Selasa, April 17, 2007

Requiem Tanpa Partitur

Pagi ini saya terbangun dan langsung menyadari bahwa umur saya sudah mencapai seperempat abad. Saya tak tahu apakah saya sudah pantas untuk disebut tua.

Saya merayakan kelahiran dengan mendengarkan komposisi yang menyayat dari Mozart. Komposisi yang dibuat Mozart beberapa saat menjelang kematiannya itu sengaja saya pasang sebagai backsound blog ini. Simaklah satu dari sedikit komposisi yang diakui sebagai salah satu puncak kreativitas anak manusia di dunia musik. Dengarkanlah komposisi yang masyhur dengan sebutan "Introitus: Requiem" ini.

Seharian ini saya menyimaknya dengan takzim. Tak ada lilin yang aku tiup. Tak ada tart yang dipotong. Tak ada tumpeng yang dipangkas pucuknya. Tak ada siapa-siapa. Tanpa pesta. Tanpa keriuhan. Tulisan ini pun disusun tanpa rencana. Ibarat komposisi, ini adalah komposisi tanpa partitur. Hanya ada saya dan notebook yang terus menerus mengumandangkan panggilan ajal dari Requiem-nya Mozart.

Komposisi Requiem dibuat Mozart tanpa alat tulis. Ia hanya menggumam dan bersenandung lamat-lamat. Seorang lelaki paruh baya yang setia menemaninya di tepi ranjang mencatat semua gumaman dan senandung Mozart. Lelaki itu tahu kalau Mozart sedang memersiapkan kematiannya sendiri. Mozart sedang menyiapkan sebuah kado perpisahan yang agung dan khidmat. Kado itu bahkan baru tuntas separoh karena el-maut keburu dini menjemput ajal Mozart.

Sudah tiga minggu ini Requiem yang baru separoh dituntaskan Mozart itu menjadi backsound blog sederhana ini. Berkali-kali sudah saya mendengarnya. Dan tak bosan-bosan saya mendengarnya. Tapi, khusus hari-hari belakangan ini, komposisi agung Mozart ini menyuarkan aura yang lebih kelam dari biasanya. Tiap kali memasuki refrain, suara para penyanyi yang melengking tipis itu seperti jeritan orang-orang yang sedang menikmati kesenyapan dunia baka. Kadang saya seperti mendengar jeritan orang yang terpanggang di neraka.

Di hari kelahiran ini, Requiem Mozart justru lebih menguarkan aroma kematian ketimbang hari-hari sebelumnya.

Tentu saja ini ganjil. Perayaan hari kelahiran biasa dibanjiri doa-doa panjang umur. Tapi, jujur saja, akal sehat saya sedang tidak bisa menerima bagaimana perayaan hari kelahiran yang jelas-jelas menandai berkurangnya ruas kehidupan justru dikhidmati dengan upacara dan doa panjang umur. Jelas-jelas usia berkurang.

Alih-alih mencoba membayangkan hidup yang panjang apalagi kekal, bagi saya, jauh lebih masuk akal perayaan hari kelahiran dihayati dengan cara memikirkan kematian. Bisa jadi itu lebih produktif. Bisa jadi itu justru membuat manusia sedikit menjadi lebih waras.

Saya tidak tahu apakah saya benar atau tidak.

Yang saya tahu, tahun-tahun berlalu dengan begitu cepat. Sejumlah peristiwa dan kenangan tertinggal di belakang. Ada ribuan janji yang terlaksana dan terabaikan. Ada ratusan kisah kesetiaan dan pengkhianatan. Rangkaian perkisahan yang kadang diselimuti kesenyapan tapi kerap pula diselubungi keriuhan yang memekakkan.

Jika rerata harapan hidup manusia Indonesia hanya 67 warsa, ini artinya, sudah sepertiga lebih waktu hidup yang kureguk. Sepertiga pertama ini setengahnya kuhabiskan dengan mencicipi manisnya menjadi anak-anak, seperempatnya kutandaskan sebagai remaja bangor yang mencobai sejumlah pengalaman baru yang terlarang untuk anak-anak, dan seperempat terakhir kuhabiskan dengan menjajal seperti apa rasanya menjadi lelaki dewasa. Dan sebagai manusia yang baru menikmati menjadi lelaki dewasa, sungguh saya tidak tahu, masih berapa dosa lagi yang belum dicicipi.

Sekali lagi, jika menggunakan rerata harapan hidup manusia Indonesia, masih ada sisa 37 tahun lagi saya bisa menjilati remah-remah hidup sekaligus mengendusi segala madu dan racun dunia. Tapi bagaimana jika ternyata umur saya tak sepanjang itu? Bagaimana jika, misalnya, umur saya hanya sampai umur 27?

Soe Hok Gie wafat pada usia 27 kurang sehari. Chairil Anwar juga mati pada usia 27. Begitu juga Kurt Cobain dan Jim Morisson. Dan ribuan anonim lain yang juga tumpas pada kisaran usia serupa.

Saya bukan siapa-siapa. Bukan aktivis, bukan penulis, apalagi musisi. Tapi karena kematian bisa datang kapan saja, tanpa pandang bulu, waktu dan pekerjaan, tak bisa tidak saya masih memendam kekhawatiran soal maut yang terlalu cepat datang menjemput.

Saya khwatir, terus terang saja. Karena masih banyak janji yang belum ku tunaikan. Masih ada sejumlah rencana yang belum ku lunaskan. Sederet hasrat masih antri di daftar tunggu. Senarai keinginan masih mangkrak di buku agenda.

Tentu saja nyali ini mengkeret juga memikirkan sederet dosa yang melintang di dahi dan bayangan bau gosong belulang yang terpanggang di neraka. Sungguh, pendosa ini juga punya rasa gentar. Dan hari ini saya tak ingin tampak perkasa, apalagi sok-sokan menutupi gemetarnya saya tiap kali ingat dan memikirkan keabadian.

Saya orang yang percaya pada kehidupan ba’da kematian, setidaknya kehidupan dalam bentuknya yang paling murni: kehidupan rohani, ruh, jiwa, soul, atau apa pun namanya. Saya percaya bukan semata karena hingga detik ini saya masih merasa sebagai umat dari salah satu agama samawi, tapi saya percaya benar bahwa energi memang tak bisa dimusnahkan, seperti yang pernah saya dengar dari guru ilmu alam di masa SMP dulu. Ya, energi tak bisa diciptakan dan tak bisa dimusnahkahkan. Itulah satu-satunya hukum fisika yang masih nyangkut di kepalaku yang penat ini.

Manusia, berikut seonggok wadag dan sebentuk ruhaninya, adalah energi. Dia tak bisa musnah. Sebagai energi, manusia hanya akan bersalin rupa ke dalam bentuknya yang lain. Dan manusia dalam bentuknya yang lain akan hidup dalam medan energi yang juga berbeda dengan sekarang.

Saya tidak tahu apakah medan energi tempat “manusia-energi” kelak yang sudah bersalin rupa itulah yang dikenal sebagai akhirat. Tapi yang pasti, “medan energi” yang baru itu, akhirat atau apa pun namanya, pasti juga memiliki hukum-hukum kehidupannya sendiri, yang jelas berbeda dengan “hukum kehidupan” dalam medan-energi masa kini yang disebut dunia. Saya sungguh tidak tahu seperti apa hukum yang mengatur pergerakan “manusia-energi” yang sudah bersalin rupa itu.

Pada terra incognita inilah, pada lubang hitam yang belum terjelaskan inilah, jejak-jejak pelajaran agama yang dulu mengisi helai demi helai kesadaranku mengambil alih penjelasan. Dan karena itulah maut masih membuatku gemetar. Juga gentar.

Maka, jika memang bertumpuk dosa yang menempel di jidat ini terlalu menumpuk untuk dihapus dalam sisa waktu hidupku, baiklah, saat ini juga saya tancapkan satu sumpah: akan saya hadapi sisa hidup yang singkat ini dengan tidak merugikan orang lain!

Jika tidak taat pada ritus peribadatan artinya sama saja dengan merugikan Tuhan, biar Tuhan saja yang saya rugikan. Dengan itu, setidaknya, urusan saya menjadi sedikit lebih sederhana: cukup saya meminta ampun pada Tuhan. Soal ampunan itu turun atau tidak, itu bukan hak prerogratif saya lagi.

Asalkan saya tak melukai orang lain, tak menggores orang lain, tak mencederai orang lain, urusan menjadi lebih sederhana ku pikir. Urusan menjadi lebih sederhana karena mencederai orang lain adalah perkara yang lebih rumit ketimbang muergikan Tuhan. Kita mesti minta ampun pada Sang Pemberi Hidup setelah sebelumnya kita meminta maaf pada mahluk hidup yang kita ccederai. Ampunan dari Sang Pemberi Hidup pun hanya bisa turun jika ampunan dari mahluk hidup yang kita cederai sudah kita terima. Ribet bukan?

Sungguh saya tak sedang menantang-nantang. Kesadaran akan usia yang menyentuh seperempat abad telah membuatku terlau sentimental untuk kembali congkak dan pongah. Setidaknya untuk hari ini ketika coretan abu-abu ini sedang kurampungkan.

Saya sedang tak bisa membuat coretan ini menjadi lebih kaya dengan kutipan puisi atau aporisma dari para filsuf atau kyai atau seorang sufi. Buku-buku yang sudah kubaca dan film-film yang sudah kulahap entah di mana dan seperti apa kabarnya. Mereka tak akan banyak menolong sepertinya.

Ya, saya sedang menikmati kembali menjadi manusia yang sepenuhnya diisi rasa gentar. Saya biarkan rasa gentar itu melimpah ruah memenuhi pikiran dan jiwaku. Ku biarkan rasa gentar itu meluber dan membuat kosmik menjadi berubah 180 derajat dalam pandanganku.

