Kamis, Juni 28, 2007

Selamat Jalan, Nugie....

"De te fabula narratur! Tentang Engkaulah hikayat ini dituturkan."
-- Horatius


Nugie, kematianmu yang tiba-tiba membuatku sadar satu hal penting: Maut ternyata bisa membuat kenangan yang biasa menjadi lebih berarti.

Saya banyak mencatat kematian orang-orang penting, nama-nama tenar, atau tokoh-tokoh besar. Saya mencatat kematian mereka karena saya anggap orang-orang itu sudah meninggalkan sesuatu yang penting, mewariskan sesuatu yang berharga dan pantas untuk diabadikan. Mereka pernah berkarya, menghasilkan satu peninggalan yang berharga buat umat manusia, setidaknya sejumlah umat manusia, mungkin juga untuk bangsa ini.

Kamu tidak, Nug. Kamu anak muda biasa, yang belum menghasilkan sebuah karya yang “wah”, tak meninggalkan sebuah milestone yang layak dikenang oleh banyak orang dan tidak pula menelurkan satu portofolio yang layak dimuat di koran-koran.

Kamu hanya seorang anak muda dari metropolitan yang datang ke Jogja untuk kuliah di jurusan yang sama sekali bukan favorit, yang saking nggak lakunya… sampai-sampai teman sekelasmu hanya 15 orang. Dan kamu pun ssempat meragukan masa depanmu, seperti kawan-kawanmu yang lain, seperti kawan-kawan seangkatanku juga, mungkin seperti aku juga. Apalah arti ijazah sebuah jurusan tak laku dari sebuah kampus negeri kelas medioker?

Kita juga bukan kawan karib, kendati kita lumayan sering bercakap-cakap, terutama di pekan-pekan terakhir kehidupanmu. Kamu mungkin hanya akan mengingatku sebagai “seniormu”, “simbahmu” di jurusan, julukan yang melekat di jidatku karena akulah mahasiswa angkatan pertama di jurusan kita yang setelah tujuh tahun kuliah ternyata masih juga berstatus mahasiswa.

Jika kamu tak mati kemarin, kamu baik-baik saja, bisa terus kuliah, diwisuda, jadi sarjana, lantas bekerja di kota lain dan kita pun tak bertemu kembali, mungkin ingatanku tentang mu pun akan lewat begitu saja tanpa sesuatu yang berarti.

Aku pun sebelumnya hanya mengingatmu tak lebih sebagai “adik angkatanku” satu-satunya yang berasal dari Batavia, mungkin satu-satunya mahasiswa di jurusan kita yang bicara dengan dialek Batavia yang kental. Tak lebih dan tak kurang. Hanya itu ingatanku entangmu, barangkali.

Seandainya kamu tidak mati semendadak ini, Nug, aku pun mungkin tak akan pernah mencatatkan namamu di sini. Tapi karena kamu mati dengan cara yang begitu tiba-tiba, maka epitaf ini saya pahat pelan-pelan. Begitu pelan, bahkan.

Tadi malam, Nug, aku dengar kabar kematianmu. Terlambat tiga hari kabar itu sampai. Kabar itu sampai saat aku sedang duduk di sebuah kursi warung kopi, dekat jendela yang terbuka, yang membuatku bisa leluasa memandangi Pasar Ngasem yang senyap pada dini hari yang dinginnya begitu mencucuk.

Tks, kawan sekantorku, yang juga kawanmu, mengabariku ihwal kematianmu.

Dia menyesalkan satu hal, Nug. Sewaktu si Tks sedang mengusahakan donor darah buatmu, dia mengalami sejumlah kesulitan. Setelah menahan jengkel pada birokrasi yang berbelit di rumah sakit tempatmu di rawat, dia bersama tiga kawanmu pergi ke sebuah tempat yang biasa didatangi orang yang mencari donor darah.

Di sana perkara ternyata tak kalah ribet. Dia baru ngeh bahwa bahkan ketika dia sendiri hendak mendonorkan darah buatmu, dia masih juga dimintai biaya. Dia, dengan demikian, membeli darahnya sendiri.

Setelah “uang administrasi” itu beres, urusan ternyata belum kelar, karena sejumlah keruwetan lain membuat urusan donor itu tak selekasnya kelar.

Dengan nada masygul, dia, si Tks itu, sempat mendamprat petugas di sana dengan kata-kata yang kurang lebih berbunyi: “Ngenteni opo meneh toh? Ngenteni wong-e selak modar poh piye?” (“Nunggu apa lagi, sih? Nunggu sampai orangnya matu dulu?”)

Dia menyesal, Nug, telah mengeluarkan kata-kata itu. Dia mengucapkan penyesalannya dengan wajah yang merunduk dan dengan suara yang tertahan. Dia sadar bahwa ajalmu tak ada urusannya dengan kata-kata “ngenteni wong-e selak modar poh piye?” yang ia semburkan pada petugas yang mengurusi donor dengan bertele-tele itu. Tapi tetap saja dia menyesal.

Dari dia lah saya tahu bahwa kematianmu ternyata tak mampu meneteskan satu butir pun air mata dari kawan-kawan yang membawamu dan menungguimu di rumah sakit. Ibu mu pun tak menangis. Juga kakak mu. Semua diam. Terlongo.

Tks berkomentar begini: “Dia (maksudnya kamu, Nug) hanya teman biasa, yang tak begitu akrab, tak begitu ku kenal. Nggak ada yang spesial banget-lah.”

Dalam hati saya pun berpikir hal yang sama dengan Tks. Tapi, saya masih ingat, saat Tks mengungkapkan itu, saya langsung berkomentar spontan dan cepat:

“Kematiannya itulah yang membuat dia (maksudnya kamu, Nug) punya sesuatu yang akan dikenang secara khusus.”

Tks mengangguk. Mengiyakan kata-kataku barusan. Ya, kematianmu dan caramu direnggut maut itu yang membuat ada sesuatu dari dirimu yang akan kami kenang.

Sekarang saya jadi ingat lebih banyak tentangmu. Saya ingat gigi kelinci mu. Juga wajahmu yang putih dan tirus. Saya jadi begitu ingat senyummu yang seperti orang menyeringai.

Ah, saya ingat satu lagi: kita sama-sama belum membereskan nilai Bahasa Belanda I yang belum keluar. Ya, saya ingat itu.

Saya mengulang mata kuliah itu untuk ketiga kalinya di kelasmu, setahun silam. Dan, sewaktu ujian, jadwal ujian dimajukan dan kita tak tahu perubahan jadwal itu. Jadilah kita dua orang yang tak ikut ujian dan tertahan nilainya.

Ah, saya belum sempat mengurus nilai mata kuliah sialan itu, padahal kalau tidak salah ingat, saya pernah berjanji untuk menguruskan nilaimu. Fuih! Kini kau tak perlu berurusan dengan tetek bengek macam itu lagi.

Kematianmu juga memaksaku menyaksikan sebuah kepergian yang tak biasa.

Aku terbiasa menyaksikan satu per satu teman seangkatanku lulus dan diwisuda. Aku juga menyaksikan satu per satu adik-adik angkatanku pergi meninggalkan kampus dengan toga. Kini, aku diberi pengalaman “menyaksikan” adik angkatanku, kamu, Nug, juga pergi meninggalkan kampus, tetapi kali ini kepergian tanpa toga.

