Senin, November 20, 2006

Hello Stranger!

My stranger, suatu saat kau akan mengerti bahwa pada awalnya siapa pun adalah orang asing buatmu. Termasuk juga aku.

Malam itu kau bilang bahwa dirimu pernah dekat dengan sejumlah lelaki pada masa-masa yang berbeda. Kalian akrab. Mungkin sering jalan bersama, nonton bersama atau makan bersama. Tetapi, seiring tergelincirnya waktu, berbarengan dengan detik-detik yang berlalu, kedekatan itu perlahan memudar.

“Akhirnya dia kembali menjadi orang asing lagi buatku,” katamu malam itu.

Tetapi bukan itu yang ku maksudkan dengan “orang asing”. Seseorang menjadi orang asing, seperti kau yang menjadi orang asing buatku dan seperti aku yang menjadi orang buatmu, lebih karena kita memang tak pernah bisa mengenal seseorang sebaik kita mengenal diri sendiri.

Misalkan saja, sekali lagi misalnya, garis tangan mengharuskan kita menjadi sepasang pencinta yang seutuhnya sekali pun, yang hidup rukun sampai kakek nenek sekali pun, kita tetap tak akan bisa mengenal satu sama lain seutuhnya. Pada momen-momen tertentu aku akan kembali menjadi orang asing buatmu, seperti pada momen tertentu kau juga akan kembali menjadi orang asing buatku. Bahkan kendati kita selalu berdekatan setiap detik sekali pun.

Sudah menjadi takdir, masing-masing orang tak mungkin mengenal orang lain sebaik kita mengenal diri sendiri. Sebab setiap orang selalu punya rahasia kecil yang tetap disimpannya rapi nun di sebuah pojokkan sunyi. Entah di mana pojokkan sunyi itu. Mungkin dalam hati. Mungkin tersimpan rapi dalam sebuah catatan harian yang lusuh.

Kita berdua adalah dua orang asing yang mungkin coba saling mengenal. Kita mungkin adalah orang asing yang coba mengetahui lapis demi lapis identitas masing-masing. Dari mulai nama, tinggi badan, berat badan, hobi, zodiak, film favorit, musik kesukaan, tempat kerja, pernah pacaran berapa kali, hingga di mana pertama kali bercinta. Tetapi, sekali lagi, pada akhirnya kita akan sadar bahwa ada sejumlah hal yang sebaiknya tidak kita bagi. Bukan karena kita tak mau membaginya, tetapi mungkin karena kita tahu memang akan lebih baik jika beberapa hal itu tetap menjadi rahasia.

Sekarang, coba bayangkan bagaimana jika perjumpaan kita beberapa malam lalu juga merupakan perjumpaan kita yang terakhir. Bukan karena kita tak mau lagi bersua, tetapi bayangkan saja seumpama ternyata saya harus mati hari ini. Apa yang akan kau lakukan, my stranger?

Di tangga sebuah bioskop tua di Jakarta, pada sebuah malam yang tak begitu riuh, kau bilang padaku bahwa akan menjadi sesuatu yang “mengesankan” jika seseorang yang baru sekali kita jumpai ternyata ditakdirkan untuk langsung mati.

Aku mengingat ucapanmu itu. Dan aku terkesan. Apakah kau sadar, my stranger, bahwa kau memilih menggunakan kata “mengesankan” ketimbang “menyedihkan” saat kau membayangkan jika seseorang yang baru pertama kau jumpai tiba-tiba direnggut nyawanya? Kenapa kau memilih menggunakan kata “mengesankan” ketimbang “menyedihkan”? Adakah beda antara “mengesankan” dan “menyedihkan”? Dan apa konsekuensinya?

Aku tak tahu jawabanya. Mestinya kau lebih tahu jawabannya karena kau sendiri yang mengucapkannya. Tetapi, biarlah itu menjadi rahasia kecilmu.

Keesokan harinya, setelah semalaman kita berjumpa dan bercakap-cakap banyak hal, kau mengirimu sepucuk pesan pendek (sandek). Kau bilang: “qt ktemu lg kpn ya? hmm...”

Beberapa jam kemudian saya membalasnya dengan mengirim sepucuk sandek juga. Dan kau membalasnya kembali dengan sepucuk jawaban yang sudah bisa saya tebak apa isinya: “hmm... kucoba. lihat, sejauh mana kenyamananku dgn si stranger pejalanjauh ini.”

