Selasa, Mei 29, 2007

The Girl in the Café

buat: nd

Coffee has two virtues: it is wet and warm. (Dutch Proverb)

Aku bukan seorang pecandu kopi. Aku harus mengatakan ini karena aku tak ingin menutupinya hanya karena kita pernah ngopi beberapa kali atau hanya karena kamu sedang belajar menjadi peracik kopi di sebuah café.

Tapi aku juga tak ingin berdusta bahwa aku begitu menikmati saat di mana aku mereguk secangkir kecil espresso hitam yang pahit di di hadapanmu. Kau pasti ingat, belakangan aku sering memesan jenis kopi selain espresso. Espresso hitam tanpa gula yang ku pesan jika aku sedang duduk di hadapanmu. Tidak capuccino, tidak juga hot chocolate.

Barangkali, kamulah yang diam-diam mengajariku untuk bisa menikmati kembali khidmatnya segelas espresso.

Dulu aku pernah menjadi seorang pecandu kopi tanpa gula. Kopi pahit. Di awal-awal kedatanganku di Jogja, setiap pagi aku biasa menyeduh kopi tanpa gula. Dan meminumnya dengan tergesa. Aku lupa kenapa tiba-tiba aku bisa melupakan kopi pahit dan beralih menyukai teh panas, aneka macam juice dan bir.

Ya, aku kembali bisa menikmati kopi pahit setelah menghabiskan beberapa jam pada beberapa malam yang lengang bersamamu.

Tapi ada yang berbeda. Dulu, aku selalu menyeduh kopi pahit dalam gelas atau cangkir berukuran besar. Selain karena aku tak punya gelas berukuran kecil, aku juga merasa kopi pahit dengan jumlah yang melimpah lebih bisa memberi pasokan tenaga. Sekarang aku selalu minum kopi pahit dalam cangkir berukuran kecil, untuk tak menyebutnya mini. Kenapa? Karena aku meminum kopi pahit di café dan bukan di kamar kos atau di rumah.

Anehnya, aku akan kembali menyeduh teh hangat dan bukan kopi pahit jika sedang berada di kantor, di rumah atau sedang duduk-duduk bersama teman-teman yang lain. Aku hanya bisa menikmati kopi pahit jika kau sedang berada di hadapanku.

Kalau ingat fakta sederhana itu, aku sering berpikir: aku ini sebenarnya sedang menikmati kopi pahit ataukah sedang menikmati keberadaanmu di depanku?

Yang aku tahu, kopi pahit kembali bisa kunikmati dengan khidmat bersamaan waktunya dengan kedatangan sejumlah persoalan yang kadang tak sepenuhnya bisa kuatasi.

Aku ingat sosok Lawrance dalam film The Girl in the Café. Pernahkah kau menyaksikan film itu?

Ya, Lawrance adalah tokoh utama film produksi BBC tersebut. Dia seorang lelaki paruh baya yang mengalami banyak perubahan setelah bertemu dengan Gina Taunton, seorang gadis muda yang tak jelas asal-usulnya, di sebuah café kecil sewaktu rehat makan siang. Lawrence tak punya apa-apa dalam hidupnya selain “pekerjaan”. Itulah satu-satunya yang ia miliki.

Belakangan aku juga merasa terancam oleh ketakutan tak memiliki apa pun selain pekerjaan. Aku terancam tak lagi memiliki keluarga yang utuh. Terancam tak lagi memiliki orangtua yang utuh. Aku juga terancam untuk mengubur cita-cita melanjutkan studi, karena jenjang studi yang sekarang saja hampir gagal aku selesaikan.

Adakah yang lebih menyesakkan selain menyadari bahwa ada satu cita-cita yang hampir gagal dicapai dan ancaman kegagalan menyelamatkan sebuah keluarga yang mana aku menjadi bagian tak terpisahkan darinya?

Sekarang aku hanya punya pekerjaan plus sejumlah teman baik yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Tiap hari aku menyuntuki kertas-kertas kerja. Berpacu dengan deadline harian yang tak pernah tersenyum. Tenggelam dalam tumpukan buku-buku tua, koran-koran tua, catatan-catatan tua, kisah-kisah tua. Laptop menjadi “kiblat” sehari-hari, tuts-tuts laptop menjadi benda yang paling sering kusentuh, screen laptop menjadi benda yang paling sering kutatap.

Kamar kerjaku yang diseraki kertas-kertas lusuh, tebaran buku yang tak rapi ditata dan rak-rak yang dipenuhi koran-koran tua, tak lagi sekadar menjadi ruang kerja, tetapi seperti sudah menjadi kuil tempat aku menggelar “ritual ibadat harian”.

Pada titimangsa itulah kopi pahit kembali bisa kukhidmati dengan penuh takzim. Kopi pahit tanpa gula seperti menjadi metafora yang pas dari hidup yang belakangan terasa sedikit pahit.

