Jumat, Maret 23, 2007

Karena Melarat Aku Belajar Mengenal Kematian

Sekira 18 tahun silam, sewaktu saya masih duduk di bangku kelas empat SD, adik bungsu saya pergi ke niskala. Masih sangat kecil ia. Umurnya belum lagi genap empat tahun. Namanya Irwan Kurniawan. Dia pergi setelah diterjang Demam Berdarah. Penyakitnya telat ditangani karena ia telat di bawa ke rumah sakit (kemiskinan memang kerap melahirkan cerita sedih).

Saya masih ingat kalimat yang dilontarkan simbok sewaktu saya bertanya seperti apa rasanya ditinggal pergi oleh anak sendiri. Simbok menjawab begini: “Rasanya, setiap melangkahkan kaki, kaki simbok selalu terasa amblas ke bumi. Seperti berjalan di atas lumpur. Selama setahun perasaan itu mengeram.”

Aku lupa persisnya selang berapa lama saya menanyakannya. Kira-kira mungkin setelah setahun adik saya pergi. Dan sejak kepergian itu, simbok selalu rewel ihwal rasa sakit anak-anaknya. Sekali saja terdengar anaknya mengeluh sakit, simbok akan langsung membawa anaknya ke dokter.

Rewelnya simbok masih bertahan hingga kini. Dan anehnya, kendati aku lebih sering di Jogja atau Jakarta, dan sangat jarang sekali pulang, simbok tetap selalu tahu setiap kali aku meriang, flu atau bahkan diterjang batuk. Dan ia selalu tergopoh menelpon anak tertuanya ini; anak lelaki satu-satunya yang sangat kerap melupakannya.

Saya bisa mengerti kenapa simbok bisa serewel itu. Ya, adik saya tak terselamatkan karena telat ditangani. Simbok waktu itu hanya bisa membawanya ke Puskesmas Pembantu di kampung. Selain jauh, pergi ke dokter bukan pilihan utama mengingat ongkosnya yang kelewat mahal. Sialnya, tiga hari sebelum kematian adik, mantri yang jaga di Puskesmas hanya mendiagnosis demam biasa.

Setelah tiga hari demam adik tak kunjung turun, simbok dan bapak berangkat ke rumah sakit di kota. Dan adik divonis postitif Demam Berdarah dengan stadium darurat. Adik hanya bertahan 12 jam di rumah sakit. Ia terbang ke niskala menjelang pukul 3 pagi.

Selama bertahun-tahun, simbok bu memenda murka tak kepalang pada Puskesmas. Begitu pun saya. Belakangan saya sadar, mantri kesehatan bukanla dokter, lagipula apa yang bisa diharapkan dari Puskesmas Pembantu?

Aku sedih mengenang ini. Apalagi saya tahu, simbok dan bapak pulang dari rumah sakit membawa jenazah adik dengan naik bus dan angkot. Ambulans memang ada, tapi sungguh biaya sama sekali tak terjangkau. Ya, simbok dan bapak pulang membopong jenazah adik. Dengan menahan duka yang tak kepalang, mereka bergantian menggendong jenazah adik. Supir, kondektur dan penumpang lain tak tahu kalau yang dibopong simbok dan bapak adalah jenazah.

Kata bapak, mereka bergantian sadar. Saat salah satu kebagian jatah menggendong, yang satunya pingsan, tak kuat menahan shock, dan terlebih tak mampu menanggung rasa bersalah membiarkan anaknya mangkat hanya karena mereka telat mendapatkan uang sekira 200 ribu.

Saya mengenang itu semua dengan perih, juga dendam. Itulah saat pertama saya juga menyadari betapa pahitnya menjadi orang miskin. Karena melaratlah aku mulai mengenal kematian!

Lara yang ditanggung simbok dan bapak tak berhenti di situ. Lima hari setelah kematian adik, aku juga diterjang demam yang sama. Kali ini bapak tak ingin kehilangan dua anak hanya dalam hitungan seminggu. Entah dari mana bapak dapat duit, dibawanya aku ke rumah sakit. Di rumah sakit yang sama tempat adik mangkat, aku didiagnosis: demam berdarah!

Simbok waktu itu ada di rumah, menyiapkan acara tahlil hari ketujuh adik. Malam itu juga, aku dirawat. Dan tahu tidak, saat itu rumah sakit penuh dengan pasien. Demam berdarah sedang menjalar sebagai epidemi. Dan hanya ada satu ranjang di kelas ekomomi yang tersisa. Ya, benar, itulah ranjang di mana adikku mati di terjang demam berdarah!

Dari cerita yang kudengar, simbok pingsan seketika juga mendengar kabar aku dirawat untuk penyakit yang sama. Simbok menerima persis sewaktu acara tahlil hari ketujuh adik dimulai. Aku memang tak melihatnya langsung, tapi aku yakin, siapa pun orangtua yang berada dalam posisi seperti simbokku, dia akan pingsan juga.

Yang aku lihat dengan mata kepala sendiri, simbok lagi-lagi jatuh pingsan begitu melihat aku dirawat persis di ranjang tempat anak bungsunnya tewas seminggu silam!

Momen-momen itulah yang menjadi momen pertamaku mengenal kematian, dengan semua desir dan perihnya.

Selengkapnya......

Rabu, Maret 21, 2007

Requiem seorang Gus

Seorang kyai yang juga penyair wafat minggu kemarin. Zainal Arifin Thoha, namanya. Orang-orang menyebutnya Gus Zainal.

Dia seorang kyai yang unik. Dia buat pondok pesantren yang khusus menampung mahasiswa yang kesulitan ekonomi. Siapa pun boleh tinggal di pondoknya dengan syarat yang bersangkutan tak menerima kiriman dari orang tua. Santri-santrinya kemudian ia ajari membaca buku, diajarinya menulis, dan tentu saja berzikir.

Dari sanalah sejumlah santrinya, yang menggunakan identitas anggota KUTUB, mulai “menggempur” halaman-halaman koran, dari mulai rubrik resensi, esai sastra, cerpen, hingga artikel. Dari sebagian honor-honor tulisan itulah (saya tak tahu berapa persennya), beras dan sejumlah kebutuhan pesantren mahasiswa Hasyim Asy’ari coba dicukup-cukupkan.

****
Beberapa hari setelah kematiannya, saya menerima tiga kumpulan puisi Gus Zainal. Saya langsung buka daftar isi. Saya cari-cari judul puisi Gus Zainal yang memajang kata-kata “kematian”, “mati” atau “maut”.

Hingga saat ini saya masih percaya, bahwa para penyair dan orang-orang yang hidup dengan cara puisi adalah salah satu jenis manusia yang bisa meramalkan dan membayangkan kematiannya.

Kristanto Agus Purnomo, kita mengenalnya sebagai Kriapur, pernah menulis puisi berjudul ”Kupahat Mayatku di Air”. Dia menulis begini: “kupahat mayatku di air, namaku mengalir, pada batu dasar kali kuberi wajahku, pucat dan beku”. Dan matila Kriapur di air dalam sebuah kecelakaan yang membuat mobil yang ia tumpangi amblas di dasar kali.

Chairil Anwar menulis sajak Yang Terampas dan Yang Putus. Di sajak yang ditulisnya di tahun 1949, Chairil menulis: “kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu, di Karet, di Karet (daerahku y.a.d), sampai juga deru dingin.” Dan matilah Chairil di tahun sama dengan sajak itu ditulis, dan di Karet pula a dikuburkan.

Federico Garcia Lorca pernah menulis puisi Primer Romancero Gitano yang termuat dalam antologi Gypsy Ballads. Di sajak yang ditulisnya di New York pada 1928, Lorca menulis bahwa ia akan mati tak lama lagi dan jasadnya tak akan pernah diketemukan. Dan pada 19 Austus 1931, 3 tahun setelah sajak itu ditulis, mati pula Lorca dan tak diketemukan pula di mana jasadnya.

Itulah sebabnya saya langsung mencari-cari puisi Gus Zainal yang judulnya beraroma kematian.

