Selasa, Maret 28, 2006

Pedang Bolivar untuk "el Commandante"

Beberapa hari setelah memenangkan pemilu dan menjadi putra pibumi pertama yang menjadi Presiden Bolivia sepanjang 500 tahun sejarah Bolivia, Eva Morales langsung meledakkan seuntai kalimat nyalang: “Ini bukan tentang Eva Morales. Ini tentang rakyat yang memeroleh kembali hak mereka.”

Che Guevara sayangnya tak sempat menyaksikan momen ini. Ya… sudah lama sekali Che memimpikan munculnya pemimpin Amerika Latin yang berasal dari suku Indian. Dalam bayangannya, pemimpin berdarah Indian itu yang kelak akan memulihkan harkat bangsa Indian yang berabad-abad lamanya dijadikan paria di benuanya sendiri.

Eva Morales seperti menjawab mimpi Che. Ia tak sekadar menjadi pemimpin berdarah Indian sebab Morales juga berambisi mengembalikan hak-hak orang Indian yang berabad-abad lamanya dirampas.

Akan halnya Che, Morales membikin Amerika berdegup. Seakan menapaki semua tilas yang ditinggalkan Che, Morales langsung mengemborkan retorika anti Amerika dengan tanpa cadang. Bersama Fidel Castro dan Hugo Chavez, Morales menyepakati sebuah simpul kekuatan yang mengikat ketiganya ke dalam apa yang disebut Chavez sebagai “Poros Kebaikan”.

Oleh Chavez, Morales diberi sebuah hadiah berupa replika pedang Simon Bolivar. Anda tentu tahu kalau Bolivar bukan orang sembarangan. Ia sudah menjadi pahlawan di hati semua bangsa Amerika Latin dua abad sebelum Che menjadi simbol baru perlawanan rakyat Amerika Latin terhadap kolonialisme dan imperialsme bangsa Spanyol.

Prestasi yang ditorehkan Bolivar tak sembarangan. Lahir di Venezuela pada 1783, Bolivar menjadi pemimpin dari gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Spanyol. Dan tak sekadar memimpin perlawanan, Bolivar akhirnya berhasil memerdekakan sejumlah bangsa di Amerika Latin, dari mulai Venezuela, Peru, Kolombia, Panama, Ekuadro dan Bolivia. Nama Bolivia bahkan dicuplik dari namanya. Itulah sebabnya di seantero Amerika Latin, Bolivar disemati julukan El Liberator alias Sang Pembebas.

Saya pernah membaca sebuah buku babon sejarah Amerika Latin. Kalau tak salah judulnya Pergolakan di Amerika Latin. Saya lupa siapa yang menulis karena sudah lama sekali saya baca buku bersampul biru dengan cover polos tanpa gambar itu. Di buku itulah saya pertama kali mengenal sosok Bolivar. Pertama kali membaca saya terkejut luarbiasa. Hebat sekali ini orang, pikir saya ketika itu, bisa membebaskan enam negara sekaligus!

Baru setelah membaca novel Gabriel Garcia Marquez berjudul In the General and His Labyrinth saya jadi sedikit mengerti sisi kemanusiaan seorang Bolivar yang legendaris itu. Di novel historis yang ditopang oleh riset data yang mengesankan, Marquez memaparkan akhir-akhir kehidupan Bolivar yang muram. Bolivar digambarkan Marquez sebagai lelaki tua yang mulai merasakan letih. Ia diserang insomnia yang akut. Ia tak bisa tidur lelap. Penghiburannya satu: menghanyutkan diri di sungai atau mengambangkan badan di bak mandi.

Sosok legendaris yang unik itulah yang replika pedangnya diterima Morales. Penyerahan replika pedang Simon Bolivar itu setidaknya menandai dua peristiwa simbolik.

Pertama, Morales seakan menerima pentahbisan menjadi anak spiritual Bolivar. Ia diharapkan terutama oleh bangsa Bolivia untuk membebaskan bangsanya dari pelbagai keterpurukan di segala bidang. Jika dulu Bolivar membebaskan Bolivia dari kolonialisme Spanyol, Morales dipilih oleh lebih separuh pemilih Bolivia untuk membebaskan negerinya dari tekanan Amerika yang tak henti-hentinya mendiktekan segela yang dimauinya.