Sebuah kepergian yang dari sana kau tak akan pernah kembali.

Selengkapnya......

Jumat, Juni 22, 2007

Musyawarah Buku

Sepanjang hidupnya, hanya dua malam dia tidak membaca buku: malam ketika ayahnya wafat dan malam pernikahannya.

Ibnu ‘Arabi mengucapkan kalimat tersebut sewaktu mengomentari kehidupan “seniornya”, Ibnu Rushd. Saya menemukan kutipan itu di buku Mencari Belerang Merah yang ditulis Claude de Addas.

Mencari Belerang Merah adalah istilah yang diperkenalkan oleh Imam al-Ghazali untuk menyebut ikhtiar seorang sufi dalam mencari seorang mahaguru sufi. Al-Ghazali memerkenalkannya dalam buku Tahafut al-Falasifa (Kerancuan Filsafat) yang merupakan serangan atas filsafat yang dianggap bisa merusak basis teologi Islam. Ibn Rushd membalas serangan al-Ghazali dengan menulis kitab Tahafut at-Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan). Pendeknya: Kitab dibantah dengan kitab.

Begitu membaca komentar Ibn Arabi atas Ibn Rushd dalam buku Mencari Belerang Merah itu, seketika itu juga saya berhenti membaca Mencari Belerang Merah.

Ingatan saya tiba-tiba berbelok pada Muhammad Hatta. Orang besar yang bersahaja itu pernah menulis begini: “Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas."

Saya mengalami fragmen itu pada waktu dan tempat yang pas.

Sore itu, sekira pukul 5 sore, saya sedang duduk di depan Istana Negara di ujung Malioboro. Di bangku kayu sepanjang 2 meter, yang hanya berjarak 2,5 meter dari pagar besi Istana Negara, saya duduk sendiri. Malioboro begitu ramai. Jalanan dipenuhi kendaraan dan trotoar diramaikan oleh para pejalan kaki yang kebanyakan anak-anak sekolah yang sedang berwisata.

Saya baru saja keluar dari arena Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2006 dengan membawa dua plastik besar yang isinya aku tukar dengan hampir gaji sebulan. Semuanya buku. Persisnya: buku-buku tua.

Di situ ada 3 jilid buku Tata Negara Majapahit karangan Mohammad Yamin, sejilid besar buku Kapita Selekta karangan Mohammad Natsir, sejilid tebal Sarinah karangan Soekarno, buku Seratus Tahun Agoes Salim, buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme karangan Mohammad Hatta, buku Rantau dan Perjuangan karangan Soetan Sjahrir dan buku Pintu Tertutup (Huis Clos) karangan Jean Paul Sartre. Sementara buku Mencari Belerang Merah saya beli satu jam sebelumnya di Shopping Center yang terletak di sebelah timur benteng Vredeburg yang menjadi arena FKY 2006.

Kecuali Jean Paul Sartre, semua penulis yang bukunya ada di dua plastik itu pernah datang, duduk, menginap dan bahkan tinggal di Istana Negara yang berdiri anggun di hadapan saya.

Saya membayangkan, orang-orang itu sedang duduk melingkar di sebuah meja. Soekarno tampak menoleh ke kiri ke arah cermin besar yang menampakkan wajahnya. Natsir sedang membetulkan letak kopiahnya. Hatta sedang membersihkan kaca matanya yang tebal. Agoes Salim sedang memandangi cerutu yang barusan ia nyalakan. Soetan Sjahrir duduk bersandar dengan kaki kiri menyilang di kaki kanannya. Mohammad Yamin sedang mengibas-ngibaskan pantalonnya yang kusut dan terperciki debu.

Dengan lagaknya yang khas, Soekarno tiba-tiba memajukan badannya. Tangannya bersidekap di atas meja besar bundar yang terbuat dari kayu jati yang berukir. Dia berdehem sebentar.

Dan saya membayangkan Soekarno berkata: “Saudara-saudara, musyawarah buku kita mulai!”

Saya sangat menyukai frase “Musyawarah Buku” yang oleh Khalid Abou el-Fadl dijadikan judul bagi bukunya yang terbit pada 2005 silam, Conference of the Book: The Search for Beauty in Islam. Ini salah satu buku kesayangan saya. Tersimpan di salah satu sisi rak buku saya yang tersembunyi, agar siapa pun tak tergoda meminjam atau mengambilnya. Buku ini berkali-kali saya baca dan tak pernah saya merasa bosan. Tiap kali saya merasa jenuh dengan buku, saya selalu membuka kembali buku ini, dan saya selalu mendapatkan semangat baru. Ya, semangat untuk kembali mengakrabi buku-buku.

Frase “Musyawarah Buku”, saya kira, bisa sedikit membantu menjelaskan bagaimana sebuah peradaban dibangun oleh ribuan perjumpaan, percakapan juga perdebatan orang-orang yang begitu mencintai buku, banyak di antara mereka adalah juga para penulis buku.

Ada “buku”, ada “adab”. Buku-buku yang saling bertemu, beradu, bersaing, bertanding dan berpolemik melahirkan “peradaban”.

Indonesia, saya kira, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku. Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu. Tidak terkecuali di Istana Negara di ujung Malioboro ini. Biarlah kali ini saya mengisahkannya sebentar. Kali ini saya tidak sedang mengkhayal tentu saja.

Pada 13 Agustus 1948, Musso yang baru kembali ke Indonesia setelah 13 tahun lamanya hidup dalam pembuangan di Sovyet, berjumpa dengan Presiden Soekarno dalam suasana hangat dan akrab. Seorang wartawan yang menyaksikan perjumpaan keduanya memberi testimoni: “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.”

Kala itu, Soekarno memuji Musso sebagai “jago pencak yang suka berkelahi, …yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”. Soekarno berharap agar Musso sudi membantunya melancarkan revolusi nasional yang lajunya masih terpatah-patah.

Mendengar permintaan itu, Musso membalas dengan jawaban singkat, lugas dan sungguh menggetarkan: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya kemari untuk membereskannya) .”

Sebelum berpisah, Soekarno masih sempat menyerahkan buku Sarinah yang baru saja diterbitkan itu sebagai kenang-kenangan. Soekarno meminta agar Musso bersedia membacanya di tengah kesibukan revolusi. Musso menerima buku itu dengan senang hati dan berjanji akan menyerahkan buku karangannya beberapa waktu mendatang.

Musso terbukti menerbitkan buku beberapa pekan berikutnya. Buku tipis itu ia juduli Djalan Baroe dan selanjutnya masyhur dengan sebutan Djalan Baroe Moesso. Tetapi buku inilah yang menjadi awal dari perpecahan Soekarno dan Musso. Djalan Baroe terbukti menjadi pamflet yang berisi langkah-langkah revolusioner yang akan diambil Musso setelah sebelumnya mengambilalih pengaruh PKI dari tangan Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, dkk.

Dari buku tipis Djalan Baroe inilah peristiwa berdarah Madiun 1948 muncul. Untuk mengetahui hubungan antara Djalan Baroe dengan peristiwa Madiun 1948, baca catatan saya di sini.)