Dari tiga antologi puisi yang saya terima, yang pertama saya buka adalah Engkaulah Cinta, Akulah Rindu. Dan saya menemukan apa yang saya cari. Sebuah puisi yang dijuduli Ciuman Terakhir Menjelang Kematian (1).

Sajak ini pendek. Hanya dua bait. Sajak itu ditutup dengan dua kalimat yang lebih mirip permohonan do’a. Gus Zainal menulis begini: “Tuhan beri aku ciuman, biar segera lesat ini sukma, dan terlemparlah bangkai badan dari biu semesta.”

Gus Zainal memang dijemput maut dengan cepat dan mudah. Hanya dua cegukan dan beberapa menit menggigil kedinginan. Seperti permintaannya: “biar segera lesat ini sukma”.

Itu bait penutupnya. Tapi yang lebih mengejutkan adalah bait pembukanya. Di bait pertamanya, Gus Zainal melukiskan malaikat yang berkeringat sembari melukiskan keadaan dirinya yang sedang sekarat, sesuatu yang secara luar biasa betul-betul kejadian.

Sebelumnya, saya ingin membagi kesaksian yang saya dengar dari beberapa santri Gus Zainal yang berada di tempat beberapa kerjap setelah Gus Zainal wafat. Dari penuturan dua orang santrinya, saya tahu Gus Zainal mati sendirian. Tanpa teman. Kontak terakhirnya dengan pembantu dan pengasuh anak-anaknya, mbak Ni’mah namanya. Dia ini yang terakhir menemui Gus Zainal dalam keadaan bernafas. Dia ini pula yang menyelimuti Gus Zainal yang sebelumnya beberapa kali menggigil kedinginan.

Gus Zainal ketika itu ada di ruang depan, di depan televisi, tiduran di karpet, dekat dengan jendeal rumahnya. Di sana pula, di depan televisi, di atas sehelai karpet, dan di dekat jendeal rumahnya, Gus Zainal pergi dengan cepat. Mungkin juga dengan mudah. Dari penuturan yang saya dengar, suara terakhir yang meloncat dari mulut Gus Zainal adalah bunyi cegukan yang berulang dua kali. Setelah itu hening. Sesudah itu semua dingin.

Dan seperti itu pula yang dibayangkan Gus Zainal ihwal kematiannya, seperti yang ia tulis di bait pembuka Ciuman Terakhir Menjelang Kematian (1). Gus Zainal menulis begini:

“Keringat begitu deras melumuri tangan malaikat, dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela, memandang wajahmu dalam gaib asmaradana. Tuhan, beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang.”

Ya, “malaikat yang tangannya berkeringat” dan “aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela”.

Seperti itu yang memang terjadi. Gus Zainal pergi setelah tak sadarkan diri alias pingsan bebera saat. Semuanya berlangsung dekat jendela. Ya, bukan Gus Zainal yang berkeringat, tapi malaikat, karena Gus Zainal justru sedang diselimuti karena mengigil kedinginan sungguh.

Seorang penyair lagi-lagi sudah meramalkan kematiannya dengan nyaris persis!

***
Gus Zainal adalah Gus Zainal. Dia bukan Chairil Anwar.

Karena itulah saya tak heran jika seminggu sebelum kematiannya, pada malam Jumat terakhir dalam kehidupannya, Gus Zainal menulis tiga buah cerita sufi pendek yang di atasnya tiba-tiba ia juduli “Wasiat Kutub”.

Sebelum itu, saya ingin mengisahkan fragmen kecil beberapa hari sebelum malam ini. Suatu siang, seorang penyair muda yang seumuran dengan saya, yang puisi-puisinya sudah pernah duduk manis di nyaris semua koran nasional, mengeluhkan kenapa Gus Zainal mesti mendiang begitu dini. Ada beberapa keluhannya. Yang ingin saya bagi di sini adalah keluhannya tentan puisi-puisi Gus Zainal.

Penyair muda yang mulai kondang ini bilang: “Uh, sayang Gus Zainal mesti mendiang sekarang. Padahal puisi-puisinya belum begitu matang.”

Komentar penyair muda itu, dalam hitung-hitungan saya, dialasdasari oleh gagasan bahwa sudah jamak jika menuntaskan lebih dulu pengembaraan literernya, untuk menemukan gaya berpuisi yang khas dirinya, metafora yang khas dirinya, pengucapan yang khas dirinya, tema-tema yang khas dirinya. Dan sudah semestinya setiap orang yang mengaku penyair menggenjot tenaganya untuk menemukan semua itu demi mencapai apa yang disebut penyair muda tadi sebagai “kematangan berpuisi”.

Barangkali seperti Chairil Anwar, yang hidup menggelandang, tidak menjadi redaktur halaman budaya, tidak menjadi wartawan, tidak menjadi juru ketik, dan hanya menjadi penyair. Menghidupi siang dan malamnya dengan puisi dan puisi.

Tapi Gus Zainal memang bukan Chairil Anwar, bukan pula penyair muda teman saya itu. Dia adalah ayah yang baik bagi empat anaknya, suami yang hangat bagi istrinya, dosen yang tenang bagi mahasiswanya dan yang terutama kyai yang perhatian dan inspiratif bagi santri-santrinya. Itulah sebabnya Gus Zainal tak pernah menulis puisi macam “Aku”-nya Chairil Anwar.

Ketika penyair muda kawan saya berkomentar, saya tak menjawabnya. Itu terjadi ketika saya belum menerima copy dari tiga cerita sufi Gus Zainal yang ia juduli Wasiat Kutub itu (aneh, Gus Zainal kerap menulis cerita sufi, tapi hanya tiga cerita sufi yang ditulis sepekan sebelum kematiannya itu yang ia juduli Wasiat Kutub). Jika saat penyair muda itu berkomentar saya sudah membaca wasiat itu, saya mungkin bisa memberi komentar balik, sebab bagi saya, salah satu dari tiga cerita sufi yang ditulis Gus Zainal dalam wasiatnya itu merupakan jawaban dari komentar spontan penyair muda kawan saya itu.

Gus Zainal menulis tentang seorang sufi yang diberitahu ihwal keberadaan orang yang bisa berjalan di atas air, bisa terbang di langit, dan bisaberpindah dari stau ke kota lain dengan cepat.

Sufi itu menjawab: semua itu tak penting. Semuanya tidak mempunyai nilai. Sebab yang jauh lebih penting adalah manusia yang dapat berbaur dan bersosialisasi dengan orang lain tanpa melupakan Tuhan sedetik pun.

Jika saja saya sudah membaca cerita itu ketika penyair muda kawan saya berkomentar ihwal beum matangnya puisi Gus Zainal, saya mungkin akan bilang: “Orang yang bisa berjalan di atas air, terbang seperti burung, bepergian dari satu kota ke kota lain, menulis novel monumental atau membuat sajak yang legendaris itu mungkin keahlian yang hebat. Tapi belum tentu itu menjadi keahlian yang penting. Karena yang lebih penting adalah orang yang dapat berbaur dan bersosialisasi dengan orang lain tanpa pernah melupakan Tuhan sedetik pun.”

Itulah barangali wasiat Gus Zainal buat santri-santrinya di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, yang mendirikan komunitas bernama KUTUB, yang eksponennya rajin membombardir halaman koran-koran. Menulis mungkin penting dan menjadi penulis mungkin istimewa. Tapi menjadi orang yang mampu berbaur dan peduli dengan orang lain tanpa melupakan sedetik pun Tuhan jauh lebih penting.

Apa boleh buat, Gus Zainal memang bukan Chairil Anwar yang setiap hari dan setiap detik memikirkan puisi. Pertama-tama, Gus Zainal adalah seorang kyai, selanjutnya barulah ia seorang penyair.

Tak apalah. Gus Zainal seperti yang kami kenal sekarang sudah lebih dari cukup. Sebab jika Gus Zainal menjadi seorang Chairil Anwar, mungkin kesedihan kita bisa lebih mendalam dan berlarut-larut dan mungkin akan lebih banyak lagi orang yang bersedih. Cukup, cukup begini saja. Biarlah kami saja yang bersedih dan merasa kehilangan.

