Minggu, Februari 25, 2007

Derita yang tak Tertanggungkan oleh Cerita

Derita menjadi tertanggungkan ketika menjelma menjadi cerita. (Hannah Arendt)

Seorang petinju pada akhirnya akan sadar bahwa hidup tak bisa ditaklukkan hanya bermodalkan kepalan tangan. Riwayat Rahman Kili Kili, petinju yang Kamis lalu ditemukan gantung diri, menegaskan kembali hal yang sebetulnya sederhana itu.

Rahman memang pernah berjaya dan sempat mewakili Indonesia di Olimpade dan Kejuaran Dunia Yunior. Tapi itu semua seperti tak berarti sebab Rahman menjadi mantan petinju yang hidup di Indonesia, bukan di Amerika. Rahman bukan Joe Frazier atau Mohammad Ali. Rahman juga bukan Jim Braddock yang kisahnya pernah difilmkan oleh Ron Howard dengan judul Cinderella Man.

Rahman Kili Kili hanya seorang petinju yang pernah berjaya pada satu waktu tapi dipaksa untuk menelan kenyaataan betapa kejayaan dan kejatuhan di Indonesia begitu tipis marginnya.

Itulah sebabnya dalam panggung tinju Indonesia tak mungkin ada Cinderella Man, bahkan untuk seorang Elyas Pical sekali pun yang mencatatkan diri sebagai The Indonesian Man pertama yang meraih gelar juara dunia. Apalagi untuk seorang Rahman Kili Kili. Ring tinju baru terasa menyenangkan bagi seorang mantan petinju yang kebetulan punya cakap dan cuap yang mulus macam Syamsul Anwar Harahap.

Di sini ironi lagi-lagi menyembul: bahkan di Indonesia, ring tinju lebih menghargai mantan petinju yang cakap berkomentar ketimbang mantan petinju yang pernah jadi juara dunia.

****
Kita percaya, tak ada orang yang sesiap petinju dalam menghadapi kerasnya hidup dalam pengertian yang paling fisikal. Mereka juga dibekali kemampun membaca lawan dan menyiasatinya dengan cerdik lewat sejumlah strategi bertinju. Itulah sebabnya petinju yang hebat tak selalu mengandalkan otot, tapi juga otak.

Tapi kita patut heran, kenapa sungguh sering kita dengar para petinju dan mantan petinju punya kehidupan yang boyak, bermasalah dan dilimpahi kasus-kasus kriminal, seakan-akan mereka hanya bermodal otot yang keras dalam mengarungi hidup dan kehidupan?

Sudah lama kita terbiasa menganggap petinju sekadar manusia berotot, yang seakan-akan tak membutuhkan keteguhan mental atau kejernihan pikiran dalam membaca kekuatan dan kelemahan lawannya.

Saya pernah membaca tulisan Pablo Picasso yang bernada minor ihwal manusia-petinju. Menurutmu, apa itu seorang artis? kata Picasso, ”…Seorang lumpuh yang hanya punya matanya, seakan-akan dia seorang pelukis, atau hanya punya kupingnya kalau dia musisi, atau sebuah lyre (harpa kecil) di setiap jengkal hatinya kalau ia seorang penyair, atau kalau ia seorang petinju, maka ia hanya punya otot?”

Picasso ingin meninggikan derajat seniman (pelukis), seraya pada saat yang sama merendahkan musisi, penyair dan terutama petinju. Jangan heran jika Picasso menyebut petinju di tempat paling buncit, setelah musisi dan penyair; sebuah kenyataan yang sadar atau tak menggambarkan bagaimana seorang Picasso menilai derajat seorang petinju.

Tapi Picasso tentu saja tak sendirian. Suara Picasso adalah suara manusia zaman ini, manusia yang ditatah otaknya oleh doktrin modernisme yang mengalasdasari dirinya dengan rasionalisme. Akibatnya, hal ihwal yang sifatnya fisikal menjadi sekunder. Jangan heran jika kuli yang bertumpu pada otot, yang bekerja 12 jam sehari dengan keringat yang hampir mengering, dibayar hanya 25 ribuan. Peradaban kita adalah peradaban yang memuja rasionalisme dan pada saat yang bersamaan merendahkan otot.

Rahman Kili Kili, yang dikabarkan frustasi karena beban hidup dan ekonomi, yang hanya tahu berkelahi dan bertinju, akhirnya menyadari benar hal itu.

Jadi, jika pun hari ini kita masih senang menonton pertarungan tinju, alam bawah sadar kita sebenarnya sedang beroperasi. Ya, sedang beroperasi. Sebab tinju yang masih kadang kita saksikan itu menjadi medium tempat kita mengenali kembali salah satu naluri bar-bar manusia.

Freud dan Erich Fromm pernah berpanjang lebar mengulas naluri destruksi yang diidap manusia. Bagi Freud, ada dua naluri yang bertarung dalam kesadaran manusia yaitu naluri kehidupan (eros) dan naluri kematian (thanatos). Ciri naluri kehidupan adalah penyatuan dan integrasi. Naluri kematian berciri pemisahan dan disintegrasi.

Fromm kemudian merevisi pandangan itu dengan melansir tesis yang intinya adalah manusia pada dasarnya memegang prinsip biofilia (memuja kehidupan). Fromm akui bahwa ada pergulatan antara semangat biofilia dengan patologi nekrofilia, tapi tak pernah ada manusia yang mutlak hanya memiliki satu orientasi saja. Selalu ada semangat nekrofilis dan biofilis sekaligus.

Manusia modern mencoba melenyapkan naluri nekrofilia itu melalui sistem yang kita sebut sebagai hukum. Tapi, hukum seringkali justru hanya sanggup menyamarkan, jika tak dibilang merawat diam-diam, naluri nekrofilis itu.

Tinju yang sudah menjadi olahraga adalah kreatifitas manusia untuk terus bisa memelihara naluri destruksi tanpa manusia harus kehilangan prestisenya sebagai mahluk yang beradab; sebuah kesantunan penuh topeng dari apa yang kita banggakan sebagai peradaban modern.

Itulah sebabnya tinju juga diperlengkapi senarai aturan main yang mencoba membuat tinju menjadi olahraga yang nyaman dan beradab. Tinju barangkali tak lagi menjadi olahraga bar-bar, tapi setidaknya masih bisa kita sebut sebagai “yang paling bar-bar dari yang tidak bar-bar”.

Janganlah heran jika kita pernah mendengar komentar Joe Frazier, petinju yang pernah menaklukkan sekaligus ditaklukkan oleh Muhammad Ali. “Tiap kali sedang berada di atas ring,” kata Frazier yang putrinya juga menjadi seorang petinju profesional, “Aku (selalu) ingin memukulnya, menjauh darinya dan melihatnya sakit. Aku ingin jantungnya.”

Jika menonton tinju dipercaya sebagai salah satu cara manusia merayakan kembali naluri destruksinya dengan cara yang santun, maka menonton tinju tanpa pernah sekalipun bertinju menjadi penegasan betapa kita pada saat yang sama juga sedang mengingkari naluri bar-bar itu.

Dengan hanya menonton tinju dan bukannya bertinju, bisa jadi kita seakan hendak bersaksi: “Tinju itu memang mengasyikkan, tapi biarlah kita menonton saja, cukup orang-orang bar-bar itu yang melakukannya!”

Menonton tinju merupakan perayaan dan pelupaan sekaligus. Tapi apakah dengan itu kita menjadi makin beradab?

****
Anda masih ingat atau pernah mendengar Alfaridzi? Jika tak, akan saya ingatkan secukupnya.

Alfaridzi adalah petinju muda yang diakui punya bakat istimewa. Dalam puncak karirnya, Alfaridzi menjadi sosok populer, yang tak semata karena kemampuannya dan skill-nya dalam bertinju, tapi juga karena parasnya yang ganteng. Dengan kulit putih dan raut muka yang bersih, Alfa barangkali lebih pas menjadi model ketimbang petinju. Pada masa jayanya, Chris John yang kini menjadi sosok paling populer dalam dunia tinju profesional di Inodonesia, kalah populer, bahkan kendati ia berhasil mengkanvaskan Alfa pada satu laga.
Alfa punya nasib tak kalah tragis dari Rahman Kili Kili. Bedanya, Rahman tewas karena gantung diri, sementara Alfa tewas sehabis bertarung dengan petinju Thailand, Kongtawat Ora, pada awal April 2001. Alfa memang tak wafat di atas ring, tapi di rumah sakit, selang beberapa hari usai laga terakhirnya.