Peristiwa pertemuan Soekarno dan Moesso yang diikuti acara bertukar buku itu berlangsung di gedung yang sore ini hanya sepelemparan batu jaraknya dari tempat saya duduk. Buku Sarinah yang diserahkan Soekarno kepada Moesso di Istana Negara Jogja juga ada di kantong plastik di pangkuan saya.

Dihubungkan oleh banyak koinsidensi itulah catatan-catatan saya ihwal Indonesia dan buku ini dimungkinkan lahir.

Dan kalau sudah mengingat bagaimana hubungan antara Indonesia dan buku, tidak bisa tidak saya akan langsung ingat kutipan Hatta yang sangat terkenal yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini: "Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas."

Saya langsung ingat kutipan itu karena kutipan itu pula yang selalu saya pajang di halaman iklan layanan masyarakat di sebuah jurnal mingguan yang saya kelola setahun lalu di Jakarta.

Hatta, lewat kutipannya itu, tampak benar sebagai orang yang sangat mencintai dan menghargai buku. Jika ingatan saya tidak berkhianat, kutipan itu muncul dalam buku Memoir yang ditulis Hatta sendiri. Kutipan itu muncul dalam konteks ketika Hatta sedang mengisahkan hari-harinya yang sepi di tanah buangan di Digul pada 1934, yang lantas berlanjut di pulau Ende pada 1936.

Saya kira orang tak cukup alasan untuk menyebut kutipan itu tak lebih sebagai sok pamer atau “waton nggaya” (kalau kata orang Jogja). Bukti konkrit dari kutipan Hatta itu bisa kita temukan dalam buku Alam Pikiran Yunani.

Buku itu ditulis selama pembuangan Hatta di Digul yang berlanjut di Ende. Hatta memang memutuskan untuk menghabiskan waktu pembuangannya dengan melakukan studi mendalam ihwal filsafat Yunani klasik.

Untuk keperluan itu, Hatta meminta bantuan kawan-kawannya di Batavia untuk mengirimkan buku-buku yang ia butuhkan yang sudah ia kumpulkan sedari ia sendiri masih berada di Belanda. Tiga peti besar datang sewaktu Hatta sedang berada di Digul. Satu peti buku menyusul sewaktu Hatta sudah berada di pulau Ende.

Dari situlah Alam Pikiran Yunani lahir. Daniel Dhakidae pernah menulis esai cemerlang ihwal bagaimana buku Alam Pikiran Yunani memengaruhi cara pandang Hatta atas realitas dunia politik. Hal yang sama pernah ditunjukkan oleh Ignas Kleden yang secara spesifik menunjuk bab tentang Socrates dalam buku Alam Pikiran Yunani sebagai bagian yang amat memengaruhi Hatta.

Ignas menyebutnya sebagai “etik Socrates”: satu cara pandang memerlakukan politik sebagai seni memertahankan prinsip (the art of principle) dan bukan seni untuk mencapai tujuan seperti yang dibayangkan Otto van Bismarck.

Saya sendiri sangat menyukai buku ini. Dan seperti juga Hatta, saya sangat menyukai bab yang mengisahkan pemikiran dan kehidupan Socrates. Di buka oleh buku Hatta itulah saya mengumpulkan remah-remah tentang Socrates sebanyak mungkin. Dari situlah akhirnya saya menemukan dan membaca dengan penuh takzim “Naskah Apologia”, “Naskah Ion dan “Naskah Krito”; tiga naskah yang berisi kesaksian Plato atas ucapan-ucapan Socrates. (Baca catatan saya ihwal Socrates dan naskah Apologia di sini.)

Di sini Hatta tidak unik. Hatta, saya kira, hanyalah satu dari sekian eksemplar contoh bagaimana para pemimpin pergerakan tak pernah bisa dan tak pernah mau berjauhan dengan buku bahkan kendati sedang berada dalam pengasingan dan pemenjaraan sekali pun.

Bagi para intelektual yang banyak melakukan aktivitas politik, pengasingan justru menjadi meomentum terbaik untuk lebih memerkaya batin dan memertajam perspektif. Bagi orang seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Gramsci hingga Jamaluddin al-Afghani, pengasingan dan pemenjaraan dihayati tak ubahnya sebagai laku yogi.

Laiknya seorang empu keris, waktu yang lapang, tenaga yang penuh dan laku batin yang khidmat, digunakan untuk menempa-lipat bahan baku keris yang beratnya puluhan kilo menjadi keris yang siap pakai dengan bobot hanya ratusan gram saja. Penjara, dengan menggunakan analogi empu keris, adalah tempat terbaik bagi para intelektual untuk menempa-lipat bahan baku yang dimilikinya untuk dijadikan ratusan helai tulisan yang punya pamor cemerlang.

Maka, begitu kurun pengasingan itu usai terlewati, ketajaman perspektif, kedalaman batin serta kekukuhan keyakinan menjadi modal berharga untuk melanjutkan jalan hidup yang dengan sesadarnya diabdikan untuk hidup dan kehidupan banyak orang.

Bersamaan dengan Hatta menulis Alam Pikiran Yunani, Sjahrir dari hari ke hari menuliskan catatan ihwal banyak pokok yang ia minati, dari soal kebudayaan, politik, seni, kesusastraan, psikologi massa hingga ekonomi politik. Catatan-catatan itu ia kirimkan dalam bentuk surat kepada istrinya di Belanda, Maria Duchateau.

Surat-surat inilah yang kelak terbit dalam bentuk buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen (dalam edisi Indonesia berjudul Rantau dan Perjuangan).

Saya tidak ragu untuk menyebut karya ini sebagai salah satu renungan kebudayaan paling cemerlang yang pernah ditulis oleh seorang anak bangsa. Buku ini dipenuhi oleh refleksi dan komentar Sjahrir atas pelbagai gagasan kebudayaan yang serius. Kita akan menjumpai bagaimana Sjahrir membelejeti pokok pikiran sekaligus kepribadian Johan Huizinga dengan Ortega y Gasset. Berkali-kali Sjahrir bercerita bagaimana impresinya atas karya-karya Nietzsche, Dante, Dostoyevski hingga Benedotte Croce.

Yang menunjukkan keluasan erudisi seorang Sjahrir adalah kemampuannya meletakkan setiap pokok gagasan dalam konteks alur perkembangan sejarah intelektual dunia. Sjahrir mampu menjelaskan seperti apa “hubungan darah” antara satu filsuf dengan filsuf yang lain.

Dari pembacaan yang lebih detail ketimbang sebelumnya, Sjahrir lebih punya kecenderungan memihak pragmatisme yang menjadi khas pemikiran di Britania Raya ketimbang rasionalisme Prancis atau romantisme Jerman. Sjahrir memang lebih dekat dengan Julian Huxley, John Stuart Mill atau Gustav Meyer dari Britania ketimbang Kant, Hegel, dan Goethe dari Jerman atau Andre Malraux dan Rosseau dari Prancis.

Orang yang sama ini pula yang dalam pekik perang kemerdekaan, persis saat pertempuran 10 November di Surabaya baru saja dimulai, masih sempat-sempatnya menerbitkan buku yang berjudul Perjuangan Kita. (Untuk mengetahui catatan saya ihwal buku Perjuangan Kita, baca di sini.)