Morales paham benar perkara ini. Lahir di dataran tinggi Orinoca, Morales kecil hidup di lingkungan yang mayoritas penduduknya menjadi penanam koka, tanaman obat yang juga jadi bahan dasar kokain. Sepertiga pendapatan Bolivia ditangguk dari tanaman Koka. Tapi sejak Amerika menggalakkan kampanye pemusnahan koka, kondisi berubah. Ribuan tanaman koka dimusnahkan. Penghasilan mereka tak hanya turun melainkan banyak diantaranya kehilangan mata pencaharian. Pemusnahan inilah yang menjadi biang utama kebencian rakyat Bolivia pada Amerika.

Dan Morales muncul menjadi pembela utama para petani koka itu dengan mendirikan Cocalero Movement, organisasi kiri yang kerja utamanya melakukan advokasi pada para petani koka. Morales makin diperhitungkan ketika ia mendirikan dan memimpin langsung Movement Toward Socialism Party (Movimiento al Scocialismo) yang mengajukannya sebagai kandidat presiden.

Dengan mengusung janji legalisasi koka, dan janji kontrol yang lebih maksimal atas sektor gas alam yang terlalu dikuasi pengusaha-pengusaha besar yang pelit, Morales dengan segera mencuat ke langit-langit panggung politik Bolivia. Morales tahu persis, selain sumber penting ekonomi, koka adalah simbol bagi orang Bolivia. Mengunyah daun koka bagi orang Bolivia tak ubahnya menelan obat yang menyehatkan. Mengunyah koka berarti mengusir dingin. Mengunyah koka berarti menghilangkan lapar. Mengunyah koka sama dengan menahan derita.

Wajar saja jika Amerika was-was. Morales tidak hanya menjadi penghalang utama kampanye pemusnahan koka tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kepentingan modal Amerika yang banyak berkeliaran di Bolivia lewat perusahan-perusahaan gas alam, dari mulai Exxon Mobile hingga Repsol. Seperti Castro ketika berhasil menumbangkan Fulgencio Batista di akhir 1950-an, Morales juga menggemborkan isu nasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan gas alam dan energi. Chavez, presiden Venezuela yang merupakan salah satu pengahasil minyak terbesar, jelas ada di belakang Morales.

Kedua, selain menjadi simbol penahbisannya sebagai anak spiritual Bolivar, pemberian replika pedang Bolivar juga bisa dibaca sebagai penahbisan kepada Morales sebagai calon pemimpin kiri Amerika Latin masa depan. Di banding Castro yang sudah 79 tahun dan Chavez yang 55 tahun, Morales yang berusia 44 tahun jelas yang termuda. Ia seakan menyatakan siap menjadi El Commandante gerakan kiri Amerika Latin di masa depan.

Ada yang menarik untuk dicermati dalam soal ini. Ketika Morales bersua dengan Castro di Havana pada pengujung Desember 2005, Morales menyebut pertemuan keduanya sebagai “Pertemuan pejuang (dari) dua generasi untuk kemerdekaan harga diri”. Dengan menyatakan itu, Morales bisa dibilang sedang menyatakan dua hal sekaligus.

Pertama, Morales mengakui senioritas Castro (juga Chavez). Dalam hal Castro, Morales memang memujanya. Ia memanggil Castro dengan panggilan El Commandante. Kunjungan ke Havana yang merupakan muhibah pertama Morales ke luar negeri meneguhkan kesetiaan Morales kepada Castro. Kepada dua orang itulah, Morales akan banyak berguru dalam hal menghadapi macam-macam intrik Amerika Serikat. Castro dan Chavez memang kenyang asam garam menghadapi laku lancung intelijen Amerika yang berkali-kali hendak melengserkan dan bahkan membunuh mereka berdua.

Kedua, Morales secara implisit juga mencoba meyakinkan para seniornya itu betapa dirinya siap menjadi pemimpin kiri Amerika Latin seumpama salah satu atau kedua mentornya itu tak lagi berkuasa. Kendati sama-sama berasal dari partai berhaluan kiri, Morales dalam hal nyali memang jauh lebih “nekat” ketimbang Presiden Brasil Lula Da Silva, Presiden Argentina Nestor Kirchner, apalagi Presiden baru Chili Michelle Bachelet.

Dunia menunggu dengan sedikit cemas kiprah Morales. Tak bisa disangkal, pasangnya kekuatan kiri di Amerika Latin kerap kali berbanding lurus dengan naiknya kadar otoritarian di negeri tersebut. Tapi bagi rakyat Bolivia, tepatnya warga suku Indian, Morales adalah harapan. Ia bahkan sudah menjadi pahlawan jauh hari sebelum memenangkan pemilu.

Morales segera akan menentukan masa depan Bolivia. Tentu saja dengan replika pedang Simon Bolivar di tangannya.

Selengkapnya......