Tapi ada yang menarik dari kematian Alfa. Beberapa jam sebelum pertarungangan terakhirnya, Alfa sempat menulis di secarik kertas sebuah pasase berbunyi: “….ibu, jangankan darah dan keringat, nyawa pun akan Alfa korbankan demi keluarga.....”

Carik kertas itu diserahkan Alfa pada kekasihnya, seraya berpesan agar kertas itu diberikan pada ibunya kelak jika ia benar-benar mati di atas ring. Firasat Alfa terbukti benar dan sepenuhnya presisi.

Kita tak tahu apakah Rahman meninggalkan wasiat atau testimoni pungkasan. Yang bisa kita baca dari kesaksian saudara-saudara Rahman adalah beberapa hari terakhir sebelum kematiannya, Rahman selalu tampak murung. Rusnani, salah satu saudara Rahman memberi kesaksian kalau belakangan Rahman suka menulis buku harian dan senang membaca buku-buku agama.

Menarik untuk merenungkan hal ini. Bagaimana bisa seseorang seperti Rahman yang begitu intens membaca buku-buku agama, sangat intens ketimbang waktu-waktu sebelumnya, bisa mengambil pilihan tragis yang tak dibenarkan oleh nyaris semua agama di dunia. Apa yang terjadi? Kurang mantapkah kepastian dan janji-janji manis agama bagi para pemeluknya yang taat sampai-sampai Rahman memilih menggantung diri? Ataukah Rahman yang salah membaca dan memahami buku-buku agama? Sayang saya tak tahu jawabnya.

Kenyataan bahwa Rahman juga selalu menulis catatan harian di hari-hari terakhirnya sempat membuat saya berpikir untuk tak lagi mengutip Hannah Arendt. Ada salah satu parafrase Arendt, penulis trilogi Asal-Usul Totalitaransime, yang begitu saya suka, dan pernah saya kutip dalam salah satu tulisan.

Arendt, yang banyak menulis ihwal trauma, dendam dan luka bangsa Yahudi pasca holocaust, percaya bahwa menulis, tepatnya bercerita lewat medium tulisan, adalah salah satu model terbaik dalam swa-terapi, penyembuhan diri sendiri, dari sebuah kondisi batin yang koyak moyak oleh guncangan mental, oleh luka-luka, atau pengkhianatan. Saya dengan senang hati selalu mengutip parafrase Arendt itu: “Derita menjadi tertanggungkan ketika menjelma menjadi cerita.”

Tapi aktivitas menulis catatan harian oleh Rahman (kita belum tahu apa isinya) ternyata tak mampu menanggungkan luka dan himpitan beban mental yang menerjangnya. Kurang jujurkah Rahman dalam menulis seperti yang disyaratkan Arendt agar tulisan bisa menyembuhkann? Ataukah Arendt yang silap untuk memahami hal sederhana betapa derita kadang terlalu perkasa untuk ditanggungkan sekadar oleh sebuah cerita yang dituliskan?

Atau barangkali Arendt hanya memaksudkan hipotesanya itu bagi para penulis dan pengarang saja? Jika benar begitu, ya sudah saya akan meninggalkan Arendt, persisnya kutipan Arendt itu, karena saya yakin, luka dan derita yang ditanggung para anonima, manusia-manusia yang tak mampu menggerakkan pena untuk mencatatkan dirinya dalam sejarah, jauh lebih kompleks dan lebih berat ketimbang derita bohemian para pengarang dan penulis.

Saya sungguh ingin tahu apa yang ada di kepala Rahman, atau orang-orang yang tewas bunuh diri, di hari-hari kehidupannya. Barangkali kita akan menemukan sebuah arus pemikiran yang mengalir deras tetapi sekaligus juga tak beraturan. Saya membayangkan, isi kepala Rahman dan siapa pun yang akhirnya memutuskan bunuh diri, barangkali sama riuhnya dengan isi kepala Plato sewaktu memikirkan lebih dulu “idea” atau “realita” atau seriuh isi kepala Muhammad sewaktu dibuat pusing oleh wahyu pertama Tuhan yang praktis tak mungkin bisa ia laksanakan secara letterlijk (kalau saya jadi Muhammad yang buta aksara, barangkali saya akan jengkel jika setelah bertapa berbulan-bulan lamanya Tuhan justru datang dengan perintah “sepele” yang sialnya tak bisa saya lakukan: bacalah… bacalah… bacalah!)

Menarik juga untuk merenungkan kebiasaan lain Rahman Kili Kili di hari-hari terakhirnya. Seperti yang juga dituturkan Rusnani, Rahman dikisahkah kerap melakukan aktivtas lari, jogging, mengelilingi kampung, tiap pagi dan sore di hari-hari terakhirnya.

Jika Rahman sudah memutuskan gantung diri sewaktu ia masih berlari-lari, maka Rahman berarti sedang mengenang dan menghayati semua laku yang bertahun-tahun sebelumnya ia lakoni. Saya jadi ingat Kawabata, yang kabarnya banyak menghabiskan hari-hari terakhirnya sebelum ia bunuh diri diam-diam pada April 1972 dengan berjalan-jalan memandangi rak-rak buku di kamar kerjanya, tanpa sedikit pun menyentuh apalagi membacanya.

Agak mirip, bukan? Seorang atlet ingin mengenang kehidupan yang diakhirinya dengan berolahraga, seperti seorang penulis yang mengenang kehidupan yang akan diakhirinya dengan memandangi lekat buku-buku.

Tapi jika lari-larinya Rahman tiap pagi dan sore dilakukan sebelum ia mengambil keputusan gantung diri, maka lari-lari itulah yang barangkali sebelumnya diyakini sebagai salah satu swa-terapi. Bukankah lebih masuk akal jika seorang mantan petinju yang depresi mencoba melarikan diri dengan berolahraga ketimbang melakukan swa-terapi dengan menulis dan bercerita seperti yang pernah dengan begitu lirihnya diungkapkan Hannah Arendt. Dari sini saya mulai yakin, tampaknya bercerita sebagai aktivitas menanggungkan derita seperti yang dbilang Arendt hanya berlaku bagi para penulis dan pengarang(?).

Saya jadi ingat film Forrest Gump. Si tokoh yang punya keaenahan prilaku (diperankan dengan sempurna oleh Tom Hanks) mengalami banyak transformasi dan pencerahan ketika melakukan aktivitas lari-lari yang gila-gilaan. Sayang, Rahman tak segila Forest Gump dalam berlari-lari, jadi endingnya pun tak seindah film Forrest Gump (astaga, bahkan film secemerlang Forrest Gump pun tak kehilangan selera klasiknya yang senang mengahiri cerita dengan ending yang menyenangkan).

Ending Rahman Kili Kili tentu saja jauh dari menyenangkan.

Selengkapnya......

Rabu, Februari 21, 2007

Masa Silam yang Mengeram jadi Dendam

Sobron Aidit adalah anak Belitung yang selalu ingin pulang ke Belitung.

Kita tahu, Sobron mendiang pada Sabtu pagi (10/2) yang tenang di Paris, kota yang ia tinggali sejak 1980. Dua belas tahun setelah kedatangannya, pada 1992, Sobron menulis sajak berjudul "Parisien", sajak yang seakan menjadi altar tempat ia merayakan kekagumannya pada Paris, kotanya yang baru, rumahnya yang entah keberapa buatnya.

Pada pasase terakhir sajaknya, Sobron menulis: Paris/ mengalir aku di urat-darahmu/ bersarang aku di jantungmu.

"Parisien”, kata yang Sobron pacak sebagai judul sajaknya, adalah kata ganti untuk orang-orang Paris, mereka yang mendiami Paris. Tapi “Parisien” tak sesederhana itu karena ia juga merujuk pada orang-orang yang tak sekadar berdiam di Paris, tapi juga mengenal betul Paris, hapal bau amisnya, akrab dengan aromanya yang sensual, mengerti setiap denyutnya, sekaligus menyatu betul dengan semua kekhasannya.

Parisien adalah sebutan untuk orang yang dalam sejumlah hal mencerminkan gaya hidup Paris, seperti Dubliner untuk orang-orang Dublin yang senang menghabiskan waktu senggang dengan bercakap di bar sembari menenggak bir sampai oleng, atau New Yorker untuk orang New York yang kosmopolit dan selalu berjalan tergesa bertarung dengan waktu yang mesti ditundukkan atau Bataviase bagi orang-orang (asing di) Batavia yang hidup dengan kesantunan yang menjengkelkan khas orang Eropa zaman Victorian yang penuh basa-basi, yang keukeuh mengenakan pantalon di tengah serbuan hawa panas Batavia yang menyengat.