Perjuangan Kita memang buku yang relatif tipis, tapi ini bukan buku sembarangan. Beberapa karib dekat Sjahrir menyebut pamflet itu menunjukkan cara berpikir Sjahrir yang ternyata begitu dekat dengan Mao Tse Tung sehingga bahkan ada yang berpikir kalau dua orang itu sempat bertemu. Franklin Weinstein, sarjana Amerika yang menulis disertasi seputar kaum elit Indonesia, menyebut Perjoeangan Kita sering dibandingkan dengan On New Democracy-nya Mao dan bahkan rakyat di dunia komunis menerima Perjoeangan Kita sebagai sumbangan yang setaraf dengan sumbangan Mao.

Seorang sejarawan yang mengkaji politik Indonesia pasca proklamasi nyaris mustahil melewatkan Perjuangan Kita. Pamflet politik Sjahrir ini amat membantu menjelaskan bagaimana garis perjuangan Republik menghadapi tekanan politik, ekonomi dan militer Belanda yang berniat kembali menduduki koloni terbesarnya ini.

Sejumlah ilmuwan yang mengkaji politik Indonesia pada periode 1945-1949, semisal Ben Anderson dan George Kahin, punya kesimpulan yang nyaris sama kendati dengan impresi yang berbeda: Perjuangan untuk keluar dari jepitan Belanda nyaris sepenuhnya bergerak di sepanjang garis yang dirumuskan Perjuangan Kita.

Buku Perjuangan Kita inilah yang memaksa seorang penulis tangguh lainnya untuk menulis dan menerbitkan buku tandingan berjudul Moeslihat. Penulisnya adalah Tan Malaka.

Tan Malaka, saya kira, harus masuk dalam deret teratas para penulis Indonesia yang paling tangguh dan prolifik. Produktivitas dan stamina orang ini betul-betul tanpa tanding. Saya bahkan berani bilang: hanya kematian yang bisa menghentikannya menulis. Penjara, pengasingan, pembuangan dan penyakit akut tak akan pernah mampu membuatnya berhenti menulis.

Coba anda bayangkan, di tengah situasi yang begitu berbahaya pada masa kekuasaan Jepang, Tan Malaka masih mampu menerbitkan sebuah buku dahsyat berjudul Madilog; sebuah buku yang bagi saya ditulis dengan semangat seperti Karl Popper menulis The Open Society and Its Enemies untuk menjelaskan, mempertahankan dan menguji ideologi demokrasi liberal, atau Karl Kautsky ketika menulis Die Materialistische Geschichtsauffassun g, yang dianggap sebagai interpretasi materialistis terlengkap tentang sejarah pada saat terbitnya.

Bedanya, Popper menulis buku itu di lingkungan universitas, dengan rekan sejawat yang selalu bersedia mendebat dan dengan demikian memperkaya gagasannya, lengkap dengan perpustakaan yang selalu siap diakses kapan pun. Sementara Tan Malaka justru menulis Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa buku-buku acuan, yang seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dan dalam persembunyian penuh marabahaya yang memaksanya menulis Madilog dengan huruf-huruf yang sangat kecil.

(Untuk mengetahui catatan saya yang lebih lengkap ihwal buku Madilog, baca di sini.)

Madilog adalah suara modern dari seorang Asia, seorang Timur, yang juga diperuntukkan bagi bangsa Asia, bangsa Timur, persisnya bangsa dan rakyat Indonesia yang masih diselimuti pola pikir mitis dan irasional.

Madilog berbicara nyaris tentang semua aspek kehidupan, dari mulai filsafat, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, sejarah hingga sains modern, yang meliputi dari matematika, kimia, fisika hingga astronomi. Dengan menulis Madilog, tampak benar betapa Tan Malaka sedang berambisi menguraikan keyakinan filsafat, politik dan ideologisnya secara terus terang, terbuka, dan komprehensif.

Ini pekerjaan yang tak sepele dan terbilang langka dalam tradisi intelektual Indonesia. Para pemimpin Indonesia kala itu, yang rata-rata para pemikir yang banyak bergulat dengan ide-ide besar, tak banyak yang mampu menggarap proyek raksasa sekelas Madilog. Banyak di antara mereka penulis prolifik yang memikat, tapi nyaris tak ada yang punya energi untuk mampu menguraikan semua keyakinan filsafat, politik dan ideologisnya sekomprehensif Tan Malaka.

Dalam pemenjaraan yang tak jelas selama periode 1946-1948, Tan Malaka tetap meneruskan aktivitas intelektualnya. Di penjara republik yang dingin itulah Tan Malaka, di antaranya, menulis From Jail to Jail atau Dari Penjara ke Penjara.

Ini buku mengasyikkan, menurut saya. Membaca buku ini seperti membaca petualangan Scarlet Pimpernal dalam cerita Barones Orczy: penuh petualangan, intrik, marabahaya sekaligus romantisme seorang lelaki yang terasing dari tanah air yang setiap detik selalu ia pikirkan.

Di penjara ini pulalah, Tan Malaka menulis buku tipis berudul Thesis. Buku ini murni polemis. Thesis bisa dibaca sebagai pledoi Tan Malaka atas tuduhan sebagai pengkhianat atau Trotskyis yang disematkan orang-orang PKI yang jengkel karena Tan Malaka tidak menyetujui rencana kudeta pada 1925 silam.

Menariknya, buku yang ditulis dan terbit di tengah sengkarut situasi dan politik yang tidak karu-karuan itu, masih sempat-sempatnya dibalas juga dalam bentuk buku oleh Alimin, orang lama dalam jajaran PKI. Buku tandingan itu berjudul Analysis.
Dengan demikian: Thesis dibantah oleh Analysis. Buku dibantah oleh buku.

Dibangun oleh orang-orang yang sangat mencintai buku itulah Indonesia lahir dengan segenap-ganjil sengkarut dan intrik-intriknya. Sengkarut itu kadang memaksa seorang penulis Indonesia harus berhadapan muka dengan muka dengan penulis lainnya.

Kisah Moesso versus Soekarno yang berujung kematian Moesso bukan satu-satunya kasus. Sejarah Indonesia juga mengenal kisah buku yang tragis dari seorang Amir Sjarifuddin.

Amir adalah Perdana Menteri kedua dalam sejarah Indonesia. Dia naik sebagai Perdana Menteri menggantikan Soetan Sjahrir. Amir bukan orang baru dalam pergerakan nasional. Namanya sudah meroket sejak ia aktf di Gerindo. Dia ikut aktif membangun gerakan anti-Jepang pada masa Jepang sendiri sedang berkuasa di Indonesia. Sayangnya Amir tertangkap dan divonis mati oleh pengadilan militer Jepang. Hanya atas intervensi Soekarno dan Hatta sajalah Amir diampuni.

Sebagai Perdana Menteri Amir tak banyak berbuat. Perundingan Renville memaksa dirinya lengser dari kekuasaan. Sejak itulah Amir makin bergerak ke “kiri”, terutama setelah Moesso datang kembali ke Indonesia pada Agustus 1945.

Kenyataan itulah yang membuat namanya tersangkut dalam peristiwa Madiun 1948. Beberapa jam sebelum di ekseskusi mati di Solo, Amir sempat mampir di Jogjakarta. Dalam pengawalan yang sangat ketat, Amir duduk sendirian di Stasiun Tugu, menunggu kedatangan kereta yang akan membawanya ke Solo untuk ditembak mati.

