembakaran buku.

Anda jangan lupa asal muasal sengkarut kelakuan Nur Mahmudi Ismail membakari buku. Karena pelarangan buku sejarah dan pembakaran buku pelajaran sejarah itu satu paket; sebab yang kedua tak mungkin terjadi tanpa kejadian yang pertama.

Apakah Anda menyebutkan peran Sang Penyusun buku “Prahara Budaya” dalam sengkarut pelarangan buku sejarah yang akhirnya berujung pada pembakaran buku sejarah? Tidak bukan?

Jika benar tuduhan Anda bahwa Pram membiarkan atau menganjurkan pembakaran buku, hal yang sama mesti Anda jelaskan di mana posisi Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail dalam pelarangan buku sejarah yang akhirnya berujung pada pembakaran buku.
Itu baru adil namanya.

****

Arya,

Anda, seperti juga “Prahara Budaya”, tidak salah ketika menyebut adanya pembakaran buku yang tidak bisa tidak melibatkan PKI-Lekra-Pram, langsung atau tidak, berikut selisih derajat keterlibatan dan peran mereka masing-masing.

Perpustakaan USIS di Surabaya diserbu dan dibakar jam 18.30 pada 8 Desember 1964 dan diberitakan di Harian Rakjat pada terbitan 9 Desember 1965. Sebelumnya, pada 5 Desember 1964, mereka yang menamakan dirinya Front Pemuda, menyerbu gedung USIS dan lantas membakar buku-buku milik USIS di Jakarta.

Penyerbuan dan pembakaran itu dilakukan setelah mereka menghadiri Rapat Umum Setiawakan dengan Rakyat Kongo yang menolak invasi Amerika dan Belgia ke Kongo. Peristiwa ini kemudian diberitakan sebagai headline di halaman muka Harian Rakjat pada edisi Sabtu, 5 Desember 1964.

Pada hari yang sama dengan terbitnya Harian Rakjat dengan headline itu, nyaris semua surat kabar dI Jakarta juga memberitakannya. Harian Suluh Indonesia, Warta Bhakti, Duta Masjarakat, Sinar Harapan dan Bintang Timur memberitakan peristiwa USIS dan Rapat Umum Setiakawan dengan Rakjat Kongo dengan nada simpatik, sementara Merdeka (yang dipimpin oleh BM Diah, orang yang mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme) dan Berita Indonesia (yang didirikan salah seorang sahabat HB Jassin, Anas Ma’ruf, yang produktif menerjemahkan karya-karya Tagore, Steinbeck hingga Kabawata) bersikap antipati dengan penyerbuan dan pembakaran USIS itu.

Bagaimana sikap Lekra?

Saya belum menemukan pernyataan resmi Lekra ihwal penyerbuan dan pembakaran buku milik USIS. Yang saya temukan adalah sikap resmi Pmpinan Pusat Lekra yang menuntut penutupan USIS. Sikap resmi Lekra itu terbaca jelas di halaman muka (persisnya di pojok atas bagian kanan) Harian Rakjat dalam judul berita: “PP Lekra Dukung Tuntutan Warta Berita: Tutup USIS dan Pusat Kebudajaan AS”.

Foto pembakaran buku macam itu tidak hanya bisa didapatkan dari buku “Prahara Budaya”. Foto yang sama bisa didapatkan pula, misalnya, pada koran-koran masa itu. Juga bisa ditemukan dalam memoar yang ditulis oleh Duta Besar Amerika pada periode itu, Marshal Green, yang berjudul “Indonesia: Crisis and Transformation 1965-1968” (yang edisi terjemahannya pernah diterbitkan oleh Grafiti).

Fakta itu terlalu telanjang untuk dilewatkan begitu saja, dan saya tidak pernah berniat menggelapkan fakta itu.

Saya tidak tahu kenapa para penandatangan pernyataan sikap menolak pembakaran buku tidak menyebutkan ini (satu misteri yang membuat kawan saya, Ikram Putra, penasaran bukan main!). Biarlah para penandatangan itu yang menjawabnya, karena saya memang tidak ikut menandatangani, kendati sikap saya jelas-jelas menolak dan melawan pembakaran buku berdasar dalih apa pun.

Tetapi, jika pun mau adil dan dengan semangat untuk membicarakan sejarah secara jernih dan proporsional, mesti dijelaskan secara fair juga posisi dan dalam skala apa keterlibatan mereka, dan tidak dengan serta merta memukul rata semuanya sebagai “para pembakar buku” seperti yang dipakai Arya dalam tiga tulisan sebelumnya, yang lantas diperbaiki frasenya ditulisan Arya yang terakhir.

Gaya pukul rata ini diadopsi dari “Prahara Budaya”. Kalau pinjam istilah anak sekarang, “Prahara Budaya” banget!

Dan juga jika mau adil, “Prahara Budaya” dan juga Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail sebaiknya menjelaskan pula sikap moral PKI-Lekra-Pram dalam hal moralitas terhadap seks, pornografi dan kekerasan; hal ihwal yang belakangan juga digembor-gemborkan oleh Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail. Karena itu satu paket.

Jika saja Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail menyusun “Prahara Budaya” dengan cara seperti, misalnya, Vedi R. Hadiz dan David Bourchier ketika menyusun buku “Indonesia Politics and Society: A Reader”, saya barangkali bisa lebih menghormati “Prahara Budaya”.

Buku yang disusun oleh Vedi dan Bourchier itu berisi kliping-kliping tulisan atau artikel atau manuskrip yang dianggap bisa menggambarkan dan mewakili gagasan politik yang penting selama masa Orde Baru.

Berbeda dengan “Prahara Budaya”, buku tersebut hanya menyajikan kata pengantar panjang plus anotasi dan tidak mencampurbaurkan antara opini penyusunnya dengan bahan-bahan kliping yang ditampilkan. Pembaca bisa memilah dengan baik mana yang merupakan sikap penyusun dan mana kliping aslinya. Penyuntingan memang dilakukan, tetapi penyuntingan itu dilakukan dengan tidak banyak mengubah aslinya.

****

Arya,

Sekarang mari kita omong-omong sebentar mengenai hubungan Lekra dan PKI.

Saya mencoba mengerti jika Anda, dalam tulisan terakhir, menyebut Lekra sebagai organ PKI di bidang kebudayaan dan kesenian.

Tetapi, penyebutan Lekra sebagai organ atau alat PKI tidak sepenuhnya bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara PKI-Lekra. Berhenti hanya dengan menyebut Lekra sebagai organ apalagi alat PKI, bagi saya, berpeluang menghilangkan banyak detail sejarah termasuk kompleksitas hubungan antara Lekra-PKI.

Bagi saya, detail sejarah seperti itu, mau tidak mau, mesti diikutsertakan jika kita memang ingin berbuat adil dan menyajikan sejarah secara proporsional. Detail seperti itu mesti dijelaskan jika kita ingin lolos dari jeratan ommision of fact. Berhenti dengan predikat “organ atau alat PKI” saja, bagi saya, rentan untuk terjebak pada gaya berpikir “pukul rata” yang kurang kondusif bagi upaya menebarkan pemahaman sejarah yang lebih proporsional dan koheren dengan kenyataan.