Senin, Maret 27, 2006

Ibu Bangsa itu Seorang Ibu Kost

Ramadhan KH mengakhiri bukunya yang termasyhur, Kuantar ke Gerbang, dengan sebuah fragmen singkat yang menyentuh. Hari itu, Soekarno datang ke Bandung bersama istrinya, Inggit Garnasih. Dengan ditemani Mas Mansur, Soekarno membawa Inggit ke jalan Lengkong Besar, menuju kediaman Haji Anda. Di sana, Soekarno bermaksud mengembalikan Inggit kepada keluarganya. Saat itu juga, lewat sebuah pertemuan yang kaku nan hambar, Inggit resmi diceraikan dan dikembalikan kepada keluarganya.

Ada yang penting untuk dikenang dari kejadian itu. Persis hanya beberapa kerjap sebelum rombongan Soekarno hendak angkat koper, Inggit sempat bersalaman dengan Soekarno. Di detik persentuhan yang terakhir itu, Inggit mencurahkan sepucuk doa yang bersahaja: “Selamat jalan. Semoga selamat dalam perjalanan.”

Bagi siapa pun yang awas membaca riwayat Soekarno, sepucuk doa Inggit itu bukanlah sesuatu yang bersahaja. Sepucuk doa itu bukan semata berisi harapan agar Soekarno sampai ke Jakarta dengan selamat tanpa suatu apa, melainkan jauh lebih besar dari itu. Doa yang bersahaja Inggit sebenarnya adalah harapan agar cita-cita dan visi besar Soekarno, lelaki yang siang itu telah menjadi mantan suaminya, betul-betul selamat hingga mewujud menjadi realitas sejarah.

Dan jangan juga dilupakan, di balik doa yang pendek itu, terhampar sebuah kisah cinta yang indah, bergelora, menggugah, sekaligus juga penuh dengan keganjilan; sebuah kisah cinta yang, diakui atau tidak,menjadi salah satu fragmen yang sebetulnya menjadi bagian penting nan indah yang tak bisa diabaikan begitu saja dari keseluruhan episode perjalanan bangsa ini mencapai kemerdekaannya

Setia Hingga ke Flores
“Sebagai pohon nyiur runtuh disambar geledek, demikian bunyi berita tersiar beberapa hari yang lalu dalam surat kabar bahwa Ir. Soekarno mengambil keputusan dengan sesukanya sendiri untuk mengundurkan diri dari segala pegerakan. "…Satu tragedi Soekarno yang belum ada contohnya dalam riwayat dunia. Orang kata karena pengaruh istrinya. …Orang yang memunyai karakter tidak akan terpengaruh oleh karena apa juga. Bukan pemimpin kalau masih terpengaruh oleh air mata istri yang tak tahan hidup melarat.”

Bukan main terkejutnya Inggit membaca tulisan Bung Hatta di koran Daulat Ra’jat itu. Sekujur tubuhnya terasa terbakar. Dalam kata-kata Inggit sendiri: “Aku merasa seperti terinjak seluruh diriku.”

Hatta melansir tulisannya persis ketika tersiar kabar Soekarno mengundurkan diri dari Partindo dan PPKI dengan alasan tidak cocok dengan asas dua organ pergerakan itu. Hatta, juga semua-mua aktivis pergerakan, tentu saja merasa masygul. Tetapi dalam hal diagnosanya atas peranan Inggit dalam pengunduran Soekarno, Hatta jelas kurang begitu mengerti duduk perkara.

Di luar perkiraan Hatta ketika itu, Inggit bukanlah perempuan yang menggerogoti karakter Soekarno. Justru Inggit-lah yang dengan caranya sendiri berhasil meneguhkan karakter Soekarno dan dalam momen-momen tertentu Inggit pula yang mengembalikan Soekarno ke jalurnya ketika godaan untuk ngelencer ke luar jalur sedang memikat Soekarno.

Juga berbeda dengan diagnosa Hatta, Inggit adalah istri yang menemani Soekarno di masa-masa tersulit sepanjang perjuangannya. Inggit-lah yang menemani dan mengurusi semua kebutuhan Soekarno ketika ia dipenjara di Sukamiskin di awal tahun 1930-an. Inggit pula (juga ibunya Inggit) yang rela menemani Soekarno ketika ia dibuang ke Ende, di Flores. Inggit juga tetap berada di samping Soekarno ketika ia dibuang ke Bengkulu. Bersama Inggit-lah masa-masa susah dilewati Soekarno.

