Selasa, Februari 28, 2006

Mengenang yang Telah Beranjak Jauh

Wangsa Aidit (8)

Mengenang yang Telah Beranjak JauhMalam itu Sobron betul-betul merasa sepi. Sekaligus malu. Juga terhina. Jauh-jauh datang dari Paris, ia sama sekali tak beroleh sambutan. Genangan rasa kangen akan kampung halaman dan kerabat lindap dengan cara yang aneh sekaligus menyesakkan.

Itulah kali pertama Sobron menginjakkan kembali tanah Belitung. Ia datang dengan Laura, cucunya yang baru berusia 10 tahun. Malam itu Laura dibawa beberapa kerabat Sobron. Akan dibawa keliling. Begitu katanya.

Sobron betul-betul merana. Malam itu ia sendirian di Hotel Melati. Tak tahu hendak ke mana ia. Tak ada tujuan. Tak ada satu pun kerabatnya yang menawarinya menginap. Kerabat-kerabat Sobron hanya datang ke hotel. Itu pun tak lama. Setelah dirasa cukup, mereka pergi satu per satu.

1996 memang tahun yang masih belum ramah bagi orang-orang seperti Sobron. Sebenarnya ia sedikit bisa memaklumi polah kerabat-kerabatnya itu. Mereka punya alasan yang masuk akal. Sobron sendiri memang tak berniat menyusahkan kerabatnya. Ia datang hanya ingin menuntaskan rasa kangen yang sudah menjompak di ubun-ubun. Barangkali, rasa sentimentil telah menyeret Sobron pada situasi emosi yang bergelora, sekaligus juga rapuh.

Sobron akhirnya memilih menelusuri garis pantai. Suasana sungguh sepi. Jarang sekali Sobron berpapasan dengan orang lain. Tak pelak suasana hati Sobron kian terbawa sendu. Lama-lama, Sobron mensyukuri keadaan itu. Dengan sepinya Tanjungpandan, Sobron merasa ia bisa bebas menghabiskan malam, menuntaskan rasa kangen, merayapi bertumpuk kenangan lama, tanpa harus diimbuhi tetek bengek hiruk-pikuk orang lain.

Sobron melangkah terus. Ia ingat ketika dulu sering berkumpul dengan kawan-kawan lamanya tiap kali ia pakansi atau liburan. Liburan biasanya diisi Sobron dengan pelbagai kegiatan. Sekali waktu ia pernah mengadakan beberapa pementasan drama. Dua tahun berturut-turut dipentaskan naskahnya Utuy Tatang Sontani, Awal dan Mira serta Bunga Rumah Makan. Sobron cum suis pernah pula mementaskan naskah Dosa Tak Berampun, saduran dari naskah Ayahku Pulang, sebuah drama Jepang yang disadur oleh Usmar Ismail. Semua pertunjukan itu sangat disukai penduduk Tanjungpandan.

Setiap kali pementasan usai, Sobron dan kawan-kawannya masih disibukkan oleh aktivitas mengemasi segala macam perangkat pementasan. Tak jarang semua baru kelar ketika jarum jam telah menunjukkan angka 24.00. Sekujur badan tentu saja terasa lelah. Dalam kondisi begitu, biasanya mereka pergi menuju pantai Tanjung Pendam. Di sana mereka melolosi semua pakaian yang melekat di badan. Bugil. Telanjang. Berenang dan bermain ombak di bawah temaram sinar bulan purnama.

Sobron memercepat langkahnya. Ia ingin seegera mungkin mereguk kenangan ketika bersama kawan-kawannya telanjang bulat menantang ombak. Tapi di manakah tempat itu?

Setengah mati Sobron mencarinya. Tapi tak juga ia temukan. Tak ada lagi pantai yang landai. Pasir yang dulu menghampar putih bak permadani dari sutera terlah berganti oleh pasit berwarna hitam yang diseraki bertimbun-timbun sampah plastik. Pepohonan nyiur yang dulu pernah dinaikinya sembari bermain-main kini sudah tak ada lagi, berganti menjadi semak dan alang-alang yang sangat tak teratur.

Sobron mengedarkan pandang. Sobron berharap-harap cemas. Ah... rumah-rumah itu ternyata masih berdiri. Legalah Sobron. Ia pandangi lekat-lekat deretan rumah-rumah itu. Tapi Sobron lagi-lagi menangguk kecewa. Rumah-rumah yang dulu rapi, indah dan terawat itu kini telah menjadi berderet bangunan tua yang usang, tak terawat dan reot.

Sobron menghela nafas. Ada yang hilang bersama butir-butir air matanya yang jatuh bergulir pelan-pelan. Sobron tak tahu apa yang sebenarnya telah hilang....(Tamat!)

Selengkapnya......

Bertemu Pelarian

Wangsa Aidit (7)

Budi Kurniawan, salah seorang penulis buku Menolak Menyerah: Menyingkap Tabir Keluarga Aidit, dihubungi oleh Ilham Aidit pada salah satu hari di bulan April 2005. Ilham mengundang Budi ke sebuah pertemuan. "Bung datang ya. Ada pertemuan keluarga. Ibaruri datang dari Prancis." Begitu bunyi undangannya.

Pada pertemuan itu, hadir sekitar 50 orang keluarga Aidit. Di sana ada Murad Aidit bersama beberapa anak dan cucunya, beberapa sepupu dan ponakan Ilham pun hadir. Beberapa saudara jauh DN Aidit yang datang dari Pulau Belitung pun terlihat hadir. Dan seperti yang dijanjikan Ilham, Ibaruri Aidit, anak sulung D.N. Aidit benar-benar hadir.

Ibaruri adalah anak pertama pasangan DN Aidit-Dr Tanti. Jauh sebelum Tragedi 30 September 1965 terjadi, Iba dan Ilya disekolahkan DN Aidit ke luar negeri (Moskow, Rusia). Ketika itu ada semacam naluri politik dalam diri DN Aidit untuk menyekolahkan anak-anak perempuannya ke luar negeri sehingga jika ada gejolak politik yang membahayakan, mereka bisa menyelamatkan diri. Sementara yang laki-laki seluruhnya bersekolah dan berada di Indonesia.

Iba dan Ilya sebenarnya sukses meraih gelar sarjana di Eropa Timur. Tapi gelar itu menjadi tak bermakna apa-apa ketika mereka kemudian ‘pindah’ dan terpaksa berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu negeri ke negeri yang lain. Di Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya, gelar itu tak diakui.

Namun seperti kebanyakan korban politik lainnya, Iba tetap tegar. Berbekal berbagai bahasa yang ia kuasai, hingga kini Iba --juga keluarga Aidit lainnya-- mampu bertahan hidup. Iba memang agak menyesal juga karena tak bisa menjadi WNI. Tapi semua itu rupanya tak menghilangkan kecintaannya pada negeri ini. Ia juga tak menghiba-hiba untuk mendapatkan status kewarganegaraan itu.

Ibaruri, juga adiknya Ilya, praktis tak pernah lagi melihat ayah-ibunya. Terakhir kali mereka bertemu, ya… ketika kedua orangtuanya itu melepaskan kepergian mereka sewaktu hendak berangkat ke Eropa.

Budi Kurniawan akhirnya betul-betul bertemu dengan Ibaruri. Di pertemuan keluarga Aidit yang digelar di sebuah tepian danau yang sejuk di kawasan Ciputat, Tangerang, Banten, Budi Kurniawan berkenalan dengan Iba. Ketika itu, setelah sebelumnya dikenalkan pada beberapa anggota keluarga lain yang belum dikenalnya, Ilham membimbing Budi menemui seorang perempuan berambut pendek, berkulit putih, dan berwajah agak bundar. Budi bersalaman dengannya.

