Kamis, Januari 25, 2007

Luka-luka Kawabata (3)

Kisah-kisah yang sering menggambarkan batin yang terluka, yang dihayati dengan sunyi, hening, liris dan terkadang suram itu seperti menjadi pantulan dari luka yang mengeram dalam struktur kesadaran generasi Jepang yang sempat menyaksikan akibat merusak dari perang Dunia II yang melibatkan Jepang dalam baku bunuh yang membikin (rakyat) Jepang tidak hanya kikuk berhadapan dengan Barat, melainkan juga canggung menghadapi bangsa-bangsa Asia lain yang pernah merasakan getirnya laku bengis tentara Jepang.

Lewat pidato yang dibacakan di depan Komite Nobel Sastra pada 1994, Kenzaburo Oe seakan sedang menapaktilasi struktur kesadaran generasi pengarang Jepang pasca perang, dan tentu bisa dibaca pula sebagai pembacaannya terhadap Kawabata sebagai eksponen terpenting generasi post-war litteratur.

Di pidato berjudul Japan, the Ambigous and Myself (bandingkan dengan judul pidato Nobel Kawabata: Japan, the Beuatiful and Myself), Oe bertutur tentang bagaimana perihnya derita dan beban warisan masa lalu yang mesti mereka tanggung dan bayar. Mereka adalah generasi pengarang yang sangat terluka sekalipun penuh harapan untuk bisa lahir kembali.

Mereka mencoba dengan sakit luarbiasa untuk memoles kekejaman biadab yang dilakukan pasukan Jepang di negara-negara Asia dan sekaligus juga dibebani tanggungjawab untuk menjembatani jurang yang sangat dalam antara Jepang dengan negara yang pernah dilukai Jepang.

Kisah-kisah Kawabata, terutama yang lahir pasca perang, kaya dengan gambaran ihwal luka, kesedihan dan kepedihan manusia yang tak tertanggungkan, luka mendalam yang hanya diekspresikan dengan diam-diam, liris, tak banyak kata. Dari sana gamblang tergambar bagaimana generasi pengarang Jepang pasca perang menghayati rasa malu, luka dan beban sekaligus. Dan dari sanalah mereka, tentu saja Kawabata juga, menghadirkan banyak karakter manusia yang mudah terluka perasaannya.

Kawabata, dan para pengarang angkatan post-war litterature, seperti sedang membagi luka kolektif bangsa Jepang. Tetapi mereka tak hanya mengerang-ngerang. Dengan fiksi-fiksinya, mereka mencoba memulai proyek penyembuhan jiwa-jiwa yang koyak. Sastra bagi Oe, seperti juga Virginia Wolf, adalah salah satu cara yang paling mungkin sehingga derita bisa tertanggungkan.

Kenzabure Oe barangkali adalah satu dari mereka yang betul-betul bisa menanggung luka dan beban tadi, dan kemudian bangkit. Bunuh diri diam-diamnya Kawabata dan aksi bunuh diri super spektakuler dari Mishima pada 1970, menunjukkan bahwa tidak semua dari mereka betul-betul bisa bangkit dari luka dan beban (dalam bahasa Oe disebut sebagai “ambiguitas”) yang yang seringkali tak tertanggungkan.

Dalam hal Kawabata, puncak dari rangkaian kisah tragis yang dihayati dengan cara yang subtil dan hening itu (tragika seperti dalam kehidupan masa kecilnya yang abnormal dan sebatang kara atau dalam kesadaran kolektif bangsa Jepang maupun dalam fiksi-fiksinya) ditunjukkan dalam caranya mengakhiri hidup: bunuh diri tanpa meninggalkan jejak dan isyarat. Pada suatu malam yang hening di bulan April. Di kamar pribadinya yang terkunci rapat-rapat.

Selengkapnya......

Jumat, Januari 19, 2007

Luka-luka Kawabata (2)

Jika diberi pilihan untuk memilih tempat tinggalnya setelah mati, Kawabata kemungkinan akan memilih tempat-tempat yang dingin, sunyi, hening sekaligus mencekam. Persis seperti cara ia menempuh kematian. Serupa dengan tema dan bangunan suasana yang sering ia munculkan dalam sejumlah karyanya.

Saya teringat Buah Delima. Cerpen yang ditulis Kawabata pada 1964 itu berkisah ihwal sepasang muda-mudi yang dipaksa berlerai cintanya oleh kecamuk perang yang tak bisa ditenggang. Di sebuah siang yang terik tapi senyap, disaksikan ibunda si gadis, keduanya bersemuka terakhir kali. Tak banyak yang terucap di siang itu. Cuma ada ucap pamit sekadarnya. Beberapa kerjap selepas kekasihnya pergi, gadis itu menemukan buah delima yang disuguhkannya ternyata tak dihabiskan kekasihnya. Hanya secuil bagian yang termakan.

