Kamis, Juli 19, 2007

Imam Mahdi dan "Tuhan yang Menyejarah"

Sebagai sebuah gugusan harapan dan cita-cita, Mahdiisme berkembang dengan eksesif dan massal ketika manusia menganggap hidup telah betul-betul sengak, muram, serta penuh bencana dan nestapa.

Orang kemudian menunggu dengan penuh cemas kedatangan seorang "Juru Langsir Sejarah" yang bisa menarik mereka dari kubangan kekelaman dan kegetiran yang akut dan (akhirnya) menuntun mereka memasuki gerbang tata dunia yang cemerlang keemasan.

Karena itu, Mahdiisme menjadi sebuah matra yang sungguh luas, yang satu sama lain membentuk konektivitas kompleks dari (meta) sejarah dan teologi dengan visi-visi sekundernya yang bersifat chilliastic-messianis (kedatangan pembaru dan Juru Selamat), millenarian (gagasan tentang suatu kurun yang jaya), utopianisme, serta sejumlah unsur visionaris kenabian lainnya.

Mahdiisme itulah, sebut Oliver Leaman, yang merupakan salah satu tesis penting yang menyatukan tiga agama besar Ibrahimiyah (Yahudi, Nasrani, dan Islam). Harapan akan kedatangan Juru Selamat (Messiah/Elijah/Ratu Adil/Ratu Sunda) adalah gagasan yang sama tuanya dengan usia agama-agama. Mahdiisme kelak bahkan akan menjadi jantung agama-agama itu.

Mahdiisme kelak memang akan menjadi jantung agama-agama (Ibrahimiyah). Ketika agama telah kehilangan daya cengkeram dan daya pukau, saat visi kenabian yang diwartakan Ibrahim, Musa, Isa, atau Muhammad semakin aus digerus masa dan perubahan tekstur dunia, agama tidak hanya membutuhkan pembaru, tapi lebih dari itu. Ia membutuhkan sebuah tiupan roh baru (mungkin seperti ketika Tuhan meniupkan roh untuk pertama kali ke ubun-ubun Adam di Taman Eden).

Dalam teologi Islam, Imam Mahdi dipercaya akan datang di hari-hari menjelang kiamat. Dia menjadi sosok tandingan Dajjal bermata satu yang diperkirakan juga akan muncul di muka bumi. Dajjal dan Imam Mahdi (bersama diturunkannya nabi Isa) adalah trisum yang kedatangannya menjadi penanda akhir zaman sudah makin dekat.

Barangkali benar, Tuhan memang Maha-Pembuat-Skrip. Dia tahu betul bahwa pada suatu waktu kelak, agama yang Dia turunkan kepada sejumlah orang kepercayaannya (mungkin 25 orang mungkin juga lebih) akan terkikis daya pukaunya. Dan Dia sudah menyiapkan sebuah skenario (meta)sejarah yang cerdas untuk menyiasatinya.

Apa? Ya, Imam Mahdi itu.

Seperti yang dengan baik ditunjukkan oleh Kaveh L. Afrasiabi, penulis buku Global Anthology on Religion and Ecology, kemunculan Imam Mahdi adalah peristiwa eskatologis yang dapat dipahami sebagai kesinambungan manifestasi Tuhan dan watak pelibatan Tuhan dalam hubungannya dengan dunia, terutama kemanusiaan. Sebagai salah satu karya kreatif Tuhan, kedatangan Mahdi secara teologis bisa dibaca sebagai momen ketika Tuhan yang transenden dan ada di matra metasejarah menyingkapkan diri ke alam sejarah yang terjangkau.

Dengan itulah Tuhan menjadi sesosok individu yang dapat dibayangkan atau dalam kata-kata Nicholas Hescher (2003) sebagai "fiksi otentik" yang kemunculannya secara intuitif telah memunculkan de res possibia atau ketakrealitasan yang dapat dibayangkan.

Pembayangan kehadiran Tuhan dalam sejarah itu juga terlihat dari perbedaan antara pembaru (chiliastic) dan Juru Selamat (messiah). Dalam kondisi akut, sosok pembaru diyakini tak akan bisa menyelesaikan perkara berat yang menumpuk. Dibutuhkan seseorang yang bukan sekadar pembaru, melainkan lebih dari itu, yakni sesosok yang (dibayangkan) memiliki lisensi dari Tuhan untuk membimbing manusia. Tanpa lisensi dari Tuhan itulah, kedatangan Mahdi tidak akan mengkristal dalam masyarakat.

Sebagai tamsil, kita bisa bergerak ke samping, mengendus makna Mahdi dalam Syiah. Kita akan menemukan segugus keyakinan bahwa kelenyapan Imam ke-12 justru memberi pengikutnya kepercayaan bahwa kendati mereka gagal mangarungi sejarah, itu karena mereka memang belum mengeluarkan semua "senjata"-nya. Masih ada "senjata pamungkas" (Imam ke-12) yang masih tersimpan entah di mana.

Maka penderitaan ketika Imam yang dinanti itu belum kunjung muncul bisa dipahami sebagai penderitaan yang dialami "para pejalan suci" yang sedang menuju realitas akan datang yang lebih baik. Mereka (juga setiap orang yang percaya dengan model gagasan ini) tak pernah menganggap setiap kedatangan bencana dan penderitaan sebagai kesalahan manusia, melainkan skrip yang telah disusun Tuhan sebagai prakondisi bagi kedatangan Imam Mahdi.

Gagasan Mahdiisme adalah gagasan tua yang nyaris ada di semua teritori kebudayaan, baik Timur maupun Barat. Gagasan itu ditransmutasikan antargenerasi dengan pelbagai cara dan model. Dan hingga abad-abad mendatang, gagasan Mahdi, dalam bentuk dan format gerakan yang mungkin juga berbeda, tetap akan punya pasarnya sendiri.