Saya kira, cara pandang model itu berbanding lurus dengan sekuplet puisi TS Elliott. Di salah satu puisinya, Elliot menulis: "I have measured out my life with coffee spoons."

Lihatlah bagaimana Elliot mengukur segala macam kepahitan, kebahagiaan dan pengalaman hidupnya melalui sendok-sendok kopi. Elliot mungkin ingin memberi tahu, makin banyak sendok menuangkan kopi, makin pahit juga hidupnya. Dan makin sedikit sendok kopi yan dituang, makin tidak pahit pula hidupnya.

Tetapi kopi tetaplah kopi. Rasa pahit adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya. Rasa pahit akan selalu setia menemani kopi. Rasa pahit tak mungkin berkhianat pada kopi, seperti kepahitan juga selalu mengiringi hidup.

Jangan heran jika Pak Seno, dalam salah cerita Dewi Lestari yang terkenal, pernah titip pesan begini: “…kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”

Ya, bukankah seperti itu juga hidup?

Orang boleh pergi ke salon seminggu empat kali untuk menghaluskan wajah dan menyegarkan rambut. Tetapi bukankah tetap akan ada setidaknya sebiji jerawat atau sebintik komedo juga sebutir ketombe?

Kopi adalah sepucuk nubuah: sekuat apa pun kita mencoba membuat hidup terasa manis, kepahitan toh sewaktu-waktu akan datang berkunjung.

Pada momen-momen yang dilimpahi rasa pahit yang bergelombang seperti sekarang, masuk akal kupikir jika aku mulai bisa menikmati kopi pahit.

Tetapi fakta bahwa aku baru bisa menikmati kopi pahit kembali setelah beberapa kali duduk di hadapanmu adalah soal yang lain dan mungkin juga misteri yang lain.

Ada satu lelucon yang menarik dari sebuah jamuan makan malam di istana Kerajaan Inggris, Buckingham Palace. Biarkan aku mengisahkannya padamu.

Pada jamuan makan malam itu, Sir Winston Churchill dikisahkan bercakap-cakap dengan bangsawan Inggris yang anggun bernama Lady Nancy Astor:

Lady Nancy Astor: “Jika kau adalah suamiku, Winston, aku akan menyuguhi kopi yang rasanya seperti racun.”

Winston Churchill: “Jika aku adalah suamimu, madame, aku tetap akan meminumnya.”

Kira-kira kamu tahu apa artinya itu? Entahlah. Tapi jika boleh menebak, seandainya Winston Churchill menjadi suami dari Lady Nancy Astor, dia mungkin tak akan percaya kalau Lady Nancy Astor yang terkenal anggun, lembut dan baik akan menyuguhkan kopi yang rasanya seperti racun. Lagipula, walaupun yang bersangkutan sudah mengingatkan bahwa kopi buatannya terasa seperti racun, masih adakah orang yang sanggup menolak kopi yang dibuat dan disuguhkan oleh perempuan seperti Lady Nancy Astor?

Kamu tentu saja bukan Lady Nancy Astor. Tapi aku ikut senang mendengar ceritamu yang akan mulai bekerja dan belajar menjadi peracik kopi. Menjadi seorang barista, katamu. Nikmati saja pekerjaan barumu itu. Kendati barangkali penghasilanmu tak seberapa dibanding pekerjaanmu terdahulu, setidaknya kau bisa menjadi seorang barista, menjadi seorang peracik kopi. Itu pekerjaan yang spesial.

Aku membayangkan, satu waktu, tempatmu bekerja mengalami perubahan desain interior. Ruangan bar, tempat barista menyiapkan dan meracik menu-menu yang dipesan, tak lagi ditempatkan di belakang, tetapi ditempatkan persis di tengah ruangan kafe sehinga setiap pengunjung, mungkin juga aku, bisa menyaksikan kesibukanmu menyiapkan menu, menaruh kopi hitam yang sudah dirajang, menuangkan air panas, mengaduknya dengan gerakan tangan yang tertata.

Mungkin itu bisa menjadi sebuah “pertunjukan” yang menarik. Barangkali seperti menyaksikan jemari seorang pianis yang lincah menekan-nekan tuts. Dan suara denting sendok dan cangkir akibat kesibukanmu meracik dan menyaipkan menu bisa sama merdunya dengan petikan dawai akustik.

Ah, mungkin saya terlalu berlebihan. Tapi ada satu mimpi yang pelan-pelan sedang kuanyam. Biarlah kali ini aku berterus terang.

Aku ingin mengalami momen di mana pada satu malam kau mendatangiku dengan cangkir kecil di tangan seraya berkata: “Ini racikan kopi yang terbaru. Maukah kau jadi orang pertama yang mencicipinya?”

Selengkapnya......