Ibaruri. Begitulah perempuan itu menyebut namanya. (Bersambung)

Selengkapnya......

Senin, Februari 27, 2006

Kisah Sepotong Nama

Wangsa Aidit (6)

Persoalan nama bisa menjadi persoalan tak penting bagi Shakespeare. What Is an a name? Apakah arti sebuah nama? Tapi cobalah tanyakan apa arti sebuah nama kepada semua anggota keluarga D.N. Aidit. Bersiaplah menerima jawaban yang berbanding terbalik dengan cemooh Shakespeare yang termasyhur itu.

Bagi adik, anak, cucu, keponakan dan semua kerabat D.N. Aidit, nama bisa menjadi persoalan hidup mati. Kata Aidit yang melekat di belakang namanya menjadi password yang telah membawa mereka pada sebuah jalan hidup yang sungguh berliku, pedih, dan sangat… sangat… tidak menyenangkan.

Aidit. Selembar nama itu menjadi bala bagi siapapun yang mengenakannya. Tak pandang bulu. Apakah anak kecil atau orang tua yang sudah renta. Bahkan orang-orang yang tak ada nama Aidit di identitasnya tetap akan menanggung bala jika diketahui bersangkut, langsung atau tidak, dengan siapa pun yang memiliki nama Aidit. Bala itu macam-macam bentuknya: dari mulai ditangkap, dipenjara, diasingkan ke pulau yang jauh, diawasi, dan diekskomunikasi dari kerabatnya yang lain.

Itu bala yang dihumbalangkan secara langsung oleh penguasa. Sejumlah bala yang tak kalah memedihkan juga datang bertubi-tubi dari masyarakat biasa, para tetangga, teman, bahkan kerabat. Para pemilik nama Aidit dijauhi. Tak berkawan. Dicaci maki sebagai “anggota keluarga setan” menjadi pengalaman sehari-hari.

Tak banyak yang bisa diperbuat. Diam adalah pilihan yang paling masuk akal. Sesekali salah satu pemilik nama Aidit itu melawan. Berkelahi dengan para pengejeknya. Wajah yang melebam dan babak belur adalah hadiah yang ditangguk dari aksi perlawanan dan perkelahian itu

Boleh percaya boleh tidak, sudah lama sekali, jauh sebelum pageblug 1965, persoalan nama memang sudah menjadi bahan pembicaraan di keluarga Aidit. Kita bisa memulainya dari nama Dipa Nusantara Aidit: nama yang paling masyhur dari serentetan nama Aidit yang lain.

Kita tahu, nama asli Aidit adalah Ahmad Aidit. Itulah sebabnya semua adik dan kerabat Aidit memanggilnya Bang Amat. Ada dua versi tentang muasal nama Dipa Nusantara Aidit. Versi pertama menyebutkan bahwa ketika Aidit berada di Batavia dan terlibat dalam aktivitas politik di Menteng 31, Aidit mengirim surat kepada ayahnya, Abdullah. Surat itu berisi permohonan agar Abdullah mengijinkan Aidit berganti nama. Abdullah mengabulkan. Maka bergantilah nama Ahmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit. Perubahan nama itu kemudian oleh Aidit sendiri disahkan di hadapan notaris.

Pada masa itu, perubahan nama bukanlah barang aneh. Beberapa pemuda aktivis melakukannya. Mungkin untuk menandai perbatasan antara nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru. Mengganti nama lama dengan nama baru diharapkan bisa menjompakkan semangat memerjuangkan nilai-nilai baru tersebut. Salah satu nama yang juga mengubah nama adalah Hanafi. Salah satu pentolan Menteng 31 ini juga mengganti nama depannya dengan inisial A.M. yang merupakan kependekan dari kata Anak Marhaen. Jadilah Anak Marhaen Hanafi.

Nama Dipa Nusantara sendiri dipakai Aidit untuk menghormati jasa pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Aidit berharap, penggunaan nama Dipa itu bisa memantik inspirasi dan semangatnya untuk membebaskan Nusantara dari cengkeraman kolonialisme. Persis seperti yang pernah pula diupayakan Diponegoro.

Tetapi tak sedikit yang sinis menanggapi perubahan nama Aidit. Salah satu argumen kelompok ini adalah: Aidit menghapus nama Ahmad menjadi Dipa Nusantara sepenuhnya alasan politis. Mosok pemimpin PKI namanya Ahmad?

Versi pertama inilah yang hingga kini paling santer terdengar. Salah seorang yang “mengedarkan” versi ini adalah adik kandung Aidit sendiri, Sobron Aidit. Sejumlah literatur tentang Aidit yang paling kredibel sekalipun, seperti esai Leclerc atau bukunya Peter Edman, meyakini versi inilah yang paling bisa dipercaya.

Versi lain yang nyaris tak muncul ke permukaan dikemukakan oleh Asahan Sulaiman Adit, bungsu dari tujuh bersaudara Aidit. Versi ini bisa dijumpai dalam buku Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (Yogyakarta: Era Publisher, 2005) yang merupakan sebuah reportoar karya dua penulis muda Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah. (Buku itulah yang paling banyak menyumbangkan informasi bagi penulisan esai ini, khususnya untuk bagian-bagian tentang kehidupan keluarga Aidit di luar Sobron dan D.N. Aidit sendiri).

Kata Asahan, Ahmad Aidit telah berubah menjadi Dipa Nusantara Aidit sejak ia dilahirkan. Sumber yang digunakan Asahan adalah sebuah akte kelahiran Aidit sendiri. Akte itu bertarikh 1923, tahun kelahiran Aidit, dan ditandatangani langsung oleh Abdullah Aidit langsung. Asahan ingat betul, akte yang berhiaskan lukisan indah itu masih menggunakan bahasa Melayu agak kuno. Di akte itulah tertulis: Anak dari Abdullah Aidit yang lahir pada 1923 yang saya beri nama Ahmad Aidit, bila dia telah menginjak usia dewasa akan menggunakan nama Dipa Nusantara Aidit.

Jadi jelas, tegas Asahan, nama Dipa Nusantara bukanlah ciptaan abangnya ketika ia sudah di Batavia, melainkan nama yang memang diciptakan oleh ayahnya langsung.

Asahan, si bungsu yang mahir menggesek biola ini, juga punya sebuah refleksi yang lucu tentang persoalan nama di keluarganya. Begitu menyadari bahwa nama Dipa Nusantara adalah ciptaan ayahnya, Asahan langsung berpikir: Kenapa ayahnya tak menamai anaknya yang lain dengan nama segagah Dipa Nusantara?

Asahan bertanya-tanya, kenapa namanya tidak ditambah menjadi Sulaiman Dian Khatulistiwa saat masih kecil? mengapa ketika dewasa namanya tidak berganti menjadi Sulaiman Dian Khatulistiwa Aidit yang disingkat SDK Aidit. Sedangkan Sobron umpamanya menjadi Sobron Penata Persada Aidit dan disingkat SPP Aidit. Lalu Murad, misalnya, berubah menjadi Murad Zamrud Jawa Dwipa Aidit atau MZJD Aidit. Sedangkan Basri menjadi Basri menjadi Basri Sengsara Sepanjang Masa Aidit dan disingkat BSSM Aidit—Basri adalah abang Asahan yang sepanjang hidupnya selalu dirundung sengsara hidup sehingga menurut Asahan dia itu tak berhak menggunakan nama yang jaya berbinar-binar.

Asahan sendiri akhirnya memang melakukan perubahan nama. Asahan adalah nama hasil perubahan itu. Aslinya ia bernama Sulaiman. Setelah hidup menggelandang di Eropa, Asahan berpikir untuk mengganti nama. Maka diperolehlah nama Asahan. Lengkapnya Asahan Alham. Alham sendiri merupakan akronim dari kalimat alhamdulillah. Nama Aidit dibuang jauh-jauh untuk selama-lamanya.