Sayangnya saya tak yakin kalau rasa gentar dan gemetar ini bisa membebaskan. Jadi, kubiarkan saja rasa gentar dan gemetar ini menyelimutiku barang beberapa kerjap waktu sahaja. Mungkin satu jam, mungkin sehari, mungkin seminggu. Yang pasti, jika saya rasa sudah cukup, akan kusingkirkan sehelai demi sehelai rasa gentar dan gemetar ini.

Sebab saya tak ingin dikendalikan rasa gemetar. Sebab saya tak ingin dikuasai rasa gentar. Sebab masih banyak pekerjaan yang mesti saya tuntaskan. Sebab masih banyak hutang yang mesti kulunaskan. Sebab masih banyak agenda yang mesti ku tandaskan. Sebab masih banyak rencana yang mesti kuselesaikan. Sebab masih banyak hal yang belum aku catat.

Dan di atas itu semua, bukan kematian benar yang membuat risau. Tapi bayangan mampus dengan meninggalkan sederet janji, rencana dan kerja yang masih teronggok itu yang pasti membikin roh ku masygul.

Hidup memang tak lebih dari sehimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati. Duh, betapa sangsainya hidup pendek yang gagal diisi.

Selengkapnya......

Kamis, April 12, 2007

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (VI)

Pungkasan

Saya ingin katakan sejujurnya bahwa dengan mencoba tahu hubungan guru-murid, saya menjadi “maklum” kenapa, misalnya, dalam tradisi pesantren seorang kyai bisa begitu dihormati dan ditaati. Titahnya didengarkan sepenuh hati. Apa pun yang disentuh atau pernah disentuh sang kyai bisa menjadi barang keramat.

Orang-orang yang lahir dan hidup dari tradisi yang 180 derajat selisihnya dengan model jalan sufi, seperti saya ini contohnya, akan sukar mengerti hal ini. Ada kesenjangan kebudayaan dengan selisih jarak yang tak sedikit yang membuat hubungan guru-murid dalam tradisi pesantren akan susah mengerti. Dari selisih jarak kebudayaan inilah dakwaan ihwal feodalisme dan otoritarianisme hubungan guru-murid di pensatren bertebaran di mana-mana.

Tentu saja dakwaan itu tidak selalu keliru. Tapi karena dakwaan itu lahir dari cara baca yang belum sepenuhnya paham kultur dan struktur mental dunia pesantren, dakwaan itu kadang gagal meng-cover dimensi lain dalam hubungan guru-murid di pesantren selain sekadar feodalisme dan otoritarianisme saja.

Barangkali ini seperti pandangan orang-orang Barat dulu yang pernah menyebut kolonialisme sebagai proyek pemeradaban dunia Timur yang bar-bar dan jahiliyah. Keduanya sama dalam arti bahwa keduanya digerakkan oleh semangat universalisme: bahwa ada satu nilai yang berlaku universal dan dari nilai itulah semua gestur dan tekstur kebudayaan bisa dibaca, dijelaskan, dan jika mungkin dibentuk ulang.

Universalisme kebudayaan adalah jalan pintas yang dengan mudah menenggelamkan local genius.

Tapi bukan berarti saya sudah sepenuhnya mengerti. Itulah sebabnya di paragraf pertama bagian ini saya menyebut kata “maklum”. Ya, saya hanya bisa bilang sedikit maklum, karena saya tidak sepenuhnya yakin kalau saya sudah mengerti. Juga dalam hal sufisme. Saya sangat yakin, saya belum mengerti apa-apa dalam soal jalan sufi. Sebab jalan sufi bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari lewat buku, sesuatu yang sayangnya baru bisa saya lakukan.

Sufisme adalah dzawq. Cita rasa. Jika kita tidak mencicipi langsung kita tak akan pernah menegerti rasa sebuah makanan. Jika saya tidak bisa merasakannya langsung, itu bukan sufisme, tetapi pantulan cermin dari sufisme atau sebuah bayangan saja.

Itulah sebabnya saya ingin menyebut seri tulisan sufi ini sebagai sebuah “Peta Buta Hubungan Guru-Murid dalam Tradisi Sufi”. Ya, hanya sebuah peta buta. Mudah-mudahan tidak menyesatkan.

Selengkapnya......

Senin, April 09, 2007

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (V)

Penerobosan ke Dalam

Di awal penulisan seri esai sufi ini, saya sempat bertanya pada simbok: "Mbok, ada nggak saudara atau leluhur kita dari garis ibu yang dikenal atau pernah mengakrabi jalan sufi atau tarekat atau apalah yang macam itu?”

Simbok mulanya hanya diam. Dia yang memang lahir dari keluarga yang dikenal kuat tradisi Islam-nya, mahasiswi IAIN yang drop out dan akhirnya menjadi guru agama Islam di SD, akhirnya kurang lebih menjawab begini:

“Jika pertanyaan itu berarti sebuah pernyataan bahwa kamu tertarik dengan jalan sufi, maka pertanyaan itu menjadi awal yang baik. Karena jelas, sebaiknya kamu punya guru yang bisa membimbingmu.”

Mbok, jelas anakmu tak sedang ingin menjadi seorang sufi. Jalannya terlalu terjal, mbok. Lagipula, saya, anakmu ini, masih suka pacaran, merokok dan nongkrong-nongkrong. Tetapi setidaknya, paparan ringkas Simbok saya itu menjadi titik awal dari penulisan bagian ini.

Dan memang sejauh saya mengetahui, termasuk dari ibu saya, dalam tradisi sufi, peran guru memang mutlak diperlukan. Tidak hanya karena jalan mistik ini demikian terjalnya, tetapi karena menempuhi tetapak jalan penyatuan dengan Sang Maha Kekasih itu sendiri membutuhkan ketekunan, tekad baja, dan keikhlasan untuk melakoni satu demi satu jenjang spiritualitas dan pengalaman mistikal, termasuk untuk tekun dan ikhlas melewati satu demi satu latihan dan penggemblengan.

Michaela Ozelsel, penulis buku Spootlight dan Forty Days: The Diary of a Traditional Solitary Sufi Retreat, menyebut bahwa di atas semua latihan dan gemblengan spiritual, guru tetap menjadi sebuah sentral yang penting. Guru, kata Ozelsel, mewujudkan pengajaran sebagai representasi tradisi sebagai sesuatu yang hidup.

Guru saya, kata Ozelsel, “mengambarkan peran guru dengan analogi: Anda bisa memberi pertolongan pertama pada diri anda, dengan memasang perban pada luka. Tetapi Anda tidak bisa mengoperasi diri sendiri.”

Guru adalah orang yang bisa melakukan dan membawa muridnya pada momen, dalam istilahnya Ozelsel, “penerobosan”, atau dalam kata-kata gurunya Ozelsel, “mengoperasi”. Dua frase itu, “penerobosan” dan “mengoperasi”, membawa kita pada imaji akan sebuah gerak atau laku yang menerabas kulit, luaran, sesuatu yang kasat mata; untuk kemudian menemui dan menemukan sesuatu yang tak kasat mata dari luar tetapi begitu indahnya jika sudah berada di dalam.

Tanpa guru, “penerobosan” itu menjadi kerja yang yaris musykil, sebab orang memang tak bisa “mengoperasi” dirinya, kecuali jika ingin gunting operasi menyayat bagain-bagian penting yang bisa membikin sekarat. Itulah sebabnya, Rumi, pernah menulis salah satu parafrasenya yang termayhur: “Siapa yang bepergian tanpa pemandu, niscaya memerlukan dua ratus tahun untuk perjalan sehari dua hari.”

Seorang guru sufi tak akan pernah mengajak muridnya langsung pada momen-momen krusial penyatuan, selain karena itu tidaklah mungkin, hal itu juga bisa berakibat fatal pada keselamatan fisik dan spiritual muridnya.

Seorang yang baru mulai berlatih diri di jalan sufisme ibarat orang yang sepanjang hayatnya hidup dalam sebuah ruangan yang gelap, pengap dan tanpa cahaya. Membiarkan atau mendadak mengajak seorang murid hanya dalam hitungan detik ke luar ruangan yang gelap itu, menuju tempat di mana matahari sedang terang benderang memanggang bumi, tidak hanya akan membuat sang murid kaget, tetapi bisa membuat mata murid itu menjadi buta seketika.

Karenanya dibutuhkan sejumlah penggemblengan. Dan itu dilakukan bertahap, pelan tapi pasti. Selain untuk melatih kesabaran, keikhlasan, dan tekad kuat, penggemblengan itu juga diperlukan untuk secara bertahap menanggalkan kedirian dan egoisme sang murid. Jika kedirian dan ego itu masih kuat melekat, itu berarti kehidupan dunia dengan segala jebakan hasrat masih belum sepenuhnya enyah dari hati dan dari kesadaran sang murid.

Guru adalah orang yang pelahan-lahan mengelupaskan ego dan kedirian itu. Dalam kata-kata seorang guru Naqsyabandiah, “Seorang guru sufi bertugas membuka kulit kebodohan yang menutupi diri sang murid. Sang guru hanya membersihkan karat-karat yang telah menutupi sumber cahaya yang terdapat dalam hati sang murid. Guru sufi tak memberi apa pun; ia hanya melepaskan sesuatu."

Dalam jalan sufi, jangan berpikir bahwa tujuan bisa dicapai tanpa seorang guru. Menempuh jalan sendirian sangalag beresiko karena sekali kehilangan jejak, ancamannya adalah tersesat. Karena jalan sufi adalah tetap jalan yang bercabang-cabang, penuh kelok dan jebakan, seorang guru menjadi perlu karena ia bisa menjadi pemandu yang mengetahui jalan mana yang mesti ditempuh, karena sang guru adalah orang yang pernah melalui jalan itu sebelumnya.