Sabtu, Mei 26, 2007

Pada 27 Mei 2006: Requiem untuk Seorang Bayi

Kamar jenazah RSUD Wirosaban yang ada di pinggiran selatan kota Jogjakarta tampak lengang di hari pertama gempa. Sekitar pukul 15.00, 7 jam seusai gempa yang membikin lantak Jogja Selatan, saya mendekati bangsal kematian yang tampak dingin itu. Pintunya terbuka menganga lebar. Saya ragu untuk melangkah maju. Genangan darah yang mengering tercecer di mana-mana.

Dari radius lima meter, bau amis darah langsung menyergap. Perut mendadak terasa diacak-acak. Pandangan meremang kabur.

Huueekkhhh. Saya muntah di situ juga. Indomie rebus yang kusantap di dapur umum dekat rumah langsung keluar seketika. Semua-muanya.

Setelah menenangkan diri selama 5 menit, sembari menghisap sebatang kretek, saya coba beringsut mendekati kamar jenazah. Kali ini saya tak ingin bersikap jumawa. Sehelai slayer kupasang menutupi lubang hidung. Lumayan ampuh ternyata. Perlahan tapi pasti, dengan perut yang mampu menahan mual, saya bergerak memasuki bangsal kematian yang lengang tanpa penunggu.

Begitu berhasil masuk, pandangan saya edarkan. Tak banyak jenazah yang tertinggal. Di pojok belakang, di atas ranjang setinggi 20 cm, jenazah seorang perempuan tua berbaju hitam dan berjarik coklat tua terbujur kaku. Tanpa penutup. Persis di depan pintu, seonggok jenazah ditutupi sehelai tikar pandan coklat muda yang sudah rombeng di sana-sini. Tampaknya seorang lelaki. Di ujung sebelah timur, sesosok jenazah teronggok bertutupkan selimut putih bergaris-garis hijau. Tampaknya seorang perempuan. Di sisi kepalanya, tampak genangan darah yang masih sangat cair. Saya perhatikan, genangan darah itu masih pelahan mengalir ke arah pintu.

Rasa mual mulai mengganggu. Saya nyaris saja undur diri sebelum pandanganku tertumbuk sesosok balita yang sepasang kakinya tampak mengangkang membentuk huruf “O”. Saya bergerak mendekati anak malang yang terbujur dingin itu. Saya duduk berjongkok di samping kirinya, persis di atas genangan darah yang masih cair.

Saya diam beberapa saat. Saya perhatikan, balita malang ini diselimuti selimut berwarna hijau. Ia mengenakan baju putih bertuliskan “sweet kitty”. Sepasang kakinya yang nongol keluar dibungkusi kaus kaki berwarna merah putih.

Saya membayangkan bagaimana anak malang ini meregang nyawa. Barangkali ia tertindih ranjang atau bahkan ditindih tembok rumahnya yang ambrol. Terbayang bagaimana darah mungkin mengucur deras dari kepala yang terluka menganga.

Dengan tangan yang gemetar, sembari menghisap asap kretek dalam-dalam, saya beranikan diri untuk membuka selimut hijau yang menutupi wajahnya. Saya bersiap untuk menerima sebuah kenyataan yang agak lain: wajah lucu yang belepotan oleh darah dan luka.

Aih… bayangan kelam itu ternyata sama sekali keliru. Wajahnya begitu bersih. Tak ada sedikit pun goresan luka. Setetas darah pun tak berjejak di wajahnya yang… ya ampun, begitu lucu, begitu tampan. Bibirnya sedikit menguncup, membentuk sebuah siluet senyum yang rasanya begitu aneh. Di atas kedua sayap bibirnya itu, anehnya, terpacak bulu-bulu hitam agak tebal yang membentuk sebaris kumis halus. Saya, jujur saja, tak pernah menjumpai anak laki-laki berusia sekitar 20 bulan yang sudah berkumis cukup jelas.

Pelahan, dengan tangan kiri yang sudah bau amis darah, saya coba mengatupkan dua kelopak matanya yang terbuka. Tapi kelopak mata itu enggan menutup. Saya usapkan sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi. Tapi kelopak mata itu tetap terbuka.

Saya menyerah. Saya berdiri. Di ketinggian, saya perhatikan sekali lagi wajah anak malang itu. Mulutnya masih tersenyum. Dan matanya…. entah kenapa saya merasa mata itu memancarkan ekspresi kegembiraan. Tak ada sedikit pun gurat ringis kesakitan.

Saya menengok ke arah timur tempat di mana jenazah perempuan yang kepalanya terus menetaskan darah itu. Mungkin perempuan itu adalah ibunya. Pikir saya dalam hati.Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba masuk. Ia mengenakan seragam supir ambulance. Saya tanya, perempuan itu kah ibu anak malang berwajah tampan itu?

Ia menggeleng. Katanya: “Anak itu sudah meninggal sejak pagi. Dan tak ada yang tahu siapa dan di mana sanak keluarganya.”

Saya jongkok sekali lagi. Kali ini ku raba keningnya. Dingin. Sangat dingin. Ku perhatikan sekali lagi wajahnya dengan lebih detail. Ah… wajah polos itu tampak sudah mulai menguning.