Ketika perwira yang bertugas menjaganya bertanya apakah membutuhkan sesuatu, Amir tidak meminta makan, minum, pakaian, atau apa pun. Permintaan terakhirnya adalah meminta buku.

Maka disodorkanlah buku Romeo and Juliet karangan William Shakespeare, satu-satunya buku yang dibawa oleh perwira yang menjaganya (bahkan seorang perwira dalam situasi perang masih sempat-sempatnya membawa buku!)

Dikisahkan, Amir menghabiskan waktunya di Stasiun Tugu dengan buku di tangannya.

Ketika kereta yang akan membawanya ke Solo untuk dieksekusi mati datang, Amir langsng naik ke gerbong yang sengaja dikosongkan. Ketika kereta bergerak ke arah timur dengan perlahan, tampak jelas ratusan orang berjubel di sepanjang rel ingin menyaksikan wajah mantan Perdana Menteri mereka yang hendak dihukum mati.

Amir, dikisahkan oleh Soe Hok Gie, tetap tenang dan penuh khidmat membaca buku Romeo and Juliet yang sedang berada di tangannya (saya pernah melihat foto karya Mendur yang berhasil memotret adegan ketika Amir sedang membaca Romeo and Juliet di gerbong kereta itu. Saya ingat, foto itu saya lihat di halaman 15 Kompas pada Agustus 2005. Hanya saja, saya lupa itu tanggal berapa).

Saya kehabisan tenaga dan waktu kalau harus mengisahkan satu demi satu fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hubungan yang intens antara Indonesia dengan buku. Betapa banyak. Betapa melimpah (versi lengkap cerita tentang Indonesia dan Buku bisa dibaca jika buku saya sudah terbit! Sabar ya. Hehehe....).

Catatan ringkas ini sekadar menjadi pengantar ihwal sebuah “musyawarah gagasan” yang pernah berlangsung secara intens dan menjadi salah satu sebab dari lahirnya Indonesia.

Saya sangat senang menyebut musyawarah itu sebagai “Musyawarah Buku”.

Selengkapnya......

Senin, Juni 18, 2007

Senja di Taman Sari

Siapa yang sebenarnya membutuhkan sejarah?

Di kompleks Taman Sari yang nyaris runtuh, pertanyaan itu menggema di mana-mana.

Sore itu saya berada di pucuk bangunan tertinggi di kompleks Taman Sari yang sudah terpapras separuh. Bangunan tinggi ini dulu dinamai Pulau Cemeti. Dengan menaiki anak tangga setengah melingkar, yang tak ada apa-apanya dibanding tangga spiral yang kemilau di film The Lord of the Ring, saya tiba di sana.

Ketika itu matahari Jogja sudah hampir surup.

Saya berdiri di pelataran selebar 3x5 meter. Di sisi kanan dan kiri terdapat gundukan setinggi 150 cm sisa tembok yang terpangkas. Masing-masing ditempeli selempeng papan kayu bertuliskan: “Dilarang naik!”

Tapi sekali lagi saya menyaksikan ketidakpatuhan. Mungkin rasa tidak acuh.

Di gundukan sebelah kiri, sepasang muda-mudi duduk saling bersandar. Keduanya mematut-matut diri dan memotret dirinya sendiri dengan kamera yang menyatu dengan handphone yang warnanya masih mengkilap. Di gundukan sebelah kanan, empat orang remaja putri duduk setengah melingkar. Mereka tertawa cekikikan. Salah satu di antara mereka menunjuk-nunjuk ke arah bawah.

Diam-diam saya melihat arah yang mereka tunjuk. Aha… Di bawah sana, di sebuah lorong yang kanan kirinya dibentengi tembok tua yang rapuh dan lusuh, sepasang muda-mudi sedang masyuk berpelukan.

Saya berpaling ke arah utara. Dari reruntuhan benteng setinggi gedung 5 lantai itu, pasar Ngasem terlihat jelas. Saya perhatikan jalan selebar 3 meter yang memanjang ke utara, lurus menuju bagian luar tembok Kraton Jogjakarta. Motor lalu lalang. Beberapa becak yang mengantar turis bule dikayuh pelan-pelan.

Di ufuk, langit memamerkan kanvas raksasa bersemu oranye. Dan saya, sekali lagi, bertanya: Siapa yang sebenarnya membutuhkan sejarah di sini?

Ya, di kompleks Taman Sari yang total luasnya sekira 12,6 hektar itu, masa lalu menyatu dengan begitu rapatnya dengan masa kini.

Saya pernah menghabiskan waktu selama satu jam mengelilingi kompleks Taman Sari. Saya berjalan pelahan menyusuri lorong-lorong dan gang-gang kecil yang sempit. Sejumlah rumah tua dan kusam masih bisa kita temukan, berpadu padan dengan rumah-rumah baru yang mengkilap, juga warung-warung rokok dan tentu saja beberapa pos ronda. Beberapa galeri seni kecil terbuka minta disinggahi.

Dan di antara banyak bangunan beraneka jenis itu, kita akan sering menjumpai reruntuhan tembok tua.

Di bawah reruntuhan bangunan Pulau Cemeti, di halaman sebuah rumah yang sederhana, hanya beberapa meter dari pintu gerbang Sumur Gumuling, saya pernah menemukan sebuah reruntuhan tembok yang membentuk segi empat seluas satu meter persegi. Di tengahnya ada benda yang mirip kakus. Di situ saya menyaksikan kotoran manusia yang sudah menghitam dan bau pesing yang menyengat.

“Yang silam” menyatu dengan “yang kini” dengan cara yang khas. Di situ ada satire. Ada juga ironi.

Saya coba membayangkan: bagaimana rasanya orang-orang kampung Taman Sari tiap kali membaca papan pengumuman yang dipasang Dinas Pariwisata yang isinya meminta semua orang ikut menjaga dan merawat semua bangunan tua. Di beberapa tempat dipasang pengumuman dilarang melakukan ini dan itu.

Sepertinya mereka tidak acuh.

Jika anda memasuki kompleks Sumur Gumuling, anda akan memasuki lorong yang melingkar yang terdiri dua lantai. Di tengah lorong yang melingkar itu, terdapat punden berundak yang di atasnya tak ada atap.

Di lantai bawah, yang memang berada di dalam tanah, di sepanjang lorong yang melingkar itu, suasana terasa khidmat. Juga dingin. Saya tiba di lorong itu sekitar pukul lima sore. Tak ada pengunjung lain. Sinar matahari tak ada yang sampai. Suasana remang-remang. Saya seperti berada di ruang yang hampa sejarah, tak mengenal jam dan menit. Waktu terasa berhenti. Detik seperti enggan beranjak.

Saya masuk ke ruangan tengah tanpa atap. Saya naiki punden berundak itu. Di pucuknya, terjulur tangga berbentuk tembok yang mengantarkan saya ke lorong melingkar di lantai dua. Saya berkeliling. Suasana lebih terang. Beberapa jendela berterali membuat sisa sinar matahari sore lebih mudah menerobos masuk.