Murad, adik Aidit yang lain, pernah pula menghapuskan nama Aidit. Ketika ia baru saja dibebaskan dari Pulau Buru pada 1978, Murad langsung menyaksikan sejumlah kenyataan pahit yang jelas-jelas diskriminatif. Mereka selalu siap di-litsus (akronim dari “penelitian khusus”, sebuah metode screening yang dipraktikkan orde Baru). Mereka yang tak lulus litsus hampir dipastikan tidak akan pernah bisa memiliki KTP. Mereka juga tak mungkin bisa menjadi pegawai negeri sipil maupun tentara. Mereka dijegal.

Ketika Murad masih tinggal di Cikole, Bandung, Murad nekat tetap memasang nama Aidit. Tetapi ketika sedang berwirausaha di bilangan Depok dengan memelihara ternak, atas desakan sejumlah kawan-kawan dekatnya, Murad akhirnya menyembunyikan identitas Aidit-nya. Alasannya cukup bisa diterima Murad: dengan tetap menggunakan nama Aidit ada kesan kalau Murad sedang menantang. Melenyapkan identitas Aidit itu dilakukan Murad hingga waktu yang cukup panjang. Ketika Murad menikah untuk yang keduakalinya hingga dianugerahi seorang anak, Murad juga menyembunyikan identitas Aidit-nya kepada istri kedua dan anaknya itu. Enam menantu Murad yang menikahi enam anak Murad dari istri pertama bahkan baru-baru ini saja mengetahui rahasia nama Aidit di belakang nama Murad. Beberapa tahun kemudian, setelah Murad berketetapan mennyandang kembali nama Aidit, Murad baru menceritakan semuanya.

Menyembunyikan nama Aidit memang menjadi pilihan yang paling banyak diambil keluarga Aidit. Selain Asahan dan Murad, Ilham Aidit juga melakukan hal yang serupa. Dlam rentang waktu yang cukup lama, ia hanya menggunakan nama Ilham. Ilham pernah pula menambahkan nama Alam Putera di belakang namanya. Alam Putera adalah nama samaran yang sering digunakan ayahnya ketika sering menulis di media massa pada masa mudanya.

Ilham juga memilih tak menerakan nama Aidit di belakang dua puterinya. Ilham tak mau ejekan dan cacian yang biasa dia terima dulu juga dialami anak-anaknya. Ilham juga cukup lama menyembunyikan nama Aidit kepada dua puterinya itu. Baru dua tahun yang lalu Ilham menceritakan kepada dua anaknya itu ihwal siapa nama kakeknya. Kendati beberapa guru anak-anaknya di sekolah telah mengetahui rahasia ini, namun untungnya dua putri Ilham tak mengalami pengalaman pahit dirinya dulu.

Kakak kandung Ilham, Iwan Aidit, yang kini masih bermukim di Kanada, juga melakukan hal yang diambil Ilham kepada anak-anaknya. Iwan menghapuskan nama Aidit dari belakang namanya. Iwan kini menyandang nama Iwan Hignasto Legowo.

Tak cuma adik, anak dan cucu Aidit yang punya kisah tentang arti sebuah nama bagi hidup mereka. Moyang dari wangsa Aidit sendiri, Abdullah Aidit, punya kisah yang menarik tentang nama Aidit yang tersampir didirinya itu. Bedanya, kisah yang menimpa Abdullah bukan kisah sedih, melainkan cerita ringan yang, menurut hemat saya, masih relevan dikisahkan di sini semata untuk menegaskan bahwa keluarga Aidit memang punya persoalan yang khas dengan sebuah nama, sekaligus juga untuk meluruskan silap paham yang banyak beredar ihwal identitas dan kiprah Abdullah Aidit.

Ketika pada tahun 1950 Abdullah menjadi anggota parlemen mewakili daerah Belitung, Abdullah ketika itu sama sekali belum memiliki rumah sendiri. Akhirnya oleh sekretariat parlemen Abdullah diinapkan di hotel. Uniknya, setelah diatur sedemikian rupa, Abdullah harus menginap di hotel Centraal di jalan Citadel. Bukan hotelnya yang jadi masalah. Yang jadi pokok perkara adalah dengan siapa Abdullah menginap? Ternyata, Abdullah Aidit harus menginap dengan anggota parlemen bernama… Abdullah Aidid!

Ini kebetulan yang langka. Keduanya punya nama persis. Yang membedakan hanya satu huruf, yaitu huruf paling belakang nama masing-maing: Aidit dan Aidid. Jika Abdullah Aidit merupakan anggota parlemen non-fraksi, sedangkan Abdullah Aidid adalah anggota fraksi Masyumi. Barangkali, kebetulan inilah yang menyebabkan beredarnya salah kaprah ihwal jati diri Abdullah Aidit yang pernah santer dikabarkan sebagai anggota Masyumi. (bersambung)

Selengkapnya......

Minggu, Februari 26, 2006

Melamar Anak Tentara

Wangsa Aidit (5)

Empat orang tentara berseragam loreng hijau dari Divisi Siliwangi mendatangi sebuah rumah dengan langkah bergegas. Seorang lelaki paruh baya menyambutnya. Baik-baik dipersilakan empat tentara itu masuk. Tapi yang ditangguknya adalah ancaman kasar.

“Saudara jangan coba-coba menyimpan dan memelihara anak setan. Segera tunjukkan di mana mereka. Akan kami bunuh!”

Lelaki paruh baya itu tampak tak gusar. Tenang. Ia membalas gertakan itu dengan kata-kata pelan: “Silakan kalau kalian ingin menembak anak-anak setan yang kalian sebutkan itu. Saya antar kepada mereka.”

Lelaki paruh baya itu bersicepat berlalu. Dengan langkah tak kalah cepat, empat tentara mengikuti, lengkap dengan dengusan tak sabar yang terdengar jelas. Mereka menuju sebuah pekarangan yang tanahnya berpasir.

“Itu anak setan yang hendak kalian bunuh!” lelaki paruh baya itu menunjuk kseorang anak lelaki yang masih sangat kecil. Ia terlihat sedang bermain kelereng. Anteng seakan tak peduli sekeliling.

Pucatlah wajah empat tentara berseragam itu. Mereka tak menyangka anak setan yang mereka cari ternyata masih sangat kecil. Anak-anak. “Leutik keneh euy (masih kecil-kecil ternyata),” seru salah seorang tentara itu dalam bahasa Sunda.

Tak ada yang bisa mereka lakukan. Keempatnya kontan berlalu begitu saja. Moncong senjata yang sudah disiapkan urung menyalak.

Anak kecil itu menyaksikan apa yang terjadi. Ia rekam semuanya baik-baik. Ia trauma akan moncong senjata api.

Anak kecil itu kini telah dewasa. Sekarang usianya telah menginjak 46 tahun. Perkawinanya dengan Yuyun, teman semasa kuliah di Institut Teknologi Bandung, menghasilkan dua anak perempuan yang lucu dan cerdas. Putri pertamanya telah duduk di bangku SMA, sedang adiknya masih kelas VI SD.

Anak kecil yang hampir didor dan kini telah berputri dua itu bernama Ilham. Lengkapnya Ilham Aidit. Dia adalah anak keempat pasangan D.N. Aidit-Sutanti. Ilham lahir kembar bersama Irfan, adiknya, pada 18 Mei 1959 di Moskow. Ketika pecah pegeblug 1965, Ilham, Irfan plus abangnya, Iwan, sempat dititipkan ibunya ke seorang saudaranya di Bandung. Saudara ibunya itulah yang dikisahkan di awal menghadapi empat tentara Siliwangi yang hendak menghabisi Ilham. Tak lama kemudian Iwan, Ilham dan Irfan dipelihara oleh DR. Moeliono hingga dewasa.