(Catatan kecil ini ditulis pada sore harinya. Malamnya saya mengecek bayi malang itu, dia masih di sana. Di temani dua jenazah lain. Esok siangnya, bayi malang itu masih juga di sana, tergeletak di lantai. Saat itu dia hanya dikawani sebujur jenazah. Pada sore harinya lagi, saya menengoknya kembali. Dan dia masih di sana. Tak ada lagi jenazah yang lain. Sendirian. Bahkan keluarganya pun tak ada yang menjemputnya. Ataukah memang dia sendiri tak punya lagi keluarga? Sungguh, saya tak tahu!

Selengkapnya......

Selasa, Mei 22, 2007

Drama di Athena

Sebentar lagi, sepakbola Eropa akan menggelar hajat terbesarnya tahun ini: final Liga Champions 2007 antara AC Milan dan Liverpool. Kita tidak tahu drama macam apa lagi yang akan mereka suguhkan. Adakah seseru dan sedramatis perjumpaan mereka di final 2005 di Istanbul?

Jika mereka ingin mengetengahkan drama yang memesona, tak ada tempat sebaik Athena untuk mementaskan drama itu.

Di kota inilah buhul Sophocles menuliskan naskah-naskah drama yang hingga kini masih dipentaskan di mana-mana. Dan di sini pulalah, 2406 tahun sebelum Steven Gerard dan Paolo Maldini memimpin anak buahnya mengelar pertarungan yang mungkin akan sedramatis final 2005, Socrates sudah lebih dulu mementaskan sekaligus mengakhiri hidupnya yang unik dengan dramatis.

Ya, satu hari di tahun 399 SM, Socrates maju ke depan pengadilan Athena untuk menghadapi dakwaan telah merusak pikiran kaum muda Athena dan memertanyakan dewa-dewa sesembahan orang Athena.

Socrates tahu dia akan (di)kalah(kan). Tapi harga diri dan terutama prinsip filsafat yang dipeluknya hanya memberinya satu pilihan: maju ke depan pengadilan berhadapan muka dengan para penuntutnya.

Socrates mesti berhadapan dengan Meletos, Anythos serta Lycon. Tiga orang ini bukan siapa-siapa dibandingkan Socrates. Tetapi, tiga orang ini mustahil dikalahkan karena ketiganya mewakili tiga kelompok sosial yang paling berpengaruh di Athena pada saat itu. Meletos mewakili para penyair, Anythos mewakili para seniman dan negarawan dan Lycon mewakili musuh besar Socrates: kaum sofis.

Pada hari pengadilan, Socrates menyampaikan tiga buah pidato. Pada pagi hari, Socrates membacakan pledoi. Siang harinya, usai pemungutan suara yang memutuskan hukuman mati (280 suara meghukum Socrates dan 220 suara membebaskan) Socrates diijinkan membacakan pidato dan diberi kesempatan meminta pengampunan atau alternatif hukuman. Dan sore harinya, setelah pemungutan suara yang kedua menolak alternatif hukuman yang diajukan Socrates, dia kembali maju menyampaikan pidato perpisahan.

Tiga buah pidato Socrates, yang ditulis ulang oleh Plato menjadi buku Apologia itu, bagi saya, adalah salah satu rujukan intelektual paling tua dan sempurna atas apa yang disebut John Dewey sebagai konsepsi the art of principle (Bung Hatta menyebutnya sebagai “etik Socratik”). Etik Socratik merupakan anti-tesis dari rumusan Otto van Bismarck yang mengartikan politik sebagai “seni mencapai tujuan”.

Saya menyebut Apologia sebagai rujukan atas konsepsi the art of principle karena tiga buah pidato di hari terakhir Socrates itu sebagai contoh teoritis sekaligus praksis dari laku memertahankan prinsip-prinsip secara lugas, benderang, tanpa tedeng aling-aling dan nyaris keras kepala.

Berbeda dengan beberapa kaum sofis yang diadili, yang menyampaikan pledoi seperti anak SD sedang berdeklamasi, penuh dengan kalimat yang mengharu-biru, kadang dengan rengekan, dengan gerak tangan dan mimik yang mengharukan, terkadang dengan tetesan air mata, Socrates menyampaikan pembelaannya dengan kalimat yang terus terang, menyebut nama lawannya tanpa inisial, menghantam lawannya (terutama Meletos) dengan lugas, dengan tanpa rasa takut sekaligus tanpa kehilangan sedikitpun cira rasa kerendah-hatian dirinya yang sudah dikenal di delapan penjuru Athena.

Socrates menolak tawaran alternatif hukuman berimigrasi ke luar kota. Socrates memang mengajukan alternatif hukuman berupa denda sebesar 1 Mina. Tetapi karena denda 1 Mina yang diajukan Socrates murahnya gak ketulungan, maka alternatif hukuman ini lebih mirip satire. Socrates sendiri menolak tawaran bantuan 30 Mina yang ditawarkan para muridnya, antara lain Plato, Crito, Critobolus dan Apollodoros.