Selengkapnya......

Jumat, Maret 16, 2007

Sartika Anak Durhaka?

Pada 16 Januari 1904, di Paseban Barat Pendopo Kabupaten Bandung, berdiri Sakola Istri. Dalam bahasa Sunda, “istri” artinya “perempuan”. Jadi, Sakola Istri berarti Sekolah Perempuan. Sekolah itu berdiri atas inisiatif Dewi Sartika yang disokong oleh Bupati Bandung, Martanegara, dan C. Den Hammer, pejabat Inspektur Pengajaran Hindia Belanda.

Sepertinya cukup mudah bagi Sartika mendirikan Sakola Istri. Padahal, di balik pendirian Sakola Istri yang bernilai historis tinggi itu, kita bisa menyaksikan bagaimana cita-cita, visi, ambisi, pembatasan oleh peradatan dan kekangan keluarga bertaut dan bertumbukan dengan kerasnya.

Sartika, bersama Kartini, adalah simbol dari sejenis pertautan dan tumbukan yang menguras mental itu. Tetapi kedunya berbeda mengambil sikap.

Di awal-awal pendiriannya, Sekolah Istri sudah mendapat sambutan besa dari masyarakat sekitar. Pada tahun pertama saja, ada 60 siswi yang sebagian besar berasal dari masyarak kebanyakan. Ketika itu, Sartika hanya dibantu oleh dua pengajar lainnya, yaitu Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.

Sakola Istri bukan pengalaman pertama bagi Sartika. Pada 1902, ketika baru berusia 18 tahun, Sartika sudah memulai karirnya sebagai pendidik kaum perempuan dengan mengelar sekolah informal yang mengajarkan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Ketika itu, murid sekolahnya hanya perempuan-perempuan yang masih termasuk sanak keluarganya sendiri.

Kegiatan belajar yang digelar Sartika ternyata tercium den Hammer. Mulanya ia memerhatikan kegiatan Sartika dengan penuh syak wasangka. Namun lambat laun, Hammer menganggapnya sebagai hal positif. Menyadari usaha mendirikan sekolah perempuan ternyata bukan perkara mudah, Hammer meminta agar Sartika menghubungi Martanegara, bupati Bandung, untuk menjajagi kemungkinan Martanegara bisa memeri sokongan yang mungkin bisa banyak membantu terealisasinya gagasan sekolah khusus perempuan di lingkungan Bandung.

Di sinilah Sartika menghadapi dilema moral terberatnya. Sartika masih ingat bagaimana ayahnya, Raden Somanagara, dihukum buang ke Ternate karena dengan tegas menolak pengangkatan Martanegara sebagai Bupati Bandung.

Sartika paham benar, bahwa Martanegara, bupati yang lumayan berpikiran maju, bisa memberi bantuan yang berharga dan signifikan karena bagaimana pun ia adalah penguasa wilayah Bandung. Tapi Sartika juga sangat paham, menerima dengan serta merta usulan untuk menghadap Martanegara seraya meminta bantuannya, bisa melukai perasaan ayah dan ibunya. Bagaimana mungkin Sartika bisa meminta bantuan orang yang, bisa dibilang, menjadi salah satu sebab utama pembuangan ayahnya?

Pilihan yang diambil Sartika akan menjelaskan perbedaan secara signifikan struktur mental Sartika dengan Kartini, terkhusus dalam hal relasi anak-ayah di antara keduanya.

Seperti kita tahu, beberapa bulan menjelang kepergiannya sekolah ke negeri Belanda, Kartini bertemu dengan orang yang selama ini sudah ia anggap tak ubahnya orang tua sendiri: pasangan Abendanon. Seusai perjumpaan dan pembicaraan dengan pasangan Abendanon pada 24 Januari 1903, Kartini merobohkan impian yang sudah dianyamnya sejak kecil: pembatalan kepergiannya ke negeri Belanda!

Dalam pertemuan itu, Mr. Abendanon dan istrinya (yang kelak berjasa menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini) menyarankan agar Kartini membatalkan kepergiannya. Alasan yang diajukan pasangan Abendanon diantaranya keadaan ayahnya yang tua dan sakit-sakitan, situasi negeri Belanda yang bisa mendatangkan kesulitan hingga kemungkinan tidak diterima masyarakat karena akan dianggap sebagai noni Belanda

Di situ, tampak bagaimana Kartini betul-betul menjadi anak biologis dan anak batin ayahnya, sampai-sampai kondisi ayahnya bisa memupuskan salah satu cita-cita terbesar Kartini.

Dan kita tahu, pemusnahan cita-cita untuk sekolah ke Belanda ini menjadi awal dari rangkaian tragika yang kelak akan dialami Kartini (Untuk mengetahui lebih lengkap soal dilema keluarga yang dihadapi Kartini, sila telusuri empat esai Kartini yang ada di arsip bulan Mei 2006).

Sartika, kurang lebih juga mengalami dilema yang tidak kalah peliknya. Tetapi berbeda dengan Kartini, Sartika akhirnya mengambil keputusan untuk menghadap Martanegara. Dan dari sanalah akhirnya Sakola Istri bisa berdiri. Dari pilihan itu, kita tahu, Sartika ternyata mampu melampaui beban-beban moral dan mental yang terkait dengan ikatan darah. Keluarga dan puak dilampaui sedemikan rupa dan tampak seperti tak menjadi beban bagi Sartika.

Kita tak tahu persis bagaimana reaksi yang muncul dari keluarga Sartika, terkhusus reaksi dari ayahnya. Tapi kita bisa mengira-ngira, Sartika tentu saja sudah siap menanggung resiko yang muncul akibat pilihannya itu. Dan dari situlah kualitas Sartika sebagai manusia yang terikat dengan pelbagai ikatan primordial dan moral mencuat.

Di titik ini, pada salah satu momen sejarah paling krusial yang pernah dihadapai Sartika ini, kita menjadi paham: Sartika adalah salah satu ikon yang cukup pas menggambarkan bagaimana pertautan antara cita-cita, ambisi, keluarga dan puak bertumbukan dengan sedemikian rupa.

Apakah dengan itu Sartika menjadi seorang anak durhaka? Saya tidak tahu, seperti halnya saya tidak tahu apakah Sartika menyempatkan diri "matur" atau berbicara pada ayahnya di pembuangan. Yang saya tahu, Sartika mengambil sikap untuk terus melaju dengan cita-citanya, mengabaikan kemungkinan hal itu bisa melukai ayahnya.

Pilihan yang akhirnya diambil oleh Sartika menunjukkan dengan begitu baiknya bagaimana mentalitas kebanyakan para pemimpin nasional di kurun-kurun genting itu: mentalitas deontologis.

Berbeda dengan mentalitas teleologis yang lebih bertumpu pada etika baik-buruk, mentalitas deontologis dialasdasari oleh etika benar-salah. Dengan etika baik-buruk, yang diutamakan adalah tujuannya. Bagi seorang saudagar, langkah niaga yang diambilnya adalah baik jika berhasil mendatangkan laba, tak penting langkah niaga itu benar atau salah. Sedangkan etika benar-salah lebih mengutamakan penilaian yang hitam putih. Apa pun akibatnya, jika itu salah, tak mungkin suatu langkah diambil.

Setiap calon pelopor pasti pernah menghadapi bertimbun-timbun dilema dan problem kediriannya. Para calon pelopor yang berhasil menjadi pelopor adalah archetype manusia yang mampu mengatasi dan menjawab dilema-dilemanya secara cepat, tepat, dan penuh perhitungan. Dan ketika perhitungan itu ternyata meleset, para pelopor yang tangguh biasanya juga sudah tahu resiko yang kelak akan ditanggungnya sendirian itu.

Itulah kira-kira standar yang dimiliki oleh para pemberani, seperti yang pernah dibayangkan John F. Kennedy ketika menulis Profiles in Courages. Ernest Hemingay menyebutnya sebagai grace under pressure: semacam aura yang memancar dari orang-orang yang tidak kehilangan keanggunannya sekali pun berada di bawah tekanan dan ketakutan yang berbongkah-bongkah.