Ketika kuliah di ITB, Ilham memilih aktif di kegiatan pecinta alam. Ia tergabung dengan kelompok pecinta alam bergengsi, Wanadri. Pilihan Ilham untuk aktif di kegiatan pecinta alam merupakan konsekuensi logis dari pilihannya untuk menjauhi kegiatan yang berbau politik. Beban sebagai anak D.N. Aidit tidak memungkinkannya mengambil banyak pilihan. Semuanya serba terbatas. Segalanya serba dibatasi. Itu pun Ilham masih sering menerima teror dan makian.

Ketika hendak menyunting Yuyun, Ilham dihadapkan pada sebuah pilihan berat: membuka rahasia kepada keluarga Yuyun ihwal siapa dirinya dengan resiko ia tidak direstui menikahi Yuyun ataukah memilih untuk menyembunyikan rahasia siapa dirinya. Pilihan makin sulit mengingat ayah Yuyun adalah seorang tentara aktif yang jelas garis politiknya. Tapi pilihan pertama yang diambilnya. Ilham nekat. Ia temui ayah Yuyun. Sendirian. Tanpa perantara.

“Om saya ingin cerita siapa saya,” tutur Ilham memulai perbincangan.

“Oh ya…yaa.”

“Om tahu PKI, kan?”

“Oh, ya,” kata sang calon mertua

“Saya anak D.N. Aidit!”

Ayah Yuyun kaget bukan kepalang. Selama beberapa kerjap waktu ia diam seribu bahasa. Bungkam. Ilham membiarkannya. Ia memberi kesempatan ayah Yuyun untuk berpikir. Ilham, tentu saja, tegang setegang-tegangnya. Ia sudah bersiap mengubur impiannya menikahi Yuyun. Akhirnya….

“Ya sudahlah. Itu kesalahan orang tua kamu. Kamu kan tidak bersalah.”

Mereka akhirnya menikah. (Bersambung)



Selengkapnya......

Sabtu, Februari 18, 2006

Kabar Kematian!

Wangsa Aidit (4)

Sobron masih ingat kapan, bagaimana, dari mana dan di mana ia pertama kali mendengar kabar kematian abangnya, D.N. Aidit. Ketika itu Sobron sedang menetap di Peking. Ia bekerja sebagai tenaga pengajar di IBA, sebuah akademi yang dibiayai Partai Komunis Cina. Sebelum menjadi pengajar, Sobron sempat pula menjadi penerjemah majalah Peking Review yang diterbitkan oleh Penerbitan Pustaka Bahasa Asing Peking. Selama menjadi tanaga pengajar, Aidit dan sejumlah koleganya diinapkan di Hotel Persahabatan, Friendship Hotel.

Ketika itu warsa 1965 sudah sampai pengujung. Desember 1965. Sobron dan semua ekspatriat asal Indonesia sudah tahu banyak ihwal kondisi yang terjadi di tanah air. Mereka tahu bagaimana aktivis PKI serta segenap anggota keluarganya dicari-cari, ditangkapi, diasingkan dan sebagian lagi dibunuh. Kabar tak mengenakkan tentang tanah air terus berseliweran makin kencang. Sobron tak bisa membayangkan bagaimana nasib keluarganya di Jakarta. Bagaimana kabar Aidit? Murad? Basri? Apa yang menimpa Tanti dan tiga anak lelaki kecilnya: Iwan, Irfan dan Ilham?

Di salah satu malam di bulan Desember yang mencekik itu, Sobron dan kolega-koleganya keluar dari hotel. Ada pertemuan penting yang harus dihadiri. Ternyata Sobron dipertemukan dengan delegasi Cina yang baru saja menghadiri sebuah Konferensi Internasional di Havana, Kuba. Ketika delegasi Cina berkesempatan bersua dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro, mereka beroleh kabar tak mengenakkan tentang Indonesia, persisnya kabar tertembak matinya Dipa Nusantara Aidit, pemimpin tertinggi PKI. Castro sendiri yang mengatakannya.

Awalnya Sobron tak percaya. Bagaimana bisa abangnya itu bisa dengan mudahnya mati? Mungkinkah seorang pemimpin partai besar yang dihuni tiga juta anggota setianya bisa dengan mudah tumpas? Bukankah abangnya adalah orang yang sangat lihai bersembunyi? Reputasi Aidit sebagai seorang yang memiliki intuisi kuat sering membawanya berhasil lolos dari lubang jarum yang sempit sekalipun. Sobron tahu betul bagaimana abangnya itu berhasil keluar dari kejaran musuh ketika peristiwa Madiun Affair 1948 meledak.

Ia juga tak akan melupakan kepandaian abanganya itu dalam hal menyamar atau menyaru. Dia sendiri pernah menjadi korban dari kelicikan abangnya itu. Ketika itu di Jakarta sedang terjadi razia besar-besaran terhadap aktivis-aktivis PKI yang dilakukan oleh Kabinet Sukiman. Sobron sering menyebutnya sebagai Razia Agustus karena rentetan razia itu memang berlangsung gigih-gigihnya pada bulan Agustus 1951. Di suatu malam ketika Sobron sedang berjalan di sekitar Pasar Matraman, ia melihat sesosok tubuh yang lamat-lamat ia kenal. Lelaki itu tampak tua. Berkacamata. Rambutnya putih penuh dengan uban. Berkopiah. Jalannya agak terbungkuk dan terpincang-pincang. Lelaki tua itu berjalan dengan menggunakan tongkat. Dicobanya memanggil ingatan. Tapi gagal. Sobron tetap lupa di mana dan kapan pernah betemu.

Sobron nekat mendekati lelaki tua itu. Begitu jarak makin rapat, lelaki tua itu malah memercepat jalannya. Makin Sobron mengejar, makin cepat lelaki tua itu menghindar. Ketika akhirnya lelaki tua itu berhasil didekati oleh Sobron, dia malah berbisik pelan. “Sana, mengapa kau mengikutiku. Sana jauh, nanti ketemu!” hardik lelaki tua itu dengan setengah berbisik sambil tak lupa mengernyitkan kening dan memelototkan matanya. Tahulah Sobron kalau lelaki tua itu adalah abangnya sendiri, D.N. Aidit, yang sedang menyaru.

Sejak itulah Sobron sadar kalau situasi memang sedang gawat. Beberapa kali, lewat kode ketukan pintu yang khas, abangnya itu datang ke kamarnya. Di malam-malam seperti itulah kedekatan Sobron dengan Aidit terjalin baik. Mereka sering bercerita. Saling memberi kabar. Di malam-malam seperti itu Aidit seringkali menitipkan pesan agar Sobron berhati-hati. Aidit biasanya langsung terlelap. Waktu istirahat betul-betul ia maksimalkan untuk mengumpulkan tenaga demi kerja-kerjanya esok hari.

Seringkali Sobron terbangun di pagi hari dan abangnya itu sudah lennyap tak berbekas. Hampir benar-benar tanpa bekas. Abanganya itu tahu betul menjaga rahasia. Sekalipun ia tak pernah meninggalkan sesuatu yang bisa membuktikan kalau dirinya pernah dan sering mampir ke kamar Sobron. Itulah sebabnya penggeledehan yang dilakukan tentara di kamarnya tak membuahkan hasil. Tak ada sedikit pun jejak yang terendus. Nihil.