Dengan semangat mengeliminasi gaya berpikir pukul rata yang mudah membawa kita pada kubangan ommision of fact, saya mencoba membagi pengetahuan dan informasi yang saya ketahui mengenai hubungan antara Lekra dan PKI.

Semua orang tahu bahwa antara Lekra dan PKI punya hubungan yang khusus. Menjadi ommision of fact jika ada yang bilang bahwa Lekra dan PKI sama sekali tak memiliki hubungan apa pun. Kedekatan keduanya terlalu telanjang untuk dilenyapkan begitu saja.

Kedekatan antara PKI-Lekra dan kedekatan keduanya dengan Soekarno begitu jelas pada periode Demokrasi Parlementer. Unsur Soekarno ini penting karena sekuat-kuatnya PKI atau Lekra, mereka tak ada artinya tanpa Soekarno. Ketiga-tiganya sama-sama doyan mereproduksi jargon-jargon revolusioner, Manifesto Politik, Neo-kolonialisme dan imperialisme dan pada semangat pada revolusi yang dibayangkan akan mamupu membebaskan Indonesia dari feodalisme dan imperialisme.

Seperti yang ditunjukkan oleh Rex Mortiner dalam studinya tentang komunisme Indonesia pada masa Soekarno, kadang ucapan PKI, ucapan pengurus Lekra atau pun ucapan Soekarno hampir-hampir tak bisa dibedakan lagi. Faktor penting Soekarno ini tak dijelaskan dengan memadai oleh “Prahara Budaya”, seakan-akan Lekra-PKI sajalah pihak yang bertanggungjawab.

Tetapi seberapa dekat sih hubungan Lekra-PKI? Apakah sedekat antara Barisan Tani Indonesia (BTI) atau Pemuda Rakyat (PR) dengan PKI? Seberapa kuat jaring komando antara PKI dengan Lekra?

Yang saya tahu, sampai munculnya Pageblug 1965, Lekra “gagal dikomuniskan” oleh Aidit dan PKI. “Gagal dikomuniskan” di situ artinya Lekra tidak pernah menjadi organ milik PKI seperti yang Anda bilang di tulisan terakhir Anda. Hal yang sama berlaku juga pada Gerwani.

Upaya mengkomuniskan Lekra atau Gerwani biasanya dilakukan dalam kongres-kongres resmi organ-organ tersebut. Jika PKI gagal mengkomuniskan mereka secara resmi, PKI biasanya lantas membentuk sendiri organ-organ yang dia inginkan.

Karena itulah PKI akhirnya membuat Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) yang akhirnya menjadi organ atau onderbouw resmi PKI. Karena Gerwani “gagal dikomunsikan”, maka PKI akhirnya membentuk organ resmi yaitu Wanita Komunis.

Lekra tidak pernah menjadi onderbouw resmi PKI sebagaimana BTI, PR, CGMI, atau SOBSI, atau kalau sekarang seperti Banser bagi PKB atau Gerakan Pemuda Ka’bah bagi PPP.

Bahwa ada orang-orang komunis di tubuh LEKRA, itu jelas dan terlalu telanjang untuk dilenyapkan. Salah satu simpul hubungan antara Lekra dan PKI paling telanjang terlihat dari keberadaan Njoto di Lekra. Njoto pula salah satu orang yang ikut menggodok pendirian Lekra.

Tetapi antara Lekra dan PKI bukannya identik. Perbedaan tajam antara keduanya bukan sekali dua muncul. Sejumlah tokoh Lekra menolak campur tangan berlebihan dari partai. Instruksi-instruksi Partai yang datang seperti sabda sangat sering menjengkelkan tokoh-tokoh kunci Lekra.

Puncak perbedaan itu ya ketika PKI berniat mengkomuniskan Lekra pada 1964. Njoto sendiri, yang pernah dijuluki Brother Number Two yang merupakan Wakil Ketua CC PKI, terlibat dalam penolakan itu. Njoto pernah bilang pada koleganya di CC PKI bahwa cukuplah dirinya saja yang ada di Lekra dan tak usah sampai mengkomuniskan Lekra.

Dalam salah satu perbincangan singkat antara Muhidin M Dahlan (rekan sekantor yang sedang meneliti koran-koran kiri di masa lalu) dan saya dengan Martin Aleida di gang menuju TIM, Martin sempat kurang lebih sempat bilang: “Seandainya PKI menang, orang-orang seperti Pram dan Njoto barangkali akan dihabisi oleh PKI.”

“Kami menolak. Saya juga menolak, karena tidak bisa, misalnya, seorang Pram diperintah menjadi merah. Begitu juga yang lain. Nggak bisa,” tegas Oey Hay Djoen, orang yang saya lihat datang pada malam terakhir kehidupan Pramoedya.

Orang-orang seperti Pram, Rivai Apin, atau Soedjojono terlalu kokoh untuk diperintah ini dan itu atau disuruh menulis dan melukis begini dan begitu. Dalam kata-kata Oey, “Mereka semua sudah harimau sebelum Lekra dibentuk.”

(Barangkali ini seperti Tan Malaka, yang kendati seorang komunis, tetapi cukup jelas ia tidak bisa diperintah semau-maunya oleh Komintern. Itulah sebabnya Hatta pernah mngeluarkan komentar yang terkenal mengenai Tan Malaka sebagai orang yang tulang punggungnya terlalu keras untuk membuatnya tunduk pada Stalin.)

Uraian yang sama bisa dibaca dalam tulisan Joebar Ajoeb berjudul “Mocopat Kebudayaan”. Joebar juga menegaskan rendah dan cairnya kendali PKI terhadap Lekra.

Jangan heran juga jika kita membaca memoar Kusni Sulang (yang sekarang menggunakan nama JJ Kusni), “Di Tengah Pergolakan: Turba Lekra di Klaten”, yang bingung bukan main kenapa penelitian kesenian yang dilakukannya kok bisa dipimpin oleh DN Aidit.

Kebingungan Kusni, pernyataan Oey dan Joebar, bisa menggambarkan bahwa hubungan PKI-Lekra tidak sesederhana dan semudah seperti antara induk-semang dengan anak-semang atau antara pimpinan dan bawahan atau antara partai dengan onderbouw resminya. Bacaan-bacaan saya itu membut saya mencoba tidak gegabah menggunakan kata-kata jargon seperti “Lekra adalah organ atau alat PKI”.

Stephen Miller, seorang sarjana dan peneliti dari Australia, penggambaran Lekra sebagai alat PKI tidak realistis karena seakan-akan ada jalur komando yang berasal langsung dari Moskow atau Peking melalui Politbiro PKI lalu diteruskan ke Pimpinan Pusat Lekra. Miller menyebutkan bahwa gaya “pukul rata” menyebut Lekra sebagai alat PKI dibangun secara sistematis dan dipertahankan dengan terus menerus oleh Orde Baru.

Keith Foulcher (”Social Commitment in Litterature and the Arts”) sendiri berkesimpulan bahwa Lekra bukanlah organ apalagi alat PKI. Foulcher menyebut Lekra memang sealiran politik dengan PKI. Sementara Saskia Wieringa (“Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia”) mencoba menggambarkan kerumitan hubungan itu dengan menggunakan istilah “Keluarga Komunis”. Istilah Keluarga Komunis itu oleh Antariksa (“Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra”) disebut sebagai penggambaran yang lebih pas bagi hubungan-hubungan lentur daripada hubungan formal-organisatoris yang bisa diperintah semaunya.