Selengkapnya......

Selasa, Maret 06, 2007

Nama sebagai Museum

Pada 23 Februari 1928, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat secara resmi menanggalkan nama kecilnya. Sepucuk nama yang menerakan dengan eksplisit status kebangsawanan itu digantinya menjadi Ki Hajar Dewantara.

Nama itu ditemukan dalam rangkaian-rangkaian diskusi dengan para tokoh lainya. Soewardi diakui peserta diskusi sebagai yang paling mahir dalam tema berkaitan dengan pendidikan, keguruan dan pengajaran. Suatu hari, R.M. Soetatmo Soeryakoesoemo (anggota Volksraad dari Boedi Oetomo) yang memimpin diskusi dengan spontan memanggil Soewardi dengan sebutan Ki Ajar.Dari situlah nama Ki Hajar ditemukan.

Tapi, beberapa waktu setelah nama itu resmi digunakan, Ki Hajar justru seperti kehilangan radikalismenya yang menghentak. Nama Ki Hajar tak ubahnya seperti museum bagi radikalisme Soewardi Soerjaningrat.

Nama, seperti yang kita lihat barusan, bisa menunjukkan siapa dan seperti apa kualitas seseorang yang mengenakannya. Tapi dalam hal Ki Hajar, soal tak berhenti di situ. Pilihan untuk menggunakan nama Ki Hajar ternyata menunjukkan dengan amat benderang jalan hidup seorang Soewardi yang telah bersalin nama: dalam dunia pengajaran dan pendidikan-lah akhirnya Ki Hajar menemukan trek yang bisa digelutinya habis-habisan; jalan hidup yang menjadi salah satu model perjuangan dan pergerakan yang diyakininya tidak kalah serius dan tak kalah penting dengan melakukan pemogokan.

Tetapi karena nama juga mencerminkan masa lalu, maka mengganti nama bisa dimengerti sebagai sebuah penyikapan atas sejarah, semacam evaluasi atas masa silam, setidaknya masa silam dirinya. Dan bagi Ki Hajar, itu berarti sebuah penyikapan terhadap puaknya, keluarga bangsawan Pakualaman.

Dengan mengganti nama, dihilangkan pula gelar “Raden Mas” yang sebelumnya menempel manis di depan nama kecilnya. Jika Raden Mas dimengerti sebagai penanda paling verbal atas feodalisme, bisakah langkah mengganti “Raden Mas” dengan “Ki” sebagai bentuk penolakan atas feodalisme?

Dalam kasus Ki Hajar, jawabannya bisa jadi: “ya”. Begitu Taman Siswa berdiri, persembahan terpenting Ki Hajar untuk Indonesia, Ki Hajar menerapkan etos kesetaraan dalam pengembangan Taman Siswa. Semua pengajar laki-laki mesti mengenakan nama “Ki”. Sementara yang perempuan mesti menggunakan nama “Nyi”. Kebijakan itu tak pandang bulu, bahkan kendati seorang diantaranya bergelar Kanjeng Gusti Pangerah Haryo.

Jika demikian, seorang yang radikal-kah Ki Hajar? Sepertinya bukan. Dan sekali lagi, di sinilah salah satu ironi dari kehidupan dan pemikirannya bersarang.

Semasa masih memasang gelar Raden Mas di namanya, Ki Hajar merupakan seorang aktivis yang bersemangat. Di Bandung, dia menghidupkan Indische Partij. Dia pula yang menulis “Ik eens Nederland Was” atau "Seandainya Saya Seorang Belanda", pamflet yang dengan telengas menghardik cara berpikir pemerintah kolonial. Pamflet itu bisa dibilang menjadi puncak dari sikap radikal Ki Hajar.

Hingga tahun penerbitannya dan bertahun-tahun kemudian, brosur Seandainya Saya Orang Belanda menjadi tulisan paling tajam dan menohok kolonialisme Belanda persis di jantungnya yang pernah ditulis dan diterbitkan di Hindia-Belanda. Dan yang lebih mengejutkan, tulisan itu lahir bukan dari pena seorang Tjiptomangoenkoesoemo yang saat itu dianggap sebagai bumiputera yang paling galak terhadap pemerintah kolonial, melainkan buah pena seorang aristokrat dari Kraton Pakualaman Yogyakarta: Soewardi Soerjaningrat.

Brosur Seandainya Saya Orang Belanda (selanjutnya hanya akan sata sebut Seandainya...)ditulis dengan bahasa yang halus dengan struktur kalimat yang sempurna betul. Brosur itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah sindiran yang tajam yang mana sindiran itu di separuh bagian di antaranya digelontorkan dengan sebuah pengandaian yang, selain cerdas, juga begitu halus. Barulah ketika sampai di seperempat akhir tulisannya, Soewardi menanggalkan semua kehalusan sindir-menyindir dan merengsek maju dengan gaya bahasa yang menjompak-jompak dan meninju langit.

Di awal-awal, pembaca akan sukar menebak mau ke mana arah tulisan Soewardi. Tetapi menginjak pada paragraf keempat, arah yang ingin disasar itu pelan-pelan mulai menyingsing. Dia menulis: “…Sebagaimana halnya orang Belanda yang nasionalis sejati mencintaii tanah airnya, saya pun mencintai tanah air sendiri, lebih dari apa yang dapat saya gambarkan dengan kata-kata. Alangkah gembiranya hati, alangkah nikmatnya dapat turut memeringati hari nasional yang demikian penting artinya.”

Dengan sejumlah pengandaian yang jelas-jelas superlatif, Soewardi memaparkan apa yang akan ia lakukan jika dirinya merupakan seorang Belanda yang sedang merayakan kemedekaan negeri yang sungguh dicintainya setengah mati-separuh hidup itu. Ia berandai bahwa dirinya niscaya akan “berseru-seru dengan hati gembira”, “dengan tak jemu menyanyikan ‘Wilhelmus’ dan Wien Nederland Bloed’”, “akan memanjatkan do’a di gereja”, dll.

Memasuki seperempat halaman brosurnya, Soewardi makin tegas menunjukkan sikap. Ketegasan itu dimulai dengan sebuah parafrase yang begitu sopan dan tertata: “Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, rasanya memalukan dan tidak layak jika kita -- dalam angan-angan saya, saya masih seorang Belanda—mengajak orang-orang pribumi turut bersorak-sorak dalam perayaan hari kemerdekaan kita.”

Masih dengan pengandaian sebagai orang Belanda, Soewardi mengajak orang Belanda untuk berpikir: Tidakkah mengajak rakyat Hindia-Belanda yang terjajah untuk merayakan kemerdekaan tuannya akan membawa rakyat Hindia-Belanda membayangkan saat-saat menggembirakan hati rakyat Belanda sewaktu bebas dari kangkangan Napoleon?

Sejak itulah nada tulisan Soewardi makin galak, kendati ia masih terus mengandaikan diri sebagai orang Belanda. Ia misalnya sudah menulis bahwa Belanda dengan demikian sudah menghina pribumi dengan mengajaknya merayakan kemerdekaan penjajahnya, dan itu diperparah dengan mengajak mereka memberikan sumbangan uang sukarela untuk biaya perayaan itu.

Selanjutnya, masih dengan pengandaian sebagai orang Belanda, Soewardi membayangkan dirinya akan melakukan protes terhadap gagasan perayaan kemerdekaan di negeri jajahan. Ia mengandaikan dirinya akan menulis di surat-surat kabar bahwa betapa berbahanya mengadakan pesta kemerdekaan di negeri jajahan. Dalam analisinya, hal itu selain akan melukai rakyat Hindia-Belanda, pesta perayaan itu akan membikin rakyat Hindia-Belanda, dalam kata-kata Soewardi sendiri, “berbuat yang tidak-tidak”.