Mexico City, ibu kota Mexico yang menjadi salah satu kota terpengap di kolong jagat, punya istilahnya sendiri bagi orang-orang yang tinggal di sana sekaligus mengakrabi dan selalu terus ingin mengenal segala renik perubahan yang mungkin sedang mengintai kotanya: “Citambulos”. Di Mexico City, kata itu berarti “Orang-orang yang selalu senang mengelilingi Mexico City dengan berjalan kaki untuk mengenal setiap sudut kota.”

Sobron, seperti yang ia bilang di pasase terakhir sajak Parisien, mendaku betapa dirinya sudah melekat betul dengan Paris, sampai-sampai ia yakin benar kalau dirinya sudah mengalir “di urat-urat” dan “jantung” Paris.

Masalahnya, benarkah Paris juga sudah mengalir “di urat-urat” Sobron? Sudahkah Paris bersarang di jantung Sobron?

Saya tak tahu persis. Tapi siapapun yang sering membaca tulisan-tulisan Sobron, entah itu puisi, esai, artikel atau sekadar catatan-catatan ringan, yang di warsa-warsa belakangan mudah dijumpai di sejumlah milis, mudah tergoda untuk menjawab: Ah, Paris tak pernah mengisi sepenuhnya urat-urat Sobron, Paris tak pernah memenuhi jantung Sobron….

Urat-urat dan jantung Sobron lebih banyak disesaki oleh kenangan pada Belitung dan Indonesia, kampung kelahiran dan negeri asal.Sobron, seperti yang juga tampak dari semua orang Indonesia karena menjadi eksil menyusul kasus G-30-S, amat sering berbicara tentang negeri asalnya. Ia begitu kuat ingatan dalam mengisahkan ulang sejumlah hal sepele yang pernah ia alami di Indonesia, sesemangat ketika ia mengomentari perkara-perkara yang mencuat di Indonesia, selantang ketika ia berbicara tentang dosa-dosa hitam Soeharto dan Orde Baru.

Masa lalu dan kenangan yang mengawetkanya seperti menjadi sumber ilham yang tak pernah habis digosok, tapi tampak juga sekaligus sebagai beban.

“Setelah dua pekan bermalam di emperan Sungai Rein/ kembali pulang ke kampung halaman Sungai Seine/ hati ini melonjak rindu dan kangen/ setelah mendekapkan perasaan sekitar sembilan lilindi Almere, Holland./ Tapi aku tetap saja ada di busur-lengkung/ garis-garis tata-letak kampungku di Belitung.”

Sajak di atas, berjudul "Pulang", yang ditulis pada Juni 2005, dengan amat baik menggambarkan bagaimana posisi Paris di Prancis atau Alemere di Belanda di hadapan Belitung di Indonesia. Tapi lebih dari sekadar itu, sajak Pulang juga menyiratkan sejumput kejengkelan, mungkin seperti sebonggol frustasi. “Aku itu sudah berpuluh tahun di luar negeri, tapi (kenapa ingatan) aku tetap saja menancap di Belitung?” begitu kira-kira pesan utama sajak itu.

Bayangan masa silam itu bahkan tetap dibawanya ke nirwana. Wasiat ia berikan pada sanak keluarga yang ia tinggalkan adalah agar jenazahnya dikremasi, dan abunya ditabur di Beijing (tempat mendiang istrinya wafat) dan di Belitung (tanah kelahiran). Paris seperti tak berbekas, penaka bukan kota yang ia pernah dengan amat tegas bersaksi kalau dirinya sudah benar-benar larut dalam otot dan jantungnya.

Puisi-puisi yang ditulisnya, catatan-catatan yang berisi kenangan, atau pernyataan-pernyataan politiknya yang tak pernah absen menghardik Soeharto dan Orde Baru dan (nyaris) semua tulisan yang dengan rajin dan rutin yang dikirimnya ke milis-milis, merupakan penegasannya yang paling otentik akan kerinduannya pada Belitung.

Harus diakui, Sobron adalah anggota milis yang aktif, teramat aktif malah untuk ukuran lelaki setua dia, yang tiap hari harus pergi ke warnet untuk mengirim dan membalas imel-imel. Seperti kesaksian yang diberikan anaknya, sebelum meninggal Sobron jatuh di sebuah stasiun bawah tanah ketika hendak pergi ke warnet, untuk apa lagi selain menyambangi milis-milis yang ia ikuti, dan kemudian ia hujani kembali dengan puisi dan tulisan-tulisannya.

Saya membayangkan, desau angin yang sensual kota Paris atau hiruk pikuk kesibukannya di restoran Indonesia, pasti langsung lenyap tiap kali ia duduk mencangkung di depan monitor warnet. Jika sajak Parisien seperti menjadi altar tempat ia merayakan kekagumannya pada Paris, maka warnet penaka altar tempat ia justru menegaskan betapa Paris tak pernah merasuki urat dan jantungnya.

Sobron adalah anak Belitung yang selalu ingin pulang ke Belitung. Sobron bukan seorang Parisien, karena itulah ia tak ingin abu jenazahnya ditaburkan di Paris.

Tapi dari sanalah, dari puisi-puisi yang lahir dari tangan Sobron, kita juga melihat betapa status sebagai eksil ternyata tak pernah melahirkan puisi-puisi eksil, yang tertinggal tak lebih sekadar gambaran situasi eksil.

Puisi-puisi Sobron, seperti juga puisi-puisi orang-orang eksil yang lain, seperti yang bisa kita baca dalam antologi "Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia" (2002), terlalu sarat dengan klise-klise politik, gerutuan orang-orang yang dizalimi (betapa pun itu memang faktual). Puisi seperti lahir untuk mementaskan kekecewaan, kemarahan, keluhan dan kejengkelan. Bukan kekecewaan atau kejengkelan itu yang pokok, tetapi kekecewaan dan kejengkelan yang membuat puisi-puisi itu menjadi beku dan klise itu yang jadi soal.

Di tangan Sobron, puisi seperti menjadi hal sekunder, karena yang primer adalah situasi eksil dan segala macam penyebabnya yang degil dan rudin itu. Diksi yang ranum, metafora yang kaya, pengucapan yang segar atau bunyi yang berirama seperti menjadi hal yang langka.

Kita harus mafhum pada kemungkinan betapa mereka mungkin tak terlalu peduli dengan tetek bengek teknik berpuisi yang membikin pusing para penyair pemula di negeri ini. Tapi kita patut heran kenapa kebebasan yang begitu besar di tanah asing. Limpahan pustaka yang menggunung, perjumpaan dengan khasanah kebudayaan dan realitas baru, tak membuat para sastrawan eksil(?) itu bisa melahirkan karya, minimal yang tidak klise-lah?

Amat jarang kita jumpai puisi para penyair eksil itu menyatakan rasa frustasinya seindah Agam Wispi dalam sajak "Pulang"-nya yang legendaris itu: “Puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang/puisi, hanya kaulah lagi pacarku lerbang....”

Sajak "Pulang vers Agam Wispi memaparkan kepedihan, kekecewaan, kemarahan, dan rasa rindu untuk pulang ke tanah air yang berujung pada frutasi yang menahun, yang membuat Agam Wispi akhirnya “menyerah” dan memilih untuk menjadikan puisi sebagai satu-satunya tempat ia pulang. Kepedihan, kekecewaan dan kemarahan seperti sudah ditransendensi sedemikian rupa dalam samudera kesadaran penyairnya.

Frase macam Agam Wispi di atas, yang punya potensi menjadi frase yang melegenda dan melintasi zaman, amat sukar kita jumpai dalam puisi-puisi Sobron dan yang lain. Bukankah kepedihan dan penghinaan atau rindu yang membubung pada tanah kelahiran tak harus selalu disuarkan melalui “pamflet” yang mengambil bentuk (serupa) sajak?

Di tangan Sobron, puisi menderu-deru seperti berburu dengan waktu, seakan mengejar sehimpun deadline, seperti terikat-erat dengan sejumlah target-target yang sama sekali tak ada urusannya dengan puitika. Pengalaman batin yang nyaris sama dengan Agam Wispi, di tangan Sobron, (hanya) menjadi “Lalu kini apakah bisa kita katakan/ api kebakaran lama dulu itu sudah mau padam?/ …sedang mereka (baca: eks rezim Orde Baru) terus membangun istana-istana baru/ di atas pekuburan kita/ di atas pekuburan para keluarga dan teman-teman kita ("Daftar Ingatan", 1998).