Kisah itu sungguh menyenangkan dibaca karena Kawabata berhasil menyuguhkan roman cinta tanpa sekalipun memunculkan kata “cinta”. Tapi pembaca tahu, pasangan muda itu merasakannya kendati tak terucap. Terasa tapi tak terkata. Dan cinta yang merasuk itu dimanifestasikan lewat sebuah gerak yang begitu liris: si gadis, disertai pecahnya bilur-bilur tangis yang menyayat, dengan senang hati memakan sisa delima itu.

Kawabata, saya kira, memang amat senang mengeskplorasi konflik psikologi yang dihamparkan dengan halus, jauh dari meledak-ledak. Dalam banyak kasus, konflik dihadirkan sebagai bayang yang merasuk-mendalam, sesuatu yang subtil.

Di novel Beauty and Sadness, misalnya, konflik psikologis yang dipaparnya terasa demikian halus karena di puncak sebuah konflik atau perdebatan, Kawabata selalu mengimbuhinya dengan deskripsi latar yang detail dan indah dengan cara melukiskan bentang alam Jepang yang eksotik oleh salju dan tebaran kuil-kuil tua yang masih punya aura.

Obsesi Kawabata pada keheningan di tengah sebuah konflik yang nyaris memuncak terlihat pula pada adegan ketika Oki, tokoh utama yan berfrofesi sebagai novelis, bersua kembali dengan mantan selingkuhannya, Otoko. Dalam perjumpaan yang sudah ditunggu-tunggu lama, keduanya malah menghabiskan waktu hanya dengan mendiskusikan lukisan. Hanya sebiji kalimat Otoko yang memertautkan pertemuan itu dengan masa silam: ‘Sudah lama sekali….”. Cuma itu. Lain tidak.

Tapi jejalin diksi dan deskripsi latar yang disemai Kawabata berhasil membawa imaji pembaca untuk sampai pada kesimpulan: keduanya masih saling mencintai dan merindukan, sekalipun (lagi-lagi) mereka tak membicarakannya. Tentu saja, dalam usia mereka yang makin senja, paling tidak dalam kasus Oki dan Otoko, cinta dan kerinduan adalah perkara yang sulit, rumit, sumir, tetapi justru mewujud dalam bentuk yang intens dan mendalam.

Tuturan ihwal rasa sepi, hening serta gelombang emosi yang pasang surut yang dihayati secara personal dam diimbuhi oleh kepekaannya menangkap nuansa dan aura Jepang lama lewat pemeriannya yang khas terhadap ritual-ritual Jepang (misal: pemerian detail acara minum teh dalam The Thousand Cranes) atau dengan mendeskripsikan kuil-kuil tua Jepang (seperti dipaparkan dengann baik dalam Beauty and Sadness), terasa kian mengena karena ia juga bertutur dengan cara yang amat liris. Komplit sudah.

Itulah sebabnya dalam khasanah kesusasteraan Jepang ia dikenal sebagai “…narrative mastership, which with great sensibility expresses the essence of the Japanese mind."

Selengkapnya......

Selasa, Januari 16, 2007

Luka-luka Kawabata (1)

Publik sastra Jepang tampaknya tak akan melupakan tanggal 16 April. Pada hari itulah, persisnya pada 1972, salah seorang putra terbaik yang pernah dilahirkan kesusatraan Jepang, ditemukan tewas tanpa meninggalkan inskripsi, tanpa saksi, dan tanpa testimoni. Yasunari Kawabata bunuh diri diam-diam.

Kawabata pergi berselang empat tahun setelah ia menangguk penghargaan Nobel Sastra, sebuah penghargaan yang tidak hanya melambungkan namanya ke langit-langit dunia sastra, tetapi juga memantik perhatian dunia terhadap khasanah kesusatraan Jepang modern. Terutama karena Kawabata-lah dunia mengenal sastra Jepang tak hanya dengan sosok Matsuo Basho dan haiku ciptaanya.

Bersama dengan eks-muridnya, Mishima, dan juga Tunichiro Tanizaki, Kobo Abe, Fumiko Enchi dan Kenzabure Oe (peraih Nobel Sastra 1994), Kawabata ada di deretan paling atas dari sebuah gelombang pembaharuan sastra Jepang pasca Perang Dunia II, sebuah gerakan yang kemudian dikenal dengan nama Post-war Litterature

Dalam arus pembaharuan itu, Kawabata bahkan disebut sebagai pemimpin dari gaya penulisan yang liris dan impresionis. Dalam puncak keberhasilan gaya itu, Kawabata dikenal sebagai sastrawan Jepang yang paling berhasil menciptakan banyak cerita dengan kadar sensibilitas estetik yang begitu lembut; sesuatu yang kemudian memengaruhi generasi sastrawan Jepang selanjutnya, dan bahkan memikat nama besar lain dalam jagat sastra, Gabriel Garcia Marquez, yang belakangan dipengaruhi oleh melankoli dan sensibilitas Kawabata (baca novel Marquez Memories of My Melancholy Whores).