Pada seperempat bagian akhir tulisannya, persisnya 9 paragraf menjelang tulisannya berakhir, Soewardi menulis sebuah kalimat dengan nada seperti seorang ksatria, barangkali seperti seorang Scarlet Pimpernal dalam cerita Barones Orczy, yang baru saja membuka topengnya dan berujar: “Syukur alhamadulillah, saya bukan seorang orang Belanda.”

Persis setelah kalimat yang membelokkan tulisan Soewardi ke arah yang lebih tegas itu, Soewardi lantas menulis dengan nada bak seorang ksatria, laiknya Scarlet Pimpernal yang sedang membuka rahasia senjatanya, kalimat berbunyi: “Sekarang sebaiknya kita kesampingkan saja segala ironi.”

“Ironi” di situ, seperti sependakuannya sendiri, digunakan memang untuk menohok, menghajar, sistem kolonial dan subsistemnya yakni berupa himbauan agar rakyat Hindia-Belanda ikut dalam pesta perayaan kemerdekaan penjajahnya sekaligus secara sukarela mengumbangkan uang.

Setelah kalimat itu, nada tulisan Soewardi makin jelas. Ada dua pokok yang disampaikan Soewardi secara tegas dan lugas di akhir tulisannya yang paling legendaris itu. Pertama, penolakan tegas dan tanpa kompromi akan ide perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia-Belanda. Kedua, tuntutan agar segera dibentuk sebuah badan perwakilan rakyat, semacam parlemen barangkali.

***
Begitu terbit, brosur itu langsung mendapat sambutan luas dan hangat dari suratkabar-suratkabar. Harian de Expres pimpinan Douwes Dekker bahkan menyiarkannya secara lengkap.

Seminggu kemudian, persisnya pada 20 Juli 1913, pemerintah kolonial mengumukan pelarangan atas brosur itu. Aparat kejaksaan lantas menyita brosur tersebut dari berbagai toko buku dan kantor-kantor surat kabar. Sedang percetakannya, de Eerste Bandoengsche Publicatiemaatschappij, digerebek, namun di sana hanya ditemukan sejumlah kecil eksemplar brosur karena sudah tersebar nyaris di kota-kota penting di antero Jawa. Soewardi sendiri, plus Tjipto, Douwes Dekker (yang bertanggungjawab atas pemuatan di de Express yang dipimpinnya) dan Abdoel Moeis (yang menerjemahkannya ke dalam bahas Melayu ditangkap dan diiinterogasi).

Brosur itu kemudian dicatat oleh Schavitri Scherer sebagai esei paling berkesan, tajam dan provokatif yang pernah diusun sampai pada waktu penerbitannya. Pandangan-pandangan yang diungkapkannya mendahului setiap gagasan yang dikemukakan oleh cendekiawan-cendekaiwan Jawa lain yang palling sadar politik sekali pun.

Daya ledak tulisan itu bukan semata karena nada provokatifnya melainkan juga karena implikasi-implikasi politiknya yang lebih luas, dan karena artikel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan kemudian dibagikan sebagai surat selebaran terpisah yang memungkinkan orang-orang yang tak dapat berbahasa Belanda membacanya.

Sebetulnya bukan sekali ini muncul kritik pedas. Hanya saja, kritik itu, kendati provokatif, seringkali hanya sebagai kapandaian mengemukakan gagasan belaka dan bukan aksi pengerahana rakyat. Tetapi dengan menggunakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda sebagai titik tekan untuk menarik massa dan lebih jauh lagi dengan menerjemahkannya ke dalam Melayu, Soewardi sedang memastikan suatu jumlah pendukung yang lebih luas.

Dan lewat brosur Soewardi-lah pemerintah kolonial disadarkan bahwa perlawanan sudah menemukan bentuknya yang baru dan tegas. Hanya sejak brosur Soewardi terbit sajalah pemerintah benar-benar secara sungguh-sungguh menganggap kritik-kritik sebagai sebuah ancaman berat terhadap kemantapan pemerintah kolonial. Sebelumnya, paling banter gagasan-gagasan galak itu hanya beredar di kalangan terbatas saja.

Tapi pamflet itu, dan dalam beberapa hal juga nama Ki Hajar, seperti menjadi museum bagi radikalisme Soewardi muda. Begitu berganti nama menjadi Ki Hajar, lebih persis lagi setelah pembuangannya ke Belanda, dia berubah kooperatif. Ironisnya, kakak kandung Ki Hajar, Surjopranoto, yang tak pernah menanggalkan gelar Raden Mas, justru dicatat sebagai salah satu aktivis pergerakan paling radikal yang pernah dilahirkan negeri ini. Sampai-sampai Surjopranoto dijuluki “Raja Boycott”.

Soewardi lebih memilih lapangan kebudayaan ketimbang aktivitas politik. Dan di lapangan itulah Ki Hajar menoleh kembali pada warisan kebudayaa Jawa, meninggalkan garis radikal seperti yang ia pergelarkan di masa mudanya. Meninggalkan garis itu lewat sebuah kepergian yang tak mungkin kembali.

Selengkapnya......

Sjahrir dan Kutukan Dewi Clio

Soetan Sjahrir (lahir 5 Maret 1909) wafat pada 1966 dalam status yang sungguh tak mengenakkan: sebagai tahanan politik!

Kematian Bung Sjahrir sepertinya menjadi tonggak di mana negeri ini seperti mulai dikutuk oleh Dewi Clio, Sang Dewi Sejarah dalam mitologi Yunani, untuk selalu punya persoalan dengan masa silam.

Kutukan ini menyebabkan masa silam seringkali hadir menjelma sebagai bayang-bayang hitam yang mengancam. Semacam tulah yang menyebarkan wabah kutuk: setiap orang yang “pernah bersalah” tidak akan dihukum lewat sebuah proses hukum yang adil yang memungkinkan si tertuduh untuk membela diri, melainkan akan dihukum oleh sebuah proses pengulangan sejarah yang perih dan tak tertolak.

Seperti terpapar dengan detail dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, karya sejarawan Ceko, Rudolf Mrazek, pada 18 Agustus 1962 mantan raja Gianyar akan dingaben dalam sebuah upacara besar. Anak Agung Gede Agung, putra Sang Raja, mengundang sejumlah karibnya: Soetan Sjahrir, Moh Hatta, Roem, Sultan Hamid dari Pontianak, Soebadio Sastrosatomo plus ribuan tamu dan penonton lain yang hadirtentu saja.

Tapi Anak Agung, dalam kata-katanya sendiri, melakukan faux pas, semacam blunder dalam bersikap dan mengambil keputusan: dia tak mengundang Soekarno. Sadar akan kekeliruannya, Anak Agung segera mengundang Soekarno. Tetapi Soekarno tampaknya sudah merasa dihina karena tak diundang. Soekarno, menurut Anak Agung sendiri, akhirnya merasa kecewa.

Lantas pada7 Januari 1962, Soekarno yang sedang melakukan perjalanan di Makasar untuk kampanye Irian Barat, dilempari granat. 3 orang tewas, 28 penonton luka. Soekarno dan rombongan sendiri selamat.

Delapan hari berselang, dua orang Belanda ditangkap. Sejak itulah mulai beredar desas-desus bahwa peristiwa itu diakibatkan oleh apa yang disebut sebagai “Bali Connection”: sebutan untuk komplotan politik yang terdiri dari orang-orang yang berkumpul pada upacara ngaben Raja Gianyar.

Akhirnya pada 16 Januari 1962, Sjahrir, Anak Agung, Soebadio, Sultan Hamid, Roem dan beberapa pemimpin Masyumi lainnya, ditangkap.

Tak begitu jelas siapa yang bermain dalam isu “Bali Connection”. Ada yang menyebut Soebandrio, tetapi jenderal Nasution juga disebut. Akhirnya, tidak bisa tidak, Soekarno pun tersangkut.

Dan Soekarno, dua tahun kemudian, seperti terlacak dalam autobiografi yang disusun Cindy Adams, mengakuinya. Soakerno menyebut penangkapan Sjahrir sebagai “hukum revolusi”: pukul musuh kamu, bunuh atau dibunuh. Penjarakan atau dipenjarakan.