Aku tak begitu mengerti apa yang kau maksud dengan nyaman. Apakah nyaman sama dengan aman? Apakah merasa aman juga bisa diartikan dengan nyaman? Jika merasa aman saja belum cukup untuk membuatmu nyaman, faktor apalagi yang bisa membuatmu nyaman?

Hmmm... ternyata masih teramat banyak hal yang belum ku mengerti darimu, seperti juga masih banyak hal tentangku yang belum kau pahami. Lagi pula, mungkin kita tak sedang mencoba saling memahami. Mungkin perjumpaan dan percakaan yang kita gelar sepanjang malam sekadar siasat untuk menikmati dan menghabiskan malam dengan cara tak biasa.

Tetapi baiklah, karena kau mengirimkan sandek dengan isi seperti itu, baiklah, aku punya sebuah pertanyaan untukmu: Bisakah kita nyaman dengan sesuatu yang asing? Dan apakah pernah kau merasa nyaman dengan sesuatu yang asing?

Kalau aku ditanya hal yang sama, aku mungkin akan menjawab: “Ya, aku bisa merasa nyaman dengan sesuatu yang asing. Ya, aku juga sering merasa nyaman dengan sesuatu asing.”

Aku bisa merasa nyaman dengan sesuatu yang asing karena kita sebenarnya hidup pada sebuah panggung yang awalnya asing buat kita. Bukankah sewaktu dilahirkan kita hadir pada sebuah dunia yang tak kita kenal? Dan bukankah kita juga belum mengenal sepenuhnya dunia? Seperti juga kita tidak tahu seperti apa besok, lusa, minggu depan, bulan depan dan tahun depan.

Masa depan dan hari esok adalah sebuah terra incognita, sehamparan area yang tak teraba, tak terjamah, dan hanya bisa kita kira-kira. Sebagian terbesar dari kita, termasuk aku dan kamu barangkali, seringali merasa cemas pada apa yang akan terjadi esok. Kita kadang merasa ngeri pada apa yang akan terjadi lusa.

Rasa cemas itu tak mungkin kita kikis habis karena kecemasan sebenarnya justru menjadi kompor yang bisa membakar kreativitas manusia . Kita adalah mahluk yang diberi anugerah memiliki kecerdasan dan mempunyai kemampuan untuk memikirkan waktu, masa lalu, masa kini dan masa depan. Tetapi kecerdasan itu, kemampuan kita untuk memahami masa lalu, masa kini dan masa datang itulah yang justru melahirkan rasa cemas.

Orang-orang yang selalu tergeragap tiap kali menghadapi sesuatu yang asing adalah orang-orang yang tidak siap hidup. Kesiapan untuk hidup bukan hanya mengandaikan kesiapan kita dalam menyusun rencana dan agenda, tetapi juga meniscayakan kita untuk selau bersiap dengan sesuatu yang mengejutkan, bersiap dengan sesuatu yang datang tiba-tiba, dengan sesuatu yang datang tanpa warta.

Karena itulah kita mengenal dan membuat apa yang sebut agenda, jadwal kerja, schedule, ambisi, cita-cita dan rutinitas. Semua itu adalah kreativitas kita untuk membuat masa depan yang tak teraba, gelap dan mungkin dipenuhi kejutan menjadi lebih sederhana. Semua itu adalah cara kita untuk membuat masa depan yang tak terjamah itu menjadi bisa sedikit kita kendalikan.

Kita sebenarnya selalu bersandar pada apa yang mungkin kekal dan mungkin tak kekal. Kita bersandar pada mungkin. Kita bersandar kepada angin.

Apakah dengan begitu randezvous kita malam lalu menjadi sesuatu yang sia-sia?

Hmmm... mari kita jawab sama-sama. Tidak harus hari ini. Mungkin esok atau lusa. Atau mungkin bulan depan. Atau tahun depan. Sekarang, kita nikmati saja apa yang terjadi. Termasuk menikmati orang asing dan rasa asing, sebelum akhirnya kita mungkin mengambil sikap untuk menganggap semuanya hanya sekadar kenangan.

My stranger, begitulah kira-kira.

Selengkapnya......