Namun, ada perbedaan mendasar antara Mahdiisme yang telah terjadi serta kini banyak ditemukan itu dan Mahdiisme dalam pengertiannya yang otentik, yang diharapkan oleh banyak orang muncul di akhir zaman. Beberapa ciri utama dari Mahdiisme "lama" bisa dilacak dari kecenderungannya yang bersifat partikular, lokal, sektarian, dan irasional. Tidak jarang mereka menganjurkan jalan kekerasan sebagai penuntasan perkara.

Apa yang kita dengar tentang gerakan Ratu Adil di Jawa; Ratu Sunda di Jawa Barat; Manamarkeri di Biak, Papua; Khalki di Bali; atau Imam ke-12 di Syiah adalah salah satu contoh karakter Mahdi "lama" itu. Adapun sekte Aung Shin Rikyu di Jepang dan kelompok Gerald Krein di Oregon adalah contoh Mahdiisme yang mengajarkan kekerasan.

Ini menarik mengingat jika kita mengacu pada sejumlah rujukan teologis ihwal kedatangan Mahdi, akan kita temukan beberapa pernyataan bahwa Mahdi hadir justru untuk semua umat manusia, di semua tempat dan di waktu yang serempak. Mahdi adalah sosok pelintas batas. Ia datang tidak untuk satu kaum saja. Rahmat yang ia semaikan menjadi hak semua penghuni dunia yang memang menunggu kedatangannya dengan penuh harap.

Ciri universal Mahdi inilah yang memungkinkan Mahdi menjadi bentuk lain globalisasi. Inilah yang disebut oleh Syid Sadegh Haghigat, mahaguru politik Islam dari Iran, sebagai "globalisme Mahdi". Ini pula yang dianggap Haghigat sebagai model globalisasi alternatif yang humanis di luar globalisasi hegemonik yang merusak itu.

Tapi benarkah Mahdi akan mengubah dunia menjadi tata hidup yang adil dan penuh rahmat dengan mengandalkan keajaiban kekuatan suprarasional atau mukjizat?

Saya tidak begitu yakin. Bahkan para nabi pun, yang merupakan wakil terpilih Tuhan, terlibat dan melibatkan diri dalam proses historis yang tak lepas dari hukum besi sebab-akibat. Mukjizat mereka memang punya. Tapi tidak semua soal mereka selesaikan dengan mukjizat. Mereka juga memeras keringat, mengucurkan darah, dan meneteskan air mata dalam tugasnya menyampaikan nilai-nilai ilahiah. Maka selain ahistoris, keyakinan bahwa Mahdi akan mengubah dunia dengan penuh keajaiban, juga akan membikin umat manusia menjadi sekumpulan domba yang tak punya inisiatif.

Dari perspektif yang lebih rasional, jika memang ada, Mahdi tidak datang saat dunia betul-betul chaos, yang dalam hitungan detik bisa langsung disulap menjadi lebih baik.

Tidak. Itu klenik. Itu pasti ditolak oleh orang-orang yang percaya pada gagasan Mahdiisme dengan cara yang lebih rasional.

Kedatangan Mahdi mutlak didahului serangkaian perubahan historis yang tercipta akibat dinamika internal kemanusiaan. Manusia harus terlibat dan bertanggung jawab dalam semua proses terbentuknya Kerajaan Tuhan, globalisme Mahdi, di muka bumi. Pelibatan dan tanggung jawab itulah yang justru akan membuat globalisme Mahdi menjadi puncak keinginan umat manusia.

Ini pula yang akan menjadikan globalisme Mahdi berbeda dengan globalisme hegemonik Amerika. Globalisme Mahdi seperti dalam cita-cita ideal di atas merupakan bentuk globalisasi yang berasal dari bawah (bottom up), berdasarkan kebutuhan riil dan harapan manusia.

Jika melulu mempercayakan kepada Mahdi, globalisme Mahdi akan sama dengan globalisasi Amerika yang lebih merupakan kepentingan para elite pemilik kapital: sama-sama datang dari atas (top down). Itulah perubahan-perubahan historis sebagai akibat dinamika internal manusia (bukan akibat penetrasi kekuatan eksternal yang gaib), yang akan menjadi prakondisi yang memungkinkan kedatangan Mahdi. Setelah itu, barulah Mahdi akan betul-betul datang untuk menyatukan nilai-nilai kebenaran dan keadilan ke dalam langgam yang menyatu, serempak, universal, dan global.

Inilah yang diyakini sebagai visi otentik Mahdiisme. Tentu saja menurut orang-orang yang memercayainya dengan cara yang lebih modern.

Selengkapnya......

Sabtu, Juli 14, 2007

Sahaja adalah Orang dari Bangsa jang Terprentah!

:: Tanggapan untuk Andreas Harsono dari Yayasan Pantau (Jilid II)

Menurut Anda, apa lawan kata “inlander” pada masa kolonial?

Jawaban atas pertanyaan ini, seperti yang akan coba saya tunjukkan, bisa menjelaskan salah satu alasan memilih Tirtoadisoerjo sebagai Sang Pemula!

Sekiranya pertanyaan itu diajukan beberapa tahun silam, saya akan menjawab: Nederlander (orang Belanda). Jawaban ini pula yang akan diberikan oleh orang-orang yang tidak cukup teliti membaca kompleksitas sejarah kolonial di Hindia Belanda. Orang dengan mudah menunjuk Nederlander sebagai “lawan kata” dari inlander karena sebutan “inlander” memang muncul dari mulut orang-orang Belanda, katakan saja, pemerintah kolonial.

Daniel Dhakidae, dalam karya terbaiknya Candekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, menolak untuk menunjuk Nederlander sebagai “lawan kata” dari inlander. Bagi Daniel, “lawan kata” dari Inlander adalah orang-orang (peranakan) India, peranakan Arab dan peranakan Tionghoa. Pendeknya orang-orang dari Timur (vreemd), bangsa Asia. Dalam nomenklatur hukum Hindia Belanda, mereka disebut Vreemde Oosterlingen (Timur Asing).