Dan di salah satu jendela itu saya menyaksikan, seorang ibu paruh baya sedang menggoreng di atas kompor. Saya longokkan kepala ke luar. Aha… ada dapur di sana! Saya lihat panci dan beberapa kuali yang pantatnya sudah menghitam digantung di paku yang menancap di tembok luar lorong itu.

Apa artinya bangunan tua bersejarah bagi seorang ibu yang menggantungkan kualinya yang penyok di tembok bangunan tua yang arsitekturnya luar biasa ini? Dan apa arti sejarah baginya?

Saya mencoba menyapanya.

“Lagi masak apa, bu?”

“Gimana, mas?”

“Ibu sekarang lagi goreng apa?”

“Oh, goreng tempe, mas.”

Ibu ini barangkali tak tahu bahwa beberapa bagian kompleks Taman Sari baru saja dibangun kembali berkat kucuran dana bantuan dari sejumlah lembaga, dari mulai The Calooste Golbenkian Foundation dari Portugal hingga dana APBN dan APBD DIY. Tembok Sumur Gumuling yang ia tempeli kuali yang mulai penyok itu beberapa kali direnovasi berkat bantuan dana APBD DIY.

Tetapi benarkah ibu itu tak acuh?

Acuh atau tidak barangkali tak dikenal dalam kosakata para penduduk kampung Taman Sari. Penilaian tak acuh itu hanya datang dari para turis, para pelancong, para pengunjung. Seperti saya, tentu saja.

Pelan-pelan saya meragukan penilaian diri sendiri. Barangkali saya memang tak pantas menilai acuh atau tidaknya para penduduk kampung pada pemeliharaan Taman Sari.

Cukup jelas, saya memandang Taman Sari dari jarak Cartesian yang konstan: sebagai pengamat (res cogitans) yang memandang Taman Sari sebagai obyek yang diamati (res extensa). Sementara ibu yang mengoreng tempe di tembok luar Sumur Gumuling tak pernah memandang Taman Sari sebagai obyek. Sebab Taman Sari adalah bagian dari kehidupan mereka. Dari hari ke hari. Dari detik ke detik. Taman Sari berdenyut dengan kuatnya di nadi mereka.

Sementara saya datang ke Taman Sari dengan sejumput keingintahuan. Sebuntal hasrat untuk mengendusi masa silam yang telah lewat; sesuatu yang biasa kita sebut sebagai sejarah.

Tetapi sejarah siapa yang sebenarnya ingin saya ketahui?

Saya gamang menjawabnya. Saya bukan keturunan Sultan Hamengkubuwana I, II hingga X. Saya juga tak tahu, persisnya tak yakin, ada nenek moyang saya yang ikut-ikutan membangun Taman Sari.

Dibalut pengertian macam itu, tak bisa tidak saya ingat sajak “Sebuah Kenangan Tua yang Dipanjangkan” yang ditulis teman saya, Hasta Indiryana. Biarkan saya mengutipnya.

"Burung gereja yang bertengger di tembok Taman Sari, Upik,
Seperti memanjangkan kenangan pada kota tua, bangunan tua
Yang rapuh dan runtuh sampai memori kita terjatuh
Di atas buku sejarah, catatan harian, dan cerita kepedihan
Yang tak sempat dibaca zaman

Bukan sebab air mata, huru-hara, atau pelopor peluru
Jikalau kepak sayap itu menggigil. Barangkali sebagaimana
Kisah yang kita kita bangun sendiri tentang bata-bata yang remuk
Berhamburan lalu kita termangu:
Adakah setiap kerusakan dimulai dengan dendam dan peperangan?
Hmmm, kita terdiam
Juga mengigil mencipta ilusi
….
Nampak lamat abjad-abjad terbaca. Dan aku
Memburu berita dari lipatan-lipatan wajah renta dan kau
Sayu menatap atas mesjid yang berlubang, seperti ingin menulis
Puisi yang di atasnya bertengger burung gereja, sorak kumandang
Dan sepi bata-bata di atas reruntuhan

Upik, masih ingat puisi yang sekejap kita baca?
Mungkin aku dan kamu keliru membaca huruf-huruf Tuhan,
tapi kita begitu yakin menulisnya dalam catatan."

Di sekujur sajak itu, sejarah (di)hadir(kan) sebagai “mahluk yang mengecoh”, betapa pun pasangan “Aku” dan “Upik” bersikeras menangkap untuk kemudian mengabadikannya dalam “buku sejarah, catatan harian dan cerita kepedihan”.

Sayangnya, “Aku” dan “Upik” adalah bagian dari satu zaman yang tak sempat lagi membaca itu semua. Betapa sia-sianya usaha mereka mengabadikan kenangan, sejarah dan masa silam. Karena itulah, sang “Aku” pun dengan letih mencatat: “Hmm, kita terdiam!”

Dan dalam diam yang nyaris pasrah itu, mereka hanya menemukan “abjad-abdjad yang terbaca lamat-lamat”.

Apa artinya semua itu?

Sejarah hanya bisa dicatat jika sumber-sumber sejarah bisa memberi penjelasan faktual. Dari sumber-sumber itulah interpretasi dibangun dan hipotesis kemudian dihamparkan. Tetapi, ingat Hasta, masa silam tak pernah jelas penampakannya sebab kita tak mengalaminya sendiri. Sebanyak apa pun sumber-sumber sejarah, itu tak lebih dari “abjad-abjad yang terbaca lamat-lamat”.

Karena itulah, menulis sejarah sebenarnya adalah laku “mengira-ngira”. Mungkin juga membayangkan. Sebab tak ada yang persis dari narasi sejarah. “Rekonstruksi”, kata Louis Gottschalk, tak akan pernah sama persis dengan “konstruksi”. “Peristiwa Proklamasi 1945” tidak akan pernah sama dengan “cerita tentang Proklamasi 1945”.

Di sinilah Hasta tampil sebagai penyair. Alih-alih bersikeras menyusun rekonstruksi masa lalu ala sejarawan, Hasta justru menawarkan cara lain yaitu “menulis puisi yang di atasnya bertengger burung gereja”.

Menghadirkan masa silam dalam bentuk sajak adalah sebentuk kerendah-hatian penyair akan kemustahilan menghadirkan masa silam secara presisi. Menulis sejarah adalah laku mengira-ngira dan membayangkan.

Dan sajak, barangkali, memang bentuk yang paling pas untuk merawikan sejarah. Sebab sajak adalah kreativitas manusia yang mencoba “menyusun pengertian”, “memilah perbedaan-perbedaan”, “menyusun kategori” tetapi dibarengi sikap konsisten untuk (dengan meminjam rumusan Derrida) “menundanya”, “menangguhkannya”. Mencoba “menangkap pengertian” tapi tetap dibarengi kesadaran bahwa hasil tangkapan itu masih terbuka pada banyak sekali kemungkinan.

Saya memang menemukan ceceran sejarah di sini, di Taman Sari yang nyaris runtuh ini.

Masa silam yang meninggalkan jejak sedikit banyak bisa saya endus bau apaknya dengan berbagai cara dengan banyak cara, dari mulai membaca sumber-sumber sejarah, dokumen, catatan, babad dan buku-buku. Kadang saya menyakininya. Kadang lebih parah lagi: saya menyusun keyakinan lewat argumen-argumen sejarah seakan-akan argumen itu sudah sahih dengan sendirinya hanya karena sudah dikonfirmasi dengan sumber-sumber yang primer.