Berbeda dengan tuduhan Hatta yang menuduhnya sebagai perempuan yang tak bisa diajak melarat, Inggit justru merelakan diri menjadi melarat dengan menguras tabungan yang dimilikinya untuk membantu Soekarno sebisanya. Ia jual perhiasan dan harta benda yang ia miliki untuk membiayai aktivitas Soekarno. Inggit yang membelikan buku buat Soekarno. Inggit yang putar otak untuk membeli kebutuhan makan, minum dan penganan tiap kali rumahnya dijadikan tempat rapat dan diskusi para aktivis pergerakan.

Inggit pula yang selalu menjadi penengah ketika terjadi perdebatan yang menjurus kasar di antara sesama aktivis itu dengan masuk ke ruangan rapat untuk menawarkan minum, makan dan penganan. Inggit pula yang menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan masyarakat Sunda di Bandung tiap kali Soekarno mengadakan tanya jawab, diskusi atau kursus-kursus politik.

Soekarno mungkin seorang singa podium, tetapi ia tak ubahnya Hamlet yang rapuh dan selalu kesepian ketika sendiri dan jauh dari massa. Ia adalah seorang penglima besar revolusi yang dengan perkasanya mengobarkan perang terhadap Malaysia, Inggris dan Amerika, tetapi sebetulnya ia adalah lelaki yang bahkan menyembelih seekor ayam pun tak sanggup. Soekarno adalah lelaki yang sangat membutuhkan afeksi. Kasih sayang. Ia membutuhkan figur seorang ibu karena ia sendiri sudah berjauhan dengan ibu kandungnya sendiri sejak masa sekolah. Ia sudah sering bertemu dengan noni-noni Belanda yang cantik, tapi ia butuh seorang perempuan yang bisa mengawaninya tiap detik, bahkan di saat-saat yang terpedih sekalipun.

Inggit adalah jawaban atas semua kebutuhan psikologis Soekarno itu.

Pasang Surut Soekarno-Inggit
Inggit Garnasih awalnya adalah ibu kos bagi Soekarno. Ketika itu, Soekarno baru saja datang dari Surabaya. Ia datang ke Bandung pada 1920 untuk menempuh studi di sekarang ITB). Atas rekomendasi HOS Cokroaminto, mentor Soekarno di Surabaya, Soekarno pun tinggal di rumah Inggit Ganarsih yang ketika itu menjadi istri Sanusi, seorang pengusaha menengah yang juga menjadi pengurus Sarekat Islam afdeling (cabang) Bandung

Soekarno ketika itu masih menjadi suami dari Utari, putri HOS Cokroaminoto. Tapi hubungan suami istri keduanya tak berjalan mulus. Soekarno lebih merasa sebagai abang ketimbang seorang suami. Kedatangan Utari ke tak berhasil mengubah keadaan.

Entah kenapa, barangkali karena sehari-hari berdekatan, Soekarno berani mengisahkan semua persoalan keluarganya kepada Inggit. Dan Inggit, laiknya seorang ibu kos yang baik, dengan sabar mendengar keluh kesah anak kosnya yang perlente dan bersemangat itu. Sesekali Inggit memberi masukan agar Soekarno berusaha memerbaiki hubungannya dengan Utari.

Tapi saran Inggit tak pernah berhasil direalisasikan Soekarno. Akhirnya, setelah berpikir matang-matang, Soekarno mengembalikan Utari kepada ayahnya, Cokroaminoto. Mereka bercerai, dan konon kabarnya, tanpa sempat sekalipun mengadakan hubungan suami istri.

Sekembalinya dari Surabaya, diselingi kerja kerasnya belajar dan beraktivitas, Soekarno makin dekat saja dengan Inggit. Tak urung, hembusan gunjingan pun menerpa. Sadar akan situasi keluarganya, Sanusi pun melepas Inggit. Sanusi, dengan keikhlasannya yang luar biasa, menyarankan agar Inggit merawat dan membantu Soekarno sebisanya.

“Akang rido,” kata Sanusi, “Kalau Eulis (Inggit) menerima lamaran Kusno (Soekarno) dan kalian berdua menikah. Mari kita jagokan dia, sehingga ia benar-benar menjadi orang penting. Mari kita bantu dia sampai ia benar-benar menjadi pemimpin rakyat. Dampingi dia, bantulah dia, sampai ia benar-benar mencapai cita-citanya,” kata Sanusi.

Mereka pun menikah. Dan Inggit tampaknya berhasil melakukan apa yang diinginkan Sanusi. Ya, Inggit benar-benar menjadi pendamping yang tidak hanya setia, melainkan juga menjadi seorang pendukung Soekarno yang paling aktif dan militan.