Kenapa bisa terjadi? Bukankah panggilan “inlander” dimunculkan oleh pemerintah kolonial untuk mengejek keterbelakangan dan kebodohan warga Hindia Belanda?

Saya bisa mengerti kenapa Daniel Dhakidae dan tentu saja pemerintah kolonial menunjuk bangsa-bangsa Timur (Vreemde Oosterlingen/Timur Asing) sebagai “lawan kata” inlander.

Hampir menjadi sesuatu yang mustahil mencari istilah Vreemde Westerlingen (Barat Asing), baik dalam nomenklatur hukum kolonial maupun dalam nomenklatur politik di Hindia Belanda.

Belanda adalah penguasa di tanah Hindia Belanda. Dengan tetumpuk modal dan jejaring birokrasi yang dimilikinya, penguasa Belanda mengecualikan bangsa Belanda dari dua kategori tersebut, baik itu inlander maupun Vreemde Oosterlingen. Orang Belanda bukan inlander dan pada saat yang sama juga bukan orang asing. Dalam kata-kata Daniel Dhakidae: “Penguasa (Belanda) adalah orang-dalam namun bukan inlander, dia orang-luar namun bukan asing.”

Perspektif di atas akan menjadi lebih jelas jika berjalan sedikit memutar dengan menelaah konsepsi kekuasaan tradisional. Raja adalah orang yang diberi mandat oleh Tuhan (wahyu keprabon), tetapi dia bukan Tuhan. Raja memang manusia, tapi Raja tidak sama dengan kawula atau rakyat jelata. Dalam konsepsi kekuasaan tradisional, pinjam kata-kata Ben Anderson, “Raja ada di antara (in-between) manusia biasa (kawula jelata) yang ia perintah dan Tuhan yang memberinya mandat memerintah/berkuasa (wahyu keprabon).”

Dengan melakukan itu, penguasa kolonial bisa terhindar dari “jebakan lingustik” memerhadapkan dirinya dengan inlander dalam satu hubungan yang muka berhadapan muka. Dengan hanya menyebut orang-orang bangsa Timur (Tionghoa, Arab atau India), Belanda juga sedang menebar jaring “devide et impera”: memerhadapkan penduduk Hindia Belanda dengan orang-orang bangsa Timur itu.

Di titik inilah, seperti yang akan coba saya tunjukkan, Tirtoadisoerjo tampil ke muka sebagai orang pertama yang menggelar “politik diskursif tandingan” lewat senjata terbaiknya, suratkabar Medan Prijaji.

Seperti yang bisa baca dari jargonnya, Tirto memersembahkan Medan Prijaji sebagai suara dari sekalian orang dari “bangsa yang terprentah”.

Siapa yang masuk dalam kategori bangsa yang terprentah?

Jargon Medan Prijaji bisa memberikan penjelasan. Di sana, dengan eksplisit disebutkan bahwa bangsa-bangsa yang terprentah adalah siapa saja yang terprentah, baik itu raja-raja, bangsawan, priyayi, bangsawan usul dan pikiran (intelektual/kaum terpelajar) hingga saudagar-saudagar dari, dengan mengutip Medan Prijaji, “bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegeri, di seloeroeh Hindia Olanda”.

Jika saja Anda pernah membaca bagian "Pendahuluan" dari AD/ART Sarekat Dagang Islamiah yang juga disusun oleh Tirto, Anda akan menemukan hal yang sama dengan semangat yang tercermin dari jargon Medan Prijaji. Anda akan menemukannya pada paragraf terakhir bagian Pendahuluan itu.

Dari situ jelas, para raja atau sultan bukan “bangsa jang memrentah”. “Bangsa jang memrentah”, dalam kosakata Medan Prijaji, adalah pemerintah kolonial Belanda.

Inilah yang saya maksudkan sebagai “politik diskursif tandingan” itu. Dengan rumusan macam itu, Tirto mencoba keluar dari jebakan diskursif yang ditebar oleh pemerintah kolonial yang memerhadapkan orang-orang inlander (pribumi/native) dengan bangsa-bangsa Timur (India, Tionghoa dan Arab berikut kaum peranakannya).

Tirto tampil ke muka dengan “politik diskursif tandingan” dengan mengajukan rumusan baru: “bangsa-bangsa yang terprentah”.

Tirto ingin menegaskan bahwa kategori Inlander dan Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) sudah tidak penting lagi karena sudah tak mampu menjelaskan proses politik yang berlangsung di Hindia Belanda. Yang lebih relevan dan aktual untuk menjelaskan realitas sosial dan politik di Hindia Belanda adalah rumusan “bangsa yang terprentah” dengan bangsa yang memrentah”.

Dalam sekali hentak, rumusan baru itu tidak hanya menandingi rumusan diskursif kolonial, untuk tidak menyebut melantakkannya, tetapi juga sekaligus memersatukan dua kategori yang sebelumnya “di-set-up” sedemikian rupa untuk saling berhadapan yaitu orang inlander (pribumi/native) dan Vreemde Oosterlingen (Tionghoa, Arab, India dan peranakannya).

Dengan rumusan diskursif macam itu pula, Tirto “menyeret” pemerintah Belanda untuk masuk ke dalam “peta diskursif” di Hindia Belanda dan bukan lagi sebagai penguasa yang berada di atas kelompok-kelompok lain seperti sebelumnya (baik itu inlander maupun Vreemde Oosterlingen).

Jika hari ini, istilah “non-pribumi” masih merujuk pada orang-orang peranakan, baik itu peranakan Arab, India atau/dan terutama peranakan Tionghoa, berikut segala implikasinya, Tirto tentu saja tak terlibat dalam rumusan diskursif macam itu karena ia adalah orang yang merumuskan satu pembayangan bangsa yang melampaui batas-batas perumusan “pribumi dan non-pribumi”.

Tirto melampaui rumusan diskursif itu dan menawarkan rumusan baru yang berporos pada penyusunan kategori berdasarkan kriteria “bangsa dan anak negeri jang terprentah”. Inilah rumusan paling dini dari bangsa Indonesia yang melampaui kriteria rasialis, etnisitas, bahasa, agama dan peradatan; sebuah rumusan yang ditegakkan di atas kriteria sosial-ekonomi-politik.