Selengkapnya......

Sabtu, April 07, 2007

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (IV)

Kekuatan Silsilah

Fokus sepenuhnya pada sosok sang guru tetap menjadi mutlak betapa pun sang guru tak ada di hadapan mata secara fisik.

Johan Ter Haar, sewaktu meneliti hubungan guru-murid dalam tarekat Naqsyabandiah, menemukan istilah rabitah dalam vokabulari tarekat itu. Istilah itu merujuk pada laku seorang murid yang secara terus menerus bertatap muka dengan sang guru dalam pikirannya. Itu dilakukan tidak hanya agar dia bisa mencapai derajat kepatuhan yang total pada sang guru tetapi yang jauh lebih penting adalah agar sang murid tetap merasa kalau dirinya sedang merasa bersama gurunya.

Jika murid bisa terus memelihara laku itu secara konstan dan khidmat, ia akan sampai pada tahap di mana ia akan selau merasa dekat secara batin dengan gurunya yang secara fisik tak ada di samping atau di hadapannya dengan cara menyebut terus menerus, dengan berulang- ulang, penaka sedang berzikir, nama sang guru.

Itulah sebabnya silsilah para guru/mursyid dalam sebuah tarekat menjadi persoalan yang krusial. Silsilah para guru itu memiliki makna simbolis yang sangat penting karena silsilah itu memberikan semacam saluran menuju otoritas yang tertinggi, Sang Maha Puncak, lewat medium tradisi horizontal. Sedemikian pentingnya silsilah itu sehingga dalam sejumlah tarekat penulisan silsilah dan nama-nama leluhur guru mereka menjadi ritual yang punya kapasitas menjadi aktivitas yang sakral; menjadi semacam latihan spiritual.

Muhammad Taqi Ali Qalandar Kakorawi, seorang sufi dari India yang hidup pada abad 18, pernah memberi tuntunan atau cara teknis mengingat guru lewat melafalkan nama sang guru.

Katanya, “Seorang murid, setelah mendapatkan nama-nama mursyid sebelum mursyidnya sendiri (berarti eyang gurunya) dalam sebuah tarekat yang dia ikuti, perlu menghafalnya hingga kepada Nabi Muhammad. Ini adalah salah satu syarat yang mesti dipenuhi oleh pencari di jalan ini….

Jika dia tidak berhasil menghadirkan hati dalam meditasinya dengan baik, maka yang pertama-tama harus diingatnya adalah mursyid-nya. Jika dia masih belum berhasil juga, dia harus mengingat guru dari gurunya. Demikian seterusnya, hingga jika perlu sampai kepada Nabi Muhammad.”

Dalam tradisi sufi, seperti yang sudah saya contohkan di atas, ketidakhadiran sang guru secara fisik sama sekali bukanlah alasan untuk melupakan dan tak mengingat-ingat gurunya. Sejumlah tarekat sufi bahkan meyakini bahwa penahbisan seseorang menjadi orang suci akan makin sempurna jika ia dibai’at seorang mursyid yang secara fisik sudah tak ada alias sudah meninggal.

Tareqat Naqsyabandiah dikenal sebagai salah satu tarekat yang punya kedekatan dengan tradisi pembai’atan oleh guru yang sudah meninggal. Tarekat ini punya istilahnya sendiri untuk menyebut fenomena pembai’atan secara gaib itu lewat kata “uwaysi” yang berarti pembaiatan yang tidak hanya dilakukan oleh guru yang masih hidup melainkan juga oleh guru yang sudah wafat atau bahkan oleh Nabi Khdir langsung.

Menurut Khwaja Muhammad, murid Baha al-Din Naqsyabandi, banyak syaikh Naqsyabandi turut serta uwaysi. Istilah uwaysi, lanjutnya, menunjuk pada para wali Allah yang secara lahir tidak memerlukan guru secara fisik, karena Nabi Muhammad menghargai mereka yang menjadikan bilik pribadinya tempat penempaan spiritual, tanpa melalui perantara dari siapa pun.

Tetapi pengertian uwaysi yang merujuk pada, salah satunya, pembaiatan oleh Muhammad langsung sedikit sekali bisa dibenarkan, karena jika pun ada kasus seperti itu, orang percaya itu hanya menimpa segelintir orang saja. Menurut Abdurrahman Jami, contoh pembaiatan langsung oleh Muhammad, Sang Maha Guru Sufi, dialami oleh Jalaluddin Abu Yazid Purani (wafat 1457/58). Syaikh Ahmad Sirhindi juga pernah mengaku dibaiat langsung oleh Muhammad.

Karena saking jarangnya, maka istilah uwaysi biasanya hanya merujuk pada pembaitan yang dilakukan oleh syaikh/mursyid/guru yang sudah wafat. Dalam periode sejarah awal Nqasyabandiah, pembaiatan oleh guru yang sudah mendiang dipercaya dialami oleh Abu Yazid al-Bustami (wafat 875 M) yang dipercaya dibaiat oleh Ja’far as-Shadiq (wafat 1029 M) dan juga dialami oleh Abu al-Hasan Kharaqani yang dibaiat oleh mendiang al-Bustami.

Tipe pembaiatan seperti ini jelas menjadi faktor yang menentukan Naqsyabandiah dan karena itu bisa menjelaskan bagaimana aspek-aspek sentral identitas itu diperkenalkan. Tetapi pada saat yang sama, pembaiatan oleh guru yang sudah mendiang melalui kontak spiritual mengakibatkan sejumlah sikap ketidaktundukkan pada guru yang masih hidup.

Baha al-Din Naqsyabandi juga menjadi orang yang mengelaborasi gagasan tentang pembelajaran spiritual itu ke dalam praktik kehidupan sufi. Seperti yang diulas oleh Ter Haar, Baha al-Din Naqsyabandi menyebut “kehadiran spiritual” seorang guru sebagai kekuatan yang dapat dicapai seorang sufi. Dia mendefinisikan konsentrasi (tawajjuh) dalam “kehadiran spiritual” mendiang guru sebagai maqam, yaitu sebuah tahap perjalanan mistik yang dapat diperoleh seorang salik (penempuh jalan mistik) lewat ikhtiarnya sendiri.

Selengkapnya......

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (III)

Yang Berjalan di Atas Air

Lewat kisah hidup Rumi itulah saya pelan-pelan mulai mengerti kenapa ksatria yang belajar memanah itu dengan sengaja membuat dan mendirikan patung Durna di tempat di mana ia sehari-hari berlatih memanah. Kata kuncinya adalah “kehadiran” (presence).

Seperti yang sudah sepintas saya paparkan, bagi seorang murid, setidaknya dalam kasus Rumi dan si ksatria itu, kehadiran seorang guru adalah syarat mutlak dalam sebuah prosesi pembelajaran; pembelajaran untuk mencapai tingkat keahlian tinggi dalam hal penah-memanah bagi si ksatria dan proses pencapaian tingkat spiritualitas yang makin meninggi dan penghayatan atas mistisisme yang kian mendalam dalam kasus Rumi.

Tampaknya nyaris dipastikan bahwa “kehadiran” Durna dalam kasus sang ksatria adalah sesuatu yang mutlak, karena tanpa kehadiran Durna tidak hanya sang ksatria itu akan melorot kepercayaan dirinya, absennya sang guru juga akan membikin semesta pembelajaran itu menjadi tak komplit.

Sementara dalam kasus Rumi, tampak jelas bagaimana ringkihnya mental dan spiritualitas Rumi sewaktu ditinggal lenyap Syams. Bagaimana Rumi mendadak kehilangan sentuhan magis-puitiknya sewaktu untuk meneruskan menulis Mastnawi sewaktu Hisyamuddin tak disampingnya selama sekian pekan.

Tetapi kemudian ada yang masih mengganjal dari kisah ksatria yang belajar memanah itu. Jika Rumi tampak wajar bisa menyerap energi spiritual dan mistisisme seorang Syams karena memang Rumi berinteraksi langsung dengan sang guru, maka fragmen Mahabharata ihwal kesatria yang belajar kepada patung Durna dan sukses mencapai tingkat keahlian memanah yang sama baiknya dengan ksatria yang secara langsung berguru pada Durna, menjadi menarik untuk dipersoalkan.

Apa gerangan yang membuat kehadiran hanya sebiji patung bisa sama harga dan efeknya dengan kehadiran langsung seorang guru? Apakah ini hanya terjadi dalam sebuah kisah epik saja?

Saya baru menemukan hal yang sama ketika dua tahun silam saya sempat membaca tulisan seorang anggota tarekat Naqsyabandiah. Saya lupa judul bukunya apa. Di cari-cari di rak buku pribadi juga tak tampak lagi buku itu.

Saya bisa kembali memanggil ingatan saya yang sudah retak-retak tentang buku anggota tarekat Naqsyabandiah itu setelah saya membaca buku karangan Carl W. Ernst, The Shambala Guide to Sufism. Salah satu bagian paling menarik dari buku itu juga memaparkan keunikan hubungan guru-murid dalam tradisi sufi, baik hubungan guru-murid dalam sebuah tarekat maupun yang tidak terikat pada satu tarekat.

Di bukunya, Carl W Ernst menyebut kalau asal-usul eksperensial institusi-institusi sosial sufisme adalah dari hubungan guru-murid atau mursyid-murid. Mursyid juga disebut sesepuh (syaikh dalam bahasa Persia). Orang yang belajar kepada mursyid disebut murid, artinya orang yang berhasrat, sementara sang mursyid sendiri disebut murad atau orang yang kepadanya ditujukan hasrat.