Detail-detail seperti ini tidak akan pernah dapat kita temukan secara memadai dalam “Prahara Budaya”.

Dengan caranya yang tersamar, “Prahara Budaya” menulis PKI dan Lekra dengan cara “PKI/LEKRA”. Pilihan menggunakan tanda hubung “/” punya implikasi linguistik yang tidak sederhana karena tanda “/” bisa diartikan bahwa dua entitas yang dipisah oleh tanda “/” itu sama persis atau bahkan identik, ketimbang tanda hubung “—“ yang bagi saya relatif lebih bisa menggambarkan bagaimana PKI dan Lekra beriringan dalam sejumlah hal tapi keduanya tidak kembar identik.

PKI pernah ditulis dengan cara itu oleh Soe Hok Gie dalam studinya tentang Peristiwa Madiun 1948. Gie menulis “PKI/FDR” (Front Demokratik Rakyat). Tapi cukup jelas, FDR yang terdiri dari sejumlah partai-partai kiri pada waktu itu secara resmi memang mengabungkan diri kepada PKI yang waktu itu baru saja diambil alih oleh Musso yang baru kembali dari Sovyet. Pilihan Gie untuk menggandengkan PKI dengan FDR menjadi “PKI/FDR” bisa saya terima karena konteks dan argumennya begitu jelas dan tak mungkin saya tolak.

Saya tidak sedang membangun kampanye positif bagi Lekra, PKI, Pram. Saya hanya mencoba membagi detail yang saya ketahui dari bacaan-bacaan yang saya miliki. Karena bagi saya, membaca detail-detail seperti ini merupakan kerja yang satu paket dengan upaya kita bersama untuk melawan ommision of fact.

PKI dan Lekra dan juga Pram memang tak bisa cuci tangan dari kampanye menyingkirkan karya-karya para penulis Manikebu. “Prahara Budaya” dengan begitu bersemangat sudah mencoba menjlentrehkan soal ini.

Tetapi, tiap kali menyebutkan itu, kita mesti menambahinya dengan keterangan dalam tanda kurung sejumlah detail yang mesti diketahui supaya kita semua tidak terangsang untuk terus-menerus menggunakan gaya dan frase-frase penuh jargon yang mencerminkan gaya berpikir pukul rata.

Bagi saya, membuka diri pada detail-detail begituan memungkinkan kita untuk tidak secara enteng-entengan menggunakan gaya berpikir “pukul rata”, seperti ketika Anda menyebut tantangan terbuka saya sebagai bergaya Agitprop dan menekankan dalam tanda kurung bahwa Agitprop adalah “istilah milik PKI”, pada saat partai Murba dan partai lain sebenarnya biasa menggunakan istilah Agitprop.

Itulah sebabnya saya menantang Anda untuk berbicara secara detail mengenai apa yang oleh Anda reproduksi terus-terusan dalam 3 tulisan sebelumnya sebagai pembakaran buku yang dilakukan oleh Pram. Karena saya percaya bahwa upaya untuk lolos dari jeratan ommision of fact dan propaganda sejarah bisa dimulai, salah satunya, dengan berbicara secara detail mengenai perkara-perkara yang kontroversial. Mungkin melelahkan dan tidak semua orang mau dan punya waktu untuk berpikir dan membaca detail-detail seperti ini.

Itulah yang termuat dalam buku sejarah kurikulum 2004, yang memaparkan detail lima versi mengenai siapa sebenarnya otak peristiwa 1 Oktober 1965. Ini bagus saya kira. Sayangnya, kurikulum 2004 ini lantas dilarang menyusul desakan banyak pihak, termasuk Taufiq Ismail. Dan dari pelarangan itulah pembakaran buku menjadi dimungkinkan.

Jika saja Anda mengritik pernyataan sikap dengan menggunakan kalimat (misalnya) “kenapa pembakaran perpustakaan USIS oleh organ-organ yang berafiliasi dengan PKI” tidak dimasukkan, saya tentu tidak akan pernah menantang Anda untuk berbicara secara detail. Tapi karena tiba-tiba Anda memilih untuk “mengaburkan” kenyataan sejarah yang kaya detail itu dengan frase-frase bergaya pukul rata seperti “Pram membakari buku-buku lawan ideologisnya”, maka muncullah saya untuk menantang Anda berbicara secara detail.

Pernyataan GM bahwa penting untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf pada kesalahan yang diperbuat, bagi saya, lebih tepat disodorkan pada mereka-mereka yang terlibat dan menjadi pelaku sejarah, entah itu GM, Taufiq Ismail, Ajip Rosidi, Kusni Sulang, Hersri Setiawan, Martin Aleida, dll. Urusan merekalah itu mau mengakui dosa, meminta maaf atau meminta ampun atau apa pun yang mereka maui. Kita juga tidak bisa memaksa.

Saya tidak ada urusan dengan itu karena tugas generasi sekarang bukan mengurusi orang-orang tua yang kadang menjengkelkan dan terus menerus mereproduksi dendam di antara mereka sendiri (seperti yang ditunjukkan oleh Ajip Rosidi ketika mengungkit-ngungkit kelakuan AS Dharta di harian Pikiran Rakyat pada saat Dharta baru saja meninggal beberapa bulan silam, yang langsung disambut dengan tulisan pelaku sejarah lainnya, Martin Aleida).

Jika Anda menyebut rekonsiliasi, saya tentu saja tidak akan ikut-ikutan karena saya tidak berkonflik dengan siapa pun. Rekonsiliasi itu ya urusan mereka yang memang berkonflik dan mungkin masih saja membawa dendam hingga masa tuanya.

Tugas generasi sekarang, barangkali saya atau Anda atau siapa pun yang memang berminat, adalah membicarakan sejarah penuh dendam dan sengkarut itu dengan cara yang jernih, membuka diri pada banyak detail, dan mau menerima tafsir lain dari yang kita percayai.

Kita tidak perlu menunggu rekonsiliasi dan saling peluk-pelukan nan mengharukan dari orang-orang tua kita itu untuk bisa mengambil sikap dan pendirian dengan cara yang jernih dan logis terhadap sengkarut ini.

****

Arya,

Saya sepakat dengan Anda dalam hal melawan alpa dan melawan ommision of fact.

Untuk perkara anti pembakaran buku dan penolakan ommision of fact, saya setuju dengan Anda tanpa perlu saya tahu apakah Anda pengagum atau pembenci Pram, apakah Anda pembaca karya-karya Pram atau bukan, apakah Anda menamai anak keduanya dengan mengadopsi nama fiksi buatan Pram atau Borges atau siapa pun. Itu semua gak penting bagi saya.

Jika Anda mengajak saya untuk terlibat dalam upaya melawan alpa dan ommision of fact, saya dengan senang hati ikut bergabung, tapi tentu saja saya tidak akan merekomendasikan “Prahara Budaya” jika saya ditanya buku apa yang bisa menjelaskan secara utuh dan proporsional peran PKI-Lekra-Pram.