Wajar jika Sobron meragukan informasi tentang kematian Aidit. Tetapi akhirnya Sobron pun menerima kebar kematian abangnya itu dengan ikhlas. Entah bagaimana caranya, Sobron mendadak yakin dan percaya kalau abang sulungnya itu memang telah tumpas kelor. Sobron tak mampu menjelaskannya secara logis. Ia percaya kalau abangnya itu telah menemui ajal karena sesuatu yang irrasional: intuisi.

“Perasaan saya, kedekatan saya selama ini dengan Bang Amat,” lirih Sobron, “…mengatakan, merasakan, ada feeling kejiwaan, memang Bang Amat sudah meninggal.”

Hal lain yang menambah keyakinan Sobron adalah sejumlah media internasional memang telah melansir berita kematian Aidit di sebuah daerah di Jawa Tengah. Salah satu media yang memberitakan itu adalah Asahi Shimbun, media dengan reputasi baik dari Jepang.

Belum lagi kenyataan di mana Mao Tse-Tung telah mengucapkan langsung pernyataan belasungkawa atas kematian Aidit. Dalam perhitungan Sobron, Mao tak mungkin mengeluarkan pernyataan bohong yang bisa melemahkan semangat perjuangan kaum komunis sedunia.

Sebagai pelengkap pernyataan belasungkawanya, Ketua Mao bahkan menuliskan sajak yang dimuat di sebuah majalah di Peking. Inilah sajaknya:

Belasungkawa Untuk Aidit
(Dalam Irama Pu Suan Zi).

Di jendela diringin berdiri reranting jarang
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama
di musim semi malah jatuh berguguran

Kesedihan tiada bandingan
mengapa gerangan diri mencari kerisauan
Bunga telah berguguran, di musim semi nanti
pasti mekar kembali
simpan harum-wanginya hingga di tahun mendatang

Ketika Sobron telah dengan lapang dada menerima kematian Aidit, anehnya, sebagian besar ekspatriat asal Indonesia yang tinggal di Beijing justru sangat susah diyakinkan. Mereka yakin D.N. Aidit masih hidup. Salah seorang yang paling sukar menerima kabar kematian itu adalah Wati, istri Sobron sendiri. Sobron bahkan sempat sedikit bersitegang leher dengan istrinya itu. Wati memarahi Sobron karena penerimaan Sobron akan kabar kematian Aidit justru akan melemahkan semangat rekan-rekannya.

Yang lebih gila, ketika Sobron pulang kampung ke Belitung untuk yang keduakalinya pada November 2004 dan berkumpul dengan keluarga besarnya, sebagian besar keluarga besar Aidit, terutama para perempuan, masih yakin kalau Aidit masih hidup hingga sekarang. Mereka percaya Aidit hidup dengan cara bersembunyi entah di mana. Ada yang menyebut di Malaysia. Sebagian lagi meyakini di Filipina. (bersambung)

Selengkapnya......

Selasa, Februari 07, 2006

Raksasa Berkaki Lempung

Wangsa Aidit (3)

Aidit lahir di kampung Pagaralang, Tanjungpandan, pulau Belitung, dengan nama lengkap Ahmad Aidit. Informasi yang didapat dari biografi Aidit di majalah bulanan PKI berbahasa Inggris, Review of Indonesia vol 7, dan dari memoir Sobron, adik kandung Aidit, diketahui Aidit lahir pada 30 Juli 1923. Tetapi informasi ini sukar dikonfirmasi akurasinya. Itulah sebabnya Jacques Leclerc, dalam esai panjangnya di majalah Prisma edisi Juli 1982, lebih memilih jalan aman dengan menulis: Aidit lahir di awal tahun duapuluhan.

Nama Aidit diambil dari nama belakang ayahnya, Abdullah Aidit. Abdullah adalah seorang bekas kuli pelabuhan yang kemudian diangkat menjadi mantri kehutanan, pegawai menengah pada Jawatan Kehutanan pemerintah Hindia Belanda. Ia dikenal sebagai seorang muslim yang taat. Ketaatannya itu tercermin pada dua hal: (1) ia menamai semua anaknya dengan nama yang ke-Arab-arab-an dan (2) keterlibatannya secara aktif sebagai pendiri Perguruan Nurul Islam, sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang kecenderungannya dekat dengan Muhammadiyah.

Jabatan Abdullah plus ketaatannya sebagai seorang muslim berikut aktivitas sosialnya yang kencang membikin Abdullah punya posisi sosial yang terpandang di Tanjungpandan, ibu kota Belitung. Itu pulalah yang membawa Abdullah “mampir” di parlemen (baik pada masa DPR-RIS atau DPRS-RI) sebagai utusan daerah Belitung sekaligus mewakili angkatan ’45. karirnya di parlemen berhenti ketika Abdullah memutuskan untuk mengundurkan diri pada 16 Juni 1954.

Aidit adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Adiknya yang pertama bernama Rosiah. Dialah perempuan satu-satunya dari tujuh bersaudara. Rosiah sudah lama meninggal. Ia meninggal di Mekkah ketika sedang menunaikan ibadah haji. Dua anak lelaki lainnya sudah meninggal sewaktu mereka masih kecil. Jadi, hanya lima lelaki anak Abdullah yang sempat merasakan umur panjang. Berturut-berturut setelah Aidit mereka adalah Ahmad, Basri, Murad, Sobron dan, terakhir, Asahan Sulaiman.

Aidit dididik langsung kedua orangtuanya. Seperti teman-teman sebayanya yang lain, Aidit juga belajar mengaji. Seturut pengakuan Sobron, Aidit khatam mengaji sebanyak tiga kali. Ini bukan angka sepele. Dibutuhkan ketekunan yang tak main-main. Pertama kali Aidit khatam, sebuah pesta syukuran pun diadakan. Semua tetangga tak lupa dikirimi makanan dan penganan. Ia diarak keliling kampung. Meriah.

Aidit punya banyak kelebihan. Secara fisik ia tak terlampau kekar. Di banding adik-adiknya, Aidit yang terkecil dan tependek badannya. Tapi itu semua ditutupi dengan kebiasaannya berlatih tinju. Seorang anak yang terbiasa mengejeknya pernah merasakan bogem mentah Aidit. Hingga kini, Murad, salah seorang adiknya, masih menyimpan sejumlah potret Aidit yang sedang berlatih tinju. Lengkap dengan atributnya.

Sebagai anak, Aidit tahu betul apa artinya menjadi anak sulung. Ayahnya memang bukan orang miskin. Tapi untuk disebut kaya jelas jauh panggang dari api. Itulah pasal yang membikin Aidit kerap memutar otak bagaimana caranya agar bisa membantu keuangan orang tuanya, minimal tidak merepotkan mereka. Pilihannya adalah berjualan, berjualan apa saja. Dari mulai kerupuk hingga buah nanas yang telah dikerat-kerat. Setiap ada pertandingan sepakbola di kampungnya Aidit dipastikan ada di lapangan. Bukan untuk menonton. Tapi untuk berjualan.

Aidit dikenal juga sebagai anak yang pintar. Semua tahu ia adalah kutu buku. Jika menemani ayahnya berjaga di tepi hutan, Aidit memilih berdiam di sebuah rumah jaga. Di sanalah ia bersemayam. Tenggelam dengan bacaan-bacaan kelas berat. Literatur-literatur Marxis seringkali dibacanya di sana.

Asahan, adik Aidit yang terkecil, punya kesaksian ihwal minat belajar abangnya yang luar biasa. Ketika pada 1952 pakansi ke rumahnya di Belitung, Asahan menemukan segumpal tumpukan kertas tebal yang diikat. Ikatan karton seberat dua kilogram itu dibukanya. Isinya beragam diploma, macam-macam piagam yang diperoleh Aidit dari kursus-kursus yang ditempuhnya hingga tamat dari berbagai ragam ilmu pengetahuan. Dalam ingatan Asahan, dalam ikatan kertas itu terdapat piagam kursus bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Ilmu Hitung Dagang, Mengetik Cepat hingga Stenografi.