Tidak semua orang bisa menjadi seorang guru sufi. Seorang yang punya derajat spiritual tinggi dan penghayatan mistikal yang mendalam belum tentu bisa menjadi seorang guru sufi. Menurut Baha al-Din Naqsyabandi, pendiri tarekat Naqsyabandiah, mereka yang telah mencapai titik akhir perjalanan mistik, mereka yang sudah sempurna iman dan suci spiritualnya, terbagi ke dalam dua kelompok.

Pertama, mereka yang sempurna tetapi tidak dibebani tugas untuk mengantarkan orang lain kepada kesempurnaan spiritual. Orang seperti ini biasanya terbenam sedalam-dalamnya dalam buaian “samudera kesatuan” (bahr-i jami’) dan menghilang dalam kefanaan. Ibarat orang yang sudah tak sadarkan diri, bagaimana bisa ia memerhatikan orang lain?

Kedua, mereka yang memiliki sifat “sempurna lagi menyempurnakan” (kamil-mukammilan). Kendati sudah menyelam dalam “samudera kesatuan” dengan Sang Maha Kekasih, mereka mampu muncul kembali dari kefanaan dan lantas menyusuri “pantai kefanaan”. Orang seperti ini, kata Yakub Charqi, adalah guru yang tidak saja memiliki kesempurnaan diri tapi juga mengantarkan orang lain kepada kesempurnaan sebagai orang yang teriluminasi (nurani) serta mengiluminasi (nurbakhsy).

Para Pencari Cinta, orang-orang yang memilih laku sufistik, biasanya akan mencari orang-orang suci macam yang kedua itu untuk dijadikan guru/mursyid. Pencarian terhadap guru yang sejati, guru sempurna lagi menyempurnakan, sering kali menghabiskan waktu yang tak sedikit, pengorbanan yang tak secuil, dan kerelaan untuk terus-menerus mencari sampai guru sejati itu akhirnya tampak dan menampakkan diri.

Selama proses pencarian, bukan hil yang mustahal jika Si Pencari Cinta itu akan menemukan guru yang bukan sesungguhnya guru, guru yang bukan guru sejati. Pecinta yang teguh biasanya tak akan menyerah kalah karena biasanya dia tahu bahwa itu adalah satu tonggak pengujian dan penyucian diri.

Hazrat Inayan Khan menjanjikan bahwa tak perlu takut untuk tak menemukan seorang guru sejati. Sebab, kata Inayat, “guru sejati adalah kebenaran. Dan jika orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, cepat atau lambat akan menemukan seorang guru sejati. Lalu andaikan seseorang berhubungan dengan guru yang salah, lalu apa? Lalu yang sejari akan mengubah guru yang salah itu menjadi guru sejati.”

Ada kisah di kalangan Tarekat Naqasyabandiah tentang bagaimana gigihnya Salman al-Farisi pergi mencari Nabi Muhammad, Sang Maha Guru Sufi. Satu kali Salman al-Farisi, yang berasal dari Persia, mengetahui dari buku yang telah dibacanya dan melalui suatu tanda-tanda yang muncul di gugusan bintang, bahwa bahwa Rasul terakhir telah muncul di Mekkah. Salman tahu bahwa akan terjadi suatu peristiwa besar di dunia ini. Dan dia khusyuk berniat ke Mekkah. Untuk pergi ke sana, dia menjual dirinya sebagai budak kepada beberapa orang yang pergi ke Mekkah, dan mengiringi unta milik orang yang membelinya sepanjang 5.000 mil dari Persia ke Mekkah untuk bertemu Rasulullah.
Seperti ditunjukkan Salman al-farisi, sama sekali tak mengejutkan jika seorang Pencari Cinta yang gigih akan memertaruhkan semuanya untuk dan sewaktu ia dipertemukan dengan guru yang sejati. Pertaruhan total itu berarti juga ketaatan yang nyaris total; model ketaatan yang nyaris tanpa batas. Total sepenuh-penuhnya.

Sebuah contoh totalitas ditunjukkan seorang murid terhadap gurunya bisa disimak dari kisah yang dipercaya dialami oleh sufi besar Abu Yazid al-Bistami. Suatu ketika, al-Bistami yang sedang duduk di ujung kaki gurunya disuruh mengambilkan buku yang tergeletak di dekat jendela. Al-Bistami kebingungan dan linglung mencari di mana jendela itu berada, padahal jendela yang dimaksukkan gurunya ada begitu dekatnya.

“Kamu sudah di sini dalam waktu yang lama, masak tak tahu di mana jendela?” tanya sang guru.

“Tidak,” balas al-Bistami. “Apa yang perlu saya kerjakan terhadap jendela itu? Ketika saya ada di hadapan engkau, saya menutup mata terhadap segala sesuatu yang lain. Saya datang ke sini tidak untuk melihat-lihat.”

Kabarnya, begitu mendengar jawaban al-Bistami, sang guru langsung menyuruhnya pulang karena al-Bistami dianggap sudah tuntas melaksanakan tugas dan memelajari laku sufistik darinya.

Konsentrasi habis-habisan seorang al-Bistami terhadap gurunya membuat kisah Rumi dengan Syams menjadi tampak lumrah. Sebab bagi murid seperti Rumi, tak ada yang lebih penting selain sang guru. Keluarga, murid, nama besar, gelar akademik dan prestise di mata masyarakat Konya sama sekali tak ada harganya dibandingkan kebersamaan dengan sang guru.

Di dalam kedekatanya dengan sang guru, murid tidak hanya mendengarkan semua kata-kata yang diucapakan sang guru, melainkan juga harus mengkhidmatinya, tanpa membantah, dan lantas melaksanakannya dengan ikhlas dan penuh kepercayaan bahwa apa yang dititahkan sang guru sebagai hal yang tidak hanya mutlak tetapi juga akan membawa dirinya naju setapak demi setepak makin mendekati kebenaran dan penyatuan dengan Sang Maha Kekasih.

Ketidaktaatan dan ketidakpercayaan terhadap sang guru, tidak hanya membuat hubungan guru-murid menjadi tercederai, tetapi bahkan menghancurkan esensi terdalam dari hubungan guru-murid itu. Jika itu sampai terjadi, maka gamblang terpapar bahwa sang murid belum sepenuhnya menanggalkan ego dan melepaskan segenap-ganjil atribut-atribut kemanusiaannya.

Ada sebuah kisah yang bisa dijadikan tamsil ihwal akibat dari ketidaktaatan murid pada gurunya. Satu ketika, Syaikh Junayd hendak menolong seseorang yang sedang menunggu kapal yang akan menyeberangkannya ke seberang. Junayd berjanji akan membantu menyerbangkannya dengan syarat orang tersebut mengucapkan apa yang diucapkan oleh Junayd sepersis-persisnya.

Junayd lantas menggamit orang itu dan mulailah mereka berjalan di atas air. Junayd mengucapkan, “Allah yang Maha Kuat… Allah yang Maha Kuat…”, sementara orang yang digamit Junayd mengikuti ucapan itu sepersis-persisnya.

Mereka pun sampai setengah perjalanan dan Junayd masih saja mengucapkan lafal yang sama terus-menerus. Tetapi orang itu mulai bertanya mengapa dia harus membatasi diri dengan mengucapkan hal-hal yang itu-itu saja. Dia memutuskan untuk memohon langsung pada Allah. Dan persis ketika ia mengucapkan kata-kata “Allah yang Maha Kuasa”, dia pun mulai tenggelam ke dalam sungai.

Junayd kemudian menarik orang itu sehingga tak sampai tenggelam. Junayd kemudian berkata: “Apa kamu pikir kamu bisa menyebut nama-nama Allah? Karena aku tahu mulutmu tidak cukup suap untuk itu, maka aku minta kamu tidak mengucapkan apa-apa selain seperti yang saya katakan.”

Selengkapnya......

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (II)

Metanoia seorang Rumi

Dulu sekali, bahkan hingga waktu-waktu belakangan, saya masih tak mengerti apa maksud yang hendak disasar fragmen ksatria belajar memanah itu. Dan saya, jujur saja, mengabaikannya (kendati masih separuh mengingatnya), menganggap fragmen itu sebagai kisah biasa yang tak menyimpan pesan apa pun, dan tentu saja jauh tak merangsang fantasi tinimbang fragmen-fragmen hebat yang bejibun jumlahnya dalam rangkaian kisah epik Mahabharata itu.

Tetapi lewat riwayat Jalauddin Rumi yang menapaki tetapak jalan sufistik, saya akhirnya menemukan abstraksi tentang fragmen ksatria belajar memanah itu. Abstraksi versi saya sendiri tentu saja. Tapi abstraksi itu akan saya simpan dulu dan mencoba untuk sepintas lalu membicarakan Rumi.

Jalaluddin Rumi adalah sepucuk nama yang dikenal begitu luas, tidak hanya oleh orang-orang muslim atau di negeri-negeri dengan mayoritas Islam saja. Ia masyhur di mana-mana. Di Barat dan di Timur. Pada 1997, misalnya, Rumi ditempatkan sebagai penyair paling laris di Amerika oleh tabloid Christian Science Monitor.

Dia memang dikenal luas sebagai sufi yang memiliki pengaruh tidak hanya di dunia sufistik saja, melainkan juga dalam dunia sastra. Syair-syairnya tidak hanya dibaca oleh pembaca Muslim, tetapi juga oleh pembaca Barat. Puisi dan tafsir mistiknya terus dibaca dan digemakan oleh orang-orang yang secara sengaja melepaskan diri dari kemapanan dan rutinitas dalam upaya mencari hidup yang lebih bermakna.