Serpertinya saya terlalu serius membaca, memahami dan merumuskan sejarah. Tentu saja itu tak selalu salah. Itu baru menjadi bermasalah ketika keseriusan itu mengilangkan rasa awas, waspada dan juga humor. Dan karena terlalu serius, ilmiah dan tanpa humor itu, sejarah justru hadir sebagai “mahluk asing” dan bukan bagian integral dari hidup kita sendiri.

Barangkali seperti penduduk kampung Taman Sari yang menggoreng tempe di seberang Sumur Gumuling dan menjemur pakaian dalam yang tali jemurannya terikat pada salah satu tembok Taman Sari. Di situ, sejarah hadir secara konkrit, terhubung menjadi satu persenyawaan.

Bagi ibu yang ku sapa itu, bau tempe yang digoreng itulah yang baginya adalah sejarah. Dan dirinya ada di tengah-tengahnya. Apa yang saya anggap sebagai sejarah, bagi ibu itu dan bagi segenap penduduk kampung Taman Sari, adalah diri mereka sendiri, lengkap dengan segala kuali penyok, dapur yang rudin, tangisan bayi, jemuran pakaian dalam, dan tentu saja: tempe goreng.

Saya sedikit merasa dicemooh. Perkataan ibu itu seperti berubah bunyinya menjadi: “Jauh-jauh cuma mau lihat tempe digoreng ya?”

Di pucuk pulau Cemeti yang nyaris runtuh, bait-bait sajak Hasta berdentang lebih kencang dan ucapan ibu itu seperti membuatku terpojok.

Waktu tepat menunjuk angka 17.55 wib. Dari arah utara, persisnya dari Mesjid Agung Kauman, berkumandang adzan maghrib. Tak sampai setengah menit, delapan penjuru mata angin mengumandangkan suara yang sama. Semua mesjid di sekeliling kompleks Kraton Jogjakarta memanggil para jemaah shalat Maghrib. Suara adzan berdenging dari mana-mana. Bersahut-sahutan. Telinga sedikit terasa pekak.

Mata saya nanar menatap ke utara. Lampu-lampu mulai menyala. Malam mulai menyelimuti Jogja. Saya berdiri dengan perasaan yang datar. Mungkin juga hampa.

Selengkapnya......

Sabtu, Juni 16, 2007

"Bu, Sekarang Jam Berapa?"

Rumah sakit adalah tempat terbaik untuk mengerti betapa tipisnya jarak antara harapan dan kecemasan.

Pada malam keempat menjaga adik kecilku yang diterjang demam berdarah, saya menyempatkan diri untuk menghabiskan beberapa batang rokok di halaman parkir Rumah Sakit Panti Rapih.

Saya lupa persisnya jam berapa. Tapi saat batang rokok kedua baru terhisap separuh, dua mobil memasuki halaman Panti Rapih. Dalam gerak yang ringkas, dari pintu belakang mobil terdepan, seorang lelaki tua turun. Seorang perempuan muda, berumur sekitar 20 tahunan, muncul dengan muka yang pasi. Ia sempat terhuyung sebelum dua orang petugas rumah sakit dengan sigap membopong dan menaikkannya ke ranjang beroda yang sudah disiapkan.

Selang beberapa menit, dua orang keluarga pasien perempuan muda itu berjalan cepat ke arah parkir. Salah seorang dari mereka menyebut-nyebut nama UGM, kampus yang hanya dipisahkan oleh jalan raya dengan rumah sakit ini. Saya, yang sedang menghisap rokok seraya menyandar di salah satu mobil yang diparkir, masih sempat mendengar bunyi lengkap kalimatnya: “Di dekat Kopma UGM ada ATM kok!”

Tentu saja rumah sakit bukan teller bank. Tapi siapa yang bisa menyangsikan kalau rumah sakit sekarang tak butuh ATM, persisnya kartu ATM?

Grauco Marx, seorang aktor komedi berkebangsaan Italia, pernah dengan satir menyebut ranjang rumah sakit sebagai “taksi dengan mesin penghitung tarif yang berlari”.

Itulah sebabnya, saya kira, kecemasan dan harapan bertumbukan dengan hebatnya di rumah sakit. Orang berharap bisa sembuh dari sakit. Tapi orang juga cemas: cukupkah uang yang saya punya untuk membiayai perawatan selama di rumah sakit?

Tapi kecemasan soal biaya adalah jenis kecemasan yang masih kalah merisaukan ketimbang kecemasan lain yang lebih menakutkan: Bisakah saya mengalahkan penyakit? Masih bisakah saya menikmati hidup lebih panjang?

Rumah sakit yang dilengkapi sederet dokter yang cakap, suster yang telaten dan alat medis yang komplit barangkali adalah tempat terbaik merawat orang sakit. Siapa pun layak untuk berharap kesembuhan di tempat ini melebihi tempat-tempat yang lain.

Tapi, semua orang juga tahu, rumah sakit adalah tempat di mana orang-orang sakit yang masuk stadium gawat dirawat. Orang seperti saya, yang tak punya asuransi dan tak cukup kaya, tidak akan sembarang masuk rumah sakit. Jika sakit sudah betul-betul tak tertanggungkan, rumah sakit barulah didatangi.

Di sinilah ironi itu tergelar. Rumah sakit bukan hanya tak bisa sepenuhnya meyakinkan para pasien dan keluarganya, tetapi justru membuat kecemasan itu menjadi lebih berlipatganda.

Rumah sakit adalah tempat di mana sekumpulan orang-orang yang cemas berdiam sekaligus berdo’a. Dan karenanya rumah sakit adalah tempat di mana kita bisa menyaksikan parade rasa cemas kapan pun kita mau.

Kadang kita tak bisa menyaksikan wajah pasien yang cemas karena ketidaksadarannya membuat ia tak sempat lagi merasa cemas. Dalam situasi demikian, kecemasan yang kita lihat hanya milik para pembesuk, keluarga si pasien, mungkin juga kekasih si pasien.

Sayang, saya justru menyaksikan bagaimana seorang pasien, adik saya sendiri yang diterjang DB, masih cukup sadar untuk merasakan cemas dan ketakutan. Malam itu, setelah meminum obat yang terakhir dengan setengah dipaksa, ketika suhu badannya berdiam di angka 40 derajat celcius, saat trombosit hanya tersisa belasan ribu saja, adik saya berdo’a dengan terbata-bata.

Do’anya sederhana. Dia meminta (1) agar lidahnya tidak pahit, (2) meminta agar cepat sembuh dan (3) agar bisa secepatnya minum es.

Matanya berkaca-kaca ketika ia menutup do’anya dengan bertanya: “Sekarang jam berapa?”

Saya tersedak mendengarnya. Ibu saya menjerit kecil. Saya tahu persis kenapa ia menjerit. Empat jam sebelum anak ketiganya meninggal oleh demam berdarah, 17 tahun silam, ia sempat melontarkan kalimat yang ternyata menjadi ucapannya yang terakhir: “Bu, sekarang jam berapa?”

Saya menyaksikan kecemasan di mana-mana. Di wajah ibu saya, di wajah adik saya, dan (tidak bisa tidak) di wajah saya sendiri.