Jika pun saya menyebutkan buku “Prahara Budaya”, pada saat yang sama saya akan menyebutkan buku Antariksa berjudul “Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra”, buku Keith Foulcher berjudul ”Social Commitment in Litterature and the Arts” atau bukunya Saskia Eleonora Wieringa yang berjudul “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia” dan tulisan-tulisan para aktivis Lekra (seperti Kusni atau Hersri Setiawan) sebagai buku-buku pembanding.

Ini bukan sikap apriori seperti yang Anda tuduhkan pada Tossi atau Coen H Pontoh atau Budi Setiyono hanya karena mereka menyarankan Anda bersikap kritis terhadap “Prahara Budaya”. Saya sampai pada sikap seperti ini terhadap “Prahara Budaya” setelah saya membacanya dan membandingkannya dengan sumber-sumber lain.

Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail boleh-boleh saja menulis apa saja yang ia percayai dan yang ingin ia percayai. Kita tidak bisa dan tak boleh melarangnya seperti juga saya tak bisa dan tidak akan pernah melarang buku “Prahara Budaya”. Tapi saya pun boleh mengambil sikap untuk tidak memercayai begitu saja “Prahara Budaya”, satu anjuran yang sudah disampaikan oleh Budi Setiyono dan Coen H Pontoh, yang sepertinya tidak begitu Anda simak dengan baik-baik.

Tentu saja saya bisa salah. Tentu saja saya bisa meleset. Tentu saja saya bisa keliru. Salah/meleset/keliru bukan hal tabu dalam polemik, yang tabu itu justru berdusta dan menutup-nutupi apa yang kita ketahui sebagai kenyataan dan kebenaran.
Arya, semoga kita selalu diberkahi sikap adil sejak dari pikiran.

Salam hormat,

Zen Rachmat Sugito (orang yang Anda bilang menggunakan bahasa “bernuansa Agitprop” yang kata Anda merupakan “istilah milik PKI”)

Selengkapnya......

Kamis, Agustus 16, 2007

Naskah "Asli" Proklamasi yang Tak Jadi Dibacakan

Tanpa bermaksud ikut-ikutan Roy Suryo, saya posting naskah Pernyataan Kemerdekaan (Proklamasi) yang "asli". Istilah "asli" di sini maksudnya naskah inilah yang awalnya direncanakan akan dibacakan pada pernyataan kemerdekaan. Naskah ini dibahas dan disepakati oleh anggota BPUPKI pada 14 Juli 1945 (tanggal yang bertepatan dengan Revolusi Prancis), selama kira-kira 76 menit, dari jam 13.30 -- 14.46.

Naskah ini tidak jadi dibacakan karena pada dinihari 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno-Hatta, dkk., berkumpul di kediaman Marsekal Maeda untuk membahas pernyataan kemerdekaan, tidak ada satu pun orang yang hadir membawa naskah Pernyataan Kemerdekaan yang disusun di BPUPKI.

Itulah sebabnya muncul naskah Proklamasi yang begitu pendek dan ringkas yang berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja."

Berikut di bawah ini saya ketik ulang naskah Proklamasi yang tidak jadi dibacakan itu:

==========================================

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu makan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Bangsa Indonesia di zaman dahulu telah mempunyai riwayat mulia dan bahagia, yang batas-batasnya meliputi seluruh kepulauan Indonesia sampai ke Papua, malah melampaui ke daratan Asa sampai ke batas-batas tanah Siam; negara merdeka, yang dalam perhubungan perdamaian dan persahabatan dengan negara-negara merdeka di daratan Asia, menyambut tiap-tiap bang sayang datang dengan kemurahan hati.

Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia, membawalah bencana kepada bangsa Indonesia itu. Lebih dari tiga abad meringkuklah bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Belanda dengan haluan politik jahat: memecah-mecah persatuan kita, mengina, menginjak-injak rasa kehormatan kita, menghina, menghisap-memeras kekayaan kita untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri.

Perkosaan yang jahat itu tidak dapat persambungan dalam dunia seterusnya, yang di dalamnya bertambah-tambah kehebatan perlombaan imperialisme Barat, berebut kekayaan segenap dunia. Dan lama-kelamaan bangkitlah kembali dengan sehebat-hebanya semangat perlawanan bangsa Indonesia, yang memang tak pernah padam dan tak pernah dipadamkan, dalam lebih 3 abad perkosaan oleh imperialisme Belanda itu. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesa adalah sejarah berpuluh-puluh pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda itu. Bergeloralah lagi di dalam kalbu bangsa Indonesia tekad yang berkobar-kobar berbangkit kembali sebagai satu bangsa yang merdeka dalam satu negara yang merdeka, melahirkanlah pergerakan teratur dalam bangsa Indonesia, yang didasarkanatas cita-cita keadilan dan kemausiaan, menuntut pengakuan hak kemerdeaan tiap-tiap bangsa. Tidak tercegah, tidak tertahan tumbuhnya, meluas dan mendalam pergerakan ni dalam segenap lapisan dan segenap barisan bangsa Indonesia, betapa pun kerasnya, betapa pun buasnya betapa pun ganasnya kekuatan pemerintah Belanda berkhtiar mencegah dan menindasnya.

Di saat memuncaknya gelagat pergerakan itu yang seperti barat saat kelahiran anak dari kandungan ibunya, maka Tuhan Yan Maha Kuasa telah membelokkan perjaanan riwayat dunia, mengalih/memindahakn perimbangan kekuasaan di muka bumi, istimewa di daerah lautan Teduh, untuk membantu pembinaan kelahiran itu.

Tuntutan Dai Nippo Teikoku, bertentangan denan tujuan-tujuan imperialisme Barat, yaitu tuntutan hak kemerdekaan Asia atas dasar persamaan ha bangsa-bangsa, serta politik ang dengan tegas dan tepat dijalankan olehnya, menuju pembangunan negara-negara merdeka dan lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, akhirnya telah menyebabkan Dai Nipoon Teikoku metnyatakan perang kepada Amerika Serikat dan Inggris. Perang Asia Timur Raya ini, yang berkebetulan dengan saat memuncaknya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesa dan pergerakan kmerdekaan bangsa-bangsa Asia yang lain, menjadilah sebagai puncak pertemuan perjuangan kemerdekaan segala bangsa Asia di daratan dan di kepulauan Asia.

Dengan mengakui dan menghargai tnggi keutamaan niat dan tujuan Dai Nipoon Teikoku dengan Perang Asia Timur Raya itu, maka tiap-tiap bangsa dalam lingkungan Asia Tmur Raya atas dasar pembelaan bersama, wajiblah menyumbangkan sepenuhnya tenaganya dengan tekad yang sebulat-bulatnya, kepada perjuangan bersama itu, sebagai jaminan yang seteguh-teguhnya untuk keselamatan kemerdekaannya masing-masing.

Maka sekarang, telah sampailah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia, adil dan makmur, yang hidup sebagai anggota sejati dalam kekeluargaan Asia Timur Raya. Di depan pintu gerbang Negara Indonesia itula rakyat Indonesia menyatakan hormat dan terima kasih kepada semua pahlawan-pahlawan kemerdekaannya yang telah mangkat.

Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, berdasar atas segala alasan yang tersebut di atas itu, dan didorong oleh keinginan luhur supaya bertangung-jawab atas nasib sendiri, berkehidupan kebangsaan yang bebas, mulia, terhormat, maka rakyat Indonesia dengan ini:

MENYATAKAN KEMERDEKAAN.

==========================================

*post-scriptum: "Naskah pernyataan kemerdekaan ini disusun pada siang hari 14 Juli 1945. Soekarno membacakan draft-nya, dan kemudian ditanggapi dan dimintai perubahan oleh sejumlah anggota. Naskah ini diambil dari buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1980. Sayangnya, buku ini tidak mencantumkan naskah Pernyataan Kemerdekaan yang sudah direvisi oleh anggota BPUPKI dan hanya berisi draftnya berikut dialog dan debat soal perubahan tata kalimatnya. Jadi saya sendiri yang memasukkan usulan perubahan tata kalimat dari anggota BPUPKI pada draft yang dibacakan Soekarno. Ini bukan perkara mudah, karena dialog lisan sungguh sukar diikuti, dan saya membuka diri pada kemungkinan koreksi."

Selengkapnya......

Rabu, Agustus 15, 2007

Kronik Rengasdengklok dan Soekarni yang Lucu

Kenapa Soekarno-Hatta "diculik" ke Rengasdengklok?

Karena Soekarno-Hatta tak bisa didesak oleh para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan secepat-cepatnya.

Pada malam 15 Agustus 1945, sekitar pukul 22.00, sejumlah perwakilan para pemuda, di antaranya Chairul Saleh dan Wikana, mendatangi kediaman Soekarno di jalan Pegangsan Timur 56. Di sana bukan hanya ada Soekarno, tapi juga ada Hatta, Achmad Soebardjo, Iwa Koesoema Soemantri hingga Seodiro (kelak menjadi gubernur Jakarta pertama).

Pada kesempatan itulah para pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk secepat-cepatnya memproklamirkan kemerdekaan.

Wikana bilang begini: “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan da penumpahan darah!”

Soekarno naik darah. Dia bangkit dan menunjukkan batang lehernya pada Wikana: “Ini leherku, seretlah aku ke pojok ke sana dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menungu sampai besok!”

Wikana yang masih berusia sekitar duapuluhan itu terperanjat. Dia terkejut juga menyaksikan respon seniornya seraya menjelaskan dengan terbata-bata: “Maksud kamu bukan membunuh Bung….”

Sejurus kemudian, Hatta ikut memeringatkan Wikana. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, tegas Hatta, “Mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu?”

Kapan pemuda merencanakan “penculikan”?

Malam itu juga. Sepulang dari kediaman Soekarno, mereka berkumpul di laboratorium Bakteriologi di jalan Pegangsaan Timur 17. Pada pertemuan itulah “penculikan” direncanakan.

Kapan "penculikan" itu dilakukan?

Sekitar jam 04.oo pagi. Ketika itu baru saja waktu sahur habis.

Siapa saja yang “menculik”?

Ada dua tim yang melakukan “penculikan”.

Tim pertama dari kelompok Menteng 31 (sekarang Gedung Juang ‘45), yang dipimpin Chairul Saleh dan Soekarni menjemput Bung Karno, mendatangi Bung Karno. Para pemuda Menteng 31 ini kelak banyak yang menjadi aktivis PKI (DN Aidit termasuk kelompok ini), dan sebagiannya lagi menjadi pengikut Tan Malaka.

Tim kedua dari kelmpok Prapatan 10 (sekitar depan/sebelah utara pasar buku loak Kwitang sekarang), yang dipimpin Daan Jahja dan Soebianto Djojohadikoesoemo, mendatangi Bung Hatta. Kelompok ini kebanyakan berada di bawah pengaruh Soetan Sjahrir. Di tempat inilah elit-elit Partai Sosialis Indonesia, seperti Soedjatmoko, Djohan Sjahroezah atau Soebadio Sastrosatomo, tinggal selama pendudukan Jepang.

Dua kelompok ini bukan sekali dua berselisih paham selama pendudukan Jepang. Tapi pada detik-detik menjelang Proklamasi, mereka seperti bersepakat untuk kompak.

Apa yang mereka lakukan agar bisa membawa Soekarno-Hatta?

Saya tidak tahu persis apa yang mereka lakukan pada Soekarno. Tapi pada Hatta, cukup jelas, mereka bilang hendak mengamankan Hatta dari kemungkinan munculnya pertumpahan darah besok hari.

Hatta berkata: “Dengan menyerang kekuatan Jepang di Jakarta, saudara bukan melakukan revolusi, tetapi melakukan putsch yang akan membunuh revolusi!”

Salah seorang dari mereka menjawab: “Ini sudah menjadi keputusan kami semua dan tidak dapat dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno dan pergi ke Rengasdengklok.”

Kenapa memilih Rengasdengklok?

Satu hal cukup jelas: Rengasdengklok adalah satu-satunya wilayah di seputara Jakarta, bahkan mungkin di seantero Jawa, yang telah berhasil dikuasai oleh para Republiken.

Sehari sebelumnya, Kompi PETA yang dipimpin Chudancho Soebeno, berhasil menugasai Karawang dan bahkan berhasil pula merebut senjata senjata tentara Jepang. Jika ditanya daerah mana yang lebih dulu menikmati “kemerdekaan”, barangkali dan dalam kriteria tertentu, Rengsadengklok adalah jawabannya.

Camat Rengasdengklok sudah lebih dulu ditahan oleh para pemuda.

Di mana Soekarno-Hatta ditempatkan?

Pertama di markas PETA Karawang. Kemudian dipindahkan ke sebuah rumah tua yang dimiliki seorang Tionghoa yang sudah lebih dikosongkan.

Ngapain aja mereka selama di Rengasdengklok?

Para pemuda sekali lagi mencoba mendesak Soekarno untuk memproklamirkan kemerdekaan secepat-cepatnya. Asumsi mereka, jika Soekarno-Hatta “ditangan” mereka, dua Bung itu akan lebih melunak.

Tapi ternyata tidak. Salah seorang pemuda kembali mendesak Soekarno-Hatta dengan kata-kata: "Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu...."

Belum selesai pemuda itu berkata, Soekarno langsung beranjak dari duduknya dan menyergah: "Lalu apa?"

Hatta juga sempat bertanya pada Soekarni apakah yang mereka maksudkan sebagai revolusi sudah berlangsung di Jakarta?

Soekarni menjawab: “Saya belum dapat kabar dari Jakarta.”

Tentu saja Soekarno tak mendapat kabar karena apa yang mereka sebut revolusi sama sekali tak berlangsung di Jakarta. Mereka sendiri tak merencanakan revolusi itu. Mereka hanya sempat sejumlah massa pemuda. Bisa dibilang, para pemuda ini berhasil “mengakali” dua seniornya.

Bagaimana kondisi di Jakarta?

Tidak ada satu pun letusan senjata apalagi revolusi dan pertumpahan darah.

Sedianya, hari itu akan digelar rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar rapat. Tapi rapat gagal karena Soekarno-Hatta yang mengundangnya sendiri “diculik” ke Rengasdengklok. Orang-orang seperti Achmad Sobardjo atau Iwa Koesoemasoemantri sempat kebingungan mencari Soekarno-Hatta. Begitu juga para petinggi Jepang di Jakarta.