Sama', tarian mistik dengan gerakan berputar-putar untuk mendapatkan pengalaman spiritual yang menjadi praktik ritual khas tarekat yang didirikannya, Maulawiyyah, belakangan sangat digandrungi banyak kalangan di Dunia Muslim maupun non-Muslim. Karya-karyanya memang menyajikan tuntunan praktis bagi umat Islam dalam pelbagai tingkatan kecerdasan spiritual.

Tapi yang tak banyak diketahui, Rumi pada awalnya, hingga usia menjelang 40 tahun, bukanlah seorang sufi. Ia memang sudah termayhur. Tetapi bukan dalam label sebagai guru sufi yang cemerlang, melainkan masyhur hanya sebagai seorang guru besar, semacam profesor, di bidang fiqh dan hukum Islam.

Dalam status itu pun, Rumi sudah punya banyak murid. Dia juga dianggap sebagai orang dengan kadar kecerdasan di atas rata-rata. Dia dipercaya untuk mengajar di sejumlah madrasah. Berpuluh-puluh kali dia diundang sebagai pembicara dan berkali-kali pula diundang datang dalam serawung ilmiah yang dihadiri para guru besar dari pelbagai disiplin ilmu.

Tetapi dengan itu barangkali Rumi hanya akan dikenal sebagai guru besar saja. Tentu namanya akan juga dicatat dalam helai-helai sejarah intelektual Islam. Tetapi belum tentu dalam status itu Rumi punya kesempatan untuk mengubah banyak orang, memengaruhi jalan spiritual banyak orang. Dengan hanya menjadi seorang guru besar di bidang fiqh, misalnya, tarian para darwis yang berputar-putar itu tak akan dikenal luas. Dan yang nyaris terang juga, dengan hanya menjadi seorang guru besar fiqh, Rumi tak tentu saja tak akan pernah bisa melahirkan syair-syair indah yang dipenuhi aura mistik yang mendalam nan memabukkan. Dan tanpa itu, Rumi tak akan dikenal luas oleh publik di luar muslim, dan tentu saja, tak akan juga ditempatkan sebagai penyair paling laris di Amerika pada 1997 silam.

Transformasi besar dalam sejarah spiritual seorang Rumi dimulai ketika Rumi bersua dengan seorang lelaki yang masyhur dengan sebutan Syams at-Tabirizi, Matahari dari Tabriz. Lewat “bimbingan” Syam, dan bersama Syam pulalah, Rumi menemukan pencerahan, semacam metanoia yang tuntas, yang terbukti mengubah peta intelektual Rumi sekaligus membelokkan orientasi spiritualnya.

Siapa sebenarnya Syams? Sebelum bersua dengan Rumi dan lantas sukses membimbing Rumi menapaki jalan setapak sufistik, Syams bukanlah siapa-siapa, jika siapa-siapa di situ diukur dari seberapa besar pengaruh Syams dalam dunia sufi. Syams juga nyaris tak dikenal.

Dan memang sejak dari tampilan fisik, Syams sama sekali tak memesona dan sama sekali tak mencerminkan penampilan seorang sufi besar. Ketika bersua pertama kali dengan Rumi pada 29 November 1224, Syams yang sudah berusia sekira 60 tahun, seperti hadir dari ketiadaan. Reynold Nicholson, penerjemah opus magnum Rumi, Mastnawi, mendeksripsikan Syams sebagai “sosok mengerikan yang terbungkus kain wol hitam”.

Syams adalah sosok yang eksentrik. Nyeleneh. Laku kesehariannya tak biasa. Orang bisa mudah tersulut syaraf kejengkelannya jika melihat polah Syams. Dalam Maqalah, Syams menulis tentang dirinya. Aku tidak punya urusan dengan penduduk dunia, kata Syams, “Aku tidak datang untuk mereka. Aku letakkan jemariku di atas denyut nadi orang-orang yang membimbing menuju jalan Allah.”

Ada satu istilah dalam vokabulari sufisme untuk tipe sufi macam Syams. Golpinarli menyebutnya dengan istilah “qalandar”, yaitu sufi yang memilih jalan sunyi pengembaran dan tak berminat untuk menjadi anggota dari sebuah tarekat. Sufi jenis ini biasanya terhimpun ke dalam kelompok yang kerap disebut Malamatiyya yang para anggotanya memilih jalan pembersihan spiritual diri lewat sumpah serapah dan caci maki orang lain. Para sufi macam ini kerap bertingkah aneh di depan umum demi memantik rasa benci orang.

Dan orang seperti itulah yang ternyata sukses mematahkan trek inteletkual yang sudah dilalui Rumi puluhan tahun hanya lewat perjumpaan sekilas yang kelak akan dikenang sebagai salah satu fragmen legendaris dalam dunia sufi. Ada sejumlah legenda ihwal persuaan Rumi dengan Syams. Salah satu kisah bagaimana Rumi dan Symas bersua sudah menunjukkan betapa pentingnya persuaan itu bagi pembelokkan jalan spiritual Rumi.

Seorang sufi bernama Muhyidin Abdul Qadir, orang yang hidup sezaman dengan putra terkasih Rumi, Sultan Walad, mengisahkan bahwa dua orang itu berjumpa ketika Rumi sedang memberi kuliah. Syams masuk ke ruangan dan dengan mendadak, sembari menunjuk tetumpuk buku yang digunakan Rumi, ia bertanya dengan suara seperti berteriak: “Apa ini?”

Dengan kurang sopan, mungkin karena dikobari rasa jengkel menyaksikan seorang anonim masuk seenak perutnya, Rumi menjawab acuh: “Kau tidak akan mengerti.”

Gantian Syams yang meradang. Secepat kilat Syams meraih buku-buku itu dan langsung membakarnya. Sebagian percaya buku-buku itu mendadak terbakar sendiri. Yang pasti, saat itu juga, Rumi balik bertanya persis seperti pertanyaan Syams sebelumnya: “Apa ini?”

Kali ini Syams yang ganti menjawab persis seperti jawaban Rumi di awal: “Kau tidak akan mengerti!”

Sejak itu, Rumi dikisahkan jatuh dalam keterpukauan, leleh dalam pendar cahaya yang menguar dari sosok Syams. Fragmen persuaan yang pendek itu sukses merobek-robek benang keyakinan seorang Rumi yang sudah dirajut sedemikian lama. Mengoyak bangunan intelektualnya. Dan itu terjadi hanya dalam sekali pukul.

Sejak itulah Rumi seperti tak terpisahkan dari Syams. Dan Syams juga tak pernah beranjak jauh-jauh dari Rumi. Keduanya membangun sebuah jejalin perkawanan yang aneh, unik dan sekaligus kompleks serta berdimensi banyak. Rumi sendiri, seperti yang bisa ditelusuri dalam Mastnawi, atau Syams sendiri dalam Maqalah, sering menggunakan frase “kekasih” untuk menyebut yang lainnya.

“Kekasih”. Frase itu sebaiknya jangan ditelan secara letterlijk. Ini penting untuk dikemukakan mengingat beberapa kelompok homoseksual berkepentingan menerjemahkan hubungan Syams dan Rumi, atau Socrates dan Plato, sebagai sebentuk dorongan cinta homoseksual.

Bagi Rumi, Syams adalah sosok yang lewatnya, “kekasih” yang sesungguhnya, yaitu Sang Maha Kekasih, menampakkan diri sehingga terjangkau oleh pandangan mata batinnya. Tanpa Syams, begitu Rumi meyakini, Sang Maha Kekasih tak akan pernah bisa dijangkaunya. Bersama Syam pula Rumi menapaki satu demi satu pengalaman ekstase, perjumpaan dan percumbuan dengan Sang Maha Kekasih.

Demi menggapai pengalaman-pengalaman esktase sesering mungkin, Rumi makin tak terpisahkan dari Syams. Pengalaman ekstase itu terlalu mahal harganya, sehingga demi itu, Rumi rela meninggalkan buku-buku dan kajian-kajian ilmiah tentang hukum Islam yang selama ini ditekuninya. Jika di awal perjumpaan orang mungkin bisa menyebut adegan buku-buku Rumi yang terbakar atau dibakar Syams semata sebagai alegori, di kemudian hari, Syams betul-betul sukses membikin Rumi “membakar” buku-bukunya; membakar dalam arti melupakan buku-buku dan tentu saja meninggalkan dan tak pernah kembali menapaki jalan pengkajian ilmiah fiqh.

Sultan Walad, putra Rumi, menceritakan bagaimana keduanya menghilang beberapa purnama lamanya. Lenyap entah ke mana. Mengasingkan diri. Dan ketika kembali ke rumah, Rumi sudah tak pernah menjadi Rumi seperti sebelumnya. Ia sudah melepaskan atribut ke-profesor-annya. Rumi seperti mengacuhkan semua-muanya. Buku-bukunya. Murid-muridnya. Dan kadang keluarganya. Demi bisa bersama dengan Syams, Rumi rela untuk absen dalam pertemuan-pertamuan ilmiah dengan para cendekia di kota tempat Rumi berdiam, Konya.

Tak bisa tidak ini menimbulkan kecemburuan. Tidak hanya dari para murid Rumi, melainkan juga penduduk Konya, yang tak rela cendekiawan paling cemerlang yang mereka miliki diubah secara drastis oleh seorang sufi urakan nan menyebalkan macam Syams.

Bagi Rumi, kedalaman dan kesucian spiritual Syams betul-betul tinggi dan terus meninggi sehingga ia menyadari tak perlu lagi sahabat dan persahabatan dengan yang lain. Kekuatan dan aura spiritual yang dipendarkan oleh Syams membuat Rumi kerap berada dalam situasi tercengkau. Ketercengkauan yang membuat Rumi merasa kalau tiap kali memandang Syams ia sama seperti sedang menatap wajah Illahi, Sang Maha Kekasih.