Saya ingat penyair Prancis Charles Baudelaire. Dalam puisinya berjudul Les Fleurs du Mal, kurang lebih ia bersyair: “Hidup adalah rumah sakit dengan pasien-pasien terbaring yang berhasrat mengubah ranjangnya!”

Adik saya tentu saja tak tahu puisi itu. Saya pun tak akan memberitahunya. Sebab, dia sendiri sedang mengalami apa yang disebut Baudelaire sebagai “hasrat mengubah ranjang tidurnya”.

Tanpa hasrat itu, sekuat apa pun ikhtiar medis dan sederas apa pun do’a-do’a dipanjatkan, saya khawatir kesembuhan akan terasa makin jauh jaraknya.

Saya sedang cemas. Tak pernah saya menulis dengan begini cemasnya. Sungguh.

Lebih baik saya berdo'a!

Selengkapnya......

Minggu, Juni 03, 2007

Di Bawah Naungan "Buddha"

Persis ketika jam menunjuk pukul 21.15, saya sudah berada di puncak Borobudur. Upacara Waisyak baru saja selesai digelar.

Saya duduk di satu sudut stupa terbesar dan tertinggi di sana. Stupa ini polos dan tanpa lubang, tidak seperti stupa-stupa lebih kecil di bawahnya yang berlubang. Dulu, di dalam stupa tertinggi itu, “tertanam” sebuah patung Buddha yang bentuknya tak lazim. Orang menyebutnya “the unfinished Buddha”.

Di sinilah bersamayam poros dari tingkatan tertinggi Borobudhur: Aruphadatu. Secara sederhana bisa diartikan sebagai semesta yang tak berwajah. Kosmik yang tanpa raut. Alam yang tak berparas. Di sinilah spiritualitas yang tertinggi bisa diunduh manusia yang tercerahkan. The supreme of spirtuality.

Ya, di area tanpa wajah tanpa raut muka inilah saya berdiri dalam senyap yang nyaris gelap.

Pandangan saya edarkan ke arah timur. Purnama tampak jelas. Bersih. Tak ada sedikit pun awan yang mengganggu keutuhan purnama malam itu. Cuaca benar-benar mendukung.

Saya sulut batang Dji Sam Soe yang pertama. Saya seruput kopi yang masih panas dari botol air yang sudah saya persiapkan lebih dulu. Saya hisap lagi Dji Sam Soe seraya menatap bulatnya purnama.

Fuih! Nikmat betul.

Ini kedatangan saya yang kelima di Borobudur. Tapi baru kali ini saya bisa merasakan denyut nadi Borobudur yang “sebenarnya”. Suasana betul-betul dingin. Malam itu, Borobudur yang sakral hadir di depan mata saya.

Kadang-kadang bulu kuduk meremang jika ada angin lewat berkesiur.

Seperti dinyatakan banyak hikayat, abu hasil kremasi Buddha di tanam di sepuluh stupa. Banyak yang percaya, Borobudur adalah salah satu tempat di mana abu Buddha ditanam. Itulah sebabnya tempat ini dianggap sakral dan masih menjadi tempat ibadat dan pemujaan. Seperti upacara Waisyak yang kali ini saya ikuti untuk yang kedua.

Dan di tempat yang dikabarkan menjadi persemayaman Buddha inilah saya sendirian. Menikmati purnama dengan kretek di tangan dan kopi yang masih panas.

Di sinilah, di tempat yang sama saya duduk sendiri, pada 23 September 1923, juga pada saat purnama, Rabindranath Tagore pernah duduk dan mendapat inspirasi untuk menuliskan salah satu karyanya yang diterbitkan di Visva Bharati News. Saya masih ingat salah satu kutipan kalimatnya: “Let Buddha be my refuge!”

Seperti juga Tagore, saya bukan seorang Buddhis. Tapi kalimat Tagore itu terngiang kembali karena saya sedang berada pada salah satu tempat yang paling mampu menghadirkan kesunyian yang sakral, juga magis. Tempat di mana Tagore mengunduh inspirasi.

Jika saya mengutip kalimat Tagore itu, saya tak sedang berdo’a pada Buddha. Dalam kalimat Tagore itu, Buddha saya tafsirkan sebagai bentuk puncak dari kesunyian, kesenyapan, juga ketenangan.

Buddhis, saya kira, adalah “agama” yang paling rajin berbicara tentang ketenangan, kesunyian, pengendalian diri juga asketisme.

Saya pernah menyaksikan bagaimana para pendeta Buddha menggelar acara makan pagi di sebuah ashram di dekat candi Pawon. Mereka begitu tenang. Begitu khidmat.

Jadi jika saya ingat kutipan Tagore, saya bukan sedang meminta perlindungan pada Buddha, tapi lebih pada saya meminta perlindungan pada kesunyian, pada kesenyapan, pada ketenangan. Ada saat di mana saya butuh tenang setelah berbulan-bulan bertarung dengan segala macam deadline yang membikin penat. (Mungkinkah saya sendiri dalam hal ini?)

Tapi di sini bukan sekadar sepi atau sunyi.

Saya ingat kata “sunya”. Ya, saya kira, kata “sunya” lebih pas digunakan dalam konteks ini. Saya pernah membaca sebuah buku tipis karangan Ida Pandhita Mpu Jaya Wijayananda. Di sana disebutkan bahwa “sunya” adalah puncak tertinggi dari “kesunyian”. “Sunya” adalah bentuk makrifat dari sunyi. The supreme of solitude.

Buddha lahir pada saat purnama di Kapilawastu sebagai bayi bernama Sidharta. Di bawah terang purnama pula Sang Buddha tutup usia. Buddha menerima pencerahan juga pada saat purnama. Dan semuanya dalam hening.

Semua agama, saya kira, lahir dalam suasana hening yang khidmat sekaligus mungkin juga dahsyat: Budha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di puncak Sinai, Yesus bergetar seraya berdo’a di malam terakhirnya di taman Getsemani, dan Muhammad menerima wahyu dalam “ik’tikaf” yang khusyuk di Gua Hira yang jauh dari hiruk pikuk Mekkah.

Sejak dulu, para pecinta sepi selalu lebih sedikit dari mereka yang mencintai keramaian. Tetapi keduanya berumbuh dengan caranya masing-masing, dengan jalurnya masing-masing.

Saya ada di tengah-tengah. “Manusia di antara”. Saya bukan Nabi, bukan wali, juga bukan sufi. Saya anak muda biasa, yang sesekali masih menggelar sejadah, sesekali pergi ke café yang hingar bingar oleh dentuman musik yang membikin pekak.

Saya tak mendapatkan pencerahan, apalagi wahyu. Saya hanya mendapatkan rasa hati yang penuh dan melimpah. Itu sudah lebih dari cukup. Saya tidak tahu apakah saya sudah melakukan hal ihwal yang layak didakwa musyrik atau tidak.

Tidak ada lagi yang bisa saya tuliskan. Semuanya terasa sangat cukup.

Lamat-lamat saya ingat:

“When you know your own definition, flee from it, that you may attain, to the one who cannot be defined.”

Kalau tidak salah, itu syairnya Jalaluddin Rumi.

Selengkapnya......