Beberapa waktu yang lalu, kata Soekarno dengan kata-kata yang menggeletar, “Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan. Kini Sjahrir dalam penjara. Aku tidak menaruh dendam. Aku menyadari bahwa ini suatu permainan dua sisi yang mengerikan dan aku terlibat. Permainan untuk kelangsungan hidup.”

Dan dalam status sebagai tahanan politik itu, tanpa proses pengadilan yang fair dan terbuka, Sjahrir mengembuskan nafasnya yang terakhir. Sjahrir, lelaki yang dalam usia 36 tahun menjadi Perdana Menteri pertama, mendiang “dalam pengasingan”; sesuatu yang menurut Mrazek nyaris selalu melingkupi kehidupan dan karir politik Sjahrir.

Kematian Sjahrir bukanlah akhir dari, dalam kata-kata Soekarno, “permainan kelangsungan hidup”. Permainan baru saja dimulai. Pertaruhan justru baru saja dipanggungkan: sebuah pertaruhan soal apakah sejarah yang menentukan manusia ataukah manusia yang mengatur laju sejarah.

Dalam hal-hal para pelaku terpenting dari kemerdekaan Indonesia, “sejarah ternyata seringkali yang menentukan nasib manusia”. Kata-kata itu mesti diletakkan dalam pengertian bahwa politik ternyata bukan semata soal kemampuan mengontrol sekian pilihan dan kemungkinan, melainkan juga soal kesiapan untuk menghadapi pilihan dan kemungkinan yang sama sekali tak masuk daftar perencanaan; sesuatu yang mendadak, tiba-tiba, dan seringkali menyesakkan.

Jika ditarik ke belakang, Soekarno, Hatta dan Sjahrir pernah bahu membahu berhadapan dengan konsistensi garis perjuangan Tan Malaka yang keukueh anti perundingan dengan Belanda, sebuah konsistensi yang membuat Tan Malaka dikagumi dan dipercaya oleh banyak orang, termasuk 146 organ perjuangan yang kemudian bergabung dalam Persatuan Perjuangan (termasuk Panglima Besar Soedirman).

Untuk melenyapkan rongrongan atas strategi diplomasi yang diambil pemerintah Indonesia, triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir (jika bisa disebut begitu) mesti (dalam kata-kata Ben Anderson) “menghancurkan nama baik dari, dan kepercayaan atas, diri Tan Malaka, lambang hidup dari apa yang telah mereka tinggalkan” (1988:442).

Dalam ketagangan politik itulah Tan Malaka dua kali ditangkap dan dua kali pula dipenjarakan, tanpa proses peradilan yang fair dan terbuka. Dan dengan dibungkamnya Tan Malaka, berakhir pula setiap harapan yang pernah ada bahwa Indonesia akan memilih jalan perjuangan daripada jalan diplomasi, sebuah jalan yang hanya oleh wibawa Tan Malaka sajalah bisa tampak menjadi suatu alternatif yang masuk akal.

Dan Sjahrir akhirnya harus mengalami pembungkaman, juga tanpa melalui proses peradilan yang fair dan terbuka. Dan dalam kerangka kutuk Dewi Clio, mestikah diherankan jika akhirnya Soekarno juga mengalami hal serupa: dibungkam, diberi stempel tahanan politik, dan mendiang masih dalam stempel itu.

Jika pembungkaman terhadap Sjahrir hanya menjadi puncak dari pembungkaman para elit-elit politik oleh kediktatoran Soekarno, pembungkaman Soekarno juatru menjadi puncak dari pembungkaman tragis yang menimpa ratusan ribu orang yang diduga terlibat PKI; sebuah riwayat pembungkaman terbesar dalam sejarah Indonesia.

Dan bagaimana dengan Soeharto? Tampaknya kutuk Dewi Clio belum juga enyah. Si Bapak Pembangunan itu, tampaknya juga sedang mengalami pembungkaman dalam caranya yang aneh, tetapi dalam nuansa yang tak terlalu berbeda dengan yang dialami Sjahrir dan Soekarno. Kendati pengaruhnya tak bisa dibilang kenyap, Soeharto tetap saja sedang berada dalam pengasingan dan pengucilan politik, dan tampaknya dalam situasi itulah ia kelak akan meninggalkan kita, dan dengan sebuah catatan yang mesti ditekankan: juga tanpa satu pun putusan pengadilan yang memvonisnya bersalah atau tidak!

Sialnya, kutuk tak berhenti menimpa Presiden ketiga Indonesia. Abdurrahman Wahid, Si Jenaka itu, juga mengalami hal serupa, dengan kadar yang tentu saja berbeda. Ia lengser lewat sebuah “pembungkaman politik” yang didasarkan oleh “tuduhan politik” yang, sama seperti Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno dan Soeharto, tanpa satu pun keputusan hukum yang jelas dan pasti apakah ia terlibat atau tidak dalam korupsi Bruneigate dan Buloggate.

Dan kita akan selalu sukar memosisikan mereka. Orang-orang yang layak disebut Bapak Indonesia tetapi pergi dalam status yang membuat kita terkurung dalam situasi yang bukan hanya kikuk, melainkan barangkali malu: sebagai bangsa yang selalu saja kesulitan menempatkan para pemimpinnya yang hebat dalam posisinya yang pas.

Selengkapnya......

Kamis, Maret 01, 2007

Surat Buat Pak Kunto di Surga

[Surat imajiner ini sebetulnya sudah pernah dimuat di sebuah koran nasional dan pernah pula aku posting setahun silam. Tapi, mengingat posisi Kuntowijoyo di kepalaku dan di rak-rak bukuku, aku pasang lagi surat imajiner ini. Bergandengan dengan esai eksperimental "Stanza untuk Seorang Maha Guru"]

Pak Kunto, sudahkah anda menulis hari ini? Saya berandai-andai, orang seperti sampeyan, yang menghabiskan waktu hidup dengan terus meneliti dan menulis, pastilah juga akan tetap menulis di swargaloka sana.

Saya yakin, sampeyan adalah salah satu dari berderet-deret ilmuwan di swargaloka sana yang tak terkejut begitu menyadari betapa kehidupan setelah kematian ternyata memang ada. Dari berhimpun gagasan yang sampeyan tebarkan, saya menangkap kesan kuatnya keteguhan sikap seorang beragama (muslim) yang saleh dan taat, tetapi juga kemerdekaan berpikir yang tak pernah bisa dikekang. Bagi sebagian orang, iman yang saleh dan kebebasan berpikir yang tanpa batas mungkin dua hal yang tak bisa diperdamaikan. Tapi tidak bagi sampeyan. Itulah sebabnya kenapa saya berpikir, sampeyan pasti tak kaget begitu tahu alam akhirat itu memang ada.

Saya jadi ingat omongan seorang kyai partikelir nan mbeling yang juga karib sampeyan, Emha Ainun Najib. Emha berpidato tentang sikap asketik yang membuat sampeyan bisa terus menulis tanpa harus merokok, ngopi dan berambut gondrong. Sikap asketik itu pasti rapat hubungannya dengan kesalehan sampeyan sebagai seorang umat Tuhan yang lurus.

Sampeyan, dengan cara itu, menunjukkan kepada kami-kami yang masih belia ini, bahwa untuk menjadi penulis atau seniman besar tidak harus kumuh, pakai jeans belel dan nganeh-nganehi . Yang penting terus berkarya, berkarya dan berkarya. Jangan berhenti bahkan ketika selaput otak telah digeroti radang; penyakit yang menjadi salah satu penyebab sampeyan menjadi mendiang pada 22 Februari setahun silam.

Dan sampeyan memberi teladan dengan laku, bukan dengan kata. Dengan sikap yang biasa dan lurus (sesuatu yang jarang melekat dalam diri seniman/intelektual papan atas negeri ini), nama sampeyan melesat ke langit-langit jagat kepenulisan dengan sebuah portofolio yang jarang bisa disamai oleh penulis manapun: penulis yang telah menjajal semua jenis kepenulisan, cerpen, novel, puisi, drama, esai, artikel politik, buku teks kuliah dan buku sejarah ilmiah.