Tiap kali mengalami momen-momen spiritual macam itu Rumi seperti merasa berkewajiban untuk menyampaikan pemahamannya yang mendalam ihwal pendar cahaya Syams yang tersembunyi, mengelupaskan kelopak-kelopak yang membuat cahaya Syams tak tampak bagi orang lain, lewat syair-syair indah.

Dorongan yang memantik dan menggerakkan jemari Rumi untuk menuliskan syair-syair indah itu selalu datang dan akan tetap datang tiap kali Rumi bersama dengan Syams; sebuah kebersamaan yang menurut Muhammad Iqbal menjadi semacam “pengalaman kesadaran unik yang berhasil melepaskan energi potensial yang sebelumnya tersimpan di dalam relung yang terdalam”.

Maka ketika Syams mendadak lenyap dari Konya pada musim semi yang panas di tahun 1246, tenggelamlah Rumi pada kesedihan yang tak tertahan. Dia seperti kehilangan sebelah jantungnya. Rumi mendadak menjadi orang yang pemarah. Mudah tersinggung. Dan yang pasti, selalu mengurung diri. Dia sangat membatasi bertemu dengan orang lain. Apalagi untuk menghadiri diskusi-diskusi. Rumi lebih senang menyuntuki diri. Mendengarkan musik. Dan menari sama’. Berputar-putar dengan kesadaran yang di mana entah. Mencapai trance.

Orang-orang yang percaya bahwa Rumi akan kembali menjadi Rumi yang lama jika Syams pergi benar-benar kecele. Kepergian Syams dan kesedihan Rumi yang berlarat-larat akibat kepergian itu justru makin menegaskan pada publik luas, termasuk pada murid-murid Rumi yang cemburu pada Syams, bahwa hubungan mereka dengan Rumi tak ada apa-apanya dibandingkan dengan hubungan Rumi dan Syams.

Ketika akhirnya Syams kembali ke Konya beberapa tahun kemudian, Rumi betul-betul seperti kembali menemukan energi yang sebelumnya seperti memiuh entah ke mana. Wajahnya kembali bersinar. Aura spiritualnya kembali memendar. Tapi yang tak berubah adalah bahwa Rumi tetap saja berduaan dengan Syams. Dan itu tak bisa diganggu-ganggu lagi.

Kedatangan Syams yang kedua makin meninggikan derajat aura mistikal yang dipancarkan Rumi. Dia makin doyan mendengarkan musik. Dia makin kerap menari sama’. Kadang kala tak pandang tempat. Berkali-kali Rumi menari hingga trance di jalanan konya, bersama Syams, dan bersama beberapa muridnya yang setia. Pemandangan itu, tak ayal, membikin publik Konya merasa miris. Tak pernah mereka bayangkan, salah satu cendekia mereka yang paling cemerlang, bisa tenggelam dalam pusaran mistik yang demikian kuat.

Ketika akhirnya Syams kembali menghilang untuk yang kedua kalinya dan sekaligus yang terakhir (banyak sejarawan yang percaya kalau Syams dibunuh oleh murid Rumi yang cemburu dan juga melibatkan Alauddin, salah satu putra Rumi sendiri), Rumi patah hati dan semakin menderita.

Sultan Walad, putra Rumi, mengisahkan bagaimana ayahnya bertanya kepada setiap pengembara yang ia temui apakah mereka bersua dengan Syams atau tidak. Suatu hari, Rumi bertemu dengan perantau yang mengaku berjumpa dengan Syams. Rumi dikabarkan begitu berbahagia sampai-sampai ia melepaskan jubahnya dan memberikannya pada pengembara tersebut.

Pernah seorang teman Rumi mengatakan kalau bisa saja pengembara itu berdusta. Dan Rumi ketika itu juga menjawab: “Andai aku tahu itu berita benar, tentu sudah kuberikan hidupku, bukan cuma jubahku.”

Dan sejak kepergian Syams selamanya, Rumi jelas sudah berubah total. Rumi lama adalah sosok guru besar yang menjadi contoh sempurna bagi kesopanan dan pengendalian diri dan Rumi baru barangkali karena merasa terhempas dari Syams buat selamanya, tumbuh menjadi seorang mistikus yang khidmat tetapi sekaligus juga menjadi sosok yang liar.

Afzal Iqbal memberi kesaksian bahwa Rumi sedang berada dalam keadaaan yang membahayakan, dan sejumlah orang percaya bahwa Rumi mulai dilanda kegilaan. Tetapi, di sini uniknya, kepergian Syams yang membuatnya ditelan duka yang berlarat itu justru membuat Rumi seperti dianugerahi energi yang meruah dan mencengangkan.

Para hagiografer banyak bercerita kalau kepergian Syams yang pertama membuat Rumi menjadi sosok yang pemurung dan tertutup, kepergian Syams untuk selamanya justru membuat Rumi menjadi sosok yang terkesan berantakan tapi sesungguhnya kuat dan berani, pengagum tarian sama’ yang bandel.

Sejak masa-masa itulah Rumi seperti makin tersihir oleh musik, tak peduli jika masih banyak ulama yang menganggap musik sebagai hal yang bisa mendatangkan nafsu. Rumi betul-betul menjadi seorang darwis dan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan uang dan kekayaan.

Sultan Walad menulis: “Siang dan malam dia menari dalam ekstase, di bumi dia berputar seperti angin. Tangisan dan kemabukannya mencapai puncak langit, di dengar oleh semua dan segala yang ada.”

Walad juga berkata bahwa Rumi kerap kali menghambur-hamburkan uang untuk para pemain musik ketika sedang berputar-putar menari sama’. Satu-satunya kepedulian Rumi hanyalah pada musik dan tarian sama’ yang berputar-putar, yang tidak dapat disela meski hanya sedetik.

Dalam momen-momen seperti itulah syair-syair mistik nan indah Rumi banyak lahir. Sebetulnya banyak yang percaya kalau Rumi sudah menulis syair jauh hari sebelum dia bertemu Syams. Tetapi lebih banyak lagi yang percaya, setidaknya konvensi kesusastraan, kalau Rumi mulai mengaktualisasikan bakat puisinya seusai bersua dengan Syams. Itu bisa terbaca dari kenyataan betapa sebagian besar puisinya berkenaan dengan dukacita mendalam atas kepergian Syams. Sebagian besar puisi terbaiknya merupakan hasil gabungan kerinduan tak tertahan dan kesadaran mistik mendalam yang dia bangun bersama Syams.

Kesedihan, pukulan batin dan kedalaman spiritual Rumi semuanya mengental dalam semburan lirik-liriknya. Seperti dicatat oleh Leslie Wines, dia mengabdikan kemampuan berbahasanya untuk menjelajah kedalaman derita atas kepergian Syams. Dalam beberapa bab Mastnawi, kekasih yang hilang itu jelas menunjukkan sebuah metafora bagi konsep Tuhan, Sang Maha Kekasih.

Bagi Syams sendiri, kepergiannya sama sekali tak menimbulkan persoalan bagi dirinya. Dalam maqalah, Syams menuliskan testimoninya sewaktu ia pergi meninggalkan Rumi untuk yang pertama kali: “Akan baik sekali bila kau (Rumi) dapat mengendalikan diri…. Kepergianku kini cukup sudah untuk memerbaiki derajatmu. Aku tidak berhak memerintahkanmu melakukan perjalanan. Karena itu, biarlah aku yang pergi demi perkembanganmu karena perpisahan akan membuat orang bijaksana.” Syams pun mengatakan jika perlu ia akan pergi berpuluh-puluh kali lagi jika hal itu bisa membuat Rumi mencapai maqam spiritual yang lebih tinggi.

Beberapa tahun kemudian Rumi akhirnya menemukan sahabat sekaligus guru yang baru. Namanya Shalahuddin. Rumi tampaknya tetap membutuhkan orang lain yang bisa dia anggap sebagai guru, sebagai cermin yang dengannya tabir Tuhan, Sang Maha Kekasih, bisa makin terkuak cahaya-Nya.

Tetapi berbeda dengan Syams yang punya pengaruh yang menggebu-gebu pada diri Rumi, Shalahuddin cenderung lebih lembut dan mengayomi; cara-cara Shalahuddin yang lembutlah, tulis Leslie Wines, yang barangkali membantu Rumi sembuh dari gejolak emosi akibat kepergian Syams.

Ketika Shalahuddin wafat, Rumi menulis sebuah syair: “Duh Shalahuddin kau pergi, kau burung terbang cepat, kau melesat dari busur seperti anak panah, dan sang busur menangis merintih.”

Setelah itu Rumi menemukan kembali teman spiritualnya yang ketiga dan terakhir. Namanya Hisyamuddin Syalabi. Seturut Sepahsalar, hubungan pertemanam cum guru-murid antara Rumi dan Hisyamuddin menjadi persahabatan yang sangat penting karena ketika bersama Hisyamuddin-lah Rumi mulai penulisan mahakaryanya, Matsnawi, yang memang dipersembahkan Rumi untuk Hisyamuddin.

Para sarjana mencatat bahwa lebih dari satu dekade Rumi dan Hisyamuddin berkelana ke mana-mana. Saking pentingnya kehadiran Hisyamuddin, Aflaki mengisahkan bahwa pada satu saat ketika Hisyamuddin pergi karena istrinya wafat, Rumi sama sekali tak dapat memusatkan perhatian untuk menuliskan Mastnawi. Baru setelah Hisyamuddin kembali dan menyatakan siap kembali mendampingi, Rumi pun menemukan kembali sentuhannya. Dan mulailah Rumi kembali menulis Matsnawi.