Di Tanjungpandan Aidit menyelesaikan sekolah di HIS dan Sekolah Dagang Menengah Pertama. Karena di Belitung sama sekali belum ada sekolah lanjutan, Aidit memohon kepada ayahnya untuk diijinkan bersekolah ke Batavia. Permohonan dikabulkan. Pada 1936, Aidit berangkat ke Batavia dengan ditemani salah seorang pamannya, A. Rachman.

Di Batavia, Aidit langsung tertarik dengan dunia pergerakan. 1939 Aidit bergabung dengan Gerindo, sebuah organisasai kepemudaan berhaluan kiri pimpinan Amir Syarifuddin. Selama pendudukan Jepang, Aidit terlibat dalam sejumlah aktivitas berbahaya dengan bekerja pada organisasi perlawanan bawah tanah. Pada periode itulah ia berkenalan dengan pemuda-pemuda radikal lainnya macam Chairul Saleh, Wikana, A.M. Hanafi. Markas mereka ada di sebuah gedung yang beralamat di Menteng 31. Dengan segera, tempat itu menjadi salah satu pusat perlawanan para pemuda radikal yang paling massif di Batavia. Sejumlah kursus-kursus politik diadakan. Mentornya adalah pentolan-pentolan pergerakan. Dari mulai Soekarno, Hatta hingga Syahrir.

Di awal-awal kemerdekaan, Aidit tertangkap oleh tentara Jepang. Bersama sejumlah tahanan politik lainnya, Aidit dibuang ke pulau Onrust yang merupakan salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu. Lewat negosiasi yang alot, Aidit bersama tananan lainnnya akhirnya dibebaskan.

Aidit menghabiskan sebagian besar waktunya pada periode 1946-1948 dengan berkutat dalam berbagai aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada kongres PKI ke-IV, Aidit terpilih menjadi anggota Central Comitee (CC) PKI. Dalam sidang-sidang KNIP, Aidit dipilih sebagai ketua Fraksi Komunis. Menjelang Madiun Affair 1948, Aidit diserahi tugas untuk membidangi bidang Agitasi dan Propaganda (Agitprop). Di bawah bimbingan Alimin, Aidit bahu membahu bersama Lukman menerbitkan Bintang Merah, berkala terbitan PKI yang punya arti strategis.

Aidit sempat pula singgah beberapa lama di Yogyakarta. Di sana ia bisa leluasa menjumpai kedua orangtuanya yang beberapa tahun sebelumnya memang telah menetap di Yogyakarta. Selama di Yogya, Abdullah, ayah Aidit, terlibat dalam sejumlah front pertempuran dengan tentara pendudukan Belanda. Aidit sendiri sibuk dengan kegiatannya di masrkas kelompok sayap kiri di bilangan Gondolayu, Yogyakarta. Di sanalah para pemuda radikal memusatkann aktivitasnya.

Salah satu sumber informasi ihwal kegiatan Aidit di Gondolayu bisa dilihat dalam salah satu paragraf dalam memoir penyair Sitor Situmorang berjudul Sitor Situmorang, Seorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba. Di sana, Sitor mengisahkan betapa nama Aidit demikian menonjol dalam kegiatan-kegiatan pemuda radikal di Gondolayu.

Pada waktu terjadi pembersihan yang dilakukan Kabinet Hatta pada semua tokoh-tokoh penting PKI akibat persitiwa Madiun Affair 1948, 9 orang dari total 21 orang anggota CC PKI 9 terbunuh. Aidit bersama Lukman, Nyoto dan Sudisman berhasil lolos dari pembunuhan. Aidit melarikan diri ke Vietnam Utara. Kabar yang dihembuskan PKI menyebutkan, Aidit sempat terlibat dalam peperangan gerilya di Vietnam dan membantu perjuangan Ho Chi Minh di sana.

Pada pertengahan 1950 Aidit kembali ke Indonesia. Pada saat itu PKI sedang menata kembali roda organisasi yang nyaris mati akibat pembersihan pasca Madiun Affair. Tak berselang lama ia terpilih menjadi Sekretariat Jenderal CC PKI. Bersama kawan-kawan seangkataannya, Aidit berhasil menyingkirkan generasi tua PKI yang dianggap terlalu lembek, elitis dan pragmatis. Angkatan tua macam Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Ketika PKI mengadakan kongresnya pada 1954, PKI betul-betul jatuh ke tangan kader dari generasi muda. Pada kongres itulah, Aidit terpilih menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKI. Ia terus menduduki jabatan tertinggi partai itu hingga saat kehancuran PKI pada 1965 terjadi. Aidit adalah Sekjen PKI yang termuda. Sekaligus juga yang terakhir.

Pengaruh dan jasa Aidit terpampang selebar-lebarnya. Di tangan Aidit, PKI menjelma menjadi sebuah partai yang disegani. PKI menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Russia dan Cina. Itu artinya, di tangan Aidit, PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis.

Melebihi tokoh-tokoh partai lainnya, Aidit muncul sebagai seseorang yang paling bertanggungjawab dalam mengarahkan penerapan ideologi Marxisme-Leninisme dalam konteks kehidupan di Indonesia. Ia juga bertanggungjawab sepenuhnya atas pelbagai tindakan yang ditempuh PKI dalam rangka mengarahkan partai untuk mengambil cara-cara yang dipandang relevan untuk diambil, tentu saja dengan memerhitungkan ragam rintangan yang melintang.

Ia memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang tak dimiliki oleh tokoh-tokoh penting lain, misalnya Tan Malaka yang terpaksa harus menghabiskan banyak waktu dalam pelarian di luar negeri atau juga Musso yang lama tinggal di Sovyet. Kenyataan betapa Aidit di masa-masa akhir penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan awal-awal revolusi tetap berada di Indonesia, persisnya di Jawa, membikin ia punya pembacaan dan pengetahuan yang cukup memadai terhadap situasi dan kondisi tanah air. Aidit juga berhasil membangun sebuah jaringan kerja yang solid dan sistematis dengan sejumlah kolega, sesuatu yang tentu saja kurang dimiliki oleh Musso dan Tan Malaka.

Tetapi tak sedikit orang yang menilai Aidit punya sejumlah “cacat” dalam menakhodai PKI. Sebuah kritik bersifat antropologis datang dari Peter Edman, penulis buku Communism A La Aidit: The Indonesian Communist Party Under D.N. Aidit 1950-1965. Kritik Edman berporos pada kegagalan Aidit untuk memahami kebudayaan Jawa. Statusnya sebagai orang yang dilahirkan di Sumatera bukan hanya menghalang-halangi Aidit untuk menerima cara-cara Soekarno yang merupakan seorang Jawa, melainkan juga menyebabkan dirinya gagal memahami persoalan-persoalan politik, sosial dan budaya yang dihadapi PKI di tanah Jawa, tempat di mana partai yang dipimpinnya memiliki massa terbesar sekaligus juga tempat di mana gagasan-gagasan dirinya diujicobakan.

Kegagalannya untuk mempraksiskan secara sempurna ide landreform dimulai ketika Aidit gagal memahami kenapa muncul respon yang beragam atas kampanye landreform yang diusungnya. Reaksi berlebihan dan tidak cerdas dari kader-kader PKI terhadap aksi perlawanan orang-orang Jawa (yang dikomandoi oleh para tuan tanah dan para kyai pemilik kpesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur), sebut Peter Edman, “…memberikan gambaran betapa atau naifnya para pemimpin partai dalam memeluk keyakinan bahwa kesadaran kelas sudah cukup memadai untuk menyatukan para petani agar bersama-sama melakukan perlawanan terhadap para tuan tanah.”