Tidak banyak yang bisa melakukan seperti yang sudah sampeyan perbuat selama 62 warsa berhayat di kolong jagat ini. Seharusnya, seorang cepenis, novelis dan penyair yang baik tidak bisa menjadi intelektual-akademisi yang baik, karena dua dunia itu mensyaratkan dua modal yang (seakan) berseberangan: dunia seni-sastra membutuhkan imajinasi yang hebat dan tanpa batas, dan ilmu sejarah mewajibkan setiap orang untuk selalu berlandaskan fakta, fakta dan fakta.

Tapi sampeyan bisa. Sebagai sastrawan, sampeyan sudah menangguk banyak sekali gelar dan hadiah. Dan sebagai ilmuwan sejarah, sampeyan adalah sejarawan kelas satu, yang barangkali, popularitas sampeyan di mata para mahasiswa sejarah di Indonesia (saya tahu karena sudah 6 tahun menjadi mahasiswa sejarah) hanya bisa dikalahkan oleh Sartono Kartodirjo, seorang empu ilmu sejarah yang diakui oleh sampeyan sebagai salah seorang guru sampeyan yang terpenting.

Dua jalan kemanusiaan itu (seni-sastra yang imajinal dan ilmu pengetahuan yang rasional) justru bisa sampeyan manfaatkan untuk menopang satu sama lain. Sebagai seorang mahaguru sejarah, sampeyan paham betul bagaimana memanfaatkan tetumpuk dokumen sejarah yang sampeyan ketahui untuk digarap-ulang menjadi sebuah cerita baru yang tidak hanya menggugah, melainkan juga kuat memendarkan realitas sosial.

Hingga kini saya masih ingat cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Karya itu begitu memikat karena selain sampeyan bisa mendeskripsikan antagonisme antara dua jalan kemanusiaan (laku ritual-simbolis dan laku dunia kerja yang suntuk), sampeyan juga berhasil menciptakan dunia simbol yang meyakinkan: betapa dunia ini menawarkan banyak pilihan laku berhayat, yang mesti kita pilih, apakah memilih salah satu ataukah memilih keseimbangan pelbagai pilihan laku hidup itu.

Dan sebagai seorang sastrawan, sampeyan tahu betul bagaimana memaksimalkan kekuatan imaji dan luasnya pilihan yang diberikan kata-kata untuk membantu menciptakan sebuah karya akademik yang berbobot namun tetap memikat untuk disesap. Ini sesuatu yang langka. Hinga kini, karya-karya para sejarawan Indonesia begitu keringnya karena melulu berisi tetumpuk data yang gagal direkacipta ke dalam sebuah hamparan kata-kata yang lezat.

Saya masih ingat salah satu pasase yang sampeyan tulis di buku teks Pengantar Ilmu Sejarah; sebuah pasase yang menunjukkan betapa sampeyan tahu betul bagaimana caranya menulis buku ilmiah tanpa harus kehilangan sentuhan sastrawi. Pasase itu ditulis begini: “Bahasa sejarah adala bahasa yang sederhana dan langsung, persis seperti dalam bahasan sastra modern. Tidak ada bahasa yang berbunga-bunga. Tidak ada ‘rambutnya bak mayang mengurai’. Bahasa sejarah adalah bahasa sehari-hari. Kalau sejarah melukiskan para gerilyawan minum air, dia tidak akan bilang bahwa mereka mnum H20”.

Oh ya, omong-omong, sudahkah sampeyan bertanya kepada Tuhan Sang Maha Big Bos yang bertahta di arasy sana ihwal sejarah penciptaan alam semesta? Jika belum, saya ingin titip pertanyaan, betulkah alam semesta dibuat (hanya) berkat mantra sakti kun fayakun? Di bumi, para ahli fisika macam Stephen Hawking masih sibuk merumuskan theory of everything untuk mencari jawab pertanyaan itu.

Selengkapnya......

Stanza untuk Seorang Maha Guru

::Dua Tahun Mendiangnya Kuntowijoyo

Saya menjadi saksi mata sebuah peristiwa penting di padepokanku, Padepokan Gading Madyo. Kala itu, di tepian sebuah danau, saya menyaksikan Profesor Joyokunwito meresmikan berdirinya sebuah perkumpulan rahasia: Dead Historian Society.

Di bawah tatapan lima mahasiswa, mahaguru ilmu sejarah itu mengakhiri bicaranya dengan mengucapkan kalimat yang jadi jargon perkumpulan rahasia ini: “Sastra sedikit batasannya, tapi punya kesempatan yang tak terhitung jumlahnya.”

Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 21 Februari 2056, profesor Joyokunwito dibebaskan dari tugas mengajarnya. Ia diberhentikan dengan tidak hormat karena didakwa telah meracuni sejumlah mahasiswa dengan cara mencekoki mereka dengan kesusasteraan dan menanamkan sebuah pengertian baru yang jelas-jelas subversif: seorang sejarawan harus memiliki imajinasi yang dahsyat.

Ini sebuah dakwaan yang tidak main-main. Dalam konsideran SK Pemecatan yang dikeluarkan oleh senat, di sana tertulis “…jika faham yang dikembangkan Prof. Joyokunwito dibiarkan merajalela di kepala mahasiswa-mahasiswa sejarah, lambat laun akan meruntuhkan kesahihan ilmu sejarah --yang berabad silam pernah digelari sebagai induk segala ilmu oleh Giambatista Vico—dan mengembalikannya ke level yang tak lebih baik dari tembang-tembang dan babad-babad.”

****
Sorenya, saya dan beberapa karib yang menjadi aktivis Dead Historian Society berkumpul di tepi sebuah danau tak jauh dari padepokan, tempat di mana perkumpulan rahasia ini pertama kali dideklarasikan langsung oleh Prof. Joyokunwito. Sore ini, rencananya Prof. Joyokunwito akan pamit. Kabarnya ia akan pergi ke sebuah tempat nun jauh di seberang lautan sana. Tak ada yang tahu di mana tempat itu.

Sejak perkumpulan rahasia ini didirikan, banyak hal yang telah berubah. Beberapa kejadian fantastis yang tak pernah bisa dibayangkann oleh para pengajar di padepokan Gading Madyo terjadi. Kejadian-kejadian fantastis itu tentu saja selalu melibatkan salah satu dari lima anggota inti Dead Historian Society.

Kejadian paling menghebohkan dan fantastis terjadi sebulan yang lalu. Ketika itu, Padepokan Gading Madyo menerima sepucuk surat dari Neil Perry. Dalam surat itu, Neil menyatakan mengundurkan diri dari kampus. Yang membikin semua pengajar kebakaran jenggot adalah alasan yang diajukan Neil. Ia menceritakan rencana hidupnya: “Saya hendak pergi ke sebuah tempat yang tenang dan rimbun. Mungkin di sebuah belantara perawan. Di sana, saya akan meneliti sebuah persitiwa sejarah, tentu saja dengan bukti-bukti sejarah yang terpercaya. Tetapi saya tak akan menuliskan sebuah karya sejarah. Bukan historiografi yang akan saya tulis. Hasil riset itu akan saya tulisakan dalam sebuah novel. Dan aya akan mengirimi segenap para pengajar yang terhormat masing-masing satu eksemplar. Anggap saja itu sebagai pengganti skripsi yang tidak saya selesaikan.”

Neil membuat para pengajar gempar. Neil adalah mahasiwa jenius yang rencananya akan langsung diangkat sebagai pengajar begitu ia menyelesaikan skripsinya. Pengunduran diri Neil juga menjadi aib bagi reputasi besar Padepokan Gading Madyo sebagai perguruan ilmu sejarah terbaik di negeri ini. Bukan apa-apa, Padepokan Gading Madyo adalah perguruan yang besar karena dalam setiap penelitian yang dilakukannya, ia selalu berhasil menyingkirkan segala macam asumsi-asumsi yang bersifat subyektif. Subyektifitas adalah setan. Dan kesusastraan dan kesenian adalah ibu dari segala setan subyektivisme. Masak seorang murid jenius Padepokan Gading Madyo mengundurkan diri hanya untuk menulis novel?