Sobron barangkali sedang membayangkan bahwa semua yang ditulisnya adalah peringatan bahwa ada yang keliru dari masa silam yang belum sepenuhnya diperiksa. Sobron, tampaknya, seperti khawatir masa silam yang hitam itu akan segera dilupakan. Sobron tak ingin itu kejadian. Seperti yang terpantul dalam puisi-puisinya yang seperti meriam itu, ia bahkan seperti tak sabar menyaksikan bagaimana masa silam yang membuatnya naas itu untuk sesegara mungkin diperiksa. Seperti ada dendam berkarat yang belum sepenuhnya lunas.

Asahan Aidit, adik Sobron sendiri, dalam obituari kakaknya, yang saya baca dari salah sebiji milis yang saya ikuti, juga menegaskan itu. Dendam, tulis Asahan, “adalah jiwa tulisan Sobron”.

Selengkapnya......

Selasa, Februari 20, 2007

Tak Ada Dosa Turunan di Antara Kita

Ketika adikku mengabarkan kematian kakek dengan terisak dan mata sembab, sungguh aku tak merasakan apa-apa. Datar. Nyaris tanpa impresi. “Mau pulang nggak?” tanya adikku.

Aku tak segera menjawab. Masih kuingat betul, aku justru mengingat-ingat kerjaan apa yang belum kuselesaikan, acara apa dalam dua hari ke depan. Beberapa jam kemudian, sewaktu aku sudah di atas kereta Senja Utama yang akan membawaku ke Cirebon, aku baru sadar betapa aku masih sempat-sempatnya berpikir untuk pulang atau tak dan masih sempat pula mengingat-ingat kerjaan.

Cucu siapa sebenarnya aku? Dan kakekku-kah yang mangkat?

Di atas Senja Utama yang kunaiki tanpa tiket, aku duduk di gerbong restorasi. Awalnya sendirian. Setelah memasuki Wates, seorang lelaki duduk di sampingku. Tak banyak yang kulakukan. Mengirim sms ke beberapa kawan. Membatalkan beberapa acara yang sudah kuagendakan. Memesan segelas energen. Menyeruputnya sedikit demi sedikit. Melewati Kutoarjo, aku membuka tas. Ku ambil Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I-nya Pramoedya.

Ah, mengenai buku ini, aku bisa sedikit berkisah, mungkin ada gunanya sedikit untuk menggambarkan bantunan jiwaku.

Beberapa menit sebelum kepergianku ke stasiun, aku sempatkan menyambangi kamar bacaku. Aku lihat-lihat dan memilah kira-kira buku apa yang bisa aku bawa sebagai kawan perintang waktu. Aku ingat, dua minggu sebelumnya, sewaktu aku harus mengantarkan adekku yang bungsu kembali ke Cirebon, aku sama sekali tak membawa buku. Dan betapa membosankannya duduk di kereta tanpa bacaan. Aku tak ingin mengulanginya lagi. Itulah sebabnya aku harus membawa bacaan. Dan entah kenapa aku memilih Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Metamorfosis-nya Kafka.

Yang pasti, sewaktu aku memilah-milah buku, Budi, kawan sekampung yang hendak mengantarkanku ke stasiun, sempat berseru: “Cepatlah. Waktu sudah mendesak. Sempat-sempatnya kau mikirin buku.”

Ya, kenapa aku sempat-sempatnya menghabiskan waktu 5 menit untuk memilah-milah buku, terbukti gara-gara 5 menit itu aku nyaris saja ketinggalan kereta. Kenapa masih sempat mencari-cari buku? Ini bukan soal aku kutu buku atau bukan. Sedikit banyak ini menyenggol perkara prioritas: terlambat kereta dan terancam tak bisa menghadiri pemakaman atau memilih dan mencari-cari buku agar perjalanan tak membosankan.

Perjalanan yang membosankan? Ah, sial betul. Kenapa aku tak pakai frase “perjalanan menyedihkan”? Perjalanan membosankan mengesankan aku penaka sedang berwisata saja. Padahal jelas bukan. Aduh… aduh….

Hei, bung, hendak ke mana sebenarnya kau? Sekadar pulang kampung? Jalan-jalan? Atau untuk menghadiri pemakaman kakekmu?

Sepanjang perjalanan, aku memang menghabiskan waktu dengan membaca memoar Pram itu. Sesekali aku menghentikan membaca saat dorongan untuk merenungkan semuanya, merenungkan hubunganku dengan kakek, merenungkan kematian. Tapi, bisa dibilang, memoar Pram lebih banyak menyita waktuku. Memoar ini sebenarnya pernah kubaca, tapi masih ada beberapa bagian yang kulewatkan. Makanya aku berniat menghabiskannya saja di atas Senja Utama ini.

Beberapa bagian Nyanyi Sunyi berhasil menghubungkan aku dengan kakekku yang malam itu sedang terbaring ditutupi kain jarik di kediamannya, di Dawuan, Majalengka, sekira 70 km ke arah barat dari Cirebon.

Aku masih ingat Bukan Pasar Malam, novel Pram yang paling liris, yang mengisahkan perjalanan pulang Pram kembali ke Blora, menengok ayahnya yang sedang sakit keras, untuk kemudian wafat sewaktu Pram masih di Blora, tapi sayangnya saat-saat terakhir ayahnya itu tak dihadiri Pram. Tentu saja kisah ini tak sama dengan Bukan Pasar Malam. Pram kembali ke Blora untuk menengok ayahnya yang sakit keras, sementara aku pulang untuk menemui orang yang sudah menjadi jenazah. Lagi pula, Pram menemui ayahnya, sedang aku menemui (jenazah) kakekku.

Di bagian-bagian awal Nyanyi Sunyi, Pram mengisahkan keluarga besarnya. Ada beberapa halaman yang mengisahkan kakeknya, baik kakek dari pihak ibu maupun dari ayahnya. Tapi tak ada bagian yang paling menghubungkanku dengan kakekku selain bab terakhir. Oleh Pram, bab itu dijuduli: Pokok dan Tunasnya.

Di bagian itu, Pram mengulas dengan baik bagaimana hubungan antara generasi tua dan generasi muda. Pram mengurai berdasar pengalaman hidupnya sendiri, bagaimana kesenjangan mental antara yang tua dan yang muda. Yang tua jelas sudah mencatatkan prestasi-prestasi hidupnya, sementara yang muda masih mereka-reka apa yang akan dilakukannya. Tapi yang tua belum tentu lebih baik, seperti halnya yang muda belum tentu juga bisa melampaui yang tua.

Di paragraf-paragraf awal bab itu, Pram bicara ihwal para patriark keluarga, para ayah, para lelaki kepala kaluarga, yang berlaku laksana hakim, penentu mana yang benar dan yang salah, si pemberi perintah, yang kata-katanya seperti sabda seorang raja, mesti ditaati dan dituruti.

Kakekku barangali adalah salah satu dari archetype para patriark itu. Ibu selalu membangga-banggakan ayahnya, kakekku itu, sebagai peletak dasar dari pola hidup disiplin, penuh dedikasi terhadap keluarga, pekerja keras yang menghidupi empat anaknya dan 3 saudara kandungnya, karena ia sudah yatim piatu sejak remaja. Ibuku, di level itu, adalah copy dari kakekku. Persis seperti ayahnya, ibu adalah pekerja keras, yang sealu tidur paling terakhir dan bangun paling dini, untuk memasak, mencuci, menyetrika pakaian suaminya dan anak-anaknya. Ibu seorang yang penuh dedikasi pada keluarganya. Seorang pekerja keras, yang mampu menafkahi dirinya sendiri, menambahi nafkah suaminya, dengan berjualan kecil-kecilan, dll.

Tapi ibu jelas bukan seorang patriark. Bukan semata karena ia adalah ibu rumah tangga dan bukan kepala rumah tangga, tetapi tanpa tawar ibu memang tak punya watak patriark. Watak patriark kakek, sepertinya tak berbekas pada dirinya.

Kakekku seorang patriark keluarga? Sepenuturan ibu, begitulah adanya. Dia mendidik dengan keras ibu, anaknya yang tertua, melebihi anak-anaknya yang lain. Ibu kerap bercerita, bagaimana kakek kerap menyuruhnya membeli rokok ke jalan besar di tengah malam, sendirian. Dan itu tak bisa ditawar. Ibu pernah pula bercerita, bagaimana kakek membuang roman-roman yang dipinjam ibu dari perpustakaan pabrik gula. Merusak, kata kekek.

Ibu juga pernah berkisah, bagaimana kakek menghalang-halangi sekuat tenaga dan dengan semua-mua dalih keinginan ibu untuk meneruskan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Khawatir pada anak perempuan yang merantau-lah, tidak punya biaya-lah, dll.