Tetapi Inggit akhirnya juga menjadi kartu mati bagi seorang Soekarno. Ketika usia Soekarno makin beranjak tua, hasrat untuk menimang anak tentu saja makin tak terbendung. Sayangnya, Inggit tak bisa memberinya buah hati. Ia perempuan mandul.

Petaka itu datang ketika Soekarno sedang diasingkan ke Bengkulu. Soekarno justru terpikat oleh salah satu anak angkatnya sendiri, Fatmawati. Kedekatan keduanya makin tak tertahan ketika Inggit harus pergi ke untuk mengantarkan Omi, putri angkat Soekarno yang pertama, mendaftar sekolah di Taman Siswa.

Sekembalinya dari Yogya, Inggit menyadari situasi telah berubah. Awalnya Soekarno ingin memadu Inggit. Tapi Inggit menampik. Ia mengijinkan Soekarno menikah tapi minta diceraikan terlebih dahulu. Perceraian itu pun terjadi pada 1942 ketika mereka sudah tinggal di Pegangsaan Timur, Jakarta.

Inilah yang membuat riwayat Inggit menjadi istimewa. Ia memang mencintai Soekarno luar dalam; sebuah kecintaan yang membuatnya rela menderita dan melarat. Tetapi, kecintaan itu tak membuatnya kehilangan karakter sebagai seorang perempuan agung. Dari hulu hingga hilir, Inggit tetap konsisten menolak poligami, bahkan ketika ia harus kehilangan lelaki yang sangat dicintainya.

Perceraian itu membuat Inggit kehilangan kesempatan menikmati masa-masa emas menjadi istri Soekarno. Jika ia menerima dimadu, boleh jadi dirinyalah yang akan jadi ibu negara dan menikmati sejumlah fasilitas. Tapi Inggit telah memutuskan. Ia tampaknya menyadari bahwa tugasnya sebagai istri Soekarno telah usai. Ia telah menunaikan dengan sebaiknya-baiknya sebuah tugas historis untuk mengantarkan seorang lelaki besar yang pernah dilahirkan bangsa ini sampai ke pintu gerbang cita-citanya.

Inggit dan (Sejarah) Indonesia
Dengan sebuah proses penalaran yang bersahaja, kita bisa melacak bagaimana peranan Inggit dalam sejarah Indonesia modern. Peranan itu tentu saja tak terlepas dari peran yang dimainkan Kusno, panggilan Inggit terhadap Soekarno, dalam sejarah Indonesia itu sendiri. Dan seperti yang dipaparkan dengan ringkas di atas, Inggit punya peranan kunci dalam menemani Soekarno di awal-awal aktivismenya sebagai seorang pengobar nasionalisme yang paling menggugah.

Pendek kata, seumpama Soekarno adalah seorang grand master catur, Inggit adalah seorang sekondan yang tidak hanya setia, cerdik, dan punya banyak akal ketika menghadapi situasi-situasi terjepit, tapi juga punya kecerdasan emosional yang mumpuni. Kecerdasan emosional Inggit inilah yang berperan besar bagi kehidupan dan kepribadian Soekarno.

Seperti yang bisa kita baca dari Daniel Goleman, kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengenal emosi dirinya sendiri sehingga ia dapat mengendalikan emosinya, mengenal emosi orang lain sehingga seseorang mempunyai keterampilan bergaul, dan dapat membina hubungan baik dengan orang lain. Kecerdasan emosi macam ini pula yang dimiliki Inggit sehingga ia mampu memetakan dan membaca struktur mental Soekarno, apa yang diinginkan Soekarno, dan bagaimana cara memerlakukan Soekarno. Tidak aneh rasanya jika kemudian kita menemukan betapa Inggit seperti tahu apa yang dibutuhkan Soekarno, apa yang diinginkan Soekarno dan bagaimana menjawab semua kebutuhan itu dengan proporsional.

Dengan ditemani seorang sekondan yang memiliki kecerdasan emosional di atas rata-rata, Soekarno pun naik pelahan tapi pasti ke langit-langit pergerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Dengan Inggit yang telaten, Seokarno mampu menyelesaikan kuliahnya kendati aktivisme politik makin membuatnya kehilangan waktu. Bersama seorang sekondan yang punya karat kesetiaan tak tertandingi itulah, tak aneh jika Soekarno bisa melewati karang-karang terjal yang siap membuasi dirinya dengan pelbagai macam godaan dan muslihat.

Dari awalnya sekadar menjadi ibu kos bagi Soekarno muda, Inggit dengan cepat bermetamorfosis menjadi kawan, ibu sekaligus istri bagi Soekarno. Ya... Dari ibu kos menjadi ibu bangsa.

Selengkapnya......