Achmad Soebardjo, yang kelak menjadi Menlu Indonesia pertama, sempat menemui Laksamana Maeda. Soebardjo mendengar pernyataan bahwa Maeda bersedia bekerjasama untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia kendati Panglima Tentara Jepang di Jakarta, Letnan Jendral Nagano, berpegang teguh kepada perintah Pimpinan Sekutu, Laksamana Mountbatten, bahwa Jepang harus mempertahankan status quo dengan menunggu kedatangan Sekutu.

Bagaimana Soekarno-Hatta bisa kembali ke Jakarta?

Karena Achmad Soebardjo berhasil mengetahui di mana Soekarno-Hatta berada dan Soebardjo sendiri yang pergi menjemput ke Rengasdengklok. Soebardjo tiba sekitar pukul 18.00.

Soebardjo mengatakan pada para pemuda: “Buat apa para pemimpin kita berada di sini sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekaslekasnya di Jakarta?’

Bagaimana prosesnya?

Soebardjo bilang bahwa dia diperintahkan oleh Gunseikan untuk menjemput Soekarno-Hatta.

Dia memberikan jaminan bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan esok hari, selambat-lambatnya pukul 12.00. Jaminan Soebardjo itu membuat Soebeno akhirnya bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta.

Maka kembalilah Soekarno-Hatta ke Jakarta.

Apa yang terjadi di perjalanan pulang?

Soekarno dan Hatta menumpang otto milik Soebardjo. Bersama Soekarno juga. Sementara Fatmawati dan Guntur Soekarno Putra menumpan otto Soetardjo.

Di tengah perjalanan, terlihat langit berwarna merah seperti ada kebakaran hebat. Soekarni berkoar-koar di dalam otto: “Bung, rakyat sudah mulai berontak, membakari rumah-rumah orang Tionghoa. Lebih baik kita berangkat ke Rengasdengklok!”

Soekarno menolak usulan Soekarni. Dia ingin kondisi yang sebenarnya. Pada satu tempat mereka berhenti. Sopir yang disuruh memeriksa keadaan yang sebenarnya lantas melaporkan: “Itu hanya rakyat yang membakar jerami.”

Hahahaha…. Saya bayangkan Soekarni menahan malu. Kalau saya ada di sana, mungkin saya akan tertawa terbahak-bahak melihat Soekarni.

Muhidin M Dahlan, setelah saya tunjukkan beberapa dokumen tentang ini, berkomentar: “Soekarno-Hatta diapusi!” Hehehe….

(Memoar yang ditulis para angkatan tua waktu itu memang rada meragukan rasionalitas angkatan muda. Tapi dari memoar Adam Malik dan buku Revolusi Pemuda-nya Ben Anderson, kita mendapati versi yang lebih menghargai peran angkatan pemuda. Ben, misalnya, menyebut bahwa para pemuda di Jakarta memang sudah bersiap untuk berjaga-jaga menghadapi berbagai kemungkinan. Termasuk berencana merebut stasiun radio. Tapi itu gagal karena Jepang mencium gelagat itu. Para pemuda berhitung berkali-kali untuk meghadapi Jepang yang bersenjata lengkap)

Kapan mereka tiba di Jakarta?

Sekitar jam 20.00.

Awalnya mereka hendak bertemu dengan segenap anggota PPKI di hotel Des Indes pada pukul 22.00. Tapi pihak hotel menjawab bahwa tidak boleh ada kegiatan di atas jam 22.oo.

Soebardjo akhirnya menelpon Laksamana Maeda untuk menanyakan kemungkinan diadakan rapat di kediaman dinasnya. Maeda mengijinkan dan menjamin keselamatan dan keamanan. Soebarjo lantas menelpon semua anggota PPKI untuk berkumpul di rumah Maeda pada pukul 00.00 di rumah Maeda.

Mereka lantas kembali ke rumah masing-masing, tak terkecuali Soekarno-Hatta.

Soekarni ngapain lagi?

Sebelum bubar, Soekarni bertanya dengan nada bingung: “Bung, bagaimana denganku?”

“Ya, pulang juga,” jawab Hatta.

Dengan nada malu-malu, Soekarni menjawab: “Bung, kalau begitu aku minta pinjami satu stel pakaian, karena dengan baju PETA yang kupakai sekarang, aku bisa ditangkap Kenpetai!”

Kali ini Soekarno-Hatta-Soebardjo benar-benar tertawa terbahak-bahak.

Hatta lantas menjawab dengan nada meledek: “Sudara berani mengadakan revolusi mennggempur Jepang. Tetapi sekarang saudara takut akan ditangkap Kenpetai.”

Soekarni berkilah begini: “Itu lain halnya, Bung. Menggempur Jepang dalam satu revolusi aku berani. Tetapi akan ditangkap begitu saja karena pakaian PETA, apa gunanya?”

Sambil tertawa lagi, Hatta memberi Soekarni satu stel pakaian.

Muhidin bilang dia pernah membaca dokumen atau sumber yang menyebutkan bahwa Soekarni, dengan nada berbisik, meminta duit sama Hatta. Soekarni bilang dia sama sekali tak punya uang. Dengan senyum-senyum, Hatta memberi Soekarni uang.

Saya belum baca dokumen atau sumber yang dibaca Muhidin. Tapi mendengar cerita Muhidin, saya lagi-lagi tertawa terbahak-bahak.

“Revolusi Indonesia” ala para pemuda ternyata memuat banyak fragmen yang menggelikan juga.

Hehehehe….

Selengkapnya......

Fitnah Linda Christanty!

Linda Christanty, pengarang Kuda Terbang Mario Pinto dan wartawan PANTAU yang termasyhur itu, kemarin mengata-ngatai saya "bernalar dangkal" dan "tukang fitnah".

Inilah tulisan Linda itu:

"Kau yang namanya Zen, jangan sembarangan menuduh aku mengatakan Pram membakar buku yang kau bilang kau baca di blog Andreas. Kau baca lagi tuh emailku di blog Andreas. JANGAN KAU MAIN FITNAH DENGAN NALARMU YANG DANGKAL ITU! KAU BACA LAGI TUH EMAILKU DI BLOG ANDREAS DENGAN TELITI. Kau tahu nggak, kalau kau sembarangan menuduh orang, kau bisa mencelakakan nasib orang. Kalau kau masih baru belajar berkata-kata,nggak usah terlibat dalam perdebatan yang pakai otak."

Inilah Jawaban saya:

Sampaikan pada Linda: Dialah yang memfitnah saya!

Saya tak pernah menuduh Linda telah mengatakan Pram telah membakar buku. Saya kutipkan kata-kata saya di milis jurnalisme-sastrawi: "Dan seorang Linda Christanty pun (seperti yang saya baca dari blognya Andreas) percaya begitu saja."

Semua orang, tidak hanya Linda, termasuk Aboeprijanto, yang mengirim kritik pada Arya Gunawan, tak pernah memertanyakan klaim Arya bahwa Pram aple to aple persis seperti Nur Mahmudi yang membakar buku. Linda bersilang kata dengan Arya Gunawan tanpa memertanyakan benar tidaknya Pram membakar buku. Semua seakan percaya dan menelan begitu saja kabar Pram membakar buku.