Dalam hal genre kesusastraan, persahabatan Rumi-Syams dan terutama persahabatan Rumi dan Hisyamuddin sewaktu menyusun Mastnawi, mengingatkan kita pada penulis Beat di dekade 1950-am: Jack Kerouac yang merasa tak mampu menuliskan sebiji pun karya kecuali jika dia sudah duduk berhadapan dengan pengembara kharismatik, Nal Cassady.

Bagi saya, makin jelas bahwa kehidupan Rumi sendiri dapat diceritakan secara lebih benderang dengan meneliti hubungan persahabatan sekaligus hubungan guru-murid antara Rumi dengan Syams, Shalahuddin dan Hisyamuddin. Rumi yang mudah berubah tampak menyerap kualitas mistik dan spiritual tiga orang itu sekaligus membutuhkan sifat-sifat khusus dari spiritualitas ketiganya untuk membimbing Rumi menemukan kehidupan mistikal dan juga untuk menghasilkan karya-karya besarnya. Rumi sangat yakin kalau hubungannya yang intens dengan tiga orang itu akan menghasilkan daya tarik yang dengan segera bisa membawa dirinya kepada pertautan yang lebih masyuk dengan Tuhan, Sang Maha Kekasih.

Ketika bertemu dengan Syams, Rumi belajar kekuatan dan kedalaman mistisisme dan menatap jauh ke depan melampaui batas-batas pemahaman intelektualnya. Dari Syams pun dia belajar bagaimana, bila perlu, menangguhkan norma dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Dan Shalahuddin adalah sosok yang menenangkan Rumi ketika ia sedang mengalami disorientasi setelah masa-masa metamorfosa yang keras bersama Syams. Cinta yang lembut dan persahabatan yang tulusnya tak tersangsikan membantu Rumi menemukan ketenangan batin yang mencukupi Rumi untuk bisa menulis Ghazal denga khidmat. Sedangkan Hisyamuddin adalah juru tulis sekaligus sumber isnpirasi bagi syair-syair mistik Rumi yang mampu bekerja berjam-jam lamanya selama Rumi menulis Mastnawi.

Sultan Walad pernah bertanya kepada Rumi ihwal peran masing-masing tiga orang gurunya itu. Dan Rumi menjawab: Syams adalah matahari, Shalahuddin yang sabar dan reflektif sebagai bulan, Hisyamuddin sebagai bintang-bintang, dan saya sendiri bergabung bersama para malaikat.”

Selengkapnya......

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (I)

Ketidakhadiran yang "Hadir"

Sebelum mengenal Rumi atau Plato, saya lebih dulu akrab dengan Pandawa dan Kurawa. Sebelum saya tahu Syams at-Tabrizi dan Socrates sebagai guru dari Rumi dan Plato, saya lebih dulu akrab dengan Resi Durna yang jadi guru Pandawa dan Kurawa.

Hingga kini, ketika esai ini disusun, saya masih cukup ingat sebuah fragmen yang mengisahkan ketokohan Resi Durna sebagai seorang guru. Satu saat, persis ketika Durna sedang mengajari lima ksatria Pandawa keahlian memanah, seorang ksatria yang dari mana entah asal-usulnya, tiba-tiba datang dan memohon agar Durna bersedia mengangkatnya sebagai murid. Ksatria itu mengutarakan isi hatinya kalau dirinya begitu ingin mengunduh kemahiran memanah Durna.

Tapi Durna menampik. Sambil menunjuk lima kakak beradik Pandawa, Durna kurang lebih bilang begini: “Tak bisa, bung! Saya sudah dikontrak secara eksklusif khusus untuk menjadi guru anak-anak ini.”

Bukan main masygulnya ksatria anonim itu. Tapi apa boleh dikata, sabda sudah dimuntahkan. Dan guru sekaliber Durna agak musykil mencabut ulang sabdanya. Pulanglah si ksataria yang sudah kebelet betul ingin menjadi pemanah pilih tanding itu.

Tapi ia tak mundur selangkah pun dari niat awal menjadi pemanah yang mumpuni. Ketimbang mencari guru memanah yang lain, ia memilih berlatih sendirian. Dan untuk terus memompa semangatnya, ksatria dengan tekad sekokoh beton ini membuat patung yang persis menyerupai sosok Durna. Dengan terus-terusan dikawani dan “diawasi” oleh replika Durna, ksatria itu berlatih tekun. Segigih-gigihnya. Segiat-giatnya. Tiap kali berlatih memanah, dia membayangkan sedang dididik langsung oleh Durna yang sesungguhnya.

Dan konon, akhirnya si ksatria anonim itu punya kemahiran memanah setanding dengan ksatria-ksatria yang langsung dididik oleh Durna, Sang Pandita.

Selengkapnya......

Selasa, April 03, 2007

Puisi, Maut, dan Hidup yang Ditodongi Deadline

Banyak cara menjemput el-maut. Seorang penyair mungkin akan menghadapi regu tembak dengan cara bertanya sekaligus berpuisi.

Dalam hal Federico Garcia Lorca, puisi terakhirnya justru lahir sewaktu moncong pistol telah menempel di tengkuknya: “where my moon?”

Sebagaimana tergambar dalam film The Disappearence of Garcia Lorca, wajah Lorca yang halus nan klimis itu tengadah ke hening malam yang diseraki gemintang. Tenang. Secual pun tak ada tanda was-was. Karena itulah sang algojo tak sanggup tarik pelatuk. Algojo itu jengkel, sebab ia ingin sekali, bahkan terobsesi, melihat penyair Andalusia yang necis itu meratap ketakutan, dan memohon-mohon untuk diampuni.

Penonton akhirnya tahu, obsesi algojo itu ternyata tak terkabul.

Dalam hal Andalusia dan diktatornya yang bernama Jenderal Franco, juga bagi setiap penguasa mana pun yang terkaing-kaing mengejar ambisi untuk setotalnya menguasai, kekuasaan akan selalu tampak tergopoh-gopoh, dan karenanya kedodoran. Sebab, sekokoh apa punkontrol, semenjulang apa pun tahta, dan seperih apa pun respresi yang ditangguk orang jelata, toh orang masih bisa melawan, meski itu minimum. Dengan memaki dalam hati, misalnya. Atau memelesetkan lagi-lagu.

Dalam hal Lorca, ia melawan lewat puisi. Barangkali karena tahu bahwa maut sudah tak mungkin lagi ditampik, maka takut pun sudah tak cukup berarti lagi baginya. Maka ia pun berpuisi. Puisi pungkasan Lorca (“where my moon”) karenanya adalah satire, sebungkus kado terakhir berisi cibiran untuk kekuasaan yang tampak kedodoran.

Itu dulu. Puisi kini menghadapi jenis kekuasaan baru.

Hari ini, sewaktu tengkuk para penyair tak lagi ditodongi pistol dan sehelai surat sensor, di manakah puisi, dan apa yang menarik dari puisi?

Hari ini memang bukan Jawa pada ratusan tahun silam. Kala itu, seperti yang ditunjukkan Prof. C.C. Berg, setiap tulisan memiliki aura dan kekuatan laiknya puisi, apakah itu yang dipahat di batu-batu prasasti maupun yang tersurat dalam babad-babad. Kata-kata dalam bentuk mantra bahkan tampak sakral dan suci karena dianggap bertemalian dengan dunia transendental, Yang Gaib. Dan karenanya, ia –kata-kata itu…-- berada di tempat terhormat.

Hari ini juga bukan tahun ’45 atau ’66, saat ketika kata-kata besutan Chairil Anwar, “Bung, Ayo Bung!”, terpacak di gerbong sepur Djakarta-Soerabaja dan puisi-puisi Tirani dan Benteng-nyaTaufik Ismail beredar stensilan di jalanan Jakarta. Keduanya kala itu sama-sama punya daya pukau yang menggerakkan heroisme.

Hari ini adalah hari ketika hidup telah menjadi sehimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati.

Puisi dan penyair karenanya tampak ganjil dan asing. Ia ganjil karena tak berkoar tentang hidup yang sempit dan tergesa-gesa, hidup yang menempatkan “nilai guna dan “nilai tukar” di atas segalanya. Penyair juga aneh sebab di tengah hidup yang berat, perut yang kempis dan sandang yang sudah demikian apak, ia masih saja berbicara tentang ilalang, ihwal langit pagi seusai diguyuri hujan semalaman dengan sisa kabut yang enggan beranjak, dan tentu saja tentang bulan.

Barangkali kita perlu menonton Deads Poets Society. Di film itu, sejumlah anak muda mengalami transformasi besar setelah kedatangan seorang guru sastra yang dengan memikat berhasil menghadirkan puisi dalam bentuknya yang paling hebat: penuh daya pukau dan juga penuh kemungkinan. Anak-anak muda itu lalu menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan, atau dalam kata-kata Goenawan Mohamad, mereka “terbawa ke dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam suka cita yang mencemaskan”.

Puisi adalah “dunia yang serba mungkin”, penuh rahasia, penuh kelokan dan ironi. Dunia macam itu digerakkan oleh semangat untuk terus mencoba dan menjajal segenap rahasia hidup.

Kebebasan menjadi penting di sana. Tak ada otoritas yang bisa menentukan sesuatu. Semua jenis kekangan dicairkan karena umat dari dunia puisi hanya ingin menuruti perasaan hatinya, (pinjam kalimatnya Roestam Effendi dalam lakon Bebasari), “sebab laguku menurutkan sukma”.

Jepang adalah negeri yang telah banyak kehilangan itu semua. Setidaknya itulah yang diyakini Yukio Mishima, penulis novel Kuil Kencana yang termasyhur itu. Ia kecewa dengan negerinya yang dianggap telah kehilangan sukma. Amaterasu Omikami hanya menggetarkan sewaktu disembah di kuil-kuil. Jika sudah di kantor, pasar dan bursa saham, yang bicara hanyalah kalkulasi: jika laba ayo jalan, bila rugi jangan ragu tinggalkan!