Aidit juga dituding bertanggungjawab atas terjerumusnya PKI ke dalam avonturisme politik yang berbahaya. Dukungan Aidit terhadap kudeta yang dilakukan Kolonel Untung pada pengujung September 1965 jelas-jelas menjadi blunder yang membikin PKI mengalami kehancuran untuk selama-lamanya. Padahal jelas, partai belum siap melakukan sebuah pertarungan bersenjata. Lain hal jika, misalnya, ide Angkatan ke-V yang berisi tuntutan agar para buruh-tani dipersenjatai telah terealisir.

Di kalangan internal PKI sendiri ada suara yang menyalahkan Aidit sebagai orang yang “lemah hati”. Inti dakwaan ini terletak pada ketidakberanian Aidit untuk menyerukan kepada segenap kader dan simpatisan partai untuk melakukan perlawanan total terhadap siapapun yang hendak menghancurkan partai. Aidit dituding sebagai pemimpin salon. Kenyataan bahwa Aidit adalah seorang kutu buku dan pecinta musik-musik klasik yang lembut dijadikan salah satu dasar untuk membenarkan dakwaan ini.

Semua kekurangan-kekurangan itulah yang menjadi sebab kenapa Jacques Leclerc pernah menyindir betapa PKI di bawah kepemimpinan Aidit memang berhasil menjadi raksasa, tetapi “raksasa yang berkaki lempung”! (Bersambung)

Selengkapnya......

Kamis, Februari 02, 2006

Mengintai Anak dari Jauh

Wangsa Aidit (2)

Dr. Sutanti, dokter spesialis akupunktur pertama yang dimiliki Indonesia, mematung di balik jendela sebuah rumah. Matanya nanar memandangi pekarangan tak seberapa luas yang ada di seberang jalanan yang sepi. Hari itu tak banyak yang berlalu-lalang.

“Syukurlah,” batin Tanti, “ini memudahkanku memandang lekat anak-anakku.”

Tanti sudah demikian lama tak bersua dengan tiga anak lelakinya. Ia juga sudah lama sekali tak pernah pulang ke rumahnya. Dari tempat-tempat persembunyian yang berpindah-pindah, ia mendengar sehembusan kabar tak menyenangkan: rumahnya di Jalan Pegangsaan (Cikini) sudah digerebek tentara. Isi rumah dikeluarkan. Sebagian disita. Sebagiannya lagi dimusnahkan.

Nestapa memang sedang mengakrabi Tanti. Sejak 5 Oktober 1965, ia putus kontak dengan semua keluarga terdekatnya. Suami tercinta, Dipa Nusantara Aidit, entah bagaimana kabarnya. Dari sejumlah informasi yang ia dapat di pengujung November 1965, sang suami telah dieksekusi di daerah Jawa Tengah. Mungkin di Boyolali atau Solo. Ada juga yang bilang di Tegal. Entahlah.

Tak begitu jelas kapan Aidit menikahi Sutanti. Tapi, berdasar informasi yang didapat dari tulisan Kohar Ibrahim, seorang eksil yang menetap di Brusell, Belgia, yang berjudul Aidit Pelita Nusantara? Sebuah Catatan dari Brusell yang dimuat di harian Batam Pos, Riau, diketahui bahwa keduanya menikah pada 1947. Leclerc menyebut perjumpaan perdana keduanya itu berlangsung ketika Aidit sedang memberikan ceramah tentang Marxisme. Ketika itu Aidit memang sedang menunaikan tugasnya sebagai anggota CC PKI yang membawahi bidang Agitprop.

Sutanti adalah anak dari pasangan aktivis pergerakan yang cukup radikal. Ayahnya bernama Mudigdio, seorang ningrat keturunan bangsawan Tuban. Mudigdio adalah seorang pembangkang keluarga. Ia memberontak sikap kolot-konservatif keluarganya dan terutama sikap keluarga besarnya yang sangat pro-Belanda. Setelah menyelesaikan HBS-nya, Mudigdio segera bekerja sebagai pegawai negeri di Kantor Pajak. Ketika bertugas di Medan, ia bertemu dengan Siti Aminah yang di kemudian hari menjadi istrinya. Ketika bertugas di Semarang pada 1927, Mudigdio msauk ke dalam PNI dan kemudian bergabung ke Partindo. Akibat aktivisme politik yang ditekuninya, ia dipecat sebagai pegawai negeri sebagaimana dialami isemua pegawai pemerintahan Hindia-Belanda yang terlibat dalam aktivitas pergerakan nasional.

Menjelang penyerbuan Jepang, ia menjadi guru MULO Muhammadiyah di Yogyakarta. Ketika ia kembali ke Semarang, Mudigdio bekerja untuk PUTERA, dan selanjutnya bekerja di Jawa Hokokai. Sesudah proklamasi, dia masuk dinas kepolisian yang baru. Pada 1948, Mudigdio menjadi anggota Partai Sosialis pimpinan Amir Syarifuddin yang lantas tergabung ke dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terlibat dalam peristiwa Madiun Affair. Mudigdio tetap berpihak ke kubu Amir. Atas inisiatif sendiri, Mudigdio bahkan berusaha mendirikan Korps Polisi Merah di ddaaerah Pati. Pada 21 November 1948, dia dan pembantu-pembantunya ditangkap dan ditembak mati.

Siti Aminah, janda Mudigdio, ketika itu menjadi anggota KNIP mewakili Partai Sosialis. Kematian suaminya justru membikin gairahnya untuk berpolitik makin menjompak-jompak. Ia berkonsentrasi di bidang pergerakan perempuan, sehingga ia terpilih menjadi wakil ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sambil tetap menjadi anggota parlemen sampai kemudian ditahan dan diberhentikan sesuai pageblug 1965.

Tanti jelas akrab dengan aktivitas politik. Pernikahannya dengan Aidit kian meneguhkan darah aktivis yang ia warisi dari kedua orangtuanya. Ia tahu benar resiko menjadi aktivis politik sekaligus menjadi istri pemimpin tertinggi PKI,. Partai komunis terbesar ketiga di dunia.

Tapi peristiwa September 1965 betul-betul tak ia duga akan terjadi dengan begitu cepatnya. Dalam nyaris satu tarikan nafas saja, Tanti harus berpisah dengan orang-orang yang dicintanya. Ia juga terpaksa berpisah dengan tiga anak lelakinya. Menjelang pelariannya, Tanti dan suaminya masih sempat mengirim Iwan, Ilham dan Irfan ke Bandung. Kabar terakhir, tiga anak lelakinya itu dipelihara oleh Moeliono, salah seorang kerabat jauh Tanti yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Kabar itu sedikit melegakan Tanti.

Tapi kesedihan tentu saja tak berkurang. Luar biasa sedihnya Tanti membayangkan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu harus menanggung bala akibat pertarungan politik yang melibatkan ayahnya. Apalagi Ilham dan Irfan. Keduanya lahir di sebuah negeri yang jauh, Rusia, tepatnya di Moskow, pada 18 Mei 1959. Enam bulan kemudian barulah si kembar Ilham-Irfan merasakan teriknya matahari Indonesia. Jadi, ketika pecah pageblug 1965, si kembar itu baru berusia enam tahun. Masih sangat kecil untuk mengerti pergulatan politik. Mereka tidak tahu apa-apa.