Kejadian yang sama berulang pula pada pamanku yang paling muda, adik ibu yang paling bungsu. Keinginannya untuk kuliah di STT Telkom, gratis tanpa biaya karena ditanggung beasiswa, ditentang habis-habisan. “Kalau mau kuliah, kuliah saja di IAIN. Titik,” kata paman bercerita dengan penuh masygul. Kejadian itu kerap kali diceritakan ulang oleh paman, seakan-akan waktu berbilang tahun gagal melumerkan kejengkelannya.

Hingga SMP, kakekku masih aku ingat sebagai kakek yang manis dan baik pada cucunya. Terlebih semasa SD, aku selalu menanti kedatangan kakek. Vespa tuanya selalu aku rindukan. Aku tak ingat betul apakah kakek sering mengisahkan dongeng-dongeng atau tak. Pastinya, kakek selalu membawakanku oleh-oleh banyak. Kakek selalu memberiku uang jajan. Kakek selalu memberiku uang tiap kali mau kembali ke rumahnya, uang yang langsung kuhabiskan dengan membeli mobil-mobilan atau pistol mainan.

Aku masih ingat salah satu kebiasaan kakek sewaktu bertandang ke rumah. Dia selalu membaca buku-buku cerita yang aku bawa dari perpustakaan sekolah. Dan tiap kali buku-buku itu habis dibacanya, kakek langsung memintaku untuk mencarikan buku yang lain yang belum dibacanya. Apa saja dibacanya. Bahkan dua bulan yang lalu, sewaktu aku mudik lebaran, buku yang sedianya aku berikan pada pamanku yang terbaring di rumah sakit, Misteri Shalat Subuh dan buku Fatima Az-Zahra karangan Ali Syari’ati, habis pula dibaca kakek selama ia menunggui pamanku, anak bungsunya sendiri, dirawat di rumah sakit.

Ibu bilang, dari kakeklah hobi membacanya diperoleh. Ya, ibu memang hobi membaca. Ibu sering berkisah bagaimana di masa mudanya ia melahap habis semua roman-roman Balai Pustaka yang diperolehnya atau novel-novel populer yang mudah didapatkan. Dari ibu pulalah, barangkali, kegiatan membacaku dimulai. Masih aku ingat benar, roman orang dewasa pertama yang kubaca, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karangan Hamka, aku baca setelah ibu selesai membacanya. Aku membaca itu sewaktu masih SD, mungkin ketika aku masih kelas 3 SD.

Tapi kakek memang sudah menunjukkan watak partiarknya sewaktu aku masih kecil. Aku juga ingat, tiap kali kakek bertandang ke rumah, kakek selalu bekerja apa saja. Kadang-kadang, ia bahkan membersihkan genteng rumah yang dipenuhi daun-daun. Dan aku selalu harus mengikuti perintahnya. Di suruh mengambilkan sapu atau yang lain. Dan itu tak bisa dibantah.

Kakek memang pekerja keras. Jika seorang ayah mengunjungi anaknya yang sudah berkeluarga mungkin kebanyakan memita dilayani, dienakkan, disuguhi, bahkan kadang memitna ongkos pulang. Kakekku tidak. Dia selalu bekerja sewaktu anak dan menantunya pergi mengajar (ayah dan ibuku adala guru SD). Di sini, watak partiark itu lenyap begitu saja dengan serta-merta.

Tapi kakek memang seorang yang rajin memberi nasehat. Petuah. Dia tak pernah lupa untuk menasehatiku untuk jangan sekali-kali meninggalkan shalat. Dalam hal ini, kakek tak kurang watak paedagogisnya. Jika sudah begitu, aku hanya diam saja, dan kerap membiarkan nasehat itu lewat dari kiri kupingku ke kanan kupingku. Aku tak begitu suka dinasehati panjang lebar. Amat mengganggu rasanya. Tapi kakek tak pernah lupa mensehatiku. Selalu begitu. Tiap kali bertemu.

Ya, lewat tulisan Pram, aku menimbang-nimbang kakekku. Memberi penilaian, sembari mengenang-ngenang.

Pram, masih di bab penutup Nyanyi Sunyi, menulis begini: “Generasi tua memegang kata putus dalam segala-galanya. Generasi muda mengintip-ngintip dari jendelanya, menimbang-nimbang dengan takut-takut, juga mengadili dan menghukum dengan diam-diam.”

Tentu saja aku tak selengas itu. Aku mungkin menimbang-nimbang dan memberi penilaian. Tapi aku tak sedang mengadili, apalagi menghukum. Aku bukan hakim. Aku bukan seorang pendendam pula. Bagaimana pun aku cucunya, persisnya cucu lelaki pertamanya. Lagipula, tak ada yang berlebihan dari sikap kakek pada ku. Tak patut pula aku mengadili. Apalagi menghukum.

Tapi aku tidak menangis. Tidak seseunggukan seperti adikku. Apa artinya ini? Normalkah? Atau jangan-jangan Pram benar. Sikapku menghadapi kematian kakek tanpa setetes pun air mata, adakah merupakan hukuman seorang cucu buat kakeknya? Jika ya, hukuman apa? Dan atas perbuatan salah apa kakekku dihukum?

Seorang kakek tentu wajar menerima kucuran air mata dari cucunya saat ia mangkat. Tapi aku tidak menangis. Tidak sesenggukan. Ah….


******
Ketika aku sampai di kediaman kakek, aku disambut sanak keluarga yang tak tidur semalaman. Aku disambut nenek. Aku memelkanya. Dia menangis. Aku menghiburnya. “Harusnya kakekmu menunggu kedatangan ibumu pulang,” sesal nenek.

“Ya sudahlah. Ada hikmahnya juga. Mumpung ibu lagi ada di Mekkah, dari sana ibu bisa mendoakan kakek dengan sebaik-baiknya do’a. Mungkin do’a ibu bisa melapangkan jalan kakek. Bukankah do’a di Mekkah katanya punya peluang lebih besar dikabulkan,” kataku sambil mengelus-elus pundak.

Aku memasuki ruang tengah. Aku lihat ada pamanku. Ada juga paman wa Ujang, sepupu ibuku. Aku lihat kakek terbujur kaku di tengah ruangan itu. Diselimuti kain putih bergaris-garis biru. Wajahnya ditutupi jarik. Entah kenapa aku tak berniat melihat wajahnya. Aku berbincang beberapa jenak dan pamanku. Kemudian aku mengambil wudlu. Shalat subuh. Setelah itu, aku membaca surat Yaasin sebanyak dua kali.

Ya, hanya itu. Dan aku tak menangis. Tak sesenggukan, juga tidak berkaca-kaca.

Sembari menunggu penguburan kakek, aku menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan sanak keluargaku. Berbagi kabar. Berbagi cerita. Sembari menyeruput kopi dan teh. Dan menghisap rokok tentu saja.

Ketika tiba saat penguburan, aku berjalan persis di belakang keranda kakek yang diusung bergantian. Menjelang masjid, giliranku mengusung keranda. Tak terasa berat seperti dugaanku. Biasa saja.

Sesampainya di mesjid, aku segera mengabil wudlu. Begitu pula para pelayat yang lain. Kami semua menggelar shalat jenazah. Setelah shalat usai, imam mesjid itu menyampaikan pidato singkat. Di akhir pidatonya, imam itu bertanya pada para pelayat yang hadir.

“Almarhum (ber)iman?”

Serentak menjawab: “Iman.”

“Almarhum sae (orang baik)?’

Serentak pula menjawab: “Sae.”

Imam mengulangi pertanyaan yang sama sebanyak tiga kali. Dan sebanyak itu pula pelayat yang hadir memberikan jawaban yang sama.

Setelah itu, keranda kembali diusunng. Memasuki gang pekuburan, aku kembali manandu keranda. Seingatku, akulah satu-satunya keturunan darah langsung kakek yang ikut langsung mengusung mengusung keranda.

Entah kenapa kali ini keranda itu terasa lebih berat ketimbang sebelum dishalatkan. Aku ingat film-film mistik yang sering diputar di televisi. Aku pernah menonton sala satunya, yang dikisahkan ada keranda yang begitu enteng dan wangi ketika diusung, yang kata ustadz di film itu disebutkan sebagai pertanda betapa almarhum begitu banyak berbuat baik dan penuh pahala.

Ah, kenapa keranda kakek terasa lebih berat sekarang? Keranda juga tak menguarkan aroma wangi?

Sialan. Film-film rendahan itu ternyata membuatku berpikir macam-macam. Kubuang jauh-jauh pikiran yang bukan-bukan itu. Aku konsentrasi mengusung keranda.