Setahu saya, sayalah orang pertama yang tidak terpancing dengan argumen Arya tapi justru balik bertanya kesahihan data Arya yang bolak-balik mengatakan Pram membakar buku.

Lagipula, Linda sendiri menulis kata-kata begini dalam paragraf terakhir jawabannya buat Arya: "Lagipula, bilang sama Arya bahwa tentara dan organisasi massa Islam yang dimobilisasi tentara pada tahun 1965 sudah membalas AKSI PEMBAKARAN BUKU PRAM DAN KAWAN-KAWANNYA dengan membunuh sekitar tiga juta orang yang disebut PKI. Balasannya sudah cukup dahsyat tuh." (versi lengkap tulisan Linda bisa dibaca di sini)

Heh, Linda: Apa artinya kata-kata kau yang berhuruf kapital itu? Kau baca lagi dengan teliti tulisanmu itu.

Bagaimana bisa saya dituduh sebagai Tukang Fitnah? Heh, Linda: Tunjukkan pada saya mana kalimat yang katanya saya memfitnah Ente?

Yang ada adalah: Saya difitnah Ente sebagai Tukang Fitnah yang mengatai-ngatai kalau Ente telah mengatakan bahwa Pram membakar buku.

Jika Linda bilang saya harus belajar dulu, sampaikan padanya, dia juga harus belajar lagi membaca huruf-huruf dan kata-kata yang saya ucapkan dengan lebih baik, juga kata-kata yang dia tuliskan sendiri. Diskusi dan polemik bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang bisa menggunakan otak, tapi juga untuk orang yang bisa membaca huruf dengan baik.

Selengkapnya......

Senin, Agustus 13, 2007

Tantangan Terbuka Buat Arya Gunawan

Saya baru saja membaca kritik Arya Gunawan terhadap materi pernyataan sikap menolak pembakaran buku sejarah (salah satu tulisan Arya Gunawan ada di bagian bawah postingan ini).

Tolong sampaikan pertanyaan saya pada Arya Gunawan:

1. Kapan Pramoedya membakar buku? Di mana? Buku apa saja yang dibakar?
2. Kapan LEKRA membakar buku? Di mana? Buku apa saja yang dibakar?
3. Siapa yang sebenarnya membakar buku? Pram atau LEKRA atau PKI atau ketiganya?

Saya harus bertanya ini karena "kasus" pembakaran buku oleh Pram dan LEKRA sudah dipercaya seperti sebuah kebenaran tanpa orang merasa perlu menjelaskan di mana dan kapan pembakaran itu dilakukan. "Sialnya", orang-orang yang percaya kebanyakan hanya merujuk buku Prahara Budaya-nya Taufik Ismail, buku yang bagi saya tidak otoritatif dan dipenuhi semangat "memberangus" kenyataan sejarah secara proporsional.

Tolong sampaikan pada Arya Gunawan , saya menantangnya untuk berbicara secara detail mengenai perkara ini. Dan juga jernih. Juga proporsional. Supaya jelas duduk perkaranya.

Salam polemik!

zen rs


Berikut tulisan Lengkap Arya Gunawan:

Yang mengherankan saya adalah: tak satupun di antara penyusun naskah pernyataan tersebut yang ingat akan fakta penting mengenai pembakaran buku oleh Pram dan Lekra (lihat, misalnya, buku Prahara Budaya yang disusun Taufiq Ismail dan DS Moeljanto). Lebih heran lagi karena di antara nama para penandatangan tercantum pula mereka-mereka yang sangat mustahil lupa pada fakta penting tersebut. Misalnya saja Mas GM, yang notabene adalah salah satu “korban” serangan Pram dan Lekra, juga sejarawan Asvi Warman. Atau jangan-jangan para penandatangan ini tidak membaca draf naskah pernyataan tersebut? Kalau ini yang terjadi, maka situasinya menjadi lebih aneh lagi.

Sebagian kita tentu tahu, belakangan ini Mas GM memang sudah memaafkan kesalahan Pram dan Lekra. Namun bukan berarti fakta sejarah tersebut harus dilupakan. Let us forgive, but not forget. Konteks surat pernyataan tersebut sebetulnya sangat tepat untuk kembali mengingatkan kita semua bahwa jauh sebelum Nurmahmudi dan lain-lain melakukan “kekerasan intelektual” lewat aksi pembakaran buku sejarah, yang tak mencantumkan kata “PKI” itu, PKI sendiri sudah mempelopori gerakan tersebut (mungkin pada masa itu PKI berkaca pada rezim Nazi Hitler lewat aksinya di tahun 1930-an yang dikutip oleh surat pernyataan tersebut).

Tidak tercantumnya perilaku Pram dan Lekra termasuk dalam pengabaian fakta (omission of facts), dan omission of facts dapat mengarah pada kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan. Ataukah memang ada mekanisme bawah sadar untuk mengingkari fakta tentang Pram dan Lekra tersebut, dengan setidaknya dua alasan?

Pertama, Pram telah menempati posisi yang begitu tinggi sehingga mengungkit kembali perilakunya membakari buku-buku lawan ideologisnya pada masa itu dapat menggerus posisi terhormatnya. Kedua, jika Pram dijadikan sebagai contoh maka akan tersajilah potret yang lumayan ironis: Nurmahmudi dan lain-lain membakari buku karena terkait dengan hilangnya kata "PKI" dalam buku-buku itu, sedangkan Pram yang pernah dihukum karena disebut-sebut terkait PKI ternyata pernah pula melakukan tindak pembakaran yang sama.

Akhirulkalam, pengabaian fakta Pram dan Lekra tadi lalu pada saat yang sama dengan cepat mengingat perbuatan rezim Nazi Hitler yang jauh secara georafis dan waktu, ibarat pepatah lama kita: semut di seberang laut kelihatan, gajah di pelupuk mata tak tertampak. Atau kita memang takut menepuk air di dulang lantaran tak ingin terpercik muka sendiri?

-- Arya Gunawan

* Undangan berdiskusi dengan Arya Gunawan ini saya ajukan di milis jurnalisme-sastrawi

Selengkapnya......

Sabtu, Agustus 11, 2007

Indonesia yang Unhattaistic

Jika Bung Hatta masih hidup, 12 Agustus ini ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-105. Dan jika saya berkesempatan mengucapkan selamat ulang tahun, saya akan bertanya padanya: “Bung, apakah Papua sebaiknya dibiarkan merdeka saja?”

Bung Hatta orang terdepan yang menolak Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Pendirian itu diutarakannya dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10 Juli 1945.

Hatta tidak hanya berhadapan dengan Soekarno dan Soepomo, juga dengan Agus Salim dan terutama Muhammad Yamin. Orang yang terakhir ini pernah berpidato di hadapan sidang BPUPKI pada 31 Mei dengan menyitir Kitab Negarakrtagama, terutama syair 13-15 yang berisi uraian Mpu Prapanca ihwal luas wilayah Nusantara pada masa kekuasaan Majapahit.

Dengan dingin dan tanpa basa-basi, Hatta bicara: “Saya belum dapat menerimanya oleh karena kalau kita tinjau dari ilmu pengetahuan maka ilmu selalu mulai dengan twijfel, tidak percaya. Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang menyatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mengakui bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia.”