Dengan menunjuk Tirtoadhisoerjo sebagai “Sang Pemula” dari pembayangan bangsa Hindia Belanda, yang kelak diadopsi dengan nyaris persis oleh negara Indonesia modern, saya (dan Pramoedya tentu saja) justru menempatkan asal usul gagasan kebangsaan Indonesia pada “sumber” yang tegas-tegas melampaui kriteria berdasarkan ras.

Ini adalah sebuah perlawanan diskursif yang sebelumnya tidak ada presedennya dalam sejarah intelektual Hindia Belanda. Perlawanan diskursif yang cerdas ini pasti berhulu dari sebentuk kesadaran yang sudah mengalami, pinjam istilah Tan Malaka, “lompatan kualitatif”, sebuah lompatan yang berhasil meloloskan diri dari jebakan diskursif devide et impera yang ditebarkan pemerintah kolonial.

Jika semangat Ben Anderson bisa dikutip di sini, saya berani bilang, dari sinilah asal-usul “ruang imajinatif” bernama Indonesia berhulu. Dengan rumusan “bangsa yang terprentah” inilah pembayangan identitas kolektif di seantero Hindia Belanda menjadi dimungkinkan.

Tirto meletakkan dasar dari pembayangan bangsa ini, yang kelak diolah lebih lanjut oleh para pemimpin gerakan selanjutnya, dan mengkristal dalam trilogi ayat Sumpah Pemuda.

Kartini, dalam surat-suratnya yang terkenal, memang sudah berbicara tentang solidaritas dan kepedulian terhadap sesama anak negeri Hindia Belanda, kendati ia lebih sering berbicara tentang orang-orang Jawa. Hanya saja, Kartini belum melakukan “lompatan kualitatif” yang berhasil meloloskan dirinya dari jebakan diskursif yang ditebar oleh pemerintah kolonial. Jika kita membaca surat-surat Kartini, akan segera terlihat betapa Kartini mengerahkan semua kepedulian dan solidaritasnya yang mengharukan itu masih dalam kerangka pemerintah kolonial sebagai “kepala keluarga” (baca: penguasa) Hindia Belanda.

Karena rumusan itu pertama kali dijlentrehkan secara eksplisit dan dipraktikkan dalam kerja-kerja jurnalistik sehari-hari di Medan Prijaji, maka bolehlah dibilang Medan Prijaji adalah (dengan nada Foucaultian) “situs tertua” dari pembayangan identitas kolektif orang-orang di tanah Hindia Belanda, siapa pun ia, tanpa memandang ras, etnis, bahasa, agama dan peradatan.

Tirto dan Medan Prijaji dipilih karena gagasan. "Kemenangan" Tirto dan Medan Prijaji adalah "kemenangan" gagasan, bukan kemenangan manusia yang berhuruf belakang "O", ber-rambut lurus atau karena matanya jereng dan tidak menyempit.

Catatan ini untuk kembali menjelaskan salah satu argumen memilih Tirto dan Medan Prijaji sebagai “Sang Pemula”. Saya terpaksa menuliskan catatan ini karena terkejut Anda masih saja mendakwa pilihan ini semata karena ia pribumi, seperti yang saya baca dari postingan Anda untuk menanggapi postingan Agus Sopian di milis-kontributor Pantau beberapa hari silam.

Saya sudah menegaskan berkali-kali dalam postingan sebelumnya (bukankah Anda sudah membaca dan bahkan mem-forward catatan saya sebelumnya yang berjudul "Nama Saya: Tirtoadhisoerjo!") bahwa pilihan pada Tirto dan Medan Prijaji bukan semata karena ia pribumi.

Masihkah Anda menganggap pilihan pada Tirto dan Medan Prijaji semata karena ia pribumi? Masihkan Anda menganggap ini rasis? Siapa yang sebenarnya rasis? Ataukah nama Tirtoadhisoerjo mesti diganti Abdoellah atau Liem atau Douwes?

Selengkapnya......

Senin, Juli 02, 2007

Nama Saya: Tirtoadhisoerjo!

:: Tanggapan buat Andreas Harsono dari Yayasan Pantau (Jilid I)

"Quid Rides, Tirtoadhisoerjo?
Mutato nomine, de te fabulla narratur!"

Saya senang bukan main Anda memberi sejumlah komentar pada project “Seabad Pers Kebangsaan” yang sedang digarap oleh lembaga tempat saya bekerja. Komentar-komentar Anda dengan sangat senang hati saya cermati sebagai masukan, terutama, bagi diri saya sendiri.

Sebagai sebentuk kritik, komentar-komentar Anda tentu saja adalah berkah. Menjadi berkah karena mereka yang menggarap project ini tak perlu repot-repot meminta Anda membaca dan memberi komentar, seperti juga mereka tidak perlu repot-repot mengalokasikan “budget” untuk kritik-kritik yang Anda berikan –seperti yang sering Anda bilang: “Kritik adalah konsultasi gratis”.

Lagipula, komentar-komentar Anda menunjukkan satu hal penting: hasil project ini ternyata tak hanya dibaca, tetapi bahkan juga diapresiasi dengan serius, sampai-sampai Anda merasa perlu berkonsultasi dengan sejumlah rekan Anda sebelum menanggapi jawaban rekan saya, Agung Dwi Hartanto.

Tidak ada yang lebih membahagiakan seorang penulis selain tulisan-tulisannya ada yang membaca dan mengapresiasi. Rasanya elok juga menyadari salah satu yang “mengapresiasi dan memberi perhatian memadai” pada project yang digarap anak-anak muda yang tiga perempatnya masih berusia di bawah 25 tahun adalah orang sekaliber Anda.

Terus terang, saya tak ikut menggarap project tersebut, baik dalam tahapan kuratorial, riset, penulisan, dan penyuntingan. Tetapi, tentu saja, saya “satu atap” dengan orang-orang yang menggarap project itu.