Sesampainya di kuburan, pekerjaan menggali kuburan ternyata belum sepenuhnya selesai. Tapi itu juga tak lama. Lima menit kemudian, kuburan sudah siap. Seseorang tiba-tiba berkata: “Mana incuna? Siap-siap incuna turun.” (Mana cucunya? Siap-siap cucunya turun.)

Mendengar itu, aku pun bersiap. Aku lepaskan sandalku. Celana jeans hitam yang kukenakan aku gulung selutut. Aku turun ke kuburan yang sudah siap itu, bersama seorang tua setempat dan suami salah satu cucu kakekku, artinya suami sepupuku. Aku berada di tengah-tengah.

Beberapa detik aku sempat memerhatikan tanah disekelilingku. Begini rasanya kuburan. Baru kali ini aku turun ke kuburan, untuk menerima jenazah yang hendak dikubur. Ini pengalaman pertama. Imaji akan maut lumayan kuat menyergap. Bulu kuduk meremang. Tapi aku tidak nervous. Tidak pula deg-degan. Kendati ini pengalaman pertamaku.

Jenazah kakek diturunkan pelahan. Aku dan dua orang lainnya menerima dengan hati-hati. Mulanya aku menahannya dengan kedua tanganku menyangga di bawah jenazah. Tapi ada orang di atas berseru, tangan kiri di atas jenazah. Aku ikuti petunjuk itu. Tangan kanan di bawah jenazah, dan tangan kiri di atas jenazah. Aku, dengan demikian, memeluk jenazah kakek.

Perlahan dan dengan sangat hati-hati, jenazah kakek diletakkan di tanah yang basah dan dingin, rumahnya yang kemudian. Agak susah menempatkannya. Beberapa kali, jenazah kakek harus digeser ke utara sedikit, untuk mengepaskannya. Wajah kakek kemudian dimiringkan, menghadap ke barat. Seseorang menurunkan tanah yang dibentuk seperti bola, mengganja pantat jenazah kakek, kaki, pundak dan kepala kakek. Supaya jenazah tetap berada dalam posisi miring. Orang tua di depanku melepaskan ikatan kain kafan jenazah bagian kepala. Sementara suami sepupuku melepaskan ikatan kafan di bagian kakinya.

Ketika ikatan kafan bagian kepala dilepas, kafan itu kemudian dibukakan sedikit. Selintas aku melihat wajah kakek, persisnya bagian mulut pipi bagian bawah dan separuh hidungnya. Sisanya tak jelas terlihat. Ah, akhirnya aku melihat wajah kakek yang terakhir kali, ya… melihatnya dengan cara yang aneh. Aku, dengan demikian, menjadi keturunannya yang terakhir yang bisa melihat wajahnya.

Setelah semua usai, aku naik sedikit, kakiku menginjak bagian teras kecil di sepertiga kedalaman kuburan, untuk tempat papan-papan kelak akan diletakkan. Satu per satu, papan diturunkan. Ternyata, papan untuk bagian kepala tak pas ukurannya. Beberapa kali di ganti papan yang lain tak muat juga. Terpaksa seseorang turun membawa linggis, melubangi sedikit dinding kuburan. Setelah itu, papan baru bisa pas. Aku menerima papan-papan itu. Aku sendiri yang meletakkannya.

Kembali aku ingat film-film mistik di televisi. Tentan seorang yang susah benar dikuburnya. Sialan. Lagi-lagi aku ingat film-film picisan itu. Jelas itu pikiran buruk. Aku membuangnya jauh-jauh. Huh!

Setelah jenazah tertutupi papan, aku menerima tikar pandan tempat alas jenazah kakek di keranda. Aku letakkan tikar itu menyelubungi papan-papan itu. Aku juga menerima dua bilah bambu, mungkin pernah digunakan untuk mengukur ukuran jenazah kakek untuk keperluan menghitung ukuran makam.

Ketika aku hendak entas dari makam yang hendak dikuburi tanah, seseorang memberikanku plastik kecil bening. “Taruh di dekat bagian kepala,” sebuah suara dari kerumunan para pelayat menyambar.

Sedetik kemudian aku perhatikan plastik itu. Aih… ternyata isinya adalah gigi palsu yang utuh, bagian atas dan bawahnya. Lengkap. Komplit. Pelan-pelan kutaruh plastik berisi gigi palsu kakek itu di atas bagian kepala jenazah kakek.

Setelah semuanya usai, aku naik ke atas. Dan dimulailah upacara penguburan itu. Aku mengambil posisi agak jauh di belakang ketika tanah-tanah hitam yang agak basah itu diturunkan sedikit demi sedikit, menguburkan jenazah kakekku, orang yang darahnya sedikit banyak mengalir di nadiku.

Ketika tanah-tanah itu mulai mengurugi makam kakek, aku ingat kembali gigi palsu itu. Huueehhhh! Perutku mendadak merasa mual. Ya, mual. Seperti ada yang hendak terlontar keluar dari mulutku. Serasa ingin muntah. Tentu saja aku tahan-tahan. Sungguh tak mengenakkan dilihat orang jika aku muntah saat makam kakek sedang mulai diurug. Apalagi jika orang tahu aku muntah karena melihat gigi palsu kakek. Sudah tak mengelurkan air mata, eh… sekalinya mengeluarkan sesuatu, malah muntahan isi perut. Uh… cucu tak diuntung. Begitu barangkali komentar mereka.

Tapi kejadian ini, lagi-lagi, memaksaku berpikir. Siapa sebenarnya lelaki yang baru saja dikubur itu? Kakekku kah? Jika ya, kenapa aku tak menangis? Kenapa aku mual sewaktu melihat gigi palsunya? Bukankah aku juga keturunannya?

Ternyata, aku orang terakhir yang pulang meninggalkan makam kakek, rumah baru kakek. Aku hitung langkah. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh.

Ya, saat itulah malaikat Munkar dan Nakir mendatangi kakek dan menanyai siapa Tuhan-nya, siapa Rasul-nya, apa agamanya. Begitulah yang pernah diceritakan kakekku dulu, semasa aku masih SD.

“Kita akan ditanyai malaikat kalau orang terakhir di penguburan sudah meinggalkan makam sejauh tujuh langkah,” kata kakek dulu.

Kakekku mengalaminya sekarang. Langsung. Entah, di sana, kakek ingat atau tidak kalau ia dulu pernah menceritakan hal yang detik ini sedang dialaminya langsung. Yang pasti, aku, cucu keduanya dan cucu laki-laki pertamanya, satu-satunya cucu yang mewarisi minatnya pada bacaan, mengingatnya dengan khidmat.


******
Malamnya, aku segera ke Cirebon, menuju stasiun, menunggui kereta Senja Utama yang akan membawaku kembali ke Jogja. Jam 10.30 malam, kereta tiba. Aku naik dan duduk di gerbong empat. Aku langsung membuka kembali Nyanyi Sunyi, membaca kembali bab terakhir buku itu, Pokok dan Tunasnya. Aku membacanya tanpa jeda. Tak sampai 15 menit, bab itu tuntas kuhabiskan.

Aku letakkan Nyanyi Sunyi di meja dekat jendela. Aku nyalakan sebatak rokok. Aku menghisapnya dalam-dalam. Pandang ku lemparkan ke arah luar. Tak ada yang tampak. Hanya hitam pekat berjelaga.

Aku pulang dengan hati yang datar. Tak begitu merasa kehilangan. Biasa saja. Di sepanjang jalan, aku tertidur, seperti tak terjadi apa-apa.

Sesampainya di tugu jam 5 pagi, aku ingat-ingat, apakah selama perjalananku sehari semalam ini aku pernah meneteskan air mata. Ternyata tak. Seingatku memang tak. Aku hanya sempat berkaca-kaca ketika tanah mulai turun mengubur jenazah kakek. Hanya itu. Tak kurang tak lebih.

Ah, aku tak seperti kata Pram, yang menulis ihwal penghakiman dan penghukuman. Aku tak sedang menghakimi. Sekali lagi, tak pula sedang menghukum. Aku hanya mengisahkan semuanya begitu saja. Apa adanya. Aku tak menangis. Tak sesunggukan. Tak begitu merasa kehilangan.

Aku, tentu saja, sedikit banyak merasa berterimakasih pada kakekku, setidaknya karena ia pernah memberiku sekerat kenangan manis semasa kecil memunyai kakek yang manis dan baik. Kendati, dengan berat hati harus pula kuberikan catatan tambahan: makin besar usiaku, makin banyak pula jejalan nasehat yang ia sampaikan buatku. Sejak itu, kakek tak lagi semenarik dulu. Dan aku pun mulai tak begitu merindukan kedatangannya di rumahku.