Jika drama Antigone karya Sophocles bisa disebut sebagai puncak warisan seni drama kebudayaan Athena, Apologia sebagai epilog kehidupan Socrates adalah versi lain dari semangat dramaturgi kebudayaan Athena dalam kehidupan nyata dan bukan semata di panggung Parthenon yang agung.

Inilah yang membedakan Socrates dengan Aristoteles, yang setelah kematian muridnya, Alexander the Great, juga diadili secara tak adil oleh musuh-musuh politik Alexander. Jika Socrates memilih tetap dihukum mati dan dengan demikian menyempurnakan Apologia sebagai rujukan intelektual sekaligus praksis dari the art of principle, Aristoteles lebih memilih untuk menyingkir ke luar kota.

Hal yang sama dengan Socrates bisa kita temukan pada sosok Thomas Moore, penulis buku klasik Utopia, yang memilih hukuman mati ketimbang mengesahkan pernikahan Raja Edward yang melanggar prinsip gereja Katolik Roma (Sila tonton film Man for All Season yang mengharukan itu).

Etik Socratik, sekali lagi, adalah anti-tesis dari rumusan Bismarck ihwal politik sebagai “seni mencapai tujuan” (baca: kemenangan). Dalam rumusan itu, politik dimengerti tidak hanya sebagai eufemisme (penghalusan) dari peperangan seperti diungkapkan Machiavelli, tetapi sebagai laku di mana tujuan menihilkan segala macam debat ihwal etika. Semua boleh asal tujuan terpenuhi. Segalanya halal sepanjang ada jaminan tujuan bisa direngkuh. Apakah itu dengan lobi-lobi di bawah meja, pertemuan tertutup di hotel-hotel, hingga transfer fulus ke rekening lawan politik.

Hari ini, ketika hidup tak lebih dari berhimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati, ketika politik tak lebih dari deklamasi dan tetek bengek pidato menjemukan kaum Sofis di Athena, Socrates kita ingat tak lebih seperti barang antik di museum yang kita kunjungi saat hari libur anak sekolah.

Di tengah hidup yang tak lebih dari berhimpun deadline dan saat politik tak lebih baik dari pidato-deklamasi kaum Sofis yang menjemukan, bisakah kita menemukan Socrates di lapangan hijau Athena? Ataukah Gerard, Peter Crouch, Xabi Alonsi, Kaka, Maldini dan Andrea Pirlo lebih tergoda memerlakukan final tahun ini dengan cara Bismarck?

Sepakbola adalah pengejawantahan dramaturgi dalam panggung yang lain. Tapi dalam sejarah sepakbola, kita mengenal ada drama yang menggairahkan dan ada juga drama yang menjemukan.

Final Piala Champions 2005 antara Liverpool dan AC Milan, final Piala Champions 1999 antara Mancester United dan Bayern Muenchen, adalah dua prototipe drama bola di pentas Piala Champions yang menggairahkan. Sementara final Piala Champions 2006 antara Barcelona versus Arsenal atau final Piala Champions 1995 antara AC Milan dan Ajax Amsterdam prototipe drama sepakbola yang menjemukan.

Sepakbola belakangan lebih mirip dunia politik. Keindahan dikalahkan oleh semangat memeroleh kemenangan. Kegairahan menggiring bola secara atraktif disingkirkan oleh tuntutan direksi klub yang lebih menginginkan trofi, karena jumlah trofi berbanding lurus dengan pemasukan dan laba.

Mestikah diherankan jika, misalnya, West Ham United menghinakan aturan main transfer demi mendatangkan Mascherano dan Carlos Tevez. Jangan heran juga jika Juventus, AC Milan, Lazio, dan Fiorentina lebih suka mendekati dan menyogok wasit ketimbang membiarkan Del Piero, Kaka, Di Canio, atau Luca Toni leluasa mengacak-acak pertahanan lawan. Mestikah diherankan jika Riquelme, yang gemar menguasai bola berlama-lama, ditendang dari skuad Yellow Submarine, Villareal, dan terpaksa mengepak koper dan terbang kembali ke kapung halamannya untuk bermain dengan River Plate.

Dalam praktik bermain bola, deretan fakta di atas seperti menegaskan apa yang dikatakan Sebastio Lazaroni, pelatih Brasil pada Piala Dunia 1990: “Sekarang bukan zamannya berindah-indah dengan bola!”

Ketika sepakbola modern makin pragmatis, taktis dan melulu menghamba pada hasil dan laba, sepakbola seperti kehilangan toleransi bagi para pemain yang hobi berlama-lama menguasai dan menahan bola.