Lewat sebuah penyelidikan rahasia, akhirnya keberadaan Dead Historian Society pun terbongkar. Lewat serangkaian interogasi yang melelahkan, Prof. Joyokunwito akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Dan lewat sidang yang tak adil, mahaguru yang telah beranjak renta ini dinyatakan bersalah.

Saya masih ingat bagaimana mahaguru yang selalu mengajar dengan memesona ini muncul pertama kali di kelas. Ia membuka kuliah pertamanya dengan dengan kalimat yang setengah menghardik: “Aku bukan penganut Leopold von Ranke!” butuh beberapa bacaan untuk memahami hardikan itu. Ranke (1795-1886) adalah sejarawan Jerman yang menjadi penubuh historiografi modern. “Sejarah hanya berurursan dengan fakta. Di luar itu, kantor kami (kantor para sejarawan) tidak melayani,“ tulis Ranke suatu ketika. Ucapan Ranke itu di kemudian hari dijadikan moto Padepokan Gading Madyo.

Kredo itu adalah anjuran bagi para sejarawan untuk menulis apa yang sebenarnya terjadi, wie es eigentlich gewesen. Ia mewakili arus utama sejarah kritis yang mengabaikan, terutama, kajian yang dilakukan para filsuf sejarah (macam Hegel dengan dialektika ruh atau Marx dengan materialisme historis atau Toynbee dan Spengler yang banyak mengkaji kontur dari alur dan perubahan sejarah) yang mengkaji ihwal yang masih pekat dengan metafisika yang spekulatif: siapa penggerak sejarah, seperti apakan alur sejarah, akan bergerak ke mana sejarah atau kapan dan di mana sejarah akan tuntas.

“Terlalu banyak yang tak tercover oleh pandangan begituan,” kata Prof. Joyokunwito meneruskan. Ia mengambil misal: soal kearifan, kebijaksanaan, dan kebenaran sema sekali tak pernah (mau) dipedulikan Ranke dkk.

Di setiap kuliahnya, ia selalu mengingatkan kelas akan arti pentingnya kesusasteraan dan kesenian. Seringkali ia juga memberi tahu betapa berbahayanya jika ilmu sejarah terjerembab pada kubangan positivisme dan teknisisme. Ia mengatakan betapa berbahayanya jika segala sesuatu melulu dianggap sebagai persoalan teknik dan metode. Teknisisme dan saintisme, katanya lagi, adalah anak kandung dari positivisme yang membikin semua-mua unsur kemanusiaan dan sosial terlupakan dan terpinggirkan dalam setiap pengambilan keputusan.

*****
Empat anggota inti Dead Historian Society, minus Neil yang telah pergi, mendengarkan uraian perpisahan dari Prof. Joyokunwito.

Ayo kita berbicara tentang sastra. Tentang prosa, novel, cerpen juga puisi. Aku ingin kalian tahu, bahwa kalian perlu mendalaminya, bukan agar kalian menjadi sastrawan atau penyair. Itu soal lain. Tetapi supaya kelak jadilah sejarawan dengan kemanusiaan yang utuh sekaligus juga menjadi manusia yang utuh, dan bukan menjadi binatang rasional: manusia yang cuma berdimensi tunggal!

Bahwa sejarah dan sastra itu berbeda, itu tak terbantah. Keduanya memiliki kekhasan. Sejarah bermaksud merekonstruksi sesuatu yang sebenarnya terjadi, menggambarkan kejadian-kejadian sebagaimana adanya. Ia karenanya harus berdasarkan bukti-bukti empirik. Peneliltian dan penyusunannya pun mutlak mengikuti prosedur dan metode ilmiah yang jelas. Dengan bukti-bukti itulah sejarawan mencari hubungan antara fakta-fakta secara memadu. Bukti-bukti sejarah itulah yang emnjadi bahan baku bagi sejarawan yang kemudian harus diproses melalui kririk sumber, interpretasi dan sintesa hingga kemudian sebuah rekonstruksi sejarah bisa disuguhkan.

Ini berbeda dengan karya sastra. Sastra tidak tunduk pada metode dan prosedur-prosedur tertentu yang telah baku. Peristiwa sejarah dan bukti-buktinya bisa menjadi bahan baku bagi sastrawan dalam menyusun karyanya. Bedanya, sastrawan menapun tak diwajibkan mempertangggungjawabkan terlebih dahulu melalui serangkaian metodenya dan prosedur laiknya sejarawan.

Kenapa saya berbicara tentang sastra dan menganjurkan kalian membaca sastra? Pertama, dengan membaca sastra, imajinasi kalian akan terlatih dan terididk dengan baik. Sastrawanlah orang yang paling jago melukiskan sebuah situasi dengan detail tapi bisa demikian menyenangkan, jauh dari kta membosankan. Dan jangan kira, sejarawan juga butuh imajinasi. Untuk bisa menggambarkan sukarnya tentara Belanda di bawah komando van Heutsz, sejarawan harus mampu membayangkan situasi belantara Aceh yang penuh dengan onak, semak, dan sungai.

Inailah bedanya sejarawan dengan pengarag. Ketika pengarang sedang memikirkan sebuah siatuasi atau suasana, ia mungkin akan berjalan dan melamun di pinggir sungai atau di atas genting. Sedangkan sejarawan, ia harus tetap kembali dan ingat dengan bukti-bukti yang telah dikumpulkan.

Kalian harus membaca sastra karena, kedua, sastra juga bisa mengajarkan retorika. Betrapa banyak karya sejarah yang terbengkalai tak bisa dibaca hanya karena ia kering akan retorika sehingga mudah membikin jenuh dan bosan. Di tahun 1960-an, ada seorang anak muda yang tekun membaca, termasuk membaca karya sastra, berhasil menyusun karya sejarah yang bermutu tentang pemberontakan PKI di Madiun. Karya sejarahnya menarik bukan hanya karena melulu dilengkapi sumber dan bukti yang memadai nan melimpah, melainkan karena ia disuguhkan lewat bahasa yang enak, bernas, dan kahirnya menjadi nikmat di baca. Nagian akrya itu yang menceritakan eksekusi mati beberapa tokoh pemberontakan itu adalah bagian paling hidup dan paling enak dibaca. Membacanya, kita seperti terlibat langsung

Alasan terakhir kenapa saya menganjurkan kalian membaca karya sastra adalah karena saya yakin, dengan itu kita bisa menjadi manusia dengan dimensi yang tak lagi tunggal. Manusia utuh berkat dua insting: instinct for conduct (isting akan bimbingan) dan instinct for beauty (insting akan keindahan). Ilmu pengetahuan saat ini, yang amat positivistik dan mengabdi pada kekuatan kapital-industrial, membikin kita menjadi binatang “rasional”. Ini saja tidak cukup. Kita butuh keindahan. Insting for beauty. Insting itu bisa didapatkan dan dilatih dari dan dengan membaca atau menikmati seni dan kesusatraan.

****
Akhirnya, pada 22 Feburari 2056, Prof. Joyokunwito benar-benar pergi. Saya sadar, mulai sore ini, saya tak akan pernah bisa menemukannya lagi. Tapi, sebagai kenang-kenangan, Prof. Joyokunwito menyerahkan segepok buku-buku tua yang telah lusuh. Ia bilang, bacalah manuskrip-manuskrip itu jika kami merindukannya. Ia juga bilang, itu adalah tulisan-tulisannya yang ia terbitkan dengan menggunakan nama samaran.

Saya dan tiga kawan lain, membuka-buka manuskrip peninggalannya. Masing-masing dari kami mendapat satu biji. Saya buka manuskrip yang menjadi jatah bagian saya itu. Sebuah buku tua yang di mukanya terpacak kalimat: Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.

Keesokan harinya, pada 23 Ferbuari 2056, saya mulai membaca manuskrip itu. Sesampainya di halaman terakhir, saya baru sadar kalau Prof. Joyokunwito benar-benar telah lenyap ditelan bumi.

Selengkapnya......