Sebagai “orang dalam”, yang tak terlibat langsung tapi intens mengikuti perjalanan project ini, saya punya sejumlah umpan balik yang ingin saya ajukan pada Anda, terutama berkait dengan jawaban yang anda berikan pada rekan saya, Agung Dwi Hartanto.

Tentu saja ini bukan sebuah “jawaban resmi”, melainkan sekadar sebentuk diskusi pribadi antara saya dengan Anda. Dan saya pun tak merepotkan diri dengan berkonsultasi lebih dulu dengan rekan-rekan saya.

Soal pribumi dan non-pri yang anda khawatirkan.

Saya membaca cukup banyak literatur ihwal nasionalisme, dari yang sifatnya teroritik hingga historik. Soal “pribumi” (native) dan “non-pri” selalu menjadi pokok penting yang selalu dibahas, dan dalam level tertentu, pernah menjadi salah satu kriteria perumusan “bangsa”, terutama di awal-awal prosesi perumusan dan kelahiran sebuah bangsa. Ini berlaku di banyak sekali tempat, baik di Indonesia, Filipina, Vietnam, hingga nasionalisme di Amerika Latin yang sudah muncul sejak akhir abad 18.

Kriteria “pribumi” dan “non-pri” ini niscaya akan kembali ke permukaan dalam setiap embrio kemunculan gerakan perlawanan atas sebuah negara, khususnya dalam apa yang kita sebut sebagai “etno-nasionalisme”, dalam segala artikulasinya, termasuk soal “rambut lurus” dan “rambut kriting” seperti yang Anda singgung.

“Pribumi” dan “non-pri” adalah satu subyek penting dalam perumusan “nasion”, baik dalam konteks nasionalisme maupun etno-nasionalisme. Tetapi cukup jelas juga, subyek “pribumi-non pri” bukanlah satu-satunya subyek.

Rekan saya Agung DH, dalam jawabannya kepada Anda, saya kira baru menyinggung satu pokok itu saja, dan belum yang lain. Tentu saja itu tidak memuaskan. Pemilihan Medan Prijaji dan Tirtoadhisoerjo sebagai tonggak jauh lebih kompleks dari sekadar debat soal “pribumi dan non-pri” – sesuatu yang belum secara memadai diungkapkan oleh Agung dalam jawabannya. Tanggapan ini, anggap saja, sebagai suplemen dari apa-apa yang belum secara memadai diungkapkan Agung (kendati saya tidak sedang mewakili Agung)

Tirto dengan Medan Prijaji dipilih setelah dilakukan penelusuran yang langsung menyambangi sumber-sumber primer, dan tak bergantung pada teks-teks sekunder yang diproduksi orang lain, entah itu Ben Anderson, Takashi Shirasishi, Ahmat Adam, Daniel Dhakidae, Claude Salmon hingga Pramoedya.

Saya pribadi memiliki dan membaca teks-teks itu dengan kadar keseriusan seperti bagaimana Anda membacanya. Teks-teks sekunder itu dibaca sebagai petunjuk awal, sumber untuk mengkonfirmasi, dan terutama untuk memahami konteks historis.

Hampir semua koran-koran dan teks-teks yang digarap oleh Tirtoadhisoerjo yang bisa diperoleh dipelajari secermat yang saya mampu. Hasilnya lumayan melimpah dan teks-teks yang dihasilkan Tirto itu dikumpulkan dan sedang digarap untuk diterbitkan dalam satu buku utuh yang tebalnya, saya prediksi, akan menyamai setidaknya tebalnya novel “Jejak Langkah”.

Dalam penelusuran yang bergantung langsung pada sumber-sumber primer itulah, apa boleh buat, hipotesis Pramoedya ihwal Tirto dan Medan Prijaji sebagai “Sang Pemula” “belum” bisa saya bantah.

Tentu saja saya tahu soal Bataviase Nouvelles dan Soerat Chabar Betawi, seperti juga saya tahu dan pernah membaca tulisan sebagian besar nama yang anda comot dari Ben Anderson itu, baik F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, Soewardi Soerjadingrat, ter Haar, Mas Marco, Kwee Kek Beng, dan J.H. end F.D.J Pangemanann pakai dua 'n'. Saya juga tahu dengan persis kalau Medan Prijaji bukan surat kabar tertua di Hindia Belanda.

Tetapi saya cukup awas untuk menyadari satu hal pokok: Tirtoadhisoerjo dengan Medan Prijaji-nya adalah “satu organisme” yang mendahului yang lain dalam perkara menyadari, merumuskan, mengartikulasikan dan mengusahakan konsep “bangsa”, yang dalam bentuknya yang lebih lanjut menjadi apa yang kita kenal sebagai Indonesia.

Inilah yang menjadi pokok alasan pemilihan Medan Prijaji dan Tirto, dan bukan karena Tirto adalah pribumi sementara yang lain adalah non-pri. Sama sekali tidak.

Seandainya Sin Po (koran yang dikelola Tionghoa peranakan) ternyata adalah koran pertama yang melakukannya, saya dengan senang hati menunjuk Sin Po. Seandainya De Express (yang dikelola untuk menyuarakan suara kaum peranakan Belanda) adalah koran pertama yang melakukannya, saya dengan hati riang akan menunjuk De Express. Pengandaian yang sama berlaku pada Tjahaja Sijang, Pembrita Betawi, Slompret Melajoe, Wiggers, Pangemann, Kommers, ter Haar, atau yang lain.

Saya tahu persis bahwa Medan Prijaji bukanlah koran pertama berbahasa Melayu. Tetapi, sejauh saya membaca koran-koran yang hidup pada dekade terakhir abad 19 dan dekade pertama abad 20 yang bisa saya jangkau dan saya cermati sedetail yang saya mampu, Medan Prijaji adalah “Sang Pemula” dalam menggunakan “bahasa Melayu” sebagai alat ampuh merumuskan, mengartikulasikan dan mengusahakan konsep “bangsa”, yang dalam bentuknya yang lebih lanjut nyaris presisi dengan apa yang kita kenal sebagai Indonesia.