Tetapi penonton punya kerinduannya sendiri, barangkali seperti kerinduan kita pada Socrates. Di tengah dahaga akan kemenangan dan tropi, penonton seperti masih menyimpan kerinduan untuk menyaksikan atraksi-atraksi ajaib para pemain bola.

Bagi sepakbola modern yang makin menghamba kepada bisnis dan hasil, pemain seperti Ronaldinho atau Riquleme yang senang mengolah bola seperti ditakdirkan menjadi antinomi bagi sepakbola modern. Pemain yang atraktif menggocek macam itu tak ubahnya seperti sepucuk puisi dalam masyarakat modern yang makin prosais.

Johan Cruyff, kapten Ajax Amsterdam yang merebut Champions pada 1976 dan kapten tim nasional Belanda yang gagal merebut Piala Dunia 1974, adalah pengejawantahan Socrates di lapangan hijau, yang lebih memilih bermain di garis prinsip sepakbola yang ia yakini, apa pun taruhannya.

Bersama Johan Neeskens dan Ruud Kroll, dan diotaki Rinus Michels (nabi mazhab total football), Cruyff memimpin Belanda melaju hingga final Piala Dunia 1974 di Jerman Barat. Di partai puncak, mereka berhadapan dengan tuan rumah, yang dikenal paling tahu bermain dengan cara sangkil dan mangkus, disiplin, kaku, dan karenanya layak disebut teknokratis.
Curyff dan Rinus Michels tahu bahwa jika ingin menang, mereka mesti berkompromi dengan keindahan mazhab total football dan bermain sedikit aman dengan membiarkan para gelandang bermain lebih ke dalam. Tapi mematok para gelandang pada satu posisi yang sedikit ajeg adalah pelanggaran terhadap prinsip total football yang menggariskan bahwa semua pemain adalah penyerang sekaligus bek. Semua bergerak turun ketika diserang, tak peduli dia adalah penyerang sekalipun. Semua-mua merengsek ke depan, tak peduli dia adalah seorang stopper sekali pun.

Belanda memilih untuk bermain sesuai prinsip sepakbola yang mereka yakini. Dan kita tahu, Belanda akhirnya tumbang oleh permainan sangkil dan mangkus ala panzer tim Jerman Barat. Usai pertandingan final yang memerihkan itu, Cruyff mengeluarkan pernyataan yang lebih mirip sebuah manifesto: “Kami memang kalah. Tapi kalah dalam keindahan.”

Kita berharap, Gerard, Crouch, Alonso, Kaka, Pirlo dan Seedorf mendengar harapan ini. Kita tidak ingin, para pemain Liverpool dan Milan bermain hati-hati dan menyibukkan diri dengan mengoper-oper bola di daerah pertahanan sendiri. Itu sungguh membosankan, sama membosankannya dengan pidato-pidato kaum Sofis di Athena yang penuh basa-basi. Kita berharap, para pemain Liverpool dan Milan melupakan lebih dulu bayangan trofi juara dan fokus bermain sesuai mazhab sepakbola yang mereka yakini.

Ya, bermain dengan prinsip mazhab masing-masing. Inilah the art of principle yang pernah ditunjukkan dengan sempurna oleh Johan Cruyff dan Rinus Michels pada final Piala Dunia 1974.

Kekalahan, asalkan bermain sesuai mazhab yang diyakini, setelah bermain dengan atraktif, menyerang dan indah, barangkali akan lebih dikenang ketimbang kemenangan macam Jerman Barat di final Piala Dunia 1990.

Mestikah diherankan jika orang masih mengenang Cruyff hingga kini, tapi berapa yang masih ingat pada Andreas Brehme yang mengeksekusi tendangan penalti yang memenangakan Jerman Barat atas Argentina pada final Piala Dunia 1990 yang menjemukan?

Federico Garcia Lorca, penyair Spanyol yang perlente nan klimis, dalam satu wawancara di New York pada 1928, pernah berkata: “Spanyol adalah satu-satunya tanah, di mana orang tidak bisa membayangkan hidup tanpa kematian.”

Socrates sudah menunjukkan lebih dulu bahwa Athena adalah salah satu tempat di mana orang bisa mendapatkan rujukan historis ketika membayangkan kematian dengan cara yang indah.
Saya tak tahu apakah Athena bisa mewujudkan mimpi saya atau tidak.

Selengkapnya......

Rabu, Mei 02, 2007

Maut Kamikaze

Saya tidak tahu apakah prajurit kerajaan Klungkung, Badung atau anak buah Ngurah Rai meminum arak Bali lebih dulu atau tidak menjelang digelarnya ritus maut Puputan.

Yang saya tahu, 39 tahun setelah Puputan di Badung dan 37 tahun usai Puputan di Klungkung, para pilot Angkatan Udara Jepang di wilayah Pasifik menenggak seseloki sake lebih dulu sebelum menabrakkan pesawat tempur yang dikendarainya ke sejumlah kapal induk Sekutu.