Tak hanya Papua, Bung Hatta pun menolak memasukkan Malaya dan Borneo Utara (sekarang Malaysia) ke dalam wilayah Indonesia. Dia baru menerima jika bangsa Malaya sendiri yang menyatakan bergabung dengan Indonesia. Bung Hatta hanya menuntut wilayah Hindia Belanda, minus Papua.

Kita tahu, pendirian Hatta tidak diterima oleh nyaris semua anggota BPUPKI. Dalam voting, usul Hatta hanya didukung 6 suara.

39 anggota BPUPKI yang menyetujui Papua (juga Aceh dan Timor) dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia pastilah tak bisa begitu saja dipersalahkan dalam berderet pelanggaran HAM di Aceh, Timor dan Papua, terutama sepanjang kekuasaan Orde Baru. Tapi mereka, juga Hatta, terkait dengan itu karena biar bagaimana pun merekalah yang menyusun konsensus memasukkan tiga wilayah itu ke dalam Indonesia.

Jika pun Hatta mesti ikut bertanggungjawab, pertanggungjawaban yang kita minta dari Hatta mesti disertai dengan satu catataan yang mesti digarisbawahi: Hatta-lah satu-satunya orang yang pada sidang BPUPKI sudah memeringatkan bahaya nasionalisme yang chauvinistik, nasionalisme yang memberhalakan persatuan di atas segala-segalanya.

Dalam interupsinya untuk menolak argumen Yamin dan Soekarno, Hatta secara eksplisit sudah berbicara ihwal “nasionalisme yang meluap-luap keluar”. “Hanya tentang Papua saya dengar kemarin uraian-uraian yang menguatirkan, oleh karena dapat timbul kesan ke luar, bahwa kita seolah-olah mulai dengan tuntutan yang agak imperialistik. …Seumur hidup kita menentang imperialisme, janganlah kita memberi kepada pemuda kita anjuran atau semangat imperialisme, semangat meluap keluar,” katanya.

****

Bung Hatta adalah intelectual-politician yang sepenuhnya didasarkan pada kekuatan rasio untuk menelaah perkara yang menghumbalang di hadapannya. Rasionalitas Hatta yang skolastik menjadi kompas yang memandu Hatta berpikir jernih dengan kadar emosi yang rendah di tengah hamparan massa yang bersemangat.

Didera oleh pidato panjang Yamin yang meyakinkan, yang menyuguhkan teori etnologi ihwal kultur und boden yang ditingkahi kutipan-kutipan klasik dari Mpu Prapanca, Hatta maju dengan dingin dan menuntut bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tak dibiarkannya pidato Yamin yang menggebu-gebu itu merebut akal sehatnya.

Bukan hanya pada soal Papua saja Bung Hatta menunjukkan pendiriannya. Dia juga orang pertama yang mengajukan keberatan atas pandangan Soepomo-Soekarno yang menolak dimasukkannya klausul hak warga negara dalam konstitusi.

Hatta, yang kali ini didukung sekuatnya oleh Yamin, menuntut agar hak warga negara dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi. Hatta sudah mencium gelagat di mana warga negara hanya diperlakukan sebagai people yang hanya memiliki kewajiban dan bukan human being yang memiliki hak-hak yang mesti dijamin konstitusi.

****

Dari sisi Hatta, sejak dimulainya Demokrasi Terpimpin ala Soekarno pada 1959 yang berlanjut hingga digelarnya Demokrasi Pancasila ala Soeharto, Indonesia pastilah sesuatu yang unhattaistic atau dalam kata-kata anak sekarang: nggak Hatta banget!

Sejak menjadi mahasiswa di Belanda, Hatta sudah memelajari federalisme dan dia pernah pula menjadi penganjur federalisme. Di bawah kepemimpinan Hatta pula Indonesia mengalami seperti apa rasanya menjadi negara federal yaitu pada periode Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berakhir pada 17 Agusus 1950. Hatta sendiri yang menjadi Perdana Menteri RIS.

Hatta bukanlah orang yang anti persatuan. Sejak menjadi aktivis pergerakan, Hatta selalu menganjurkan persatuan. Tetapi persatuan bukanlah tujuan apalagi berhala. Persatuan yang didaulat sebagai tujuan dan berhala, bagi Hatta, pastilah akan menjadi persatean.

Bagi Hatta, masalahnya bukan sekadar mengumpulkan daerah-daerah di Nusantara menjadi kesatuan darat-laut-udara, tetapi lebih bagaimana mengikat daerah-daerah yang bersatu itu dengan kebijakan yang tepat guna dengan mengedepankan kepentingan daerah dan menyapa rakyat di daerah dengan kebijakan yang mampu mencukupi faal kebutuhannya.

Ketika menolak usul Soekarno-Soepomo, Hatta menguraikan visinya tentang negara: “Kita menghendaki negara pengurus. …Supaya negara pengurus ini nanti jangan menjadi negara kekuasaan, negara penindas,” tegasnya. Hatta ingin agar negara menjadi pengurus kebutuhan rakyat dan hak-hak rakyat.

Ketika berlangsung peristiwa PRRI/PERMESTA, Hatta menolak memberi dukungan tetapi pada saat yang sama menolak dengan tegas penyelesaian secara militer. Sikap Hatta yang pertama mencerminkan keinginan melihat Indonesia yang bersatu, tapi sikap Hatta yang kedua mencerminkan pendiriannya ihwal bagaimana cara memerlakukan daerah secara manusiawi.

Hatta sejak dulu sudah bicara ihwal otonomi daerah, barangkali sebagai kompensasi kegagalannya memertahankan federalisme RIS. Bagi Hatta, pembangunan sebaiknya dilakukan dengan otonomi yang diletakkan pada kabupaten. “Provinsi dalam sistem ini menjadi badan koordinasi dari semua kabupaten. …Dengan menitikberatkan pada otonomi kabupaten, maka kabupaten dapat memimpin perkembangan otonomi desa berangsur-angsur, sampai juga di desa tercapai ‘mengurus rumah tangga sendiri di dalam arti yang sebenar-benarnya,” ucap Hatta pada salah satu pidatonya.

Jika pengelolaan negara dibaca dalam perspektif gerak sejarah ala Toynbee, otonomi daerah adalah jawaban atas kegagalan pengelolaan negara yang sentralistis, negara yang bukan pengurus, tetapi negara kekuasaan. Sementara konsep otonomi khusus yang diperluas di Aceh dan Papua pastilah jawaban atas imbas negara kekuasaan yang sentralistik yang tak lagi mampu dijawab bahkan oleh sekadar otonomi daerah.

Saya membayangkan, di ulang tahunnya yang ke-105, Hatta yang renta dan sudah pikun pasti bergumam lirih: “Seandainya sejak dulu kalian memerhatikan dengan seksama apa yang saya uraikan… Ah!”

Mungkin Hatta masih ingin bicara tentang federalisme. Tapi telinga saya sudah tak mampu mendengar gumaman Hatta, karena suara Hatta terlalu lirih di tengah gebalau suara yang memekakkan: “NKRI… NKRI… NKRI”!

Selamat ulang tahun, Bung!

Selengkapnya......