Untuk memersingkat, salah satu (bukan satu-satunya loh) kunci untuk memahami perbedaan bahasa Melayu yang digunakan Tirto dalam Medan Prijaji dengan koran-koran lain terletak pada jargonnya. Di situ tercetak kriteria mereka “yang terprentah”. Terprentah oleh siapa? Terprentah oleh pemerintah yang kolonialis dan rasis.

Tirto sudah membayangkan seperti apa “kebangsaan” dalam bentuknya yang nyaris presisi dan hanya meleset karena Indonesia “mencaplok” Timor yang tak terprentah oleh Belanda. Saya harus bilang, debat di sidang I BPUPKI soal wilayah Indonesia hanya mengulang dari apa yang nyaris setengah abad sebelumnya sudah dirumuskan oleh Tirto.

“Terprentah” dalam kosa kata “Medan Prijaji” tidak dimengerti sebagai kata benda, melainkan kata kerja: sebuah konsepsi yang dalam kesadaran Tirto dimengerti sebagai sebuah “project”, sesuatu yang mesti diolah, dikerjakan, dan diberi-bentuk. Belum pernah ada kesadaran ihwal “orang jang terprentah” semacam itu yang lantas diartikulasikan dengan begitu terus terang di masa sebelum-sebelumnya, sampai-sampai dipajang sebagai jargon Medan Prijaji.

Dan Tirto tidak hanya mengambil sikap untuk memihak “mereka yang terprentah”, tetapi bahkan mengerahkan segala yang ia miliki dalam project yang rumusannya sudah ia rumuskan semampunya itu.

Artikulasi dari suara Tirto berbeda sekali dengan artikulasi Kartini, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, ter Haar, Kwee Kek Beng, apalagi Pangemann (bandingkan, Pangemann pernah bilang kalau pers baru bisa urus politik setelah warga Hindia Belanda sejahtera, sementara Tirto bersuara: politik dulu, baru bisa sejahtera. Konservatif sekali bukan si Pangemann dengan itu?).

Saya membuka diri pada kemungkinan bahwa nama-nama yang anda comot dari Ben Anderson itu juga bekerja demi “kebenaran”.

Tetapi jika dan hanya jika Anda membaca dengan cermat teks-teks yang dihasilkan Tirto dan bukan memasrahkan argumen Anda pada teks-teks sekunder (entah itu Ben, Salmon atau Dhakidae), Anda baru punya peluang untuk menyadari betapa berbedanya bahasa Melayu yang digunakan Tirto dengan yang digunakan oleh nama-nama yang Anda comot dari Ben Anderson, apalagi dari (apa boleh buat) bahasa Melayu yang digunakan oleh Kwee Kek Beng.

Sayangnya Anda memamah begitu saja Ben Anderson, sama seperti ketika Anda dengan “cukup naif” memamah begitu saja paparan Rahman Tolleng ketika Anda menulis tentang struktur federasi Republik Indonesia Serikat di blog Anda(sudahkah Anda membaca komentar saya atas tulisan Anda itu?)

Dari nama-nama yang Anda comot itu, perkecualian harus saya berikan pada Ki Hadjar (dan Marco tentu saja), terutama lewat teksnya Andai Saya Orang Belanda (itu pun awalnya ditulis dalam bahasa Belanda).

Tapi Anda pasti tahu kapan Ki Hadjar dan Marco menulis, seperti juga saya yakin Anda amat tahu kapan Kwee Kek Beng berkiprah dan mengampanyekan “nasionalisme negeri Tiongkok ala Sun Yat Sen” lewat Sin Po (dalam kasus gagasan nasionalisme-nya Kwee Kek Beng dan Sin Po, saya cukup heran, Anda tidak menyadari perbedaan mendasar yang amat sangat telanjang dan begitu sepele ini).

Tirto-lah Sang Pemula yang paham dan secara sadar menggunakan bahasa Melayu sebagai “alat politis” untuk mengampanyekan sesuatu yang politis. Bahasa Melayu Tirto bukan sekadar lingua franca, tetapi sesadarnya dipilih sebagai alat yang ia yakini paling ampuh untuk mengartikulasikan gagasan “bangsa yang terdiri atas orang-orang yang terprentah”.

Ketika Yamin mengampanyekan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu di Kongres Jong Sumatranen Bond pada 1923, Yamin hanya tinggal meneruskan dalam cara yang lebih modern hal-hal yang sudah dilakukan Tirto sebelumnya dengan penuh keinsyafan.

Pendeknya, ada selisih “framming” antara bahasa Melayu Tirto dengan bahasa Melayu yang digunakan yang lain. Ini soal selisih “paradigma”, jika Thomas Kuhn bisa disebut di sini.

Anda benar ketika menulis “Mereka (Kommers, Pangemann, dkk) bekerja keras menyampaikan kebenaran”. Tetapi project ini tidak sedang mencari-cari sejarah “para penyampai kebenaran”. Project ini sedang menapaktilasi jejak-jejak gagasan kebangsaan (nasionalisme) dalam surat kabar.

Saya agak kurang ajar jika, misalnya, melupakan jasa Multatuli yang menulis Max Havelaar dalam upaya memahami arus transformasi di Hinda Belanda. Tetapi apa boleh buat, Multatuli tak mungkin masuk sebagai orang yang ikut merumuskan “nasion” Indonesia.

Bukan karena ia menulis dalam bahasa Belanda dan bukan juga karena ia non-pribumi. Tetapi yang terpenting, Multatuli menulis masih dalam framming Belanda sebagai “kepala keluarga” Hindia Belanda, di mana “perbaikan” (bedakan dengan “perubahan”) yang diharapkan masih dalam framming Belanda sebagai penguasa. Framming konservatif ini pula yang mencuat dari semua kritik-kritik yang diberikan Kartini kepada pemerintah kolonial.