Lewat sebuah film dokumenter hitam putih yang dikeluarkan National Georgraphic, saya menyaksikan sekitar 7 pilot pesawat tempur Jepang berdiri melingkar. Usia mereka sungguh muda. Belum lewat 30 warsa. Di tengah-tengah mereka, berdiri seorang lelaki paruh baya. Dia tak mengenakan topi. Rambutnya tipis dan sudah mulai beruban. Dia tampak bicara sepatah dua kata. Sepertinya dia berasal dari pangkat yang lebih tinggi.

Di tangan mereka semua terdapat seseloki sake. Mereka menggenggamnya dengan mantap. Tiba-tiba, tujuh pilot muda itu secara serempak membungkukkan badannya ke depan.

“Haik!” teriak mereka serempak. Lelaki paruh baya yang sudah mulai beruban itu balas membungkuk. Dia mengangkat seloki berisi sake itu ke muka. Tujuh pilot muda melakukan hal yang sama. Dan secepat kilat, seloki sake itu sudah menempel di bibir masing-masing. Dan dalam sekali tenggak, tandas sudah sake yang tak seberapa itu.

Entah siapa yang memulai, tujuh pilot muda itu memberi hormat militer. Wajah mereka benar-benar tenang. Beberapa di antaranya tampak memerah mukanya. Tapi sungguh, saya tak menemukan secuil pun rasa gentar. Hormat militer pada atasan, mereka gelar tanpa sedikit pun rasa gemetar. Mantap betul gerak mereka ketika membalikkan badan.

Kamera kemudian berpindah fokus. Seorang pilot tampak menaiki tangga pesawat. Kamera sempat fokus pada langkah kaki yang satu per satu menyisiri anak tangga. Saya pastikan, sepasang kaki itu tak gemetar sama sekali. Semuanya terkendali, laiknya mereka sedang melakukan latihan sehari-hari saja. Tak tampak sedikit pun aura muram di momen-momen terakhir mereka menjemput el-maut.

Kamera kemudian berpindah ke udara. Sebuah titik hitam dari ufuk yang jauh bergerak mendekat. Makin lama makin kentara kalau titik hitam itu adalah sebuah pesawat. Fokus kamera mulai goyang. Sepertinya si pemegang kamera mulai melangkah mundur dengan gerak yang tergesa. Dari sekeliling, terdengar suara-suara teriakan.

“Shoot… shoot….!”

“Kamikaze! Kamikaze!”

Kamera masih mencoba fokus pada arah datangnya pesawat. Tiba-tiba, kamera bergetar hebat disertai suara dentuman keras. Dari arah kanan, melesat dengan cepat sebuah bola api. Tak sampai 5 detik, bola api itu sudah menghantam badan pesawat yang bergerak dengan kalap itu. Lagi-lagi terdengar suara dentuman hebat. Asap mengepul. Terlihat serpihan besi berhamburan.

Kamera lagi-lagi goyang. Kali ini tak disertai suara dentuman, tetapi sejumlah teriakan riang. Beberapa terdengar memaki.

Salah satu makian itu kira-kira berbunyi: “Matilah kau!”

****
Saya tidak tahu persis pada bulan apa adegan itu direkam. Yang saya yakin, itu berlangsung pada 1945. Kalau boleh mengira-ngira, sepertinya adegan itu berlangsung antara bulan Maret-Mei, di salah satu front pertempuran Pasifik.

Ketika itu, Jepang memang sudah terdesak di mana-mana, tak terkecuali di front Pasifik. Dari bukunya PK Ojong, saya tahu, kesulitan yang dihadapi balatentara Jepang di front Pasifik diperberat oleh terputusnya supai senjata dan bahan bakar. Sejumlah kapal perang di Filipina mangkrak di pelabuhan tanpa bisa diberangkatkan. Pesawat-pesawat tempur juga tak bisa diterbangkan dengan leluasa akibat kelangkaan bahan bakar itu.

Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba, balatentara Angkatan Udara Jepang yang sudah kehabisan bahan bakar dan senjata itu, menggelar sebuah operasi perlawanan yang tak pernah bisa dibayangkan oleh Sekutu: menggunakan manusia sebagai roket penghancur.

Caranya yaitu dengan menabrakkan pesawat udara ke kapal-kapal perang Sekutu. Beberapa di antaranya dengan menggdidikkan berhasil mengamblaskan diri dan pesawat yang dikendarainya ke dalam cerobong kapal Sekutu. Saya pernah membaca pengakuan seorang pilot Jepang yang tak sempat menunaikan tugas. Dia bilang, ada sekira 4000 pemuda Jepang yang baru melewai usia 20 tahun yang secara khusus dilatih untuk melakukan aksi nekat ini.