Komite Nobel sendiri menyebut karya-karya Kawabata sebagai sebuah sumbangan berharga bagi perjumpaan spiritual antara Barat dan Timur. Tapi bagi saya, Kawabata bukan cuma berhasil memertemukan dunia spiritual Barat dan Timur. Yang sebetulnya jauh lebih menarik ketimbang penilaian Komite Nobel yang bernada seremonial itu adalah kenyataan di mana Kawabata diakui sebagai satu-satunya pengarang Jepang yang hampir terobsesi pada pencarian tapal batas antara keindahan dan brutalitas (Colliers Years Book; 1997).

Setidaknya ada dua karya Kawabata yang bisa diacu untuk hal penting itu. Kisah perselingkuhan dalam novel Beauty and Sadness bisa diacu sebagai salah satu contoh. Adegan yang menyayat itu terjadi ketika istri dari Oki, novelis yang berselingkuh, sedang mengetik naskah novel suaminya. Novel itu justru bercerita tentang perselingkuhan suaminya. Istri Oki yang sedang hamil itu juga tahu. Tapi ia nekat mengetiknya sendiri.

Yang dirasakannya kemudian adalah setiap hentakan di tuts mesin ketik rasanya seperti hunjaman-hunjaman pedang yang menohok batinnya. Begitu halaman terakhir novel itu selesai diketik, tuntas pula penderitaan sang istri: ia keguguran saat itu juga. Dengan darah yang menetes-netes dari selangkangannya.

Dalam cerita pendek Burung Kenari, Kawabata lebih jago lagi dalam mendemonstrasikan bagaimana hasil dari pencariannya terhadap batas antara brutalitas dan keindahan itu.

Di cerpen sangat pendek itu, Kawabata berkisah tentang seorang lelaki yang dengan penuh kasih memelihara seekor burung kenari yang diberikan kekasih gelapnya. Cerpen berbentuk sepucuk surat itu berisi pengakuan si lelaki tentang kebimbangan antara rasa rindu pada kekasih gelapnya dengan rasa bersalah terhadap istrinya yang begitu baik, yang bahkan ikhlas merawat burung kenari yang menjadi pengikat perselingkuhannya. Lewat surat terakhir yang ditulis persis di hari kematian istrinya, si lelaki memutuskan untuk menghentikan kisah cintanya yang terlarang.

Simbol sekaligus klimaks dari pertobatan lelaki itu dari kisah cinta yang terlarang, konflik batin, dan rasa rindu yang menggunung, dimanifestasikan Kawabata dengan ending yang nyaris brutal: diam-diam, lelaki itu berniat menyembelih hidup-hidup burung kenari yang jadi prasasti perselingkuhannya. Dan si lelaki, berniat mengubur sepasang burung itu, di liang yang sama di mana istrinya dikebumikan.

Dalam karya itulah saya kira Kawabata telah menemukan batas antara keindahan dan brutalitas. Dan ketika ia menemukan tapal batas yang dicarinya, yang ia lihat justru kaburnya batas antara brutalitas dan keindahan, persis seperti dua fragmen yang terpapar dalam dua kisah barusan.

Selengkapnya......

Rabu, Januari 10, 2007

Pedang di Kanan, Keris di Kiri

Di benteng Fort Rotterdam, Makasar, Diponegoro tutup yuswa di usia 77 warsa. Di detik-detik terakhir riwayatnya, Diponegoro hanya ditemani oleh istrinya, Raden Ayu Retnaningsih.

Diponegoro memang bukan Napoleon Bonaparte. Kita tahu, jenderal mungil yang pernah menggegerkan seantero Eropa itu, pernah dibuang ke pulau Elba. Tapi ambisinya tak surut. Dengan semua-mua jaringan yang masih ia miliki, disusunnya kekuatan. Seusai meloloskan diri dari pulau Elba, Napoleon dengan segera memulihkan kekuasaannya, sebelum kemudian kembali ditangkap untuk selamanya di pulau St. Helena hingga kematiannya.

Diponegoro, tak seperti Napoleon, seperti tak berminat melakukan hal ihwal yang dilakukan Napoleon beberapa tahun sebelum Java Oorlog digelar Diponegoro. Diponegoro seperti pasrah menelan takdir.