Karena Tirto sudah keluar dari framming itulah, mestikah diherankan jika pemerintah kolonial bahkan memerintahkan secara khusus penasihat urusan Pribumi (Rinkes) untuk mengawasi Tirto secara intensif, mengumpulkan semua bahan-bahan tentang Tirto, mencatat semua ucapan dan prilaku Tirto dan mengarsip semua tulisan Tirto.

Tirto diawasi begitu ketatnya, dibayang-bayangi, diganggu secara diam-diam, dihancurkan pelan-pelan. Sampai-sampai Tirto tak sadar kalau dia tak lagi bisa menginap di hotel yang ia miliki karena dengan cara culas hotelnya sudah dikondiskan untuk diakuisisi oleh sahabatnya sendiri (Goenawan).

Tirto tidak hanya dibuang, tetapi juga digerogori mentalnya dengan teknik seperti yang diterangkan Foucoult ketika membahas penjara Panopticon-nya Jeremy Bentham (atau “Rumah Kaca” dalam frase-nya Pramoedya atau “aquarium” dalam frasenya Petrus Blumberger ketika mengkaji awal tumbuhnya gerakan komunis di Hindia Belanda).

Mestikah diherankan jika Tirto menjadi oleng jiwanya alias gila di tahun-tahun terakhir kehidupannya?

Tirto mendapat “kehormatan” sebagai orang pertama di Hindia Belanda yang diperlakukan seistimewa itu, bukan F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, G. Franscis, Multatuli, ter Haar, J.H. Pangemanann, atau F.D.J Pangemanann, terlebih (apa boleh buat) Kwee Kek Beng yang hingga akhir tahun 1920-an masih juga keukeuh menjadi juru kampanye gagasan nasionalisme negeri Tiongkok-nya Sun Yat Sen melalui surat kabar Sin Po.

Jika pemerintah Hindia Belanda saja sampai memerlakukan secara khusus Tirto dengan cara yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya, saya kira, itu menandakan satu hal yang cukup benderang: Tirto bergerak dengan cara yang tak pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya, sesuatu yang tak pernah dihadapi oleh pemerintah kolonial sebelumnya.

Apa itu? Bagi saya, itu adalah rumusan Tirto ihwal “bangsa” dan “kebangsaan” yang sudah melampaui Kartini atau Multatuli, sebuah rumusan yang sudah “murtad” dari framming Belanda sebagai “penguasa sekaligus orang tua”, yang rumusannya 95% sama dengan apa yang muncul pada 1945.

Sebagai “sebuntal konsepsi teoritik, Anda benar ketika menyebut “nasionalisme berasal dari luar”. Tetapi perlawanan terhadap penjajahan, yang dalam bentuknya yang modern kita sebut nasionalisme, adalah sebuah arus zaman yang tak tertolak, ada atau tidak teorinya.

Orang ingin merdeka karena ia tahu rasanya tidak merdeka. Kenapa Saijah dalam cerita Max Havelaar melawan marsose, sang penjaga ketertiban? “Karena kerbau hamba diambil Ki Demang, tuan,” jawab Saijah. Anda akan menemukan jawaban sederhana tapi jelas itu jika membaca Max Havelaar dengan cermat.

(Lain waktu kita bisa berdebat secara khusus ihwal lebih mana dulu: teori atau kenyataan? Sebuah debat panjang yang sudah dimulai sejak Plato dengan konsepnya ihwal "dunia idea" sebagai wakil paling purba dari aliran idealisme dan Bacon atau Hume dengan konsepsi empirisme khas Inggris)

Tirto berbeda dengan Soekarno yang hobi betul mengutip Hans Kuhn atau Ernest Renan atau Otto Bauer. Tirto tak pernah kutip mengutip teori-teori tentang nasionalisme. Project kebangsaan yang ia gelar berhulu dari pengalaman empirik dan ia menghayati sepenuhnya sebagai kerja-kerja empirik. Ia bukan dan belum sempat menjadi pengobar teori-teori nasionalisme, ia adalah seorang aktivisnya.

Dia bekerja, mengadvokasi dengan senjata pena yang disiarkan di koran yang ia terbitkan sendiri dan ia menyediakan diri dan waktunya 24 jam sehari, dengan modal yang tidak tergantung pada bantuan pemerintah, dan ia juga mencari nafkah dengan cara seperti itu.

Dalam kriteria-kriteria itu, saya berani bilang, Tirto adalah archetype dari generasi baru pemimpin pergerakan yang bekerja sebagai orang merdeka, tidak bergantung pada bantuan pemerintah, yang bekerja 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dengan mencatat realitas dan berusaha semampu mungkin mengubah realitas itu menjadi seperti yang ia bayangkan dan ia hidup dari pekerjaan yang itu juga.

Anda juga berkali-kali menyebut Tjahaja Sijang. Baiklah, saya ikuti logika Anda yang menyebutkan Tjahaja Sijang yang diterbitkan oleh NZG yang melahirkan Gereja Masehi Injili yang pengaruhnya di Minahasa setara dengan Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa.

Tidakkah anda mengerti bahwa Nahdlatul Ulama mulanya berdiri di bawah naungan gagasan “keagamaan” dan diasuh oleh semangat memertahankan tradisi dan pengetahuan lokal dalam beribadah.

Tirto bergerak tidak di dalam kategori “agama” (Islam dalam kasus NU dan Kristen dalam kasus Gereja Masehi Injili), “lokalitas dan primordialisme” (Jawa dalam kasus NU dan Minahasa dalam kasus Gereja Masehi Injili), sesuatu yang justru menjadi argumen dan semangat awal pendirian NU yang Anda sebut sebanding pengaruhnya dengan Gereja Masehi Injili di Minahasa.

Tidakkah Anda menyadari hal sepele yang begitu telanjang itu ketika menyebut-nyebut NU?

Lantas bagaimana dengan pers Tionghoa dan peranakan Tionghoa atau pers Belanda dan peranakan Belanda?