Strategi jibakutai ini, yang digelar oleh para pilot pemberani dan nyaris kalap yang kelak masyhur dengan sebutan pasukan Kamikaze itu, sempat membuat shock Sekutu. Seperti yang bisa kita baca dari memoar Jenderal Douglas McArthur, jenderal Inggris yang memimpin Sekutu di front Pasifik, Sekutu sama sekali tak menduga cara-cara nihilis macam Kamikaze akan dimaksimalkan Jepang yang sudah terdesak.

Keterkejutan ini juga mungkin nyaris sama dengan yang dialami CIA sewaktu tiga pesawat Boeing yang sudah diambilalih para teroris menabrakkan diri ke WTC. Dalam imajinasi paling liar para petinggi CIA, pilihan aksi “Kamikaze” macam Jepang musykil dimodifikasi sedemkian rupa oleh para teroris, apalagi dengan menabrakkan diri ke WTC, jantung sekaligus simbol peradaban kapitalis Amerika.

Keterkejutan Sekutu tak berlangsung lama. Lambat laun, aksi gila-gilan para pilot Jepang itu bisa diatasi. Seperti yang saya gambarkan di awal, kebanyakan pesawat Kamikaze itu sudah rontok sebelum mereka berhasil menabrakkan dirinya pada kapal Sekutu.

Tapi apa yang berlangsung pada episode penutup Perang Dunia II itu membuka salah satu tabir paling rahasia dari dunia Timur kepada Barat. Ya, aksi Kamikaze itu sedikit banyak menunjukkan bagaimana etos bangsa Jepang dalam memerlakukan tanah air, Kaisar dan harga diri.

Bagi balatentara Jepang, pengorbanan jiwa dan raga yang mereka lakukan merupakan manifestasi atas menyatunya konsep kecintaan terhadap tanah air dan Kaisar. Dan karena Kaisar dipercaya sebagai Putra Langit, keturunan langsung dari Amaterasu Omikami, maka kecintaan terhadap tanah air dan Kaisar menyatu sedemikian rupa dengan kepercayaan dan penghayatan mereka terhadap Yang Maha Transendental, Dewa Matahari, Sangkan Paraning Dumadi, Asal dari Segala Muasal.

Maka, pengorbanan jiwa para pilot Kamikaze tak sesederhana kecintaan dan pengorbanan terhadap tanah air. Dalam peta cacah kesadaran macam itu, peperangan untuk membela tanah air yang dipimpin seorang Kaisar yang merupakan Putra Langit, bisa dibaca sebagai sebuah ritual keagamaan.

Kekalahan Jepang adalah aib bagi tanah air, dan karenanya menjadi nila bagi Kaisar. Karena Kaisar adalah Putra Langit, maka kekalahan Jepang bisa menjadi “kekalahan Tuhan yang mereka sembah”.

Bagi seorang Jepang yang dalam struktur kesadarannya mengeram kuat kesadaran transendental macam itu, kekalahan Jepang di medan perang sama sekali tak bisa diterima karena itu sama artinya dengan keruntuhan struktur kepercayaan dan keimanan yang mereka yakini. Dan itu menjadi derita yang tak mungkin tertanggungkan bagi orang yang saleh dalam standar moral Jepang.

Atas dalih itulah rituah maut ala Kamikaze digelar secara kolosal. Sudah ratusan pesawat yang diterbangkan hanya untuk menabrakkan diri dengan kapal-kapal perang Sekutu. Satu per satu terbang. Satu per satu meledak. Satu per satu anak muda Jepang tewas.

Inilah salah cara memerlakukan kematian dengan cara yang indah, persis seperti yang dikatakan Gubernur Tokyo, Shintaro Ishihara (72), yang baru saja merampungkan naskah film tentang kamikaze. Ishihara, yang dikenal sebagai sisa semangat bushido yang masih hidup, menegaskan bahwa perngorbanan para pilot Kamikaze adalah pengorbanan untuk sebuah nilai yang bukan fisikal, melainkan nilai-nilai transendental yang tak kasat mata, tetapi menjalar dengan nyata di pembuluh nadi para pilot Kamikaze.

Berkat merekalah, kisah Perang Dunia II menyelipkan sebuah episode yang nyaris mendekati sebuah epik: tentang sebuah kematian yang digelar laiknya sebuah pentas teater.

Mestikah diherankan jika para veteran Jepang di Perang Dunia II menangis habis-habisan ketika satu dasawarsa setelah Perang Dunia II berakhir, tiba-tiba, Kaisar Hirohito melansir sebuah pernyataan yang menghentak: “Kaisar adalah manusia biasa, bukan Putra Langit!”

Kekecewaan, kesedihan dan tangis para vetaran Jepang bisa dimengerti karena jika benar Kaisar yang mereka bela hingga mati itu hanya manusia biasa, maka pengorbanan rekan-rekan mereka di front Pasifik menjadi sesuatu yang sia-sia, untuk tak menyebutnya absurd.

Dengan pernyataan itu, Kaisar telah membuat perjuangan para pilot Kamikaze menjadi tampak sepenuhnya sekuler.

Selengkapnya......