Alih-alih menyusun rencana perlawanan kembali, Diponegoro malahan menulis babad. Kita sekarang mengenalnya sebagai Babad Diponegoro: sebuah memoar yang mengambil bentuk tembang, yang tak cuma mengisahkan perjalanan hidupnya yang pasang surut, melainkan juga mencerminkan kejernihan dalam memandang pelbagai soal dunia yang penuh sengkarut.

Diponegoro lahir pada 11 November 1785 dengan nama kecil Bandoro Raden Mas Ontowiryo. Dia adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwana III dari selir bernama Raden Ayu Mangkorowati. Ketika dewasa, Diponegoro menolak kehendak ayahnya yang berniat menabalkannya sebagai Putra Mahkota. Bagi Diponegoro, statusnya sebagai anak seorang selir tidak memungkinkan dirinya menjadi Putra Mahkota.Dan itu tak tertawar.

Sejak kecil, Diponegoro menampakkan kecenderungan lebih menyukai dunia spiritual dan mistisisme dan cenderung menjauhi segala macam intrik politik di lingkungan Istana. Bibit perlawanan Diponegoro dimulai ketika Sri Sultan Hamengkubuwana V, yang masih berusia 3 tahun, dilantik sebagai Sultan pada 1822.

Diponegoro sebenarnya ditunjuk sebagai salah satu wali sekaligus penasihat Sultan muda itu. Tapi, Diponegoro tak bisa menolerir ketika kekuasaan di Istana justru lebih banyak dikendalikan oleh Belanda lewat kepanjangan tangan Patih Danureja. Diponegoro lebih memilih tinggal di Tegalrejo, daerah yang berjarak 4 kilometer ke arah barat dari istana. Di sinilah Perang Jawa (Java Orloog) yang menewaskan 15 ribu serdadu Belanda dan menghabiskan 15 ribu gulden itu pertama kali tergelar.

Perang yang berlangsung selama lima tahun itu dipicu pemasangan patok-patok di tanah yang menjadi hak Diponegro untuk pembangunan rel kereta api. Diponegoro murka karena sedikit pun ia tak diberitahu. Secara simbolik, Perang Jawa telah dimulai ketika Diponegoro, dengan tangannya sendiri, mencabut patok-patok itu.

Dengan ciri khas kuda putih dan pakaian serta surban serba putih, Diponegoro memimpin sendiri perlawanan bersenjata itu dari markas besarnya di Gua Selarong, Bantul. Chairil Anwar, dalam sajaknya berjudul Diponegoro, menggambarkan bagaimana Diponegoro menggelar perlawanannya yang panjang itu: “…Pedang di kanan, keris di kiri… Menyediakan api.”

Dua tahun pertama perlawanannya, Diponegoro berhasil memenangkan sejumlah pertempuran. Tapi, lambat laun, menyusul keberhasilan Belanda membujuk beberapa pengikut inti Diponegoro, perlawanan itu mulai melemah.

Dalam situasi seperti itulah Diponegoro menerima tawaran Jenderal de Kock untuk berunding di Magelang. Tepatnya pada 28 Maret 1930, ketika itu sedang memasuki bulan Ramadhan, Diponegoro ditangkap di Magelang. Adegan penangkapan Diponegoro itu diabadikan dengan sangat metaforik dalam sketsa yang digambar oleh Raden Saleh.

Kendati demikian, Diponegoro tetap diingat sebagai orang besar dalam kesadaran orang Jawa. Diponegoro dikenang sebagai pangeran yang dengan gagah berani menjunjung harga dirinya dan sekaligus menjunjung pula harga diri bangsa Jawa yang sudah seabad lebih dipermalukan Belanda.

Nama Diponegoro makin mewangi mengingat Diponegoro menggelar perlawanan itu bukan atas nama atau demi kekuasaan, karena Diponegoro sendiri sudah lama menampiknya. Itulah yang membedakan perlawanan Diponegoro dengan perlawanan yang dilakukan, misalnya, Trunojoyo atau Raden Mas Said (Mangkunegara I), sekaligus bisa menjelaskan kenapa Diponegoro bisa menangguk dukungan berlimpah dari rakyat jelata, para ulama dan beberapa petinggi istana sekaligus.

Dengan segala keterbatasannya, seperti tampak dari dukungan yang diperoleh Diponegoro, rakyat jelata terbukti punya kemampuan untuk melihat secara jernih mana perjuangan yang dialasdasari oleh ketulusan dan asketisme dan mana perjuangan yang semata demi kekuasaan. Tanpa memadang ruang dan waktu, ketulusan terbukti selalu dihargai dengan sangat tinggi oleh rakyat.

Selengkapnya......