Singkat saja:

Orang yang masuk kategori peranakan Belanda yang bergerak di luar kerangka framming kolonialisme baru muncul secara sistematis ketika terbentuk ISDV di bawah pengaruh Sneevliet dan Indische Partij melalui Douwes Dekker/Setiabudhi. (Anda bisa membaca laporan Petrus Blumberger sebagai laporan yang tertua atau laporan Frances Gouda yang paling mutakhir dalam soal persepsi orang-orang Belanda atau peranakan Belanda ihwal kebangsaan di Hindia-Belanda)

Bagaimana orang (peranakan) Tionghoa? Bahkan setelah abad 20 sudah masuk dekade ke-3, mereka masih meributkan tiga pilihan: (1) bergabung dengan nasionalisme Tionghoa di tanah Tiongkok ala Sun Yat Sen seperti dibela terutama oleh Kwee Kek Beng dengan Sin Po-nya atau (2) “merapat” pada pemerintah Hindia Belanda seperti yang ditunjukkan Chung Hwa Hui (CHH) yang berkecenderungan ekslusif.

Kesadaran untuk ikut aktif mengusahakan kebangsaan Hindia Belanda muncul dengan artikulasiy ang jelas setelah berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Kapan itu? Pada 1932. Sejak itulah, bisa dibilang, baru muncul pers Tionghoa dengan cara berpikir yang nyaris sepenuhnya menyepakati gagasan nasionalisme Indonesia lewat koran Sin Tjit Po. (Sin Po, CHH dan PTI menjadi wakil dari apa yang disebut sebagai "tiga aliran politik bangsa Tionghoa" di Hindia Belanda)

(Bandingkan, Boedi Oetomo saja sudah tobat dari nasionalisme ke-Jawa-annya pada 1927.)

Saya kutipkan artikel edisi Sin Tjit Po 2 Desember 1929 (tiga tahun kemudian PTI dideklarasikan). Artikel yang berjudul ”Darah Tionghoa” itu ditulis Liem Koen Han yang kelak mendirikan Partai Tionghoa Indonesia.

Ia menghimbau pers Tionghoa agar menjadi media yang efektif dalam ”menginsyafkan” pandangan-pandangan yang keliru tentang orientasi ke-Tionghoa-an yang berporos pada Tiongkok: ”... Ada baek jang sekarang satoe soerat-kabar nationalistisch seperti „Sin Po” toeroet bikin melek mata pembatjanja boeat liat itoe kebeneran jang apa dinamaken „darah Tionghoa” sebenernja ada darah tjampoeran dari setaoe berapa matjem bangsa.”

Untuk mengetahui itu, Anda bisa membaca laporan Beny G Susetyo (“Tionghoa dalam Pusaran Politik”), Leo Suryadinata ( “The Pre-World War Peranakan Chinesse Press of Java: A Preeliminary Survey” dan ‘”Politik Tionghoa Peranakan Jawa”) atau Lea E Williams ( “Overseas Chinesse Nationalism: Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia”).

Jika saya disebut rasis karena mengatakan kesadaran akan kebangsaan Hindia Belanda orang Tionghoa terlambat dibanding yang lain, Anda harus juga mengikutsertakan orang-orang seperti Beny G Susetyo, Leo Suryadinata atau Lea E Williams yang juga mengakui hal yang sama dengan yang saya tuliskan empat paragraf sebelum paragraf ini.

Jadi jelas: “Tirto dipilih bukan semata karena ia pribumi. Dan Douwes Dekker (peranakan Belanda), keluarga Badjenet (peranakan Arab) atau Kwee Kek Beng (peranakan Tionghoa) tidak dijadikan sebagai tonggak bukan karena non-pri.”

Rasiskah jika Tirto dan Medan Prijaji yang dipilih?

Nasionalisme selalu membentangkan demarkasi yang tegas antara “kami yang dijajah” dengan “mereka yang menjajah”, atau dalam kata-kata Tirto: antara “kami yang diprentah” dengan “mereka yang memrentah”. Pembentangan garis demarkasi itulah yang dimulai dengan artikulasi yang tegas dan begitu telanjang oleh dan dalam diri Tirtoadiserjo, sampai-sampai dijadikan jargon Medan Prijaji.

Saya kira, sebuah pilihan yang adil ketika bersepakat dengan Pramoedya Ananta Toer yang memilih Tirto dengan Medan Prijaji-nya sebagai “Sang Pemula”.

Tetapi memang harus diakui, di arusnya yang terdalam, rasisme juga bertolak dari, dengan mengutip James Baldwin dalam Notes of Native Soon, “Pengandaian adanya garis yang tegas antara “kami” dan “mereka”.”

Di level persamaan itu, Tirto adalah seorang yang rasis. Tetapi jika benar demikian, Tirto sama rasisnya dengan Soekarno atau Hatta atau Tan Malaka (di Indonesia), Thomas Jefferson atau George Washington (di Amerika Serikat), Nehru atau Bipin Chandra Pal (di India), Simon Bolivar (di Bolivia), Son Ngoc Tanh (di Kamboja), Ho Chi Minh (di Vietnam), Jose Rizal atau Makario Sakay (di Filipina), Jose Gaspar Rodriguez de Francia (di Paraguay), Ferenz Kazinsky (di Hungaria), Jose Joaquin Fernandez de Lizardi atau Morales y Pavon (di Meksiko), atau juga Pedro Fermin de Vargas (di Kolombia).

Bagaimana dengan usul Anda agar project ini diganti menjadi “Seabad Medan Prijaji”?

Usul Anda sudah saya simpan baik-baik di dalam laci meja. Tapi tenang saja, saya tak mengunci laci itu karena kuncinya sudah hilang sejak lama. Sudah lama sekali. (Sikap ini saya adopsi dari semangat yang dikobarkan oleh konsepsi “differance”-nya Jacques Derrida)

Semoga kita tetap dilimpahi “sikap adil sejak dari pikiran”.

Selengkapnya......