Saya memang bukan kakek. Banyak hal perbedaan di antara kami. Kakek adalah orang yang saleh, sementara aku, cucunya, shalat saja masih jauh lebih banyak bolongnya. Sesekali suka minum bir. Nongkrong-nongkrong. Dan jauh dari mesjid. Lagipula, tak ada keharusan seorang cucu untuk menyerupai kakeknya.

Tapi, fragmen beberapa jam penguburan kakek memaksaku berpikir ihwal apa arti keluarga dan puak bagiku. Aku ternyata memang tak terikat secara erat dengan apa yang disebut keluarga dan puak. Di momen-omen tertentu, keluarga dan puak seringkali justru menjadi beban. Pada salah satu lebaran, aku merasakan betapa tak enjoynya harus melakukan ritus mudik. Ah, betapa enaknya orang-orang yang bisa bebas menentukan di mana ia hendak berlebaran. Kala itu, aku sempat berpikir, ada baiknya aku segera menikah dan berkeluarga, setidaknya, itu bisa menghindarkan diri dari kewajiban mudik dan pulang kampung.

Aku lebih terberati oleh jejalin persahabatan dengan orang-orang yang kutemui kala aku dewasa. Kawan-awan kuliahku. Teman-temanku nongkrong. Rekan kerja. Apa yang disebut Amin Maalouf sebagai “warisan vertikal” semacam ikatan primordial yang terberi begitu saja, seperti ikatan darah dan keluarga, ternyata pelan tapi pasti tergerus oleh apa yang oleh Maalouf sebut sebagai “warisan horzontal”: anyaman identitas yang dibentuk dengan penuh kesadaran, semisal identitas perkawanan, komunitas, dll.

Belakangan aku mulai sedikit menikmati momen-momen berkumpul dengan keluarga. Tapi, ikatan primordial bernamah keluarga dan puak itu kadang masih memberatiku. Masih kadang membebaniku.

Aku tak tahu persis apa alasan yang membuatku memutuskan pulang di menit pertama ketika mendengar kabar mangkatnya kakek. Adakah itu manfestasi kehilangan dan kesedihan? Entahlah. Nyatanya aku tak menangis sesenggukan. Tak ada setetes pun air mata yang tumpah.

Aku pulang, sepertinya, untuk melaksanakan kewajiban terakhir seorang cucu pada kakeknya, apalagi ibuku, putri pertama kakek, sedang tak di Mekkah sana. Aku, terpanggil, setidaknya untuk mewakili ibu. Dan aku sudah melaksanakan itu sebaik-baiknya. Mengusungi keranda kakek, meletakkan jenazah kakek, melepas ikatan pocongnya dan meletakkan dengan hati-hati gigi palsu kakek. Akulah darah dagingnya yang terakhir yang menyentuhnya dan yang terakhir pula menatap parasnya yang tua dan letih itu.

Ya, sekadar kewajiban. Semacam tugas. Aku menuliskan kata “kewajiban” dan “tugas” dengan hati yang aneh, perpaduan antara rasa yakin dan tak bisa menerima.

Aku masih ingat ucapan seorang letnan marinir yang bertugas sebagai pengacara dalam film Rules of Engagment, yang kusaksikan di warteg sembari menunggu kedatangan kereta Senja Utama yang akan membawaku kembali ke Jogja. Di salah satu adegan, letnan itu (aku lupa namanya) mengenang kejadian yang dialami sewaktu di medan perang Vientam. Ia bukan menyesali anak-anak buahnya yang tewas. Ia menyesal sangat karena ketika ia tahu semua anak buahnya tewas, ia malah bersyukur karena dirinya ternyata selamat. Ia merasa sangat tidak terhormat ketika mengingatnya.

Kurang lebih, itu pula yang aku rasakan. Aku tak bisa menerima ketika di atas aku menulis kepulanganku semata sebagai “kewajiban” dan “tugas” seorang cucu kepada kakeknya. Tak bisa menerma, kenapa bisa aku berpikir demikian, kendati sedikit pun aku tak meragukan kesimpulanku itu.

Sekarang, kakekku yang damai, ijinkan cucumu melanjutkan hidupnya. Menghadapi problem-problem kemanusiannya. Biarlah aku menangguk semua kesalahan dan dosa yang kuperbuat, seperti halnya kau sekarang mungkin sedang memertangungjawabkan semua dosamu (kuharap tak tentu saja) dan menikmati pahala yang pernah dibuatmu.

Dalam hal ini, kita, aku dan kakek, pasti sepakat: tak ada dosa turunan di antara kita.

Selengkapnya......

Jumat, Februari 16, 2007

Rhapsody Cinta Terlarang

"Baik bagi seorang laki-laki untuk tidak menyentuh seorang perempuan.” Kata-kata itu kita temukan dalam buku “Confesiones” yang ditulis St. Augustine, lelaki yang ditahbiskan menjadi seorang Santa (Orang Suci) karena ide-idenya yang mengalasdasari doktrin iman Kristiani sepanjang Abad Tengah.

Tapi dengan membaca otobiografinya itu(yang ditulis setelah diangkat jadi Uskup), kita jadi tahu semasa hidupnya Augustine ‘tak pernah’ benar-benar menjadi orang suci. Ia akui, dirinya pernah berkubang dalam laku seksual tak terkekang, yang membuahkan anak bernama Adeodatus!

Hanya saja, semua buku dan literatur yang memelajari biografi dan pemikiran Agustine, termasuk Confessiones sendiri, tak mampu memberi jawaban ihwal Siapa perempuan yang kemudian melahirkan anak bernama Adeodatus itu?

Kotak pandora itu mulai terkuak melalui sebuah koinsidensi yang menyenangkan. Jostein Gaarder (penulis buku “Dunia Sophie”) pada 1995 tanpa sengaja menemukan setumpuk naskah tua di kios buku kecil di Buenos Aires, Argentina. Selidik punya selidik, naskah tua berlabelkan “Codex Floriae” itu ternyata surat-surat yang ditujukan kepada St. Augustine. Maka, terkuaklah rahasia besar itu!

Floria Aemilia, si penulis naskah “Codex Floriae”, tak lain adalah kekasih Augustine yang melahirkan Adeodatus. Floria menulis surat panjang ini setelah ia diberi kesempatan oleh seorang Romo untuk membaca “Confessiones”, otobiografi Augustine yang berisi pengakuan ihwal perjalanan hidup, dari mulai masa kecilnya, remaja, petualangan seeksualnya, termasuk hubungan romannya dengan perempuan yang melahirkan Adeodatus. Hal inilah yang memancing Floria untuk menulis surat.

Maka jika “Confessiones” merupakan ‘pengakuan’ Augustine, maka “Codex Floriae” bisa dibaca sebagai sebuah ‘pengakuan balik’.

Pengakuan balik’ Floria ini oleh Jostein Gaarder lantas diterjemahkan dari bahasa Latin. Tak cuma menerjemahkan, Gaarder juga berhasil melacak asal-usul puluhan kalimat dan kutipan yang dicuplik Floria dari khasanah Yunani dan Romawi klasik. Terjemahan yang dilakukan setelah melewati riset serius itulah yang lantas diterbitkan oleh Gaarder menjadi sebuah buku yang diberinya judul “Vita Brevis”.

Lewat “Vita Brevis” inilah, rahasia terdalam hubungan Augustine dengan Floria terkuak. Keduanya bertemu ketika Augustine sedang menyelesaikan pendidikan di Sekolah Retorika di Carthage. Cerita cinta itu pun dimulai dan berlanjut menjadi sebuah romansa luar biasa yang melibatkan segenap kekuatan raga, jiwa dan intelektual. Delapan belas bulan kemudian, Adeodatus pun lahir.

Lambat laun, kekuatan cinta St. Augustine kepada Floria mulai koyak moyak. Augustine (yang dipanggil Floria dengan nama Aurel) jatuh cinta pada pengabdian pada Tuhan. Akhirnya Augustine mengirim Floria ke Afrika tanpa Adeodatus. Sang anak diambil dan diasuh langsung oleh Augustine. Floria bahkan tak diizinkan mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya. Floria jelas menanggungg lara yang demikian menikam: ia dipisahkan sekaligus dari lelaki yang dicintainya dan putra terkasihnya.

Dari “Confessiones”, kita tahu Augustine makin merapat ke jalan Tuhan. Akhirnya ia pun dibaptis. Selesaikah petualangan Augustine? Ternyata tidak. Augustine sendiri masih mengirimi Floria tiga pucuk surat yang mengakui dirinya tak mampu melupakan Floria. Tak cukup berkirim surat, keduanya masih sempat bertemu kembali, dan merajut ulang kemesraan itu di sebuah kamar yang khusus disewa Augustine untuk tempat tinggal Floria.