Di puncak rasa kangen yang tak mungkin lagi dibendungnya, Tanti berhasil mengontak keluarga Moeliono, karabat yang selama ini memelihara tiga anak lelakinya. Dia sampaikan betapa kangen dan berharap sangat bisa bersua dengan anak-anaknya. Tanti tentu saja sedang tak berniat pergi ke Bandung, dan menyambangi kediaman keluarga Moeliono untuk dapat memeluk tiga anak lelakinya. Itu rencana bunuh diri namanya. Itu sama saja menyerahkan diri untuk ditangkap dan dieksekusi tentara. Tanti sepenuhnya insyaf akan situasi. Dan Tanti memang tak pernah bermimpi bisa memeluk tiga anaknya.

“Sekadar memandang lekat-lekat anak-anak dari kejauhan pun rasanya sudah nikmat,” pikir Tanti.

Maka disusunlah rencana. Moeliono akan membawa tiga anak lelaki Tanti ke suatu tempat. Di sekitar situ, Tanti sudah menunggu dalam jarak yang cukup jauh yang masih memungkinkannya menatap lekat sepuasnya anak-anaknya tanpa harus diketahui orang lain, bahkan juga oleh tiga anak lelakinya itu.

Tanti masih duduk mematung. Matanya memandang pekarangan tak seberapa luas yang dijanjikan menjadi tempat bermain tiga anaknya hari itu. Waktu serasa tak berhenti. Menit seperti enggan beranjak. Tanti masih menanti.

Dan ketiga anak kecil yang dirindukannya itu pun akhirnya datang. Mata Tanti nyalang memandang ke depan. Air mata akhirnya tumpah.

Detik itu juga Tanti mendadak ingat dua anak perempuannya yang sedang belajar di Moskow. Ibaruri dan Ilya. Apa kabar mereka?

Rasa kangen lagi-lagi membuncah. Air mata lagi-lagi tumpah. (bersambung)

Selengkapnya......

Rabu, Februari 01, 2006

Tertangkap!

Wangsa Aidit (1)

Kampung Sambeng dikepung dari delapan penjuru mata angin. ABRI dan pasukan-pasukan eks Tentara Pelajar dikerahkan. Tampuk komando operasi dipegang langsung Kolonel Jazir Hadibroto. Mereka yakin, buronan yang mereka cari-cari bersembunyi di kampung itu.

Sejak sore tadi Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Solo, diguyur deras hujan. Ketika malam datang, Sambeng tak cuma terasa dingin dan temaram melainkan juga mencekam. Lewat sebuah operasi yang cepat, semua lelaki Kampung Sambeng diperintahkan keluar dari rumahnya masing-masing. Semua dikumpulkan di lapangan. Malam itu, Kampung Sambeng steril dari lelaki. Satu per satu mereka diperiksa. Hasilnya nihil: buronan kelas wahid yang dicari tak ditemukan!

Akhirnya pencarian difokuskan di sebuah rumah di Gang Sidareja. Rumah itu berukuran kecil. Rumahnya memang sangat pas dijadikan tempat sembunyi. Letaknya di ujung gang. Persisnya ada di tepi sebuah sungai dekat sebuah kuburan. Jika buronan yang dicari berhasil selamat hingga ke sungai, alamat ia akan lolos. Bentang alam yang gelap serta penuh dengan alang-alang memudahkan siapa pun bakal lolos dari pengintaian dan kejaran. Itulah sebabnya rumah itu dikepung rapat-rapat. Saking rapatnya, hampir dipastikan mustahil keluar dari rumah incaran tanpa diketahui.

Rumah itu milik seorang perempuan tua bernama Mbok Harjo. Selain Mbok Harjo, tinggal pula sepasang suami istri yang sengaja mengontrak. Si suami bernama Kasim. Tak jelas benar sepasang suami istri ini berasal dari mana dan dalam keperluan apa mengontrak rumah kecil di pjokkan gang yang terpencil itu.

Penggeledahan pun dilakukan. Rumah itu diperiksa dengan detail sedetail-detailnya. Tak ada sedepa pun yang terlewat. Semua ruangan, kolong tempat tidur, lemari pakaian, hingga lemari makan dibongkar. Tapi buronan tak juga ditemukan.

Mustahil! Tentara yakin betul tak mungkin buronan tak ditemukan sebab pengintaian terhadpa rumah Mbok Harjo sudah dilakukan cukup lama. Sejumlah intel ditempatkan di Gang Sidaredja. Ada yang menyamar sebagai penjual es putar. Ada yang menyaru sebagai tukang gorengan. Hasilnya: buronan dipastikan ada di rumah Mbok Harjo. Informasi yang diberikan Brigif 4 yang melakukan pengintaian diyakini tak mungkin meleset. Kecurigaan makin membesar ketika dalam penggeledahan itu ditemukan tiga benda mencurigakan: tas ransel, kacamata, dan radio.

Akhirnya pencarian dimulai kembali. Langkah pertama adalah menginterogasi habis-habisan Pak Kasim yang telah berkumpul bersama semua lelaki Kampung Sambeng. Lewat mulut Pak Kasim itulah diketahui ada sebuah kamar rahasia di rumah Mbok Hardjo. Kamar itu tak mungkin terdeteksi oleh siapa pun yang memasuki salah satu dari dua kamar utama sebab kamar rahasia terletak di antara dua kamar utama. Pintu masuknya pun bukan di salah satu kamar utama itu melainkan melalui ruang makan. Persisnya dari sebuah lemari makan. Tetapi hanya dengan membuka pintu lemari makan pintu masuk kamar rahasia itu tetap tak akan kelihatan. Pintu masuk baru terlihat jika lemari makan itu digeser.

Berdasar informasi itulah penggeledehan dilakukan kembali. Ternyata betul: di balik lemari makan ada pintu rahasia yang menghubungkan ruang makan dengan sebuah kamar persegi panjang yang ukup sempit namun masih mencukupi untuk sekadar duduk dan merebahkan badan.

Setelah didobrak dari luar dan kamar itu terbuka, seorang lelaki berusia 40-an dengan paras lusuh dan pucat kedapatan sedang duduk meringkuk memeluk lutu. Percarian pun berakhir.

Di malam 21 November 1965, Kolonel Jazir Hadibroto lega bukan kepalang. Malam itu akan menjadi pengepungan terakhir. Tunai sudah ia punya tugas. Segera ia kirim kawat kepada atasannya. Isinya: Dipa Nusantara Aidit tertangkap! (Bersambung)

Selengkapnya......

Wangsa Aidit (Sebuah Pengantar Seri Tulisan)

Aidit sedang bercakap dengan DN Aidit di Istana Negara

Pada masa Orde Baru, nama Dipa Nusantara Aidit pernah menjadi nama (yang di)jahanam(kan. Stigma yang disandang oleh “Aidit” demikian parah. Ia tidak hanya dianggap sebagai otak nomer satu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dalang dari peristiwa G-30-S semata, tetapi lebih dari itu ia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga namanya seakan-akan sinonim dengan segala macam laku lancung: penjahat, kejam, brutal dan tak berprikemanusiaan.

Itulah sebabnya tak ada orang yang mau menamai anaknya “Aidit”. Bahkan keluarga Aidit sendiri, baik kerabat jauh hingga beberapa anaknya, memilih untuk menanggalkan nama Aidit. Sebab nama Aidit pada masa Orde Baru adalah paspor yang bisa mengantarkan siapapun ke labirin kesengsaraan yang tiada putus.

Blog ini segera akan menghadirkan kisah siapa sebetulnya Aidit, bagaimana kiprahnya di PKI, dan apa saja yang telah ia lakukan. Tetapi tak cuma itu, blog ini juga mencoba memaparkan bagaimana kisah perjuangan keluarga Aidit untuk bertahan hidup di masa Orde Baru yang begitu doyan membikin mereka nestapa.

Itulah sebabnya, maka seri tulisan tentang Aidit dan keluarganya saya beri judul: WANGSA AIDIT!

Nantikan!


Selengkapnya......