Mishima lalu memilih jalan sunyi: menulis dan menulis sekaligus mendidik sejumlah anak muda dengan ilmu kanuragan dan olah spiritual. Setelah dirasa cukup, pada 1970, seusai menyelesaikan novel terakhirnya, Mishima dan anak muda didikannya itu menyerbu sebuah pos militer di jantung Tokyo. Di hadapan sepasukan tentara, Mishima berpidato dan menyerukan agar Jepang kembali ke nilai-nilai tradisi yang penuh dengan semangat dan geletar sukma itu.

Tahu misinya gagal, Mishima masuk ke sebuah ruangan di mana sang komandan militer disandera di sebuah kursi. Di hadapan sang komandan, Mishima melakukan seppuku: tancapkan pedang ke perutnya lalu merobeknya. Sejurus kemudian, seorang anak buahnya menetakkan pedang ke leher Mishima, memenggalnya. Hal itu harus dilakukan agar Mishima tak mengerang atau mengaduh menahan sakit, sebab mengaduh dan mengerang dalam laku seppuku adalah aib.

Simak juga kisah yang terjadi di Cili. Di sana, penyair Pablo Neruda yang telah almarhum masih saja disebut dan diingat. Meski dihalangi tentara dari rezim Jenderal Pinochet, bekas rumah peraih Nobel Sastra 1971 di pantai Isla Negra itu masih terus disinggahi. Para peziarah itu membawa buku puisi Neruda, dan bersama kekasih atau temannya, puisi-puisi cinta Neruda itu dibacakan. Pagar rumah mendiang Neruda bahkan dipenuhi coretan tentang cinta dari para peziarah. Sampai-sampai, tulis Gabriel Marquez dalam Klandestin di Cili, “Jika ada yang cukup ulet dan telaten, niscaya semua puisi Neruda dapat disusun ulang dari coretan-coretan itu.”

Bagi peziarah itu, juga Mishima dan anak-anak muda dalam film Deads Poets Society yang keranjingan puisi, hidup tak cukup berarti ketika semuanya telah dikalkulasi. Betapa tak menyenangkannya jika tak ada lagi kejutan, kecemasan, kebebasan yang liar. Semunya serba eksak. Mereka adalah orang-orang yang menyadari bahwa manusia tak cuma wadak yang harus disuapi lauk dengan standar gizi yang laik. Manusia juga bukan seonggok badan yang mutlak diteduhi sandang dan papan yang memadai. Manusia juga memiliki sukma yang berurusan dengen geletar semangat, gairah, passion, ketakutan, heroisme, kegagalan, patah hati, jatuh cinta….

Mathew Andrew pernah mengingatkan itu lewat esai Litterature and Science (1930). Andrew menyebutkan bahwa manusia menjadi utuh berkat dua macam insting: instinct for conduct (insting akan bimbingan) yang diperoleh lewat sains dan ilmu pengethuan serta instinct for beauty (insting akan keindahan) yang diperoleh lewat seni-sastra.

Lewat Andrew, menjadi terang kenapa orang masih berduyun-duyun datang tiap sebuah drama yang mengharukan dipentaskan, tiap sebuah film hebat diputar, tiap sebuah orkestra yang memesona digelar. Itu pula yang menyebabkan pantai, bukit, dan ngarai-ngarai masih dikunjungi. Dalam hal ini, puisi sama dengan suatu pemandangan alam yang indah atau sebuah pertunjukkan yang menakjubkan.

Puisi memang masih tetap dibaca dan diterbitkan. Kata-kata masih berhamburan di mana-mana, ke mana-mana, berbareng dengan desakan hidup yang kian eksak dan sesak, seiring dengan (seperti yang dinyatakan sebuah puisi) “detik-detik yang terus berhamburan dari dadamu… dadaku… dada kita.”

Tetapi apa boleh buat, seperti yang dikhawatirkan penyair Octavio Paz yang meraih Nobel Sastra pada 1990, puisi kini tampak kian “rahasia, tersisih dan langka”. Kebanyakan orang lebih memilih kenyamanan dengan mengejar segala macam kepastian: selembar ijazah yang memberi kapling di dunia kerja, gemerincing receh mata uang yang memastikan selamat dari lapar, serta ritus-ritus yang dijalankan dengan keras yang kabarnya menjanjikan semilir angin surga kelak di kemudian hari.

Saya tidak tahu, apakah itu yang menyebabkan sekolah yang menawarkan ijazah palsu makin diminati, korupsi kian meruyak dan bom-bom masih sering diledakkan?

Selengkapnya......

Senin, April 02, 2007

Monolog Kehilangan

::buat ikram

Entah kenapa belakangan aku selalu ingat adikku. Padahal, bahkan di hari kematiannya dulu, aku tak terlampau berat melepasnya. Seingatku, aku bahkan tak meneteskan satu pun bulir air mata.

Ada saat di mana aku seperti di datanginya kembali. Bagi saya, ketika momen seperti itu datang, pertama-tama itu bukanlah perisiwa metafisika, semacam takhayul, atau klenik. Tiap kali aku merasa disambangi adikku, aku selalu memahaminya sebagai gejala psikologis: aku merindukannya.

Seperti saat ini. Seperti ketika aku menuliskan catatan ini.

Aku memilih untuk menuliskan catatan ini karena dua alasan: (1) seorang teman mengingatkanku pada hal sepele ini dan (2) karena beberapa minggu lalu saya sempat menyentuh kembali bukunya Milan Kundera yang terkenal, Kitab Lupa dan Gelak Tawa.

Dalam helai-helai tebal kitab cerdas dan dipenuhi satire cemerlang itu, Milan Kundera menggoreskan sebuah pasase ihwal kematian yang bisa membantu saya menjelaskan rasa kangen dan kehilangan pada adikku.

  • zen


  • Pada pasase itu, Kundera bilang: “Bukanlah masa depan yang hilang dari kematian tapi masa silamlah yang hangus bagi orang-orang yang masih hidup di lingkaran si mendiang.”

    Kematian bukanlah pisau guillotine yang memutus rentetan “waktu silam” dan “waktu kini” si mendiang dengan “waktu menjelang”. Kematian justru meleburkan tiga dimensi waktu itu bagi sang mendiang. Tak ada lagi "waktu silam", "waktu kini" dan "waktu yang menjelang" bagi orang yang sudah pergi ke niskala.

    Bagi saya, pasase itu menarik karena ia tak berbicara ihwal apa arti kematian bagi si mendiang. Dan dengan jernih serta beraroma satire seperti biasanya, Kundera bilang bahwa kita inilah, orang-orang yang ditinggalkan itulah, yang sebenarnya merasakan beratnya kematian.

    “Masa silamlah yang hangus bagi orang-orang yang masih hidup di lingkaran si mendiang,” kata Kundera.

    Kundera tentu saja bukan orang bodoh yang tersesat memerlakukan “kenangan”, “ingatan” dan “masa silam” sebagai kenyataan yang bisa hangus. Jika kita tak disergap amnesia, hasrat membuang masa silam dan semua jejaknya yang kerap kita sebut kenangan itu tak lebih dari sepucuk mimpi. Ya, masa silam dan kenangan tak mungkin bisa terhapuskan. Sekali tergelar, masa silam pun terlewati, dan pada saat yang sama dikukuhkan keberadaannya.

    Kita tak mungkin melupakannya. Sebab, setiap kali kita melupakan, kita sebenarnya sedang mengingat.

    Sebagai orang yang berdarah Yahudi, Kundera pasti paham bahwa kenangan, ingatan dan masa silam tak mungkin bisa hangus. Keabadian kenangan, ingatan dan masa silam yang perih itulah yang jusru melahirkan trauma; sesuatu yang dengan khidmat sangat dipahami oleh orang-orang berdarah Yahudi yang pernah dizalimi dengan begitu nista oleh Hitler.

    Jika demikian, lantas apa yang dimaksud Kundera dengan “masa silam yang hangus”?

    Bagi saya, hangus yang dimaksud Kundera adalah semacam evolusi, penaka persalinan rupa, dan bukan kepunahan. Bukankah kayu yang hangus tidak musnah, melainkan hanya berubah bentuk menjadi abu? Jika tak keliru, ilmu alkemi menyebutnya sebagai “perubahan bentuk”.

    Jika adikku masih hidup, atau siapapun yang kita kenang dengan perih itu masih hidup, kita mungkin masih bisa berdialog dan berbagi cakap dengannya ihwal masa silam, kenangan dan semua memori yang menghubungkan dan melibatkan dirinya dengan kita pada satu peristiwa. Kematian seseorang, dalam membuat “kenangan”, “ingatan” dan “masa silam” itu mengalami perubahan bentuk, menjadi “hangus” dalam kata-kata Kundera, dari yang tadinya bisa didialogkan menjadi tidak bisa didialogkan. Dari yang semula dioalog berubah bentuk hanya menjadi monolog.

    Tapi dengan itulah kenangan dan memori justru terasa mendebarkan sekaligus memerihkan. Hannah Arendt, penulis kenamaan yang juga berdarah Yahudi, yang banyak meneliti ihwal trauma holocaust bangsanya, pernah memberi saran pada orang-orang yang didera trauma. Berceritalah, kata Hannah Arendt. Sebab katanya, derita menjadi tertanggungkan ketika menjelma menjadi cerita.

    Kenangan yang menjadi monolog, kenangan yang tak terceritakan dan tak terbagi, justru membuat kenangan itu terasa lebih sunyi dan membikinnya lebih bertalu-talu dalam hati.

    Bukankah kenangan yang tak terbagi jauh lebih menyesakkan ketimbang kenangan yang masih bisa kita bagi dengan yang bersangkutan?

    Selengkapnya......