Sebagai seorang terpelajar, Floria sadar roman cintanya patah bukan karena adanya perempuan yang disiapkan Monika untuk menjadi istri Augustine. Lewat pengamatan yang tajam, Floria menulis dengan kata-kata penuh tenaga: “Sainganku adalah sebuah prinsip filsafat…. Sainganku bukan hanya sainganku sendiri. Ia adalah saingan semua perempuan, ia adalah malaikat maut bagi cinta itu sendiri.”

Dalam “Confessiones”, Augustine memang menempatkan perempuan sebagai penggoda yang harus dijauhi. Hubungan dirinya dengan Floria pun dianggap sebagai kutukan, penuh dosa dan harus dihentikan. Floria balik menuduh Augustine egois. Floria marah. Dengan telengas, ia menghajar pendirian teologis Augustine dengan kata-kata: Aku tidak percaya pada Tuhan yang menyia-nyiakan hidup seorang perempuan demi menyelamatkan nyawa seorang laki-laki.

Kendati cukup sophisticated dan lincah berargumentasi dalam menantang arus pemikiran Augustine, “Vita Brevis” pada awal dan pada akhirnya memang sebuah surat cinta. Polemik teologi yang disemai Floria tak lebih dan tak kurang adalah sebuah ikhtiar terakhir seorang perempuan terpelajar untuk mengajak kekasihnya pulang kembali ke ‘jalan Venus’; sebuah jalan yang dalam keyakinan Floria sama sekali bukan kubangan penuh dosa; sebuah jalan yang penuh gelegak dinamika kesenangan, kenikmatan sekaligus kepedihan.

Sebuah jalan di mana Tuhan juga bersemayam.

Selengkapnya......

Kekerashatian yang Feminin

Obituari Pejuang Buta

Kita tak tahu persis kapan dan di mana foto Nyak Dien ini diambil. Keterangan yang didapat hanya menunjukkan foto itu diambil setelah ia tertangkap pasukan kolonial pimpinan van Heutzs.

Menyaksikan dengan seksama foto itu, kita dipaksa untuk mengernyit. Bagaimana bisa seorang pejuang yang gigih bisa tampak sesangsai itu?

Kita tak melihat raut wajah yang gagah dan keras hati, seperti yang sering kita lihat pada gambar-gambar Njak Dien yang kerap kita tatap di buku-buku sejarah resmi.

Wajah itu menunduk. Tapi cukup jelas ia tak sedang diam. Di wajahnya yang pucat, hitam dan letih itu, ada nuansa seperti sedang menangis, sekaligus menguar pula aroma kejengkelan yang sebisa mungkin ditahannya. Jika pun menangis, foto itu juga menegaskan, Njak Dien tak sedang menangis yang merengek, tapi lebih pas seperti menangis dengan jengkel, mungkin setengah menjerit.

Tapi jika pun benar Njak Dien menangis dan menjerit jengkel, posisi tangan Njak Dien ternyata mengabarkan sejumlah hal: tangisan kejengkelan Njak Dien ternyata seperti sedang berdo'a. Pasrah pada nasib yang tak mampu ia taklukkan. Bagi seorang buta, perempuan janda yang ditinggal mendiang dua suaminya, seorang pemimpin yang telah menjadi pesakitan, do'a barangkali cara mudah mengakui kerendahan diri. Mungkin juga kegagalan diri.

Foto itu berbicara banyak ternyata, tentang Njak Dien yang perempuan, yang mungkin mudah menangis, sekaligus Njak Dien yang maskulin, yang menjerit jengkel dan marah, berikut ekspresi tangan Njak Dien yang seperti sedang berdo'a, menunjukkan ia seorang yang sedang "sumeleh", pasrah, mungkin juga bertakwa.

Tjut Njak Dien adalah putri dari seorang da’i dari Sumatera Barat yang merantau ke Aceh dan kemudian menikahi seorang wanita yang berasal dari keluarga bangsawan terpandang dari kampung Lapagar, Aceh. Nanta Muda Seutia, ayah Tjut Njak Dien, lantas diangkat menjadi ulebalang di wilayah VI Mukim.

Ketika beranjak remaja, ia dinikahkan dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga, salah seorang pemimpin perlawanan rakyat Aceh atas pendudukan Belanda. Mereka rela rumah mereka dijadikan markas perjuangan, dan Teuku Cik Ibrahim Lamnga sebagai pemimpinnya.

Pada 28 Desember 1875 Belanda kembali menyerang Aceh secara besar-besaran dan membuat situasi Aceh semakin memanas. Tjut Njak Dien, anak mereka, dan ibu Tjut Njak Dien yang sudah tua, dibawa ke tempat yang aman. Sementara Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan pasukannya terus bertempur mempertahankan wilayah VI Mukim. Pada bulan Juni 1878 di Gle Tarum terjadi perang besar melawan Belanda. Dalam perang itu Teuku Cik Ibrahim Lamnga meninggal dunia. Jenazahnya segera diusung ke tempat Tjut Njak Dien berada.

Sejak saat itu, Tjut Njak Dien bertekad akan meneruskan perjuangan suaminya mengusir Belanda dari tanah Aceh. Dalam perjuangannya, ia berkenalan dan jatuh cinta pada seorang pemuda yang bernama Teuku Umar. Akhirnya pada tahun 1880 Teuku Umar melamar Tjut Njak Dien. Pernikahan itu disambut gembira oleh kedua belah pihak. Bersatunya dua pemimpin perlawanan itu berarti menyatukan dua pasukan. Jumlah pasukan itu semakin banyak dan kuat. Sayang, persediaan persenjataan mereka semakin sedikit.

Teuku Umar mencari jalan agar mendapatkan senjata dari Belanda. Dia lantas berpura-pura bersedia menjadi kaki-tangan Belanda untuk membasmi perlawanan rakyat Aceh. Tentu saja Belanda menyambut baik. Teuku Umar kemudian diserahi pasukan dan persenjataan. Selama proses itu berlangsung, Teuku Umar terus menyelundupkan senjata ke pasukan yang sekarang dipimpin istrinya.

Pada 10 Februari 1898, Belanda mengetahui letak persembunyian Teuku Umar. Jendral van Heutsz, komandan pendudukan Belanda di tanah Aceh, segera menyerang pasukan Teuku Umar tepat di Ulong Kala sebelum mencapai kota Meulaboh. Dalam gelap malam itulah Teuku Umar wafat.

Untuk kali kedua, Tjut Njak Dien menjadi janda. Dan untuk kali kedua pula, Tjut Njak Dien bertekad tetap angkat senjata. Dia melanjutkan taktik perang gerilya dalam melancarkan perlawanannya. Dan Belanda tak mampu meringkusnya.

Tjut Njak Dien baru bisa diringkus setelah Pang Laat, pengikut setia Tjut Njak Dien, membocorkan persembunyiannya. Pang Laat merasa tak tega melihat bagaimana Tjut Njak Dien yang sudah mulai menua dan mulai mengalami kebutaan masih harus terus-terusan memimpin perang. Pang Laat berharap, dengan ditangkap, Tjut Njak Dien bisa disembuhkan dari deraan sakit dan usia yang merembang senja.

Membaca riwayat Tjut Nyak Dien, kita seperti sedang membaca sebuah epos. Tjut Njak Dien adalah prototipe perempuan Srikandi seperti bisa kita temukan dalam epos Mahabharata. Dalam Mahabharata versi India, Srikandi digambarkan sebagai wadam yang menjadi istri Arjuna. Sebagai istri, Srikandi tak diragukan kesetiannya. Dan sebagai satria yang terlibat dalam perang besar Bharatayudha, Srikandi menjadi salah satu penentu kemenangan Pandawa dengan keberhasilannya menewaskan Bhisma yang berpihak pada Kurawa.

Seperti Srikandi, di jelujur riwayat Tjut Njak Dien, kita saksikan bagaimana feminitas dan maskulinitas seperti melebur. Kesetiaan feminin dan kekerashatian maskulin berpadu-padan dengan sedemikian rupa sehingga Tjut Njak Dien hadir dalam ruang imajinasi bangsa Indonesia dengan begitu impresifnya.

Sejarah kita mencatat banyak sosok perempuan hebat. Tetapi dalam hal tersebut, keunikan Tjut Njak Dien bisa dibilang tak ada padanannya dalam sejarah perlawanan rakyat Nusantara terhadap penjajahan Belanda